• Tidak ada hasil yang ditemukan

MURNI INDARWATMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(Macquart) (Diptera: Tephritidae) sebagai Agens Hayati Gulma Kirinyuh

Nama : Murni Indarwatmi NRP : A451030011

Program Studi : Entomologi/Fitopatologi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

PRAKATA

مﻴﺣرﻟاﻦﻣﺣرﻟاﷲامﺴﺒ

Syukur alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “ Biologi dan Kisaran Inang Lalat Puru Cecidochares connexa (Macquart) (Diptera: Tephritidae) sebagai Agens Hayati Gulma Kirinyuh”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si sebagai anggota, atas pengarahan, motivasi, dan bimbingan dengan penuh keikhlasan mulai penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

Kepada Kepala Batan dan Kepala Pusdiklat Batan, disampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh Staf Pengajar Program studi Entomologi/Fitopatologi, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana penelitian ini melalui program Hibah Tim Pasca Sarjana – DIKTI tahun 2003-2006.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda Suhirman (alm) dan Ibunda Darinah serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada suamiku tercinta Bambang Sutoyo dan anak-anak tersayang Muhammad Farhan dan Nabila Nursya’bani atas doa dan kasih sayang serta pengorbanan yang diberikan agar penulis dapat menyelesaikan studi.

Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si, Hasmiandy Hamid, SP, M.Si dan Ropiudin, STP, penulis berterima kasih sebesar-besarnya atas bimbingan dan sarannya dalam pengolahan data maupun penulisan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan tim Hibah Pascasarjana, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman IPB, serta semua pihak atas dukungan dan bantuannya selama dan sesudah penelitian. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala tak terhingga. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi kita semua. Amin.

Bogor, November 2006

Murni Indarwatmi

Penulis dilahirkan di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 30 November 1969, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah bernama Suhirman (alm) dan Ibu bernama Darinah.

Penulis menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada SMA Negeri I Purwokerto pada tahun 1987. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Penulis memilih Jurusan Biologi Lingkungan dan berhasil meraih gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993.

Sejak tahun 1994, penulis bekerja sebagai Staf Peneliti di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN) Jakarta. Selanjutnya, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Ke Program Magister Sains tahun 2003 pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Entomologi/Fitopatologi dengan bantuan biaya dari Pusat Pendidikan dan Latihan Badan Tenaga Nuklir Nasional (PUDIKLAT-BATAN).

Penulis pernah mengikuti pelatihan Teknik Serangga Mandul (TSM) untuk lalat buah meliputi perbanyakan massal, pemandulan dengan irradiasi, dan pelepasan di lapangan yang diselenggarakan oleh Philippines Nuclear Research Institute (PNRI) dan disponsori oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) selama enam bulan dari bulan Oktober 1997 sampai Maret 1998. Penulis juga aktif mengikuti organisasi profesi seperti menjadi anggota PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) Cabang Jakarta.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Lalat Puru C. connexa sebagai Agens Hayati Gulma Kirinyuh... 4 Kisaran Inang Lalat Puru C. connexa... 6 Interaksi Serangga-Tanaman dalam Pembentukan Puru... 6 Indikator Instar Larva... 7 Spesies Gulma Eksotik Invasif Kirinyuh ... 8 BAHAN DAN METODE ... 11 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11 Metode Penelitian ... 11 Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian

Lapangan ... 11 Pengamatan Biologi Lalat Puru C. connexa di Lapangan ... 12

Pengamatan Perkembangan dan Siklus Hidup Lalat Puru C.

connexa di Lapangan... 12 Pendugaan Instar Larva Lalat Puru C. connexa dengan

Mengukur Mandibel dan Sklerit Hipofaring ... 12 Pendugaan Instar Larva C. connexa dengan Mengukur

Volume Larva ... 14 Pengamatan Keterkaitan antara Perkembangan Puru dengan

perkembangan Larva... 16 Pengamatan Lama Hidup dan Keperidian Lalat Puru C.

