Perlakuan pendahuluan untuk daun
Cinnamomum spp. yang digunakan
(Lampiran 2) adalah pelayuan atau pengeringan dengan metode kering angin. Pengeringan ini bertujuan menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga mempercepat dan mempermudah proses ekstraksi. Pada proses pengeringan, minyak atsiri akan berdifusi dan akhirnya dapat
menguap (Ketaren 1985). Metode ini dipilih untuk menghindari penguapan berlebihan fraksi minyak atsiri tersebut.
Distilasi dilakukan dengan uap air. Uap akan berpenetrasi secara merata ke jaringan bahan, dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 °C. Distilasi dilakukan selama ±6 jam, laju distilasi berpengaruh terhadap perolehan minyak, namun tidak terhadap mutu minyak (Ketaren 1985). Dalam proses ini akan diperoleh campuran azeotrop, yaitu campuran yang komposisi fase uapnya sama dengan fase cairnya (Distantina 2009). Karena itu, pada proses distilasi, uap minyak akan bercampur dengan uap air dan terkondensasi secara bersamaan tanpa memengaruhi komposisi minyak tersebut. Distilasi uap air lebih baik dibandingkan dengan distilasi air karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan sehingga rendemen yang dihasilkan lebih besar (Ketaren 1985).
Perhitungan rendemen ekstrak hasil distilasi didasarkan pada bobot basah dan bobot kering (Lampiran 3). Koreksi kadar air sampel ditetapkan sebelum distilasi. Penetapan kadar air dimaksudkan untuk mengetahui bobot mutlak bahan (kadar air 0%). Berdasarkan bobot kering, rendemen minyak atsiri berkisar antara 0.08 dan 1.60%.
Terlihat pada Gambar 3, rendemen tertinggi diperoleh dari daun C. burmanii, C. camphora, C. multiflorum, dan C. verum
berturut-turut 0.84, 1.36, 1.39, dan 1.60%.
Rendemen ini dapat dipengaruhi oleh faktor luar antara lain perlakuan sebelum distilasi seperti pengeringan yang mengakibatkan hilangnya minyak atsiri (Ketaren 1985), kadar air bahan yang berkaitan dengan lamanya proses pengeringan, sifat fisik/ketebalan daun yang memengaruhi aliran uap selama distilasi serta proses distilasi yang digunakan.
Pada daun yang lebih tebal, proses hidrofusi, yaitu ekstraksi minyak dari sel kelenjar pada suatu jaringan tanaman, akan lebih lama. Rendahnya nilai rendemen tentunya juga dapat dikarenakan kecilnya produksi minyak dalam spesies tersebut.
Warna minyak yang dihasilkan pada saat proses distilasi dipengaruhi oleh kondisi daun, beragam dari kuning kehijauan sampai kuning kecokelatan (Tabel 1). Unsur yang mengandung aroma dari tumbuhan terbentuk dalam kloroplas daun dalam bentuk glikosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan enzim glikosidase yang membebaskan minyak atsiri (Harris 1991).
Minyak atsiri ditimbang dan ditambahkan campuran metanol:Tween-80 dalam labu takar 25 mL dan ditera dengan akuades. Konsentrasi akhir campuran metanol:Tween- 80 dalam larutan adalah 1.2% (v/v), sedangkan konsentrasi minyak atsiri dibuat 1, 0.50, dan 0.01% (v/v). Daun pakan dipotong seragam dicelupkan ke dalam larutan pada konsentrasi yang telah dibuat sebelumnya, ditiriskan hingga pelarut kering, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang diberi alas tisu. Sebanyak 15 ekor larva C. pavonana
instar II yang telah berganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Penambahan pakan dengan daun brokoli yang telah dicelupkan minyak atsiri uji dilakukan setelah 24 JSP, dan diganti dengan daun tanpa minyak atsiri uji setelah 48 JSP. Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat yang mati dan yang hidup setelah 48 JSP dan sampai hari yang ketiga.
Uji Lanjutan. Konsentrasi minyak atsiri yang cukup efektif pada uji tersebut, yaitu mengakibatkan kematian ≥50% diuji lebih lanjut pada 6 taraf konsentrasi dengan pengulangan sebanyak 6 kali. Cara pengujian yang dilakukan sama seperti pada uji pendahuluan dengan pengamatan kematian serta perkembangan larva setiap 24 jam sekali sampai larva mencapai instar IV. Data kematian kumulatif kemudian diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO- PC (LeOra Software 1987).
