• Tidak ada hasil yang ditemukan

 

Bahan-bahan yang digunakan ialah daun kayu manis 13 spesies (C. burmanii, C. camphora, C. iners, C. multiflorum, C. cassia, C. celebicum, C. rhyncophyllum, C. porrectum, C. javanicum, C. grandiflorum, C.

akan berubah dan memengaruhi aroma yang dihasilkan.

Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS)

Kromatografi gas spektroskopi massa (GCMS) mengombinasikan peralatan kromatografi gas-cair dengan spektroskopi massa. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan komponen organik atsiri dan semiatsiri dalam campuran yang kompleks. Selain itu, metode ini dapat menentukan bobot molekul dan komposisi dasar, serta struktur komponen organik yang tidak diketahui dengan mencocokkan spektrum dengan spektrum rujukan dan menginterpretasinya.

Metode ini telah lama digunakan untuk analisis minyak atsiri. Komponen minyak atsiri juga dapat diidentifikasi dengan kombinasi GC dengan detektor ionisasi nyala (FID) dan penentuan indeks bias, atau GC dengan deteksi unsur selektif. Identifikasi komponen minyak atsiri dengan GCMS didasarkan pada data spektrum massa dan waktu retensi, menggunakan screener library

(David et al. 2002).

Spektroskopi massa menyediakan informasi struktur lengkap untuk hampir semua komponen yang dapat diidentifikasi secara tepat, namun tidak dapat memisahkannya. Pada aplikasinya, spektrum komponen diterima oleh MS setelah keluar dari kolom GC, dan kemudian terfragmentasi menjadi bentuk ionnya (Skoog et al. 1998).

Kombinasi 2 teknik ini berkembang setelah perkembangan GC pada pertengahan 1950. GCMS digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis kromatogram GC dan spektrum massa dari masing-masing puncak kromatogram tersebut. Analisis kuantitatif dapat dilakukan berdasarkan area puncak atau dari pemantauan ion selektif. Namun, dengan cara kedua ini MS tidak dapat menganalisis massa keseluruhan. Instrumen akan berpindah dari massa terpilih ke massa yang lain. Keuntungan pendekatan ini adalah efisiensi waktu, nisbah sinyal dan derau dapat dikurangi, dan meningkatnya kepekaan (Skoog et al. 1998).

Crocidolomia pavonana

 

C. pavonana merupakan salah satu hama umum tanaman famili Brassicaceae (kubis-

kubisan) yang dikenal dengan nama ulat krop kubis. Hama ini bersifat oligofag, tersebar di Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan di Pasifik, serta menyerang tanaman pada fase vegetatif dan generatif (Kalshoven 1981). Serangan hama ini bersama P. xylostella dapat menurunkan produksi hingga 100% pada musim kemarau (Rukmana 2001).

Metamorfosis ulat ini sampai mencapai pupa membutuhkan waktu ±27 hari, dengan siklus hidup ±4 minggu. Telur ulat yang berwarna kehijauan tersusun secara tumpang tindih pada permukaan bawah daun. Larva terdiri dari 5 instar, dengan instar awal hidup berkelompok di sekitar tempat telur diletakkan. Pada tahap selanjutnya instar masuk ke dalam krop dan memakan bagian dalamnya, namun apabila tanaman kubis belum membentuk krop, larva lebih suka makan bagian pucuk. Pupa terbentuk dalam tanah dalam kokon yang terbuat dari benang sutera dan butiran tanah, sedangkan imago berwarna putih kelabu dengan sepasang bercak cokelat pada sayap depan, dan bersifat nokturnal.

Pengendalian hama ulat kubis ini umumnya menggunakan pestisida sintetik. Namun, penggunaan pestisida dalam menekan populasi hama dengan cepat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan introduksi musuh alami (parasitoid) seperti Inareolata argentopilosa dan Stnermia incospianoides (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Namun, pengendalian ini belum dapat menekan populasi hama secara efektif. Insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang cukup aman dan sesuai konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Beberapa penelitian telah melaporkan adanya aktivitas insektisida terhadap hama C. pavonana, antara lain dari ekstrak biji Aglaia harmsiana (Meliaceae), ranting Dysoxylum acutangulum (Meliaceae), biji D. mollissimum

(Meliaceae), serta daun Tephrosia vogelii

(Leguminosae) (Abizar & Prijono 2010, Prijono 2005b, Wiyantono et al. 2001).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat  

Bahan-bahan yang digunakan ialah daun kayu manis 13 spesies (C. burmanii, C. camphora, C. iners, C. multiflorum, C. cassia, C. celebicum, C. rhyncophyllum, C. porrectum, C. javanicum, C. grandiflorum, C.

subavenium, C. sintoc, C. verum) yang di peroleh dari Kebun Raya Bogor, minyak atsiri kulit kayu manis C. burmanii, minyak atsiri C. cassia komersial, minyak mimba, akuades, Na2SO4 anhidrat, heksana, metanol, dan Tween-80.

Alat-alat yang digunakan ialah radas distilasi uap air, GCMS Agilent GC-MSD 5975s, vial kaca (diameter 1.5 cm X 4 cm), pipet mikro, cawan petri, dan alat kaca yang lazim digunakan di laboratorium.

Metode Penelitian  

Metode penelitian ini terdiri atas tahap penapisan, uji pendahuluan, dan uji lanjutan. Tahap penapisan diawali dengan distilasi sampel daun dan pengujian minyak atsiri untuk memperoleh minyak dengan aktivitas tertinggi, serta pengujian fitotoksisitas. Tahap kedua adalah uji aktivitas insektisida pendahuluan dan lanjutan. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Lampiran 1. Distilasi Sampel (Ketaren 1985)

 

Sampel daun kayu manis dari 13 spesies dikering-anginkan selama 7 hari (Wuri et al.