connexa di Lapangan... 17 Uji Kisaran Inang Lalat Puru C.connexa... 17

Biologi Lalat Puru C. connexa di Lapangan ... 20 Perkembangan dan Siklus Hidup Lalat Puru C. connexa di

Lapangan ... 20 Instar Larva Lalat Puru C. connexa... 26 Keterkaitan antara Perkembangan Puru dengan Perkembangan Larva... 32 Lama Hidup dan Keperidian Lalat Puru C. connexa di

Lapangan ... 34 Kisaran Inang Lalat Puru C. connexa... 38 KESIMPULAN DAN SARAN... 44

Kesimpulan ... 44 Saran... 45 DAFTAR PUSTAKA ... 46

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tiga spesies tanaman yang digunakan sebagai tanaman uji dan

kontrol pada uji kisaran inang ... 18 2 Perkembangan pradewasa lalat puru C. connexa... 21 3 Mortalitas lalat puru C. connexa pada masing-masing fase

perkembangan di lapangan... 23 4 Parasitoid dan predator yang menyerang lalat C. connexa pada

masing-masing stadia ... 24 5 Rata-rata jumlah larva/puru berumur 1-5 minggu sesudah oviposisi ... 25 6 Ukuran mandibel dan hipofaring larva lalat puru C. connexa pada

setiap instar... 28 7 Parameter kehidupan imago lalat puru C. connexa di lapangan ... 35 8 Perkembangan lalat puru C. connexa pada beberapa tanaman uji ... 38 9 Tingkat infestasi dan jumlah telur C. connexa pada tiga tanaman

Halaman 1 Mandibel dan sklerit hipofaring larva lalat puru C. connexa yang

telah dilakukan digitasi dengan program tpsdig ... 14 2 Pengukuran volume larva: (a) larva C. connexa yang telah

didigitasi dengan program tpsdig, (b) posisi titik-titik digitasi, dan (c) hasil digitasi dirotasikan ke sumbu X sehingga diperoleh

setengah volume larva ... 15 3 Siklus hidup lalat puru C. connexa: (a) telur, (b) larva, (c) pupa,

dan (d) imago ... 20 4 Sintasan lalat puru C. connexa di lapangan ... 22 5 Larva lalat puru C. connexa yang terserang musuh alami: (a) larva

yang terserang parasitoid famili Braconidae dan (b) puru koyak

dan larva dimangsa oleh predator (B) ... 26 6 Distribusi frekuensi ukuran larva C. connexa: (a) panjang

mandibel, (b) lebar mandibel, (c) panjang hipofaring, dan (d) lebar

hipofaring ... 27 7 Perkembangan mandibel dan sklerit hipofaring larva C. connexa

pada masing-masing instar (perbesaran 100 x)... 29 8 Distribusi frekuensi volume larva C. connexa... 30 9 Perkembangan instar larva C. connexa per minggu pengamatan ... 31 10 Perkembangan diameter dan panjang puru batang C. odorata per

minggu pengamatan ... 33 11 Korelasi antara diameter dan panjang puru dengan jumlah larva ... 34 12 Rata-rata jumlah telur harian lalat puru C. connexa di lapangan... 35 13 Tiga tanaman uji dan kontrol yang digunakan dalam uji kisaran

inang: (a) kirinyuh (kontrol), (b) babadotan, (c) daun tanah, (d)

babanjaran ... 39 14 Jumlah larva/pucuk lalat puru C. connexa pada tiga tanaman uji

dan kontrol ... 41 15 Perkembangan diameter dan panjang puru kirinyuh (kontrol) dan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lalat puru Cecidochares connexa (Macquart) (Diptera: Tephritidae) adalah lalat pembentuk puru batang (stem gallers) pada tanaman inang gulma kirinyuh atau Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) (McFadyen et al. 2003). Lalat puru meletakkan telur pada permukaan pucuk terminal maupun lateral yang daunnya belum membuka. Telur menetas menjadi larva, kemudian larva masuk ke dalam jaringan batang. Puru mulai terlihat secara visual dua minggu setelah oviposisi. Adanya larva dalam puru batang dapat menghambat pertumbuhan batang, produksi biji, dan mengurangi karbohidrat dalam penyimpanan untuk cadangan makanan (Erasmus et al. 1992). Jika terdapat dalam jumlah banyak, puru dapat mematikan tanaman inang (Ehler et al. 1984 dalam McFadyen et al. 2003).

Muniappan dan Bamba (2002) menyebutkan bahwa ada 13 spesies dari genus Cecidochares dan semua berasal dari daerah tropis di Amerika. Semua spesies dari genus ini diketahui membentuk puru batang atau puru bunga atau memakan bunga pada tanaman inang Asteraceae. Sebagian besar spesies pembentuk puru adalah sangat spesifik inang dan kadang-kadang hanya menyerang satu jenis tanaman. Oleh karena itu, lalat puru ini sangat menguntungkan untuk digunakan sebagai agens hayati gulma kirinyuh.

Di Indonesia, lalat puru diintroduksi dari Colombia pada tahun 1993 oleh Balai Penelitian Kelapa Sawit (BPKS) Marihat, Sumatera Utara untuk mengatasi masalah gulma kirinyuh. Kirinyuh adalah tumbuhan eksotik yang berasal dari Amerika Selatan. Di daerah asalnya, tumbuhan ini tidak menjadi masalah karena diserang oleh lebih dari 200 spesies serangga musuh alaminya (Waterhouse 1994). Di Indonesia tumbuhan ini cepat menyebar karena tidak ada musuh alami yang menyerangnya (Tjitrosoedirdjo 1989). Selain itu, kemampuan adaptasi dan kompetisinya yang kuat (Tjitrosoedirdjo 1989) menjadikan kirinyuh sebagai gulma eksotik invasif pada tanaman perkebunan

seperti karet, kelapa, kelapa sawit, kakao, tebu, kapas, dan sengon (SEAWIC 1991) serta dapat menurunkan hasil panen (Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998). Kirinyuh juga mendominasi suatu habitat dan mendesak padang penggembalaan, seperti di hutan lindung Pananjung Jawa Barat, dan Taman Nasional Baluran Jawa Timur, sehingga satwa yang dilindungi kekurangan hijauan (Tjitrosemito 1998).

Pelepasan lalat puru C. connexa telah dilakukan pada tahun 1995 di Parung Panjang, Jawa Barat, dan kemudian di beberapa daerah lainnya. Walaupun telah tersebar dan mapan, khususnya di Jawa Barat (Chenon et al. 2002), namun C. connexa belum mampu menekan populasi kirinyuh. Evaluasi terhadap biologi lalat puru di lapangan sesudah pelepasan termasuk penelitian perkembangan dan jumlah instar larva C. connexa belum banyak dilakukan. Salah satu kendala untuk mengamati perkembangan dan jumlah instar adalah karena sepanjang stadia larva sampai pupa lalat C. connexa hidup di dalam puru batang sehingga sulit diamati pergantian kulit dan perkembangan instarnya.

Masalah inang alternatif bagi lalat puru C. connexa juga perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini penting bagi kelangsungan hidup lalat puru di lapangan karena pada musim kemarau kirinyuh mengering dan mati sehingga populasi lalat puru

C. connexa menurun. Pada musim hujan, kirinyuh akan tumbuh dengan cepat

dan lalat puru C. connexa tidak dapat mengejar pertumbuhan kirinyuh. Hal ini dapat diatasi apabila lalat puru C. connexa mempunyai inang alternatif untuk bertahan hidup pada saat tidak ada gulma kirinyuh.

Berdasarkan permasalahan di atas dan pentingnya lalat puru C. connexa

sebagai agens hayati gulma kirinyuh, maka perlu dilakukan penelitian biologi lalat puru C. connexa di lapangan termasuk pendugaan instar larva dan kisaran inangnya. Hal ini penting untuk mengetahui potensi perkembangan populasi sesungguhnya di lapangan dan kendala-kendala yang menghambat pertumbuhannya.

