• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.2 Pengolahan Data

Pengolahan data geospasial menggunakan teknologi SIG dan Penginderaan Jauh (Inderaja). Kedua teknologi ini memiliki hubungan erat. Menurut Maguire (1991), teknologi SIG merupakan hasil integrasi dari teknologi Inderaja, katografi, komputer grafis (CAD: Computer Automated Design), dan basisdata (DBMS = database management system). Teknologi Inderaja berfungsi untuk mendukung kemampuan SIG dalam hal pengolahan data dari citra satelit Inderaja. Teknologi kartografi dan komputer grafis mendukung kemampuan SIG dalam visualisasi data. Teknologi basisdata mendukung kemampuan SIG untuk menghimpun dan mengintegrasikan data geospasial dan atribut (diskriptif).

Tabel 9. Jenis data yang digunakan untuk penelitian

Nomor Jenis Data Kegunaan Sumber Keterangan

1 Peta rupabumi Peta dasar BAKOSURTANAL 1: 250.000

1: 25.000 Tahun 2007

2 Peta sistem lahan Evaluasi

kesesuaian lahan

BAKOSURTANAL 1: 250.000

Tahun 2007

3 Peta penutup lahan Identifikasi sebaran

lahan sawah BAKOSURTANAL Interpretasi citra Satelit ALOS 1: 250.000 1:25.000 Tahun 2000-2005

4 SRTM Pembuatan DEM NASA Amerika Resolusi 90 m

Tahun 2000

5 Peta agroklimat Identifikasi

agroklimat

BMG Tipe Oldeman

Periode 1998-2007

6 Peta irigasi Identifikasi kondisi

irigasi

Departemen Pekerjaan Umum

1: 250.000 Tahun 2003

7 Peta pola pemanfaatan

ruang (RTRW) Identifikasi status kawasan Departemen Pekerjaan Umum 1: 250.000 Tahun 2003

8 Peta Kawasan Hutan Identifikasi status

kawasan hutan Departemen Kehutanan 1:250.000 Tahun 2005 9 C-organik tanah N-total P-tersedia K-tersedia Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan

Survei lapangan Analisis

laboratorium

10 Peta status hara P dan

K Indikator biofisik keberlanjutan lahan sawah, evaluasi kesesuaian lahan Puslitanak 1: 250.000 Tahun 2003

11 Ekonomi dan sosial

budaya Indikator keberlanjutan lahan sawah, perumusan kebijakan Survei lapangan BPS Persepsi petani Persepsi birokrat Persepsi pakar Kondisi pertanian padi sawah

Pengolahan data geospasial dengan teknologi SIG memiliki keunggulan dalam mengintegrasikan berbagai data dengan format georeferensi berbeda-beda. Seperti yang dikemukakan oleh Burrough (1986), SIG mempunyai fungsi utama untuk pengumpulan data spasial, penyajian data pada layar monitor (retrieving), transformasi data (manipulasi dan analisis), dan penyajian hasil akhir (output) dalam bentuk peta dan data tabular. Karena berbasis komputer, pengolahan data

geospasial dengan teknologi SIG dan Inderaja dapat dilakukan secara cepat dengan ketepatan yang andal.

3.2.1 Pembuatan Basisdata Geospasial

Pengertian basisdata geospasial tidak jauh berbeda dengan pengertian basisdata umum yang banyak digunakan di sektor perbankan, telekomunikasi, dan lain-lain. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli (Date, 1995; Connoly dan Begg, 2002; Rigaux et al., 2002), pada hakekatnya basisdata merupakan kumpulan berkas (files) dijital yang terorganisasi dan terstruktur yang dirancang untuk tujuan tertentu. Yang membedakan antara basisdata geospasial dan basisdata umum adalah jenis datanya. Pada basisdata geospasial, data yang dikelola adalah data grafis bergeoreferensi, sedangkan pada basisdata umum adalah data tekstual. Walaupun jenis datanya berbeda, tujuan utama kedua jenis basisdata tersebut adalah sama, yaitu untuk menghindari kemubadiran data, upaya berbagai data (data sharing), menjaga konsistensi dan integritas data, serta memudahkan pemutakhiran data.

