• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Konversi Lahan Sawah

Proses konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat

dan pemerintah, dan (2) sistem non kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan tentang konversi lahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Sumaryanto et al. (2001) mengklasifikasikan konversi lahan sawah berdasarkan pada pelaku konversi dan prosesnya. Ditinjau dari pelaku konversi, konversi lahan dilakukan melalui dua cara: secara langsung oleh pemilik lahan dan pengalihan penguasaan. Yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan didasarkan pada 3 motif tindakan: (a) untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi a dan b , yaitu untuk membangun rumah tinggal sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi ini berdampak pada jangka panjang. Yang melalui pengalihan penguasaan, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Pola konversi lahan sawah seperti ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi, dan dampaknya berlangsung cepat dan nyata. Apabila ditinjau prosesnya, konversi lahan sawah dapat terjadi secara gradual dan seketika. Konversi lahan secara gradual umumnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal akibat rusaknya saluran irigasi atau usaha tani padi tidak menguntungkan. Konversi lahan secara seketika umumnya terjadi di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi daerah permukiman atau kawasan industri. Pasandaran (2006) mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga faktor sebagai penyebab terjadinya konversi lahan, yaitu kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Rustiadi et al. (2008), konversi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent lebih tinggi.

Lebih lanjut Isa (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terdiri dari faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian, faktor ekonomi (nilai sewa lahan) , faktor sosial budaya (fragmentasi lahan karena keberadaan hukum waris), degradasi lingkungan, otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih

tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan lemahnya penegakan hukum.

Hingga saat ini konversi lahan baik yang direncanakan melalui sistem kelembagaan maupun non kelembagaan (secara alami) masih terus berlangsung. Dugaan ini terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 625 km dari Jawa Barat hingga Jawa Timur (Gambar 15), yang berpotensi memicu konversi lahan sawah produktif sekitar 4.264 ha (Litbang Kompas, 2008). Konversi lahan yang semakin marak ini sulit dihindari karena faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain (Irawan, 2004). Rasio land rent lahan pertanian adalah 1: 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Adimihardja (2006) berpendapat bahwa rendahnya persepsi masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah mengakibatkan lahan sawah mudah terkonversi, selain faktor eksternal, yaitu pembangunan sektor non-pertanian yang memilih lahan yang umumnya bertopografi relatif datar yang siap pakai dari karakteristik biofisik dan aksesibiltas. Menurut Tambunan (2008), umumnya konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat (Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah (Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan), Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Adapun menurut Pasandaran (2006), permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di daerah pinggiran kota. Secara keseluruhan, konversi lahan sawah untuk perumahan hampir 58.7% dan untuk industri, perkantoran, dan pertokoan sekitar 21.8%, sedangkan di luar Jawa, hampir 49% untuk perkebunan, dan 16.1% untuk perumahan. Dari hasil pemantauan penutup lahan yang diinterpretasi dari citra Landsat ETM tahun 2000 dan 2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri mencapai 26,770.10 ha atau 5,354.02 ha/tahun. Penyusutan lahan sawah tersebut diikuti oleh penyusutan hutan seluas 4,975.26 ha, perkebunan 94.44 ha, dan ladang 64,707.32 ha, lahan

terbuka, 568.08 ha, semak belukar 544.79 ha, dan tubuh air 35,370.70 ha. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, pertambahan lahan permukiman dan industri mencapai 104,799.10 ha atau 34.933 ha/tahun.

Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Gambar 16, pada masa kejayaan Orde Baru atau era Presiden Suharto (1979-1990) berhasil mencapai prestasi swasembada pangan dan laju konversi lahan sawah di Jawa cenderung

Tabel 4. Dinamika konversi lahan sawah di Jawa Periode

Masa Pemerintahan

Nama Kabinet Konversi

Lahan (ha)

Laju (ha/tahun)

1979-1984 Orde Baru Pembangunan III-1V 41,736 8,347

1985-1990 Orde Baru Pembangunan IV-V 37,631 7,526

1991-1996 Orde Baru Pembangunan V-VI 142,626 28,525

1997-2000 Krisis Ekonomi dan Reformasi Pembangunan VI-VII Reformasi Pembangunan Persatuan Nasional 186,813 62,271

2000-2005 Pascareformasi Gotong Royong

Indonesia Bersatu

76,770 15,534

menurun dari 8,347 ha/tahun menjadi 7,526 ha/tahun. Pada saat itu, diperkirakan pemerintah berhasil mengendalikan konversi lahan sawah yang disertai dengan penerapan program intensifikasi melalui panca usaha tani, yaitu teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan (organik dan kimia), pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Pada periode 1990-1996,

Gambar 15. Rencana jalan tol trans Jawa (Litbang Kompas, 2008)

laju konversi lahan mulai cenderung naik dan mencapai puncaknya, yaitu sekitar 62,721 ha/tahun, pada masa krisis ekonomi atau reformasi (1997-2000). Fenomena meningkatnya konversi lahan sawah pada masa krisis ekonomi atau masa reformasi ini bisa dimaklumi karena pada masa itu pintu demokrasi dibuka sehingga masyarakat memperoleh kemudahan atau kebebasan dari pemerintah untuk menyalurkan segala aspirasinya, termasuk melakukan konversi lahan sawah menjadi penggunaan lain. Pada masa krisis itu, Pulau Jawa juga sering dilanda bencana alam banjir dan tanah longsor. Guritno (2006) mencatat bahwa sejak tahun 1997 kejadian bencana banjir di Jawa cenderung meningkat.

Pada tahun 2000-2005 (pascareformasi), laju konversi lahan sawah menjadi menurun. Pada masa itu, pemerintah dihadapkan pada masalah krisis pangan dan bencana alam (banjir dan tanah longsor). Prestasi swasembada pangan yang telah dicapai pemerintah orde baru tidak bisa dipertahankan. Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris berubah menjadi negara pengimpor beras. Simatupang dan Timmer (2008, dalam Tambunan, 2008) menjelaskan bahwa penurunan laju pertumbuhan produksi beras di Indonesia selama tahun 1998-2005 mencapai 1.22%. Menurunnya produksi beras tersebut tentunya dipengaruhi oleh penyusutan lahan sawah di pulau Jawa karena konversi lahan sawah, mengingat hampir 60% produksi beras nasional disuplai dari pulau ini. Masalah penurunan produksi beras ini dibarengi oleh maraknya kejadian bencana banjir dan tanah longsor hampir di setiap wilayah, termasuk di Pulau Jawa. Kedua masalah ini menyadarkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian agar krisis

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 180,000 200,000 1979-1984 1985-1990 1991-1996 1997-2000 2000-2005 Tahun L ah an S aw ah T er ko n ver si ( h a)

Krisis ekonomi /masa reformasi

Orde Baru Pascareformasi

Gambar 16. Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005

Tabel 5. Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 (ha)

Provinsi Hutan Perkebunan Ladang Sawah Permukiman Lahan

Terbuka

Semak

Belukar Tubuh air Lain-lain* Total

DKI Jakarta 215.21 0.00 2,778.27 3,758.25 55,989.95 777.63 127.44 720.61 750.47 65,117.83 Banten 150,657.25 37,301.63 348,124.27 248,390.49 71,198.75 12,290.47 26,538.33 16,902.61 23,647.53 935,051.33 Jawa Barat 632,770.79 185,660.35 1,294,264.04 1,183,466.80 253,383.55 47,899.26 52,927.84 91,731.23 31,139.10 3,773,242.96 Jawa Tengah 696,686.45 23,191.95 1,089,538.22 1,075,398.61 410,046.50 4,687.87 38,662.30 53,543.45 49,325.92 3,441,081.27 DI. Yogyakarta 33,869.64 0.00 162,358.56 55,478.30 60,722.84 364.50 3,614.68 660.85 235.40 317,304.77 Jawa Timur 1,520,600.67 93,192.01 1,512,127.05 1,080,106.72 371,115.41 36,436.14 17,932.83 97,685.38 73,624.47 4,802,820.68 Total 3,034,799.99 339,345.93 4,409,190.40 3,646,599.17 1,222,457.00 102,455.86 139,803.42 261,244.12 178,722.89 13,334,618.84