3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mempelajari biologi dan kisaran inang C. connexa di lapangan sesudah pelepasan. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) mempelajari biologi dan siklus hidup lalat puru

C. connexa di lapangan, 2) mempelajari perkembangan dan jumlah instar larva

C. connexa, dan 3) mempelajari kisaran inang lalat puru C. connexa pada tiga

tanaman famili Asteraceae yang berpotensi sebagai inang alternatif.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar perkembangan instar larva, kemampuan hidup lalat puru C. connexa yang sesungguhnya di lapangan, dan potensi untuk memperluas inang serta kemampuan hidup pada inang alternatif. Kemampuan hidup di lapangan dan adanya inang alternatif merupakan landasan penting dalam usaha konservasi

TINJAUAN PUSTAKA

Lalat Puru C. connexa sebagai Agens Hayati Gulma Kirinyuh Lalat puru C. connexa diketahui dengan sinonim Urophora connexa

Macquart tahun 1848, Trypeta nigerrima Loew tahun 1862, dan Oedaspis

leucotricha Schiner 1868. Spesimen lalat ini disimpan dalam koleksi di U.S.

National Museum (USNM), Washington DC. Dr. G. Steyskal dari USNM berdasarkan spesimen dari Bolivia dan Trinidad memberi nama

Procecidochares connexa. Dr. Allen Norrbom, seorang ahli spesialis

Tephritidae di USNM mengkonfirmasi identifikasi tersebut. Dr. Norrbom tidak menerima nama P. connexa seperti yang telah digunakan pada literatur sebelumnya dan memberi nama C. connexa pada tahun 1992 (Munniappan & Bamba 2002).

Imago berwarna hitam, sayap transparan dengan strip hitam berselang seling. Pada bagian posterior masing-masing tergit juga terdapat strip hitam berselang seling dengan putih perak. Imago betina berukuran panjang 6,9 mm dan lebar 2 mm dengan rentang sayap 11,2 mm, sedangkan jantannya berukuran panjang 5,6 mm dan lebar 1,8 mm dengan rentang sayap 10 mm. Telur berbentuk lonjong dengan ujung meruncing, dan berwarna putih berukuran panjang 0,7 mm dan diameter 0,2 mm. Larva berbentuk oval silindris, berwarna putih transparan dan menjadi putih krem pada perkembangan selanjutnya. Larva instar akhir berukuran panjang 4,2 mm dan lebar 2,1 mm. Pupa berwarna putih kekuningan pada waktu muda dan berubah menjadi coklat, berukuran panjang 4,2 mm dan lebar 2,1 mm (Widayanti et al. 1999).

Lalat puru C. connexa meletakkan telur pada permukaan pucuk terminal maupun lateral yang daunnya belum membuka. Telur menetas 4-7 hari setelah oviposisi dan larva yang baru menetas masuk ke dalam jaringan batang. Puru membesar dan dapat dilihat setelah 15 hari. Puru berkembang sampai ukuran larva maksimal sekitar 30-50 hari sesudah oviposisi. Di lapangan pada umumnya terdapat 2-4 larva per puru. Setiap larva menempati satu ruangan dalam puru. Larva instar akhir akan membuat saluran keluar yang disebut

5 jendela puru. Lama stadia pupa adalah 15-25 hari. Lalat dewasa aktif antara pukul 08.00 – 14.00. Oviposisi biasanya terjadi antara pukul 10.00 – 14.00. Setiap betina mampu meletakkan 50-70 telur sepanjang hidupnya. Lama hidup lalat dewasa adalah 5-11 hari (McFadyen et al. 2003). Siklus hidup lalat C.

connexa 47-73 hari dengan rata-rata 60 hari (Chenon et al. 2002).