2004). Sampel sebanyak 800–1500 g ditimbang lalu diletakkan di atas piringan berupa ayakan yang terletak beberapa cm di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Sampel kemudian didistilasi dengan menggunakan alat distilasi uap air selama 6–7 jam pada suhu 90–100 °C. Uap dari ketel mengalir ke kondensor, dan mengalami kondensasi, dan kondensat masuk ke dalam pipa. Air dan minyak akan terpisahkan dan dikeluarkan melalui cerat. Minyak yang diperoleh ditambahkan Na2SO4 anhidrat untuk menyerap sisa air yang ada.

Penetapan Kadar Air (AOAC 1990) Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C sampai bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan terhadap semua bahan sebelum distilasi, dihitung dengan rumus berikut: awal bobot akhir bobot awal Bobot air Kadar  

Analisis Sifat Fisik Minyak Atsiri

Analisis fisika dilakukan dengan menganalisis warna, kejernihan, rendemen

berdasarkan bobot kering dan bobot basah, serta indeks bias.

Analisis GCMS (Vogler & Setzer 2006) Minyak atsiri dianalisis dengan GCMS Agilent GC-MSD 5975s yang dilengkapi kolom Hewlett-Packard 5MS (30 m X250 µm X 0.25 µm), dan gas pembawa helium. Suhu injektor 250 °C, kondisi oven diatur suhu awalnya 60 °C selama 5 menit kemudian dinaikkan 4 °C/menit sampai 240 °C selama 5 menit. Volume injeksi 2 μL dan split flow

1:30. Spektrum massa masing-masing puncak hasil analisis GC-MS selanjutnya diidentifikasi dengan spektrum massa senyawa yang telah diketahui pada basis data pustaka Wiley7n.L.

Uji Aktivitas Insektisida (Dadang & Prijono 2005)

Uji Penapisan. Minyak atsiri hasil distilasi 13 spesies dilarutkan dalam campuran metanol:Tween-80 (5:1) sampai konsentrasi 1% (b/v). Pakan berupa daun brokoli dipotong-potong berbentuk bujur sangkar (4 cm X 4 cm). Setiap daun dicelupkan ke dalam masing-masing larutan tersebut ±5 detik hingga basah merata lalu ditiriskan. Daun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang beralaskan tisu, kemudian 15 larva instar II C. pavonana

yang telah berganti kulit dimasukkan ke dalam cawan tersebut. Kontrol negatif ialah pakan yang dicelupkan ke dalam pelarut metanol:Tween-80 (5:1) sebanyak 1.2 mL dalam 100 mL. Setiap perlakuan diulangi 6 kali. Perlakuan terhadap ulat dilakukan selama 2 X 24 jam. Setelah 24 jam, pakan ditambah dengan daun brokoli baru yang telah dicelupkan pada minyak atsiri uji. Pengamatan dilakukan pada 48 jam setelah perlakuan (JSP) disertai dengan penggantian pakan dengan daun tanpa pencelupan terhadap minyak atsiri uji kemudian diamati sampai hari ketiga. Jumlah ulat yang mati dicatat.

Perhitungan kematian terkoreksi ulat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% 100 100 Kematian %     Po Pc Po

Po= % kematian kumulatif pada perlakuan, Pc

= % kematian kumulatif pada kontrol (Perry

et al. 1998).

Uji Pendahuluan. Minyak atsiri dari spesies yang memberikan persen kematian tinggi serta tidak menimbulkan fitotoksisitas diujikan kembali dengan konsentrasi tertentu.

Minyak atsiri ditimbang dan ditambahkan campuran metanol:Tween-80 dalam labu takar 25 mL dan ditera dengan akuades. Konsentrasi akhir campuran metanol:Tween- 80 dalam larutan adalah 1.2% (v/v), sedangkan konsentrasi minyak atsiri dibuat 1, 0.50, dan 0.01% (v/v). Daun pakan dipotong seragam dicelupkan ke dalam larutan pada konsentrasi yang telah dibuat sebelumnya, ditiriskan hingga pelarut kering, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang diberi alas tisu. Sebanyak 15 ekor larva C. pavonana

instar II yang telah berganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Penambahan pakan dengan daun brokoli yang telah dicelupkan minyak atsiri uji dilakukan setelah 24 JSP, dan diganti dengan daun tanpa minyak atsiri uji setelah 48 JSP. Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat yang mati dan yang hidup setelah 48 JSP dan sampai hari yang ketiga.

Uji Lanjutan. Konsentrasi minyak atsiri yang cukup efektif pada uji tersebut, yaitu mengakibatkan kematian ≥50% diuji lebih lanjut pada 6 taraf konsentrasi dengan pengulangan sebanyak 6 kali. Cara pengujian yang dilakukan sama seperti pada uji pendahuluan dengan pengamatan kematian serta perkembangan larva setiap 24 jam sekali sampai larva mencapai instar IV. Data kematian kumulatif kemudian diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO- PC (LeOra Software 1987).

Uji Fitotoksisitas

Bibit brokoli yang berusia 3 minggu disiapkan. Larutan minyak atsiri dari 13 spesies serta kontrol disiapkan dengan konsentrasi 1% kemudian diaplikasikan pada bibit brokoli dengan cara disemprotkan pada beberapa lembar daun pada bibit tersebut. Pengamatan dilakukan pada hari kedua sampai hari ketujuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait