• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 2005 – Februari 2006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di Kampus IPB, Darmaga Bogor, sedangkan penelitian kisaran inang dilakukan di lahan sekitar gedung Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor. Pengamatan biologi secara umum dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB Bogor.

Metode Penelitian

Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

Lalat yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari Desa Setu, Kecamatan Jasinga, Bogor. Lalat dari lapangan diperoleh dengan mengumpulkan puru yang sudah berjendela dan di dalamnya berisi larva instar akhir atau pupa. Puru berjendela tersebut kemudian dimasukkan dalam kurungan pemeliharaan di laboratorium. Setelah muncul, lalat diberi pakan berupa madu 10% yang dioleskan pada kapas dan digantung di dalam kurungan pemeliharaan. Selanjutnya lalat siap digunakan untuk penelitian.

Lalat puru C. connexa sebanyak 30 pasang berumur 2-3 hari dilepaskan ke dalam kurungan lapangan berukuran 1,5 m x 1,5 m sejumlah 9 kurungan. Kurungan terbuat dari bambu yang dikurung dengan kain. Pembuatan kurungan ini dimaksudkan agar pucuk yang telah diinfestasi telur tidak diinfestasi lagi oleh lalat lain. Pada masing-masing kurungan disediakan 100 pucuk kirinyuh. Untuk menghindari adanya serangga lain yang mengganggu, dilakukan pembersihan ke dalam kurungan dengan penyedotan menggunakan D-Vac. Sebelum pelepasan lalat, pucuk kirinyuh yang masih kosong (belum berisi telur) ditandai. Pelepasan lalat dilakukan pada pagi hari ± pukul 7.30. Setelah 24 jam, lalat ditangkap kembali sehingga telur yang diletakkan berumur seragam. Kemudian, seluruh pucuk yang diinfestasi lalat hasil pelepasan diberi tanda kembali. Pucuk-pucuk terinfestasi inilah yang akan diamati lebih lanjut.

Sepuluh hari setelah pelepasan lalat, kurungan dibuka kembali agar kirinyuh dapat tumbuh normal dan percobaan berjalan secara alami.

Pengamatan Biologi Lalat Puru C. connexa di Lapangan

Pengamatan Perkembangan dan Siklus Hidup Lalat Puru C. connexa

di Lapangan. Pengambilan contoh untuk pengamatan telur dilakukan pada hari ke-4, 6, 8, dan 9 sebanyak 5 pucuk/kurungan. Pengambilan contoh untuk pengamatan larva dan pupa selanjutnya dilakukan setiap minggu dari umur 1 sampai 12 minggu sebanyak 5 puru/kurungan. Jadi, jumlah total pengambilan pucuk atau puru dalam satu kali pengamatan adalah 45. Contoh pucuk atau puru dari lapangan dibawa ke laboratorium dan dibedah di bawah mikroskop, kemudian diamati letak dan jumlah telur, larva atau pupa yang ada di dalamnya. Diamati pula morfologi dan jumlah individu lalat per pucuk. Selanjutnya diambil sebanyak 20 telur dan 20 pupa untuk diukur volumenya. Larva yang ditemukan disimpan di dalam freezer untuk pengamatan pendugaan instar. Setelah puru berjendela, 5 puru dikurung dengan kurungan kasa berukuran panjang ± 20 cm dengan diameter ± 7 cm agar imago yang muncul tidak terbang keluar untuk pengamatan nisbah kelamin. Diamati pula waktu dan jumlah imago yang muncul. Pucuk atau puru yang rusak oleh serangan musuh alami yang berada di dalam kurungan percobaan yang sudah dibuka juga diamati. Data perkembangan dan siklus hidup lalat dilaporkan secara deskriptif dan dalam bentuk tabel serta grafik.

Pendugaan Instar Larva Lalat Puru C. connexa dengan Mengukur Mandibel dan Sklerit Hipofaring. Sebelum dilakukan pembuatan preparat, contoh larva C. connexa dari pengamatan sebelumnya sebanyak 756 larva diambil dari freezer dan dicairkan agar tidak beku. Selanjutnya, larva dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan ± 5 menit sampai larva menjadi transparan. Kemudian bagian abdomen larva ditusuk dan dibersihkan dari semua kotoran. Larva dibilas dengan akuades 2 kali. Selanjutnya larva

13 diletakkan di atas gelas obyek dan ditetesi larutan Hoyer, diatur sampai mendapatkan posisi yang sesuai, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Preparat kemudian dikeringkan dengan hot plate selama beberapa hari (Borror

et al. 1992). Mandibel dan sklerit hipofaring terlihat berwarna gelap.

Preparat mandibel dan hipofaring sebanyak 529 diamati dibawah mikroskop binokuler Olympus BX 51 dan difoto menggunakan kamera digital mikroskop Olympus DP 11 dengan perbesaran 100 x. Foto ditransfer ke komputer, kemudian dilakukan digitasi menggunakan program tpsdig (Bennet & Hoffmann 1998). Digitasi dilakukan terhadap bagian mandibel dan sklerit hipofaring yang keberadaannya konsisten sepanjang stadia larva yaitu mandibel, yang diukur dari ujung kait ke pangkal mandibel (jarak 1-2-3) selanjutnya disebut panjang mandibel, mandibel jarak 3-4 selanjutnya disebut lebar mandibel, sklerit hipofaring-tentorofaring jarak 6-8 selanjutnya disebut panjang hipofaring dan sklerit hipofaring-tentorofaring jarak 5-7 selanjutnya disebut lebar hipofaring (Gambar 1).

Pengukuran nilai konversi dilakukan untuk mendapatkan nilai konversi dari nilai vektor ke ukuran obyek sesungguhnya. Skala mikrometer difoto dengan semua perbesaran yang ada menggunakan kamera digital mikroskop Olympus DP 11 pada mikroskop binokuler Olympus BX 51 dan SZ 11. Hasil foto skala mikrometer ditransfer ke komputer dan dilakukan digitasi menggunakan program tpsdig (Bennet & Hoffmann 1998). Hasil digitasi berupa nilai vektor, selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan berikut untuk mendapatkan ukuran sesungguhnya.

Dv = ((X1X2)2 +(Y1Y2)2) [1] dimana Dv adalah jarak vektor; X1,X2,Y1, dan Y2 adalah absis dan ordinat titik- titik yang diukur (titik 1 dan titik 2)

Ds (mm) = Dvx/Dpx [2] dimana Ds (mm) adalah jarak sesungguhnya obyek yang diukur; Dvjarak vektor; Dpadalah jarak vektor berdasarkan skala mikrometer yang telah diketahui

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 1 Mandibel dan sklerit hipofaring larva lalat puru C. connexa yang telah dilakukan digitasi dengan program tpsdig

satuannya (mm); x adalah perbesaran (magnifikasi), Dv dan Dp diukur pada perbesaran yang sama.

Pendugaan Instar Larva Lalat Puru C. connexa dengan Mengukur Volume Larva. Untuk mengetahui ukuran larva, lebih tepat dilakukan dengan mengukur volume larva daripada panjang dan lebar larva. Hal ini disesuaikan dengan perkembangan bentuk larva. Larva yang baru keluar dari telur berbentuk oval silindris, dalam perkembangan selanjutnya panjang larva hanya sedikit pertambahannya, sementara volumenya bertambah dengan pesat.

Contoh larva C. connexa sebanyak 831 diambil dari freezer dan dicairkan agar tidak beku. Kemudian larva diamati dibawah mikroskop binokuler Olympus SZ 11 dan difoto menggunakan kamera digital mikroskop Olympus DP 11. Foto ditransfer ke komputer, kemudian dilakukan digitasi menggunakan program tpsdig (Bennet & Hoffmann 1998). Digitasi dilakukan

15 terhadap titik-titik yang akan diukur yaitu seperempat permukaan larva pada daerah yang cembung (Gambar 2A). Larva C. connexa berbentuk oval dan diasumsikan simetris atas- bawah sehingga hasil digitasi seperempat larva ini (Gambar 2B) kemudian dirotasikan ke sumbu X untuk memperoleh setengah volume larva (Gambar 2C). Larva C. connexa juga simetris kiri dan kanan, sehingga untuk mendapatkan volume larva penuh, volume setengah larva hasil rotasi kemudian dikalikan dua.

1 7 6 2 3 4 5 (a) Y y = -0,0024x2 + 6,1776x - 3692,3 R2 = 0,9997 0 50 100 150 200 250 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 (c) (c) (b) X

Gambar 2 Pengukuran volume larva: (a) larva C. connexa yang telah didigitasi dengan program tpsdig, (b) posisi titik-titik digitasi, dan (c) hasil digitasi dirotasikan ke sumbu X sehingga diperoleh volume setengah larva

Hasil digitasi dengan tpsdig dibuka dalam program Microsoft Excell sehingga diperoleh ordinat dan absis titik-titik tersebut. Titik-titik koordinat ini kemudian dibuat grafik polinomial sehingga diperoleh persamaan kuadrat y = ax2 + bx + c dan nilai a,b, dan c diketahui. Kemudian, persamaan kuadrat y dikuadratkan menjadi y = (ax2 + bx + c)2 dan dimasukkan persamaan untuk mendapatkan setengah volume larva yaitu:

(

)

(

)

+ + + + + = 5 1 2 4 3 2 2 2 1 2 2 2 x x dx c bcx x b ac abx x a V π

Volume yang diperoleh dimasukkan ke persamaan volume (persamaan 3 dan 4) untuk mendapatkan volume yang sebenarnya.

V (mm3) = Vvx/Vpx [3] dimana V (mm3) adalah volume sesungguhnya obyek yang diukur; Vv adalah volume berdasarkan skala mikrometer yang telah diketahui satuannya (mm3); x adalah perbesaran (magnifikasi); Vv dan Vp diukur pada perbesaran yang sama.

V (µl) = V (mm3) [4] dimana V (µl) adalah volume sesungguhnya dalam µl.

Data hasil pengukuran mandibel, hipofaring, dan volume larva ditampilkan dalam bentuk histogram distribusi frekuensi dalam selang kelas tertentu sehingga diperoleh pengelompokan ukuran dengan puncak–puncak yang nyata dan terpisah satu dengan lainnya yang menandakan pergantian instar. Distribusi frekuensi hasil pengukuran diasumsikan terdistribusi normal dan membentuk puncak-puncak, setiap puncak mewakili satu instar (Godin et al. 2002).

Pengamatan Keterkaitan antara Perkembangan Puru dengan Perkembangan Larva. Contoh puru dari lapangan sebanyak 405 puru diukur diameter dan panjangnya. Puru dibedah di bawah mikroskop dan dihitung jumlah larva atau pupa yang ada di dalamnya menurut umur masing-masing puru. Data perkembangan puru ditampilkan dalam bentuk histogram umur puru dengan diameter dan panjang puru. Keterkaitan antara ukuran puru dengan

17 jumlah larva dianalisis dengan analisis korelasi menggunakan program Statistica

for Windows 6.0 (StatSoft 1995).

Pengamatan Lama Hidup dan Keperidian Lalat Puru C. connexa di Lapangan. Tumbuhan kirinyuh di lapangan dibersihkan dari semua serangga yang tidak diinginkan, kemudian ditutup dengan kurungan mika berdiameter 50 cm dan tinggi 70 cm yang diberi jendela dari kain kasa. Kirinyuh yang digunakan adalah tanaman yang mempunyai 7-20 pucuk tanpa telur lalat C.

connexa sebelumnya. Bagian dasar kurungan dialasi dengan tatakan pot dan

diolesi vaselin untuk menghindari datangnya semut yang dapat menyerang lalat. Satu pasang imago dilepaskan ke dalam kurungan tersebut pada pagi hari, pukul 07.00-08.00. Setelah 24 jam, lalat dikeluarkan dari kurungan dan dipindahkan ke tanaman kirinyuh baru. Lama hidup imago diamati dengan cara mencatat setiap hari lalat jantan atau betina yang mati.

Pengamatan produksi telur harian dilakukan dengan mengambil pucuk- pucuk yang sudah diinfestasi telur setiap hari, dibawa ke laboratorium untuk diamati di bawah mikroskop dan dihitung jumlah telurnya. Prosedur ini dilakukan terus menerus sampai imago mati. Keperidian dihitung dengan menjumlahkan semua telur yang dihasilkan oleh satu imago betina sejak imago tersebut muncul sampai mati. Periode sejak imago betina muncul hingga pertama kali menghasilkan telur disebut periode praoviposisi. Periode pasca oviposisi adalah periode sejak imago betina tidak lagi mengeluarkan telur hingga imago betina tersebut mati. Penelitian dilakukan dengan 3 ulangan/kurungan jadi total 27 ulangan. Data keperidian dilaporkan secara deskriptif dan dalam bentuk tabel serta grafik jumlah telur harian.

Uji Kisaran Inang Lalat Puru C. connexa

Tiga tanaman yang diduga potensial sebagai tanaman inang dari hasil uji kekhususan inang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kelapa Sawit (BPKS) Marihat, Medan (Sipayung & Chenon 1995), yaitu babadotan (Ageratum

conyzoides), daun tanah (Austroeupatorium inulifolium) dan babanjaran

(Clibadium surinamense) ditetapkan sebagai tanaman uji serta tanaman

kirinyuh sebagai kontrol (Tabel 1). Tanaman kirinyuh dan babadotan diperoleh dari sekitar lahan percobaan di kampus IPB Darmaga, daun tanah diperoleh dari Gunung Bunder, dan babanjaran diperoleh dari Desa Setu Kecamatan Jasinga, Bogor. Identifikasi tanaman uji dilakukan di Biotrop, Bogor.

Tanaman kirinyuh, daun tanah dan babanjaran diperbanyak dengan stek batang, sedangkan babadotan ditanam dari anakan yang diperoleh dari lapangan. Masing-masing tanaman ditanam dalam polybag berdiameter 35 cm. Setelah tumbuh, tanaman dipangkas untuk mendapatkan tajuk dengan tunas yang banyak. Sebelum perlakuan semua tanaman uji dibersihkan dari serangga dan organisme lain.

Masing-masing tanaman uji dan kontrol yang telah bersih dari serangga dimasukkan dalam kurungan (satu kurungan satu jenis tanaman uji). Untuk satu kali perlakuan digunakan masing-masing 50 pucuk tanaman. Semua pucuk ditandai untuk memudahkan penghitungan dan pengamatan selanjutnya. Kemudian, 15 pasang imago C. connexa dilepaskan ke dalam masing-masing kurungan. Setelah 72 jam, lalat dikeluarkan kembali dari kurungan. Percobaan ini diulang 3 kali.

Pengamatan tingkat infestasi lalat C. connexa dilakukan dengan menghitung jumlah pucuk terinfestasi per total pucuk. Pucuk terinfestasi ditandai dengan adanya bintik coklat pada jaringan pucuk yang daunnya belum

Tabel 1 Tiga spesies tanaman yang digunakan sebagai tanaman uji dan kontrol pada uji kisaran inang

Spesies tanaman No.

Latin Umum Famili

Status tanaman

1 Chromolaena odorata (Kontrol) Kirinyuh Asteraceae Gulma

2 Ageratum conyzoides Babadotan Asteraceae Gulma

3 Austroeupatorium inulifolium Daun tanah Asteraceae Gulma

19 membuka. Data tingkat infestasi dianalisis sidik ragam, dan jika berbeda nyata diuji lebih lanjut dengan uji BNT menggunakan program Statistix for Windows Release 8 (Statistix 2003).

Pengamatan jumlah telur per pucuk dilakukan dengan mengambil contoh pucuk sebanyak tiga pucuk dari setiap tanaman yang diuji dan dibedah di bawah mikroskop. Data jumlah telur/pucuk dianalisis sidik ragam, dan jika berbeda nyata diuji lebih lanjut dengan uji BNT menggunakan program Statistix for

Windows Release 8 (Statistix 2003).

Pengamatan perkembangan larva dan kemampuan hidup lalat pada tanaman inang yang diuji diamati dengan mengambil tiga contoh pucuk atau puru dari setiap tanaman uji per minggu selama 12 minggu, kemudian dibedah di bawah mikroskop dan diamati jumlah telur, larva, atau pupa yang ada. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk grafik.

Pengamatan perkembangan puru dilakukan dengan mengambil tiga contoh puru dari setiap tanaman uji per minggu, kemudian diukur diameter dan panjangnya. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk grafik.

Biologi Lalat Puru C. connexa di Lapangan

Perkembangan dan Siklus Hidup Lalat Puru C. connexa di Lapangan

Berdasarkan pengamatan terhadap pucuk kirinyuh di lapangan diketahui bahwa telur lalat puru C. connexa diletakkan secara berkelompok dan ditancapkan pada permukaan pucuk terminal maupun lateral yang daunnya belum membuka. Telur berwarna putih, berbentuk lonjong dengan ujung agak meruncing (Gambar 3). Jumlah telur per pucuk berkisar 1 - 14 butir (Tabel 2).

Imago (a) (b) (c) (d) 1 mm 5 mm 5 mm 5 mm

Gambar 3 Siklus hidup lalat puru C. connexa: (a) telur, (b) larva, (c) pupa, dan (d) imago

21 Setelah telur menetas, larvanya masuk ke dalam jaringan batang dan hidup di dalam puru batang sampai menjadi pupa. Larva C. connexa tidak bertungkai (apoda). Skeleton kepala tidak ada (acepala). Segmen tubuh berjumlah 12 dengan barisan papilae melingkar dan antar segmen membentuk lekukan (Gambar 3). Dalam satu puru terdapat 1-12 larva dan masing-masing larva menempati satu ruang tersendiri (Tabel 2). Sebelum menjadi pupa, larva instar akhir membuat jendela puru yang jumlahnya satu jendela/larva.

Lalat puru C. connexa berpupa di dalam puru sampai berubah menjadi imago yang keluar melalui jendela puru. Pupa berbentuk oval silindris, berwarna putih kecoklatan pada saat masih muda dan menjadi coklat tua dengan ujung hitam pada saat pupa hampir muncul menjadi imago (Gambar 3). Pupa tipe coarctata. Jumlah pupa per puru adalah 1-7 (Tabel 2).

Imago lalat puru C. connexa berwarna hitam, mata berwarna merah, sayap transparan dengan gambaran pita hitam berselang-seling dengan bagian yang transparan (banded wings). Pada toraks dan abdomen terdapat pola pita berselang seling antara hitam dan putih. Imago jantan dan betina mudah dibedakan, yakni adanya ovipositor pada imago betina. Selain itu, ukuran betina lebih besar daripada yang jantan (Gambar 3).

Hasil pengamatan perkembangan dan siklus hidup lalat C. connexa di lapangan dari telur hingga imago disajikan pada Gambar 4. Telur C. connexa

di lapangan hanya ditemukan pada pengamatan hari ke-4, 6, dan 8 setelah oviposisi. Larva mulai ditemukan pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ke-2 setelah oviposisi. Jumlah larva menurun tajam

Tabel 2 Perkembangan pradewasa lalat puru C. connexa

Fase perkembangan Stadia (hari) Volume (µl) Jumlah individu/ puru Telur 6 - 8 0,007 – 0,054 1-14 Larva 28 - 56 0,006 – 2,009 1-12 Pupa 35 - 63 0,214 – 1,938 1-7

0 100 200 300 400 500 600 700 800 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Minggu sesudah oviposisi

Ju m la h to ta l in d iv id u

Telur Larva Pupa Imago

Gambar 4 Sintasan lalat puru C. connexa di lapangan

pada minggu ke-3, kemudian makin menurun dan semua larva telah menjadi pupa pada minggu ke-9 setelah oviposisi. Pupa ditemukan mulai minggu ke-5 sampai minggu ke-10 setelah oviposisi. Imago mulai ditemukan pada minggu ke-7, dan pada minggu ke-12 setelah oviposisi seluruh pupa telah menjadi imago.

Pengamatan nisbah kelamin lalat C. connexa juga dilakukan bersamaan dengan pengamatan perkembangan dan siklus hidup. Berdasarkan pengamatan terhadap 334 imago, perbandingan imago jantan dan betina C. connexa yang ditemukan di lapangan adalah mendekati 1 : 1. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di laboratorium (Widayanti et al. 1999). Nisbah kelamin 1:1 adalah normal dan baik untuk kelangsungan hidup lalat selanjutnya.

Lalat C. connexa mengalami metamorfosis sempurna dan memiliki empat stadia selama siklus hidupnya, yaitu telur, larva, pupa dan imago (Gambar 3). Lalat pradewasa hidup di dalam jaringan tanaman kirinyuh dan imago hidup bebas. Lama stadia telur adalah 6-8 hari, larva 4-7 minggu (28-49 hari), pupa

23 3-5 minggu (21-35 hari). Dengan demikian, siklus hidup lalat puru C. connexa

adalah 8-11 minggu (56-77 hari). Siklus hidup lalat di lapangan ini tidak jauh berbeda dengan siklus di laboratorium, yaitu 47-73 hari (Chenon et al. 2002).

Siklus hidup lalat C. connexa yang sama antara di laboratorium dan lapangan sangat menguntungkan. Hal ini berarti kondisi di lapangan mendukung kehidupan lalat. Kondisi ini memungkinkan lalat untuk hidup dan berkembang biak sehingga pertambahan generasi berjalan terus.

Berdasarkan jumlah individu total pada Gambar 4, dapat dihitung mortalitas lalat C. connexa pada masing-masing stadia yang tercantum pada Tabel 3. Mortalitas pada telur sangat rendah. Mortalitas banyak terjadi pada stadia larva, terutama sesudah minggu ke-2, sedangkan pada stadium pupa dan imago relatif rendah.

Mortalitas pada telur sangat rendah karena telur berada di dalam pucuk yang daunnya belum membuka sehingga telur terlindung dari kekeringan yang disebabkan oleh cuaca buruk atau sinar matahari. Penetasan telur ini lebih tinggi dari hasil penelitian Widayanti et al. (1999) yang menemukan bahwa penetasan telur yang diletakkan dalam cawan petri yang dialasi kapas basah yang diamati di laboratorium adalah 76,3%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi alami di lapangan merupakan kondisi yang optimum untuk penetasan telur. Selain itu, selama 10 hari sesudah pelepasan imago, kurungan percobaan dikurung dengan kain sehingga relatif aman dari musuh alami. Mortalitas pada telur lebih disebabkan oleh telur yang tidak menetas.

Tabel 3 Mortalitas lalat puru C. connexa pada masing-masing fase perkembangan di lapangan

Fase perkembangan Mortalitas (%)

Telur 9,061 *

Larva 58,808 **

Pupa 27,862 **

* Dikurung

Larva instar 1 yang baru keluar dari telur mudah diinfeksi oleh parasitoid dan dimangsa oleh predator, karena masih berada pada permukaan pucuk dan daun-daun di pucuk mulai membuka. Parasitoid yang menyerang larva adalah dari famili Braconidae dan Ormyridae. Braconidae diduga menyerang larva C.

connexa instar muda, sedangkan Ormyridae menyerang larva instar akhir dan

pupa muda. McFadyen et al. 2003 menemukan bahwa Ormyridae adalah endoparasitoid soliter pada larva-pupa C. connexa. Predator yang menyerang larva adalah semut (Formicidae), kumbang kubah predator (Coccinellidae), belalang sembah (Mantidae), dan laba-laba (Lycosidae) (Tabel 4).

Pada minggu ke-2 puru sudah terbentuk dan larva terlindung di dalamnya. Namun demikian, diduga larva masih dapat diserang oleh parasitoid dari famili Braconidae. Parasitoid ini mempunyai ovipositor panjang dan mampu menembus puru muda yang belum berkayu. Gambar 5a menunjukkan larva berumur 3 minggu yang terserang parasitoid famili Braconidae. Seperti pada puru tumbuhan Solidago altissima yang disebabkan oleh lalat puru Eurosta

solidaginis (Diptera: Tephritidae), larva dalam puru diserang oleh parasitoid

Calliephialtes notandus (Hymenoptera: Ichneumonidae) yang mempunyai

ovipositor panjang dan mampu menembus puru muda (Anonim 2006).

Selain karena serangan musuh alami, mortalitas larva diduga disebabkan oleh adanya kompetisi. Hal ini terlihat dari rata-rata jumlah larva pada puru

Tabel 4 Parasitoid dan predator yang menyerang lalat C. connexa pada masing- masing fase perkembangan

Fase perkembangan Parasitoid Predator

Telur - -

Larva Braconidae, Ormyridae

Formicidae, Coccinellidae Mantidae, Reduviidae

Pupa Ormyridae Formicidae, Mantidae

25 Tabel 5 Rata-rata jumlah larva/puru berumur 1-5 minggu sesudah oviposisi.

Umur larva

(minggu setelah oviposisi)

n Rata-rata jumlah larva /puru x ± SD 1 45 2,178 ± 0,787 2 45 4,778 ± 1,746 3 45 3,244 ± 1,153 4 45 3,024 ± 1,407 5 45 2,356 ± 1,367

umur muda yang lebih banyak daripada minggu-minggu berikutnya (Tabel 5). Selain itu, ukuran larva dalam satu puru biasanya juga berbeda.

Keadaan ini menunjukan bahwa larva yang kuat akan tumbuh lebih besar dari yang lemah. Jika larva terlalu banyak dalam satu puru, beberapa diantaranya akan mati. Hal ini sesuai dengan penelitian Widayanti et al. (1999) yang menemukan bahwa kepadatan telur yang tinggi dalam satu pucuk menyebabkan tingginya tingkat kompetisi diantara larva-larva yang baru keluar dari telur. Oleh karena itu, pada minggu ke-3 sesudah oviposisi jumlah larva menurun tajam.

Pada larva instar 4 akhir dan pupa, puru sudah berjendela sehingga mudah ditembus oleh parasitoid dan predator. Parasitoid yang menyerang larva dan pupa yaitu dari famili Ormyridae. Predator yang menyerang larva yaitu semut, kepik (Reduviidae), serta belalang sembah. Kepik menyerang larva dengan menusukkan stilet ke dalam puru dan menghisap larva melalui jendela puru. Belalang sembah merusak puru dengan cara menggigit puru sehingga puru koyak dan terbuka (Gambar 5b). McFadyen et al. (2003) juga menemukan bahwa di beberapa daerah puru terbuka dan larva dimangsa oleh burung.

Mortalitas imago di lapangan terjadi karena dimangsa oleh predator. Ada dua predator yang ditemukan menyerang imago yaitu belalang sembah dan laba- laba (Tabel 4). Pemangsaan terjadi terutama pada saat imago betina mencari pucuk untuk bertelur dan pada saat bertelur. Hal ini disebabkan oleh aktivitas

(b) (a)

Gambar 5 Larva lalat puru C. connexa yang terserang musuh alami: (a) larva yang terserang parasitoid famili Braconidae dan (b) puru koyak dan larva di dalamnya dimangsa oleh predator

mencari pucuk dan bertelur yang memerlukan konsentrasi tinggi dan pada saat bertelur lalat diam tidak bergerak sehingga mudah dimangsa oleh predator. Menurut McFadyen et al. (2003), imago lalat ini juga dimangsa oleh kadal.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas banyak terjadi pada stadium larva. Faktor-faktor eksternal yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan populasi lalat puru C. connexa di lapangan antara lain adalah musuh alami terutama predator. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian McFadyen et al. (2003) yang menyebutkan bahwa serangan predator cukup signifikan yaitu dapat mencapai 50%, sedangkan serangan parasitoid hanya berkisar antara 1-15%.

Instar Larva Lalat Puru C. connexa

Hasil pengukuran mandibel ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi ukuran panjang dan lebar mandibel (Gambar 6a dan 6b). Menurut Godin et al.

Dokumen terkait