Lalat puru C. connexa mempunyai sifat-sifat biologis yang sangat dekat dengan Procecidochares alani Steyskal dan Procecidochares utilis Stone.

P. alani dan P. utilis telah digunakan sebagai agens hayati gulma Ageratina

(Eupatorium) adenophora (Sprengel) dan A. riparia (Regel) di banyak negara

(Sipayung & Chenon 1995). Berdasarkan keberhasilan pengendalian kedua gulma tersebut oleh lalat puru yang serupa dengan C. connexa yaitu P. utilis

dan P. alani (Julien & Griffiths 1998), C. connexa diusulkan sebagai agens

hayati gulma kirinyuh (Cock 1984).

Lalat puru C. connexa telah digunakan sebagai agens hayati gulma kirinyuh di beberapa negara. Introduksi pertama dilakukan di Indonesia dan Filipina pada tahun 1993. Lalat ini kemudian diintroduksi ke Papua New Guinea dan Palau pada tahun 1996, serta ke Guam pada tahun 1998 (Muniappan 2002). Introduksi lalat ini di Guam adalah hasil perbanyakan koloni C. connexa

dari Indonesia (Muniappan & Bamba 2002). Sekarang lalat ini sudah mapan di Palau, Papua New Guinea, Guam, dan Thailand (McFadyen et al. 2003).

Di Indonesia, lalat puru diintroduksi dari Colombia pada tahun 1993 oleh Balai Penelitian Kelapa Sawit (BPKS) Marihat, Sumatera Utara. Uji kekhususan inang dilakukan pada tahun 1994. Pelepasan lalat puru C. connexa

telah dilakukan di Jawa Barat yang meliputi daerah Hutan Tanaman Industri Parungpanjang, Bogor pada tahun 1995, Sukabumi tahun 1996, dan padang pengembalaan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada tahun 1999. Selain itu, pada tahun 1996 juga dilakukan pelepasan lalat puru C. connexa di Saradan, Madiun, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998; Tjitrosemito 2002). Sampai saat ini, lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat.

Kisaran Inang Lalat Puru C. connexa

Dalam genus Cecidochares terdapat 13 spesies yang semua berasal dari Amerika tropis. Semua spesies dari genus ini diketahui membentuk puru batang atau puru bunga atau pemakan bunga pada tanaman inang Asteraceae. Sebagian besar spesies pembentuk puru adalah sangat spesifik inang, kadang-kadang hanya menyerang satu jenis tanaman (Muniappan & Bamba 2002). Tanaman inang yang tercatat pada label spesimen lalat puru C. connexa di USNM adalah

C. odorata di Argentina Utara (puru batang), di Trinidad (puru bunga), dan

Chromolaena sp. di Panama (puru batang) (Muniappan & Bamba 2002).

Zachariades et al. (1998) melaporkan bahwa lalat C. connexa yang dikoleksi dari tumbuhan kirinyuh di Indonesia tidak dapat berkembang biak di Afrika Selatan. Hal ini berarti lalat C. connexa yang diuji kekhususan inang di Indonesia adalah biotipe yang sangat spesifik inang. Namun demikian, pada tumbuhan babadotan (A. conyzoides) dan daun tanah (A. inulifolium) lalat

C. connexa mampu meletakkan telur walaupun larva tidak berkembang lebih

lanjut sehingga tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya (Sipayung & Chenon 1995)

Interaksi Serangga-Tanaman dalam Pembentukan Puru

Puru (gall) adalah penyimpangan pola pertumbuhan abnormal yang dihasilkan oleh reaksi spesifik terhadap keberadaan dan aktivitas organisme asing (Anonim 2006). Puru berkembang dalam berbagai bagian tanaman seperti daun, batang, akar, buah dan bunga (Jolivet 1998). Setiap serangga membentuk hanya satu bagian spesifik dari tanaman (Anonim 2006). Bentuk, ukuran dan warna puru umumnya bervariasi (Jolivet 1998).