Uji Fitotoksisitas
Bibit brokoli yang berusia 3 minggu disiapkan. Larutan minyak atsiri dari 13 spesies serta kontrol disiapkan dengan konsentrasi 1% kemudian diaplikasikan pada bibit brokoli dengan cara disemprotkan pada beberapa lembar daun pada bibit tersebut. Pengamatan dilakukan pada hari kedua sampai hari ketujuh
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Sifat FisikPerlakuan pendahuluan untuk daun
Cinnamomum spp. yang digunakan
(Lampiran 2) adalah pelayuan atau pengeringan dengan metode kering angin. Pengeringan ini bertujuan menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga mempercepat dan mempermudah proses ekstraksi. Pada proses pengeringan, minyak atsiri akan berdifusi dan akhirnya dapat
menguap (Ketaren 1985). Metode ini dipilih untuk menghindari penguapan berlebihan fraksi minyak atsiri tersebut.
Distilasi dilakukan dengan uap air. Uap akan berpenetrasi secara merata ke jaringan bahan, dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 °C. Distilasi dilakukan selama ±6 jam, laju distilasi berpengaruh terhadap perolehan minyak, namun tidak terhadap mutu minyak (Ketaren 1985). Dalam proses ini akan diperoleh campuran azeotrop, yaitu campuran yang komposisi fase uapnya sama dengan fase cairnya (Distantina 2009). Karena itu, pada proses distilasi, uap minyak akan bercampur dengan uap air dan terkondensasi secara bersamaan tanpa memengaruhi komposisi minyak tersebut. Distilasi uap air lebih baik dibandingkan dengan distilasi air karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan sehingga rendemen yang dihasilkan lebih besar (Ketaren 1985).
Perhitungan rendemen ekstrak hasil distilasi didasarkan pada bobot basah dan bobot kering (Lampiran 3). Koreksi kadar air sampel ditetapkan sebelum distilasi. Penetapan kadar air dimaksudkan untuk mengetahui bobot mutlak bahan (kadar air 0%). Berdasarkan bobot kering, rendemen minyak atsiri berkisar antara 0.08 dan 1.60%.
Terlihat pada Gambar 3, rendemen tertinggi diperoleh dari daun C. burmanii, C. camphora, C. multiflorum, dan C. verum
berturut-turut 0.84, 1.36, 1.39, dan 1.60%.
Rendemen ini dapat dipengaruhi oleh faktor luar antara lain perlakuan sebelum distilasi seperti pengeringan yang mengakibatkan hilangnya minyak atsiri (Ketaren 1985), kadar air bahan yang berkaitan dengan lamanya proses pengeringan, sifat fisik/ketebalan daun yang memengaruhi aliran uap selama distilasi serta proses distilasi yang digunakan.
Pada daun yang lebih tebal, proses hidrofusi, yaitu ekstraksi minyak dari sel kelenjar pada suatu jaringan tanaman, akan lebih lama. Rendahnya nilai rendemen tentunya juga dapat dikarenakan kecilnya produksi minyak dalam spesies tersebut.
Warna minyak yang dihasilkan pada saat proses distilasi dipengaruhi oleh kondisi daun, beragam dari kuning kehijauan sampai kuning kecokelatan (Tabel 1). Unsur yang mengandung aroma dari tumbuhan terbentuk dalam kloroplas daun dalam bentuk glikosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan enzim glikosidase yang membebaskan minyak atsiri (Harris 1991).
0.84 0.30 1.36 0.21 0.34 0.24 0.08 0.31 1.39 0.13 0.44 0.25 0.13 1.60 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 R en d em en ( % )
BND BNK CMP CAS CLB GRF INR JAV MLF PRC RHY STC SBV VRM
Bobot kering Bobot basah
Gambar 3 Rendemen minyak atsiri daun Cinnamomum spp. ( BND: C. burmanii daun, BNK: C. burmanii kayu, CMP: C. camphora, CAS: C. cassia, CLB: C. celebicum, GRF: C grandiflorum, INR: C. iners, JAV: C. javanicum, MLF: C. multiflorum, PRC: C. porrectum, RHY: C. rhynchophyllum, STC: C. sintoc, SBV: C. subavenium, VRM: C.
verum).