Sumber: Poniman dan Nurwadjedi (2008)

Tabel 6 . Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 (ha)

Provinsi Hutan Perkebunan Ladang Sawah Permukiman Lahan

terbuka

Semak

belukar Tubuh air Lain-lain* Total

DKI Jakarta 215.21 0.00 2,225.30 3,288.46 57,651.51 138.85 127.43 720.60 750.47 65,117.83 Banten 152,944.36 37,240.85 353,985.74 247,644.31 80,040.71 12,259.19 26,447.99 17,045.42 7,442.76 935,051.33 Jawa Barat 637,189.46 186,061.86 1,263,299.57 1,154,815.48 259,964.26 47,849.21 52,936.67 89,717.65 81,408.80 3,773,242.96 Jawa Tengah 695,056.52 23,166.00 1,084,917.94 1,057,283.08 426,909.20 4,928.61 38,533.79 22,938.08 87,348.05 3,441,081.27 DI. Yogyakarta 29,638.95 0.00 149,962.59 54,225.87 73,755.04 357.99 3,426.72 647.83 5,289.78 317,304.77 Jawa Timur 1,514,780.25 92,782.78 1,490,091.94 1,052,571.86 428,935.38 36,353.94 17,786.03 94,803.83 74,714.67 4,802,820.68 Total 3,029,824.73 339,251.49 4,344,483.08 3,569,829.06 1,327,256.10 101,887.78 139,258.63 225,873.42 256,954.53 13,334,618.84

Tabel 7. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005)

No. Tipe Penutup

Lahan Tahun 2000 (ha) Tahun 2005 (ha) Perubahan (ha) 1. Hutan 3,034,799.99 3,029,824.73 -4,975.26 2. Perkebunan 339,345.93 339,251.49 -94.44 3. Ladang 4,409,190.40 4,344,483.08 -64,707.32 4. Sawah 3,646,599.17 3,569,829.06 -76,770.11 5. Pemukiman 1,222,457.00 1,327,256.10 104,799.10 6. Lahan Terbuka 102,455.86 101,887.78 -568.08 7. Semak Belukar 139,803.42 139,258.63 -544.79 8. Tubuh Air 261,244.12 225,873.42 -35,370.70 9. Lain-lain 166,444.77 193,496.35 27,051.58 Total 13,272,340.65 13,272,340.65

pangan dan bencana banjir tidak berkelanjutan. Berdasarkan pada data penutup lahan tahun 2000-2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), selama 5 tahun lahan sawah di Pulau Jawa yang beralih fungsi ke penggunaan lain adalah 76,770.11 ha dengan laju 15,354.02 ha/tahun (Tabel 8). Konversi lahan sawah ke bentuk penggunaan lain terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, yang secara berurutan adalah 28,651.32 ha dan 27,534.86 ha dengan laju 5,730 dan 5,507 ha/tahun. Apabila diasumsikan produktifitas lahan sawah yang terkonversi tersebut berkisar 5-6 ton/ha GKG (gabah kering giling), maka produksi padi yang

Gambar 14. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005)

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 4,500,000 5,000,000 Hut an Per kebu nan Ladang Sawa h Pem ukim an Lahan T erbuk a Sem ak B eluk ar Tubu h A ir Lain -Lai n