Basisdata geospasial yang dibangun dalam penelitian ini adalah untuk menghimpun berbagai data geospasial beserta atributnya yang didesain pada sistem referensi nasional (DGN’95) agar data tersebut mudah ditelusur atau

Kartografi Berkomputer

DBMS

CAD Inderaja SIG

Gambar 23. Hubungan teknologi SIG dengan teknologi spasial lainnya (Maguire, 1991)

diakses, ditampilkan kembali, diintegrasikan, dan dianalisis untuk zonasi agroekologi lahan sawah.

Proses pembuatan basisdata geospasial diilustrasikan pada Gambar 24. Pembuatan basisdata geospasial dalam penelitian ini melalui tiga tahap utama, yaitu pemasukan data (input data), proses dalam DBMS, dan keluaran hasil (output). Input data untuk membangun basisdata geospasial zona agroekologi lahan sawah bersumber dari peta analog (peta sistem lahan, peta penutup lahan, kondisi irigasi, status kawasa, dll), data tracking Global Positioning Satellite (GPS), foto digital, dan data tabular (data ekonomi, dan sosial budaya). Input data tersebut dilakukan dengan dijitasi pada layar komputer atau dengan scanner. Kumpulan data (datasets) geospasial yang diproses dalam DBMS tersebut dikelompokkan menjadi kumpulan fitur (feature) dasar dan kumpulan fitur tematik. Kumpulan fitur dasar ini terdiri dari layer perairan (hidrologi), layer komunikasi (jalan raya dan jalan kereta api), layer toponimi (nama sungai, kota, gunung, dll), dan batas wilayah administrasi. Kumpulan fitur tematik terdiri dari layer sistem lahan, agroklimat, penutup lahan, status kawasan, kondisi irigasi, ekonomi dan sosial budaya dalam layer batas wilayah administrasi. Orientasi dari fitur tematik tersebut didasarkan pada fitur dasar.

DBMS adalah kumpulan perangkat lunak (software) yang mengelola struktur dan mengontrol akses yang disimpan dalam basisdata. DBMS ini memfasilitasi fungsi pendefinisian tipe data, struktur, dan kendala yang dihadapi; mengkonstruksi dan menyimpan data, memanipulasi, penelusuran (querying) dan penyajian data tertentu, serta pemutakhiran data (Rigaux et al., 2002).

Proses dalam DBMS mencakup building topologi, penggabungan data geospasial dan atribut. Topologi merupakan model struktur data geospasial dalam bentuk titik (point), garis (line), dan areal atau poligon yang satu sama lain memiliki hubungan geografis. Atribut dari setiap obyek data geografis tersebut digabungkan satu sama lain dengan menggunakan konsep DBMS relasional (Rigaux et al., 2002). Fungsi yang dilaksanakan oleh DBMS ini merupakan proses inti yang ada dalam SIG. Dengan adanya DBMS, semua data atribut yang mendiskripsikan obyek geografis atau fitur dapat digabungkan sehingga terintegrasi dalam satuan kesatuan data yang memiliki informasi yang lengkap.

Produk proses DBMS yang tersimpan dalam basisdata dapat dituangkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk peta kartografis, peta dijital SIG, dan tabel. Dalam penelitian ini, produk basisdata yang dihasilkan terdiri peta zona agroekologi lahan sawah dan daya dukungnya, peta indeks keberlanjutan, dan peta-peta tematik pendukung, seperti peta penutup lahan, peta sistem lahan, peta irigasi,peta status kawasan, agroklimat, dan lain-lain.