Indeks bias merupakan salah satu sifat optik yang lazim digunakan untuk menentukan mutu dan kemurnian suatu bahan. Diperoleh kisaran nilai indeks bias 1.4741– 1.5570 (Tabel 1). Hasil tersebut berbeda dengan indeks bias minyak daun kayu manis
asal Ceylon yang dianalisis oleh Gildemeister dan Hoffman yang berkisar 1.531 1.540 (20 °C) (Guenther 1990). Hal ini disebabkan perbedaan lokasi tumbuh dan perbedaan kandungan dari minyak atsiri tersebut.
Tabel 1 Hasil pengukuran indeks bias dan warna minyak atsiri dari 15 jenis sampel Cinnamomum
spp
No Sampel Indeks
bias Warna Intensitas warna
1 C. burmanii daun 1.5543 Kuning kecokelatan ++++ 2 C. burmanii kayu 1.5071 Kuning kecokelatan +++++
3 C. camphora 1.4741 Kuning kecokelatan ++++
4 C. cassia 1.5761 Kuning kecokelatan +++++
5 C. cassia komersial 1.5570 Kuning kecokelatan ++++++
6 C. celebicum 1.5351 Kuning kehijauan +++
7 C. grandiflorum 1.4952 Kuning kehijauan ++
8 C. iners 1.4850 Kuning kecokelatan +++++
9 C. javanicum 1.5502 Kuning kecokelatan +++
10 C. multiflorum 1.5253 Kuning kehijauan +
11 C. porrectum 1.5014 Kuning kehijauan ++++
12 C. rhynchophyllum 1.4759 Kuning kehijauan +++
13 C. sintoc 1.5351 Kuning kehijauan ++++
14 C. subavenium 1.4854 Kuning kehijauan +++
15 C. verum 1.5351 Kuning kecokelatan ++++++
Keterangan : + : hijau seulas ++++ : cokelat seulas ++ : sedikit hijau +++++ : cokelat pudar +++ : hijau muda ++++++ : cokelat muda
Uji Fitotoksisitas
Aplikasi insektisida nabati di lapangan tidak hanya berakibat pada hama, namun dapat memengaruhi pula tanaman tempat hama berada. Efek merusak pada tanaman yang terpajan disebut fitotoksisitas. Zat-zat nonpolar yang berwujud minyak dalam ekstrak kasar sering kali bersifat fitotoksik dengan merusak lapisan lilin kutikula daun atau membran sel (Prijono 2005a).
Efek fitotoksik terlihat dengan gejala daun tampak melepuh di bagian epidermis (nekrosis), warna kecokelatan, mongering, dan akhirnya meninggalkan bercak putih pada daun. Hasil pengujian menunjukkan pada konsentrasi 1% gejala fitotoksisitas tidak terlihat pada C. burmanii kayu, C. camphora, C. javanicum, C. multiflorum, C. rhyn- chophyllum, dan C. subavenium, namun pada 10 sampel lain terlihat gejala fitotoksik (Tabel 2). Pada hari pertama setelah pemberian perlakuan, fitotoksisitas terlihat dengan gejala daun mulai melepuh. Beberapa hari kemudian epidermis mulai terpisah dan setelah 3 hari, terlihat bercak putih (Lampiran 5).
Tabel 2 Gejala fitotoksisitas pada bibit brokoli yang diberi perlakuan minyak atsiri Cinnamomum spp. 1% (b/v)
Sampel Gejala
C. burmanii daun Sedikit melepuh
C. burmanii kayu Normal
C. cassia Bercak melepuh,
epidermis terpisah, muncul bercak putih
C. campora Normal
C. celebicum Bercak (melepuh)
C. gradiflorum Bercak (melepuh)
C. iners Bercak (melepuh)
C. javanicum Normal
C. multiflorum Normal
C. porrectum Bercak melepuh, epidermis terpisah, muncul bercak putih
C. rhynchophyllum Normal
C. sintoc Bercak melepuh,
epidermis terpisah, muncul bercak putih
C. subavenium Normal
C. verum Bercak melepuh,
bercak putih merata di tiap daun
Kerusakan terparah terjadi pada perlakuan minyak atsiri uji C. verum. Pada konsentrasi
1%, daun mengalami nekrosis pada hari kedua yang kemudian disusul dengan munculnya bercak putih hampir merata pada setiap daun uji, sedangkan pada sampel lain kerusakan tidak merata dan jumlah bercak putih hanya sedikit
Permukaan daun tanaman brokoli ditutupi oleh lapisan malam (wax) (Dono 2004). Lapisan pada kutikula daun inilah yang dirusak oleh keberadaan komponen nonpolar seperti minyak atsiri yang juga dapat merusak membran sel daun. Gejala fitotoksisitas yang ditimbulkan hanya bersifat lokal (semisistemik). Ekstrak hanya diserap oleh jaringan tanaman khususnya daun, tetapi tidak atau hanya sedikit ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (Djojosumarto 2008). Telah dibuktikan bahwa pucuk daun yang tumbuh setelah pemberian perlakuan terhadap tanaman dapat tumbuh normal. Hanya bagian daun yang diberi perlakuan mengalami gejala fitotoksisitas
Aktivitas Insektisida
Untuk mengetahui potensi minyak atsiri daun kayu manis sebagai insektisida nabati pada penelitian ini, dilakukan uji aktivitas insektisida yang meliputi uji mortalitas dan pengaruh ekstrak terhadap perkembangan larva. Uji dilakukan terhadap larva C. pavonana instar II. Instar merupakan salah satu tahapan perkembangan dalam metamorfosis yang ditandai dengan pergantian kulit larva.
Instar II dipilih karena pada fase ini larva sangat aktif, mulai makan banyak (rakus), dan menyebabkan kerusakan yang berat terhadap inangnya. Digunakan instar yang baru saja berganti kulit dan belum sempat memakan daun. Pada saat proses pergantian kulit larva cenderung tidak memakan daun (puasa). Karena itu, saat proses tersebut selesai merupakan waktu yang tepat untuk memberi pakan yang telah diberi perlakuan minyak atsiri uji.
Uji mortalitas pendahuluan (penapisan) dilakukan dengan menguji 15 jenis minyak atsiri pada konsentrasi 1% (b/v). Pengujian ini bertujuan mengetahui spesies Cinnamomum
spp. yang memberikan aktivitas insektisida paling efektif. Uji mortalitas menunjukkan bahwa minyak atsiri dari C. celebicum, C. multiflorum, C sintoc, dan C. verum
mempunyai aktivitas berturut-turut 21.45, 93.65, 60.30, dan 76.10% pada 48 JSP dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan setelah 72 JSP (Gambar 4). Minyak atsiri uji
dari keempat spesies tersebut memberikan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan 11 minyak atsiri uji lainnya yang hanya memberikan mortalitas ≤8.15% sehingga dianggap kurang toksik terhadap larva C. pavonana.
Berdasarkan daya bunuh yang terjadi pada 48 JSP, diketahui bahwa efek minyak atsiri bekerja secara cepat, dengan kematian cenderung konstan seiring lamanya waktu perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh cara masuknya racun serta mekanisme kerja minyak atsiri yang diduga sebagai racun saraf dengan mengganggu neuromodulator oktopamin dalam tubuh serangga target (Kostyukovsky et al. 2002). Minyak atsiri bekerja dengan menekan aktivitas sistem saraf, yaitu reseptor asam butirat –amino (GABA) sehingga menyebabkan hiper- aktivitas saraf maupun menyebabkan paralisis (kelumpuhan) (Djojosumarto 2006, Priestly et al. 2003).
Volatilitas minyak astiri yang besar oleh karena kandungan monoterpena yang tinggi, menyebabkan minyak atsiri dapat berperan sebagai fumigan (racun inhalasi), yaitu racun yang bekerja melalui sistem pernafasan (Kim
et al. 2003). Minyak atsiri masuk kefdalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan dan selanjutnya ditransportasikan ke tempat racun
tersebut bekerja seperti pada sistem saraf. Buckle (1999) melaporkan adanya interaksi yang cepat dari komponen aroma minyak atsiri saat dihirup. Senyawa dalam minyak tersebut secara cepat berinteraksi dengan sistem saraf pusat dan langsung merangsang sistem olfaktori. Adanya aroma dari minyak atsiri juga ada yang memengaruhi aktivitas lokomotorik (Buchbauer et al. 1991).
Pengaruh Minyak Atsiri Terpilih terhadap Mortalitas dan Perkembangan
Larva C. pavonana
Pengujian lanjutan dilakukan terhadap jenis minyak atsiri yang tidak meracuni tanaman dan memberikan persentase kematian yang tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, minyak atsiri dari spesies C. multiflorum dipilih untuk diuji lebih lanjut. Uji pendahuluan juga dilakukan pada C. multiflorum untuk menentukan rentang konsentrasi yang diharapkan dapat mematikan serangga uji antara 0% dan 100% (Dadang & Prijono 2005). Hasil uji pendahuluan disajikan pada Lampiran 6, dengan persen mortalitas pada konsentrasi 0.5% mencapai ≤100%. 0 0 0.05 1.70 2.80 12.67 31.55 0 4.70 1.65 93.65 1.15 4.45 63.65 14.60 76.10 0 20 40 60 80 100 M o r ta lit a s ( % )
kontrol BND BNK CMP CAS CASK CLB GRF INR JAV MLF PRC RHY STC SBV VRM
48 JSP 72 JSP
Gambar 4 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan 15 jenis minyak atsiri Cinnamomum spp.
(BND: C. burmanii daun, BNK: C. burmanii kayu, CMP: C. camphora, CAS: C. cassia, CASK: C. cassia komersial, CLB: C. celebicum, GRF: C. grandiflorum, INR:
C. iners, JAV: C. javanicum, MLF: C. multiflorum, PRC: C. porrectum, RHY: C. rhynchophyllum, STC: C. sintoc, SBV: C. subavenium, VRM: C. verum).
Hasil pengujian lanjutan minyak atsiri C. multiflorum pada 6 taraf konsentrasi memberikan tingkat kematian pada 24 JSP dan meningkat pada 48 JSP (Gambar 5). Peningkatan kematian larva tidak terjadi lagi setelah 48 JSP, yaitu setelah pergantian daun tanpa perlakuan (bebas minyak atsiri uji). Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana
tersebut menunjukkan bahwa bahwa senyawa aktif dalam minyak atsiri C. multiflorum
bekerja relatif cepat, sehingga kematian lebih banyak terjadi pada instar II, yaitu sebelum instar mengalami pergantian kulit menuju fase berikutnya (Lampiran 7 & 8).
0 20 40 60 80 100 24 48 72 M o r ta lit a s ( % ) Waktu pengamatan (JSP) Kontrol 0.15% 0.23% 0.31% 0.39% 0.47% 0.55%
Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan minyak atsiri daun C. multiflorum.
Gambar 5 memperlihatkan mortalitas yang meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi minyak atsiri uji. Keefektifan membunuh larva terlihat pada konsentrasi 0.31−0.55%, sedangkan konsentrasi 0.15 dan 0.23% belum cukup efektif. Nilai konsentrasi tersebut dapat disebut konsentrasi toleransi, yaitu batas konsentrasi yang masih dapat ditoleransi oleh serangga (Dadang & Prijono 2005).
Mortalitas larva C. pavonana pada konsentrasi 0.55% mencapai 75 hingga 96%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak atsiri C. multiflorum berpotensi baik sebagai insektisida nabati. Dadang & Prijono (2005) menyatakan bahwa insektisida nabati yang diekstraksi dengan pelarut organik memiliki potensi yang baik apabila pada konsentrasi
≤1% sudah dapat mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥80%.
Aktivitas insektisida minyak atsiri C. multiflorum juga dibandingkan dengan aktivitas insektisida minyak mimba
(Azadirachta indica, famili Meliaceae) pada 6 taraf konsentrasi. Mimba merupakan salah satu sumber insektisida botani berbahan aktif azadiraktin yang telah banyak diproduksi di India dan beberapa produk komersial insektisida telah terdaftar pada Komisi Pestisida (Prijono 2005a).
Berbeda dengan minyak atsiri C.
multiflorum yang cenderung memiliki efek mortalitas yang cepat, mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan minyak mimba baru mulai terjadi pada hari kedua perlakuan dan meningkat hingga hari ke-11 pada konsentrasi 0.20−0.60% (Gambar 6). Konsentrasi terendah (0.10%) tidak memberi peningkatan mortalitas yang cukup signifikan.
0 20 40 60 80 100 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 M o r ta lita s ( % ) Waktu pengamatan (JSP) kontrol 0.10% 0.20% 0.30% 0.40% 0.50% 0.60%
Gambar 6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan minyak mimba.
Mortalitas larva instar III akibat perlakuan minyak mimba ditemukan lebih banyak daripada instar II. Kematian larva instar II berkisar 1−36%, sedangkan kematian instar III berkisar 4−85% (Lampiran 7). Pada konsentrasi 0.60%, mortalitas larva instar II ditemukan pada hari kedua hingga hari ke-6 pengamatan, sebesar 36.67%. Sementara pada konsentrasi 0.20−0.40% mortalitas larva instar II hanya terjadi sampai hari ke-3 dan ke-4. Mortalitas instar III mulai terjadi pada hari ke- 4 dan terus meningkat hingga akhir pengamatan (hari ke-14). Mortalitas instar III lebih banyak ditemukan pada konsentrasi 0.40%, kemudian diikuti oleh konsentrasi 0.50, 0.30, 0.20, dan 0.60%.
Minyak atsiri uji C. multiflorum
memberikan efek yang seketika saat pengujian. Hal tersebut terlihat dari kematian yang ditunjukkan selama proses pemberian pakan dengan perlakuan. Namun, setelah pakan diganti tanpa perlakuan, serangga yang
masih mampu bertahan akan kembali normal dan dapat bertumbuh mencapai instar akhir. Serangga uji yang diberi perlakuan minyak mimba memberikan perlakuan yang berbeda. Kematian lebih banyak ditemukan setelah pergantian daun tanpa perlakuan, yaitu setelah serangga mengonsumsi daun perlakuan dan tercerna dalam tubuh.
Secara umum, mortalitas larva sebagian besar terjadi pada hari ke-4 hingga ke-11. Setelah itu, kematian hanya mengalami sedikit kenaikan hingga akhir pengamatan.Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana
tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam minyak mimba bekerja relatif lambat. Kandungan senyawa aktif dalam mimba antara lain azadiraktin, salanin, meliantriol, dan nimbin (Rukmana & Oesman 2002). Racun azadiraktin bekerja mengganggu proses fisiologis seperti mengganggu nafsu makan atau pertumbuhan serangga (Perry et al.
1998), serta bersifat sebagai racun perut, racun kontak, dan penolak hama. Meskipun efek kerja azadiraktin relatif lambat, namun setelah 7−10 hari setelah aplikasi serangga akan mati (Rukmana & Oesman 2002). Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan, larva mengalami peningkatan kematian hingga hari ke-11 pengamatan. Gunasena & Marambe (1998) menyebutkan bahwa minyak mimba efektif digunakan pada hama ulat kubis.
Toksisitas minyak atsiri C. multiflorum
ditentukan sebagai konsentrasi letal (LC) pada jam setelah perlakuan yang masih memberikan kematian, yaitu 24 dan 48 JSP, sedangkan toksisitas minyak mimba
ditentukan pada konsentrasi yang mampu menyebabkan kematian pada instar II dan instar II+III. Minyak atsiri C. multiflorum
memberikan LC50 kurang dari 0.50% yang berarti cukup toksik. Sementara, LC95 menunjukkan nilai 0.67% pada 48 JSP dan 0.75% pada 24 JSP. Hasil analisis probit untuk semua perlakuan menunjukkan nilai LC50 dan LC95 pada 48 jam lebih kecil dibandingkan dengan 24 jam (Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan pola perkembangan mortalitas larva yang meningkat pada 48 JSP
C. multiflorum lebih toksik jika daripada minyak mimba. Nilai LC50 C. multiflorum sebagai insektisida baru cukup mendekati nilai LC50 minyak mimba. Minyak mimba yang memiliki cara kerja racun yang relatif lambat sehingga kematian terbanyak ditemukan pada perkembangan instar menuju dan mencapai instar III. Cara kerja racun dari C. multiflorum
yang relatif cepat dapat memberikan keuntungan, yaitu mengurangi besarnya residu yang tertinggal pada tanaman yang terpajan.
Pengaruh minyak atsiri uji terhadap larva tidak hanya kematian akibat toksisitas, namun juga pengaruh terhadap perkembangan larva, yaitu kemampuan larva menuju tahap instar berikutnya. Kisaran perkembangan larva akibat pemberian ekstrak uji dapat dilihat pada Tabel 4. Lama perkembangan larva instar II ke III hasil perlakuan terhadap minyak atsiri berkisar 2.3−2.7 hari, sedangkan lama perkembangan larva kontrol berkisar 2 hari. Perkembangan larva instar II−IV berkisar 4.2−4.6 hari, sedangkan pada kontrol berkisar 4 hari.
Tabel 3 Pendugaan hubungan konsentrasi-mortalitas minyak atsiri C. multiflorum, minyak mimba, dan metileugenol terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode celup daun
Bahan uji Waktu Pengamatan (JSP) a±GBa b±GBa LC50 (SK 95%)a (%) LC95 (SK 95%)a (%) 24 2.819 ± 0.256 9.475 ± 0.737 0.504 (0.462−0.586) 0.752 (0.628−1.251) C. multiflorum 48 2.911 ± 0.178 7.230 ± 0.422 0.396 (0.337−0.466) 0.668 (0.540−1.226) Instar II 0.286 ± 0.250 4.085 ± 0.716 0.851 (0.675−1.639) 2.152 (1.269−10.732) Mimba Instar II+III 2.863 ± 0.890 4.079 ± 0.305 0.199 (0.138−0.251) 0.503 (0.380−0.898) 48 4.230 ± 0.440 9.663 ± 0.972 0.365 (0.346−0.388) 0.540 (0.477−0.704) Metileugenol 72 4.092 ± 0.435 9.289 ± 0.957 0.363 (0.346−0.383) 0.545 (0.485−0.688) a
Tabel 4 Pengaruh ekstrak C. multiflorum dan minyak mimba pada konsentrasi tertentu terhadap perkembangan larva C .pavonana.
a
SD = standar deviasi. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05). Angka dalam kurung menunjukkan jumlah larva yang bertahan hidup.
Pengaruh minyak atsiri uji C. multiflorum
pada konsentrasi 0.15 hingga 0.31% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil berbeda nyata terlihat pada konsentrasi 0.39−0.55%, baik pada perkembangan instar II III maupun II IV. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak uji
C. multiflorum di bawah nilai LC50 tidak cukup memengaruhi proses perkembangan larva. Pada konsentrasi tersebut serangga uji menyerap senyawa asing dari ekstrak uji, namun tubuh serangga masih mampu menetralkan tanpa mengganggu kemampuannya untuk berganti kulit. Berbeda pada konsentrasi 0.39 hingga 0.55% C. multiflorum serta minyak mimba pada semua konsentrasi, tubuh serangga mendetoksifikasi senyawa yang terserap dalam tubuh dan sebagai akibatnya, perkembangan akan lebih lama daripada keadaan normal (Nenotek 2010).
Senyawa aktif azadiraktin pada minyak mimba tidak membunuh secara cepat, namun strukturnya mirip dengan ekdison, hormon yang mengatur metamorfosis serangga dari larva hingga pupa dewasa. Akibatnya, senyawa tersebut menghambat siklus sintesis hormon ini dalam tubuh serangga (Gunasena & Marambe 1998). Pada perlakuan ekstrak C. multiflorum, serangga uji tidak hanya mengonsumsi residu yang terdapat pada daun perlakuan, namun juga dipengaruhi oleh aroma minyak atsiri ekstrak uji. Kematian
serta pengaruh terhadap perkembangan larva diduga akibat aroma minyak atsiri yang memengaruhi sistem saraf serangga tersebut.
Identifikasi Komponen Minyak Atsiri dan Kegunaannya
Identifikasi yang dilakukan terhadap 15 jenis minyak atsiri dari 13 spesies menghasilkan 345 senyawa dan 117 senyawa di antaranya memiliki kemiripan karena ditemukan hampir di setiap sampel uji. Senyawa monoterpena ditemukan hampir di setiap spesies dengan komposisi terbesar berupa golongan monoterpenoid. C. burmanii,
C. cassia, dan C. cassia komersial memiliki komposisi senyawa sinamaldehida terbanyak, yaitu berturut-turut 35.8, 27, dan 85%. Berdasarkan uji aktivitas sebelumnya, besarnya kandungan sinamaldehida pada ketiga sampel tersebut tidak menunjukkan efek insektisida yang cukup efektif terhadap mortalitas larva (Gambar 4). Meskipun mortalitas larva pada perlakuan C. cassia
komersial lebih tinggi dan sebanding dengan banyaknya sinamaldehida yang dimiliki, senyawa tersebut tidak cukup toksik terhadap