Tipe Penutup Lahan

L u as ( h a) Tahun 2000 Tahun 2005

46

hilang setiap tahun akibat konversi lahan adalah 76,770 – 92,124 ton. Hasil penelitian Sumaryanto et al., (2001) menunjukkan bahwa di Jawa Barat sekitar 25% dari lahan sawah yang terkonversi adalah beririgasi teknis/semi teknis, sementara di Jawa Timur mencapai 45%. Peringkat tertinggi lahan sawah yang terkonversi terjadi di wilayah sekitar urban dengan pertumbuhan penduduk dan industri/jasa yang tinggi. Di Jawa Barat, lahan sawah yang banyak mengalami konversi lahan adalah di wilayah Botabek, Jalur Pantura, dan Kabupaten Bandung; sedangkan di Jawa Timur adalah di Gresik, Sidoarjo, Kediri, dan Mojokerto.

Tabel 8. Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005*

Provinsi Tahun 2000 Tahun 2005 Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain (ha) Laju Konversi Lahan (ha/tahun) DKI Jakarta 3,758.25 3,288.46 469.79 94 Banten 248,390.31 247,644.31 746.18 149 Jawa Barat 1,183,466.80 1,154,815.48 28,651.32 5,730 Jawa Tengah 1,075,398.61 1,057,283.08 18,115.53 3,623 Yogyakarta 55,478.30 54,225.87 1,252.43 250 Jawa Timur 1,080,106.72 1,052,571.86 27,534.86 5,507 Total 3,646,599.17 3,569,829.06 76,770.11 15,354

* Sumber data: Poniman dan Nurwadjedi (2008).

Seperti yang dilaporkan oleh Sumaryanto et al. (2001), konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal, pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Selain itu, karena fungsinya secara hidrologis dapat menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir.

Berkurangnya lahan sawah karena konversi lahan bersifat irreversibel. Tidak seperti halnya penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama

dan penyakit tanaman, kekeringan, atau banjir; menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Hampir tidak pernah dijumpai lahan sawah yang telah terkonversi ke penggunaan lain beralih fungsi lagi menjadi lahan sawah. Kerugian yang ditimbulkan oleh konversi lahan tersebut bersifat linier dengan tingkat produktifitas lahan sawah. Semakin tinggi produktifitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya. Kajian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2001) juga menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5-12.5 ton/ha/tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah, yakni ketersediaan air dan kesuburan tanah.

Karena fungsinya sebagai tempat lapangan kerja bagi petani dan pendorong terciptanya banyak lapangan kerja bagi orang lain, hilangnya lahan sawah dapat berdampak negatif bagi kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan yang mengandalkan pada usaha tani padi sawah. Penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto et al. (2001) membuktikan bahwa konversi lahan dapat mengakibatkan masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Mereka umumnya tidak dapat bersaing dengan para pendatang yang memanfaatkan lahan sawah yang terkonversi.

Selain itu, konversi lahan sawah ke penggunaan lain juga berarti memubazirkan nilai investasi yang telah ditanamkan. Menurut Sumaryanto et al. (2001), nilai investasi untuk menghasilkan 1 ha lahan sawah beririgasi teknis beserta sarana pendukungnya semakin mahal seiring dengan makin tingginya harga tanah dan makin sedikitnya sumber air yang potensial. Apabila nilai yang tak terukur (intangible) diperhitungkan, konversi lahan sawah dapat diartikan mencabut budaya usahatani padi yang sejak lama telah diperkenalkan oleh nenek moyang kita. Nilai budaya yang tercabut tersebut berdampak pada perubahan struktur kesempatan kerja bagi petani. Bagi buruh tani (petani gurem), kondisi ini memaksa mereka beralih pekerjaan ke sektor non-pertanian atau dari budaya agraris ke budaya urban. Karena mereka tidak dapat bersaing dalam budaya urban, para buruh tani banyak yang tidak memperoleh kesempatan kerja, akibatnya kriminalitas semakin meningkat.

48

Dokumen terkait