3.2.2 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah

Zona agroekologi (ZAE) merupakan konsep pewilayahan yang didasari pada pengertian bahwa komoditi tanaman mempunyai tingkat kesesuaian, sehingga dapat dipilah-pilah berdasarkan perbedaan wilayah dengan skala berbeda-berbeda. Pengertian zona dalam ZAE adalah suatu wilayah yang harus didefinisikan berdasarkan penciri tertentu, yaitu lingkungan pertumbuhan tanaman

Gambar 24 . Proses pembuatan basisdata geospasial lahan sawah

Peta kartografis Data dijital SIG Tabel Data Tabular Basisdata Geospasial Penutup Lahan Sistem Lahan Irigasi Foto GPS

Tracking Peta Analog

Input D a ta P ro ses D B MS O ut put

yang dapat menghasilkan produk dan membawa keuntungan ekonomi (Wiradisastra, 2003). Menurut FAO (1996), delineasi ZAE didasarkan pada kombinasi karakteristik tanah, bentuklahan, dan iklim, yang difokuskan pada persyaratan agroklimat dan edafik pertumbuhan varietas tanaman pangan dan sistem pengelolaan budidayanya. ZAE tersebut menunjukkan pemilahan areal dari lahan menjadi satuan-satuan lebih kecil yang memiliki kesamaan karakteristik untuk kesesuaian lahan, produksi potensial, dan dampak lingkungan. Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa ZAE merupakan salah satu cara untuk menata penggunaan lahan melalui pengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokkan wilayah tersebut bertujuan untuk menetapkan areal pertanian dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan.

Dalam penelitian ini, ZAE lahan sawah didefinisikan sebagai wilayah sistem pertanian persawahan di kawasan budidaya di suatu wilayah yang memiliki kesamaan potensi produksi dan intensitas pertanaman (IP) yang mencerminkan sosial-budaya pola tanam padi sawah. Penentuan kawasan budidaya mengacu pada ketentuan kawasan peruntukan pertanian dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 66 ayat 1 buitr a, yaitu ”kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian”. Kesamaan potensi produksi didasarkan pada kesamaan kelas kesesuaian lahan yang dicerminkan oleh kesamaan persyaratan edafik pertumbuhan varietas tanaman padi sawah, sedangkan kesamaan intensitas pertanaman didasarkan pada kesamaan agroklimat dan kondisi irigasi lahan sawah. Kesamaan intensitas pertanaman ini dikorelasikan dengan budaya lokal (sosial-budaya) petani dalam menerapkan pola tanam padi sawah.

Zonasi agroekologi lahan sawah (ZAELS) menggunakan basismodel SIG. Penggunaan model ini dilatarbelakangi oleh kemampuan teknologi SIG yang dapat mengintegrasikan berbagai data geospasial melalui proses overlay untuk menghasilkan peta sintesis. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 25, proses sintesa ZAELS dengan basismodel SIG dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1)

evaluasi kelayakan faktor biofisik, 2) evaluasi kelayakan status kawasan, dan 3) evaluasi kelayakan sosial-budaya.

Evaluasi kelayakan lingkungan biofisik dimaksudkan untuk menilai potensi lahan dan intensitas pertanaman untuk penanaman padi sawah. Penilaian potensi lahan menggunakan metode kesesuaian lahan yang dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staff (1983). Penilaian dan pendelineasian kesesuaian lahan sawah menggunakan basisdata sistem lahan, sedangkan penilaian intensitas pertanaman berdasarkan pada ketersediaan air yang dianalisis dari basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi.

Penggunaan data sistem lahan untuk mendelineasi kesesuaian lahan sawah didasarkan pada karakteristik sistem lahan yang dapat menunjukkan pola pengulangan kesamaan topografi (bentuklahan), tanah, vegetasi, dan iklim seperti yang dijelaskan oleh Christian dan Stewart (1968). Karena karakteristiknya tersebut, data sistem lahan memiliki keunggulan untuk dapat digunakan mengekstrapolasi data karakteristik lahan dalam hamparan lahan yang luas sehingga pemetaan kesesuaian lahan pada tingkat regional dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pemetaan kesesuaian lahan dengan pendekatan sistem lahan ini, menurut Dent dan Young (1981), tidak mengedepankan klasifikasi tanah, tetapi lebih pada upaya untuk mengklasifikasi lahan dengan mengintegrasikan faktor iklim, geologi, bentuklahan, vegetasi, dan tanah yang mempengaruhi penggunaan lahan. Tingkat akurasi pemetaan tergantung pada intensitas survei

Gambar 25. Proses zonasi agroekologi lahan sawah

Kelayakan Faktor Biofisik Kelayakan Status Kawasan Kelayakan Sosial-budaya Potensi Lahan Intensitas Pertanaman ZAE Lahan Sawah Kawasan Budidaya Sosial-budaya

tanah di lapangan. Tingkat akurasi tersebut ditentukan pada kerapatan sampel tanah yang ada di faset lahan-faset lahan yang merupakan komponen penyusun sistem lahan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 26.

Penggunaan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi untuk analisis ketersediaan air merupakan pilihan yang tepat. Data agroklimat dapat memberikan informasi ketersediaan air secara alami dari curah hujan, sedangkan kondisi irigasi dapat memberikan informasi ketersediaan air secara antropogenik atau rekayasa manusia terhadap sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman padi sawah. Klasifikasi agroklimat Oldeman dimaksudkan untuk memetakan periode bulan basah (curah hujan bulanan lebih dari 200 mm) dan periode bulan kering (curah hujan bulanan kurang dari 100 mm). Klasifikasi panjangnya periode bulan basah dan bulan kering ini sangat penting karena berhubungan dengan kemungkinan penanaman padi (Manan et al. 1980). Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi, pembuatan irigasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan air untuk

Gambar 26. Contoh sistem lahan TGM (Tanggamus): kerucut gunung api dan kaki lereng, yang banyak dijumpai di Jawa (Wall, 1987)

untuk menunjang keberlanjutan sektor pertanian. Oleh karena itu, dengan adanya data agroklimat dan kondisi irigasi, informasi intensitas pertanaman untuk penanaman padi dapat diidentifikasi secara tepat.

Evaluasi status kawasan dimaksudkan untuk mengetahui fungsi kawasan lahan sawah apakah termasuk dalam kawasan budidaya atau non-budidaya (lindung atau permukiman). Penetapan ZAE lahan sawah dalam kawasan budidaya sebagaimana yang telah dikemukakan adalah untuk menjamin status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UUPR Pasal 5 dan Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP-RTRWN Pasal 64).

Dalam prinsip keberlanjutan lahan sawah, kondisi ekonomi, sosial, dan budaya petani perlu dikaji agar usahataninya layak secara ekonomi, manusiawi, dan berkeadilan. Aspek aspek ekonomi, sosial dan budaya yang berperan penting dalam menentukan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah keuntungan, produksi, akses pupuk, adopsi teknologi, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, kearifan lokal, dan lain-lain.

3.2.3 Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah

Sebagai produsen beras, sumberdaya lahan sawah berperan strategis dalam menjaga ketahanan pangan nasional karena beras merupakan makan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagaimana yang telah dikemukakan, pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor utama yang mengakibatkan penyusutan dan degradasi sumberdaya lahan sawah. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi tekanannya terhadap sumberdaya lahan sawah. Tekanan terhadap sumberdaya lahan sawah mengakibatkan kerusakan lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Kerusakan lingkungan biofisik ini diiindikasi telah terjadi di Jawa karena produktivitas lahan sawah telah mengalami kejenuhan atau pelandaian (Adiningsih et al., 2004) sebagai akibat dari penggunaan lahan sawah yang telah berlangsung lama dan sangat intensif dengan penerapan pupuk agrokimia. Kerusakan lingkungan ekonomi dan sosial- budaya disebabkan oleh penyusutan lahan sawah karena konversi lahan sawah menjadi non-pertanian. Bagi pemilik lahan, beralih fungsinya lahan sawah

menjadi non-pertanian tersebut kemungkinan tidak menjadi masalah karena mereka mendapatkan ganti rugi. Sebaliknya bagi petani penggarap atau buruh tani yang mendominasi petani di Jawa menjadi tertekan hidupnya karena dapat mengakibatkan pengangguran. Sebagai akibatnya, para petani penggarap atau buruh tani migrasi ke kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain. Karena pada umumnya mereka berpendidikan rendah, mereka sulit memperoleh pekerjaan atau menjadi pengangguran di kota karena mereka tidak memiliki ketrampilan. Fenomena ini menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, kriminitalitas, prostitusi, dan lain-lain. Soemarwoto (2008) menjelaskan bahwa tingginya urbanisasi, menurunnya sanitasi, timbulnya banjir, erosi, tingginya tingkat krimininalitas, pengangguran, kemiskinan, perbudakan dan prostitusi yang banyak terjadi di kota-kota besar di Jawa merupakan indikasi daya dukung lahannya telah terlampaui. Terjadinya kerusakan lingkungan baik fisik maupun sosial-budaya tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya lahan tidak mampu lagi untuk menopang kebutuhan hidup manusia secara layak karena peningkatan jumlah penduduk. Kemampuan sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti yang diilustrasikan tersebut didefinisikan sebagai daya dukung lahan.

Dalam penelitian ini, penghitungan daya dukung lahan sawah diarahkan untuk mengetahui tingkat kemampuan sumberdaya lahan sawah dalam memenuhi kebutuhan beras agar permasalahan yang mengancam ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras dapat diantisipasi sedini mungkin. Pada daya dukung lahan sawah, kemampuan sumberdaya lahan sawah untuk memproduksi padi (beras) ditentukan oleh kualitas lahan seperti kesuburan tanah dan ketersediaan air yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Kebutuhan beras ditentukan oleh jumlah penduduk di setiap wilayah dan konsumsi beras yang diskenariokan.

Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan sawah di suatu wilayah telah terlampaui, suplai beras yang diproduksi di setiap zona agroekologi lahan sawah dibandingkan dengan kebutuhan beras yang diperlukan penduduk di setiap wilayah setiap tahun. Penilaian tingkat daya dukung didasarkan pada besarnya nilai rasio antara suplai beras terhadap kebutuhan beras. Model penghitungan daya dukung lahan sawah tersebut mengasumsikan faktor-faktor yang

mempengaruhinya seperti konversi lahan, produktivitas, dan kualitas suberdaya lahan sawah dalam kondisi tetap (sateris paribus). Dalam hal ini, daya dukung lahan sawah hanya merupakan fungsi dari jumlah penduduk sebagai pemicu utama ancaman kepunahan lahan sawah.

Tingkat daya dukung lahan sawah diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kondisi berlanjut (sustainable), bersyarat (conditional), dan terlampaui (overshoot). Daya dukung lahan sawah dinilai berlanjut apabila nilai daya dukung lebih besar dari 2. Kondisi bersyarat apabila nilai daya dukung antara 1 dan 2. Kondisi terlampaui apabila nilai daya dukung kurang dari 1. Nilai daya dukung lebih dari 2 berarti terdapat cadangan beras untuk pemenuhan kebutuhan beras minimal selama satu tahun. Nilai daya dukung antara 1 dan 2 berarti produksi beras sesuai dengan kebutuhannya atau pas-pasan. Nilai daya dukung kurang dari 1 berarti produksi beras mengalami defisit. Penilaian daya dukung lahan tersebut cukup rasional dan sederhana untuk diimplementasikan dalam rangka mendeteksi status kualitas lingkungan lahan sawah di suatu wilayah.

Dokumen terkait