Istilah lain dari puru adalah cecidia. Puru yang disebabkan oleh tungau disebut acarocecidia, oleh nematoda disebut nematocecidia, oleh bakteri disebut bacteriocecidia, oleh fungi disebut mycocecidia, dan oleh serangga umum disebut entomocecidia (Jolivet 1998).

7 Pada puru yang disebabkan oleh serangga, puru terbentuk ketika tanaman bereaksi terhadap berbagai stimulus seperti cairan yang diinjeksi oleh imago pada saat meletakkan telur atau adanya larva serangga yang mengeluarkan sekresi atau saliva pada jaringan tanaman (Drees 2006). Jolivet (1998) juga mengemukakan bahwa umumnya puru belum tumbuh sebelum telur menetas menjadi larva dan mulai aktif makan jaringan tanaman. Pertumbuhan puru berhenti ketika larva menjadi pupa. Interaksi serangga dan tanaman menghasilkan tipe puru berbeda. Puru biasanya berbentuk bola, membengkak atau melengkung.

Indikator Instar Larva

Pendugaan instar larva untuk larva yang mudah diamati secara langsung biasanya dilakukan dengan pengamatan langsung secara visual pergantian kulit yang terjadi. Untuk serangga yang tidak dapat diamati secara langsung, pengukuran dilakukan terhadap struktur yang dapat dipercaya untuk identifikasi, antara lain struktur tersklerotisasi seperti mandibel dan kapsul kepala.

Beberapa contoh pendugaan instar yang pernah dilakukan misalnya, Rocha et al. (2004) yang mengukur kait mandibel dan dimensi tubuh untuk mengamati jumlah instar pada Fopius arisanus (Hymenoptera: Braconidae). Godin et al. (2002) mengukur lebar kapsul kepala Acrobasis vaccinii

(Lepidoptera: Pyralidae). Alencar et al. (2001) mengukur panjang kapsul kepala lateral dan lebar apodema kepala Simulium pervlafum (Diptera: Simuliidae). Lebar kapsul kepala sering digunakan untuk menentukan instar berbagai serangga ordo Lepidoptera (Godin et al. 2002).

Data hasil pengukuran dapat ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi. Distribusi frekuensi data pengukuran tersebut diasumsikan terdistribusi normal dan membentuk puncak-puncak, setiap puncak mewakili satu instar (Godin et al. 2002).

Jumlah instar larva pada Diptera berkisar 4-9, pada umumnya 4 instar dan kadang-kadang mereduksi menjadi 3 (Foote 1991). Chenon et al. (2002) melaporkan bahwa terdapat 3 instar pada perkembangan lalat puru C. connexa.

Spesies Gulma Eksotik Invasif Kirinyuh

Kirinyuh adalah tumbuhan perdu dengan tinggi 1,5-2 m dan kadang- kadang mencapai 6-7 m apabila terdapat pohon-pohon yang menopangnya. Tumbuhan bersifat herba pada waktu masih muda, kemudian berkayu dan bercabang-cabang banyak. Batang hijau, berbentuk silindris dan sedikit berbulu. Daun berhadapan, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, bergerigi kasar atau hampir rata dan permukaannya berbulu halus (Tjitrosoedirdjo 1989).

Bunga kirinyuh tersusun dalam tipe malai rata, terdiri atas 25-30 kepala, masing-masing kepala mempunyai 30-36, bunga bertangkai 1-2 cm. Kelopak 5, bunga putih keunguan, dan sedikit berbau. Mahkota bunga seperti genta, berlobi 5, masing-masing lobi berbentuk segitiga. Putik berbelah 2 dan panjang. Buah bersudut, berukuran panjang 5 mm coklat atau hitam dengan rambut- rambut pendek pada sudut-sudutnya.

Kirinyuh berkembang biak dengan bijinya (Tjitrosoedirdjo 1989). Pada tingkat kepadatan yang tinggi, seperti di Pantai Gading, tumbuhan ini dapat menghasilkan sekitar 109 biji/ha. Pelepasan buah sangat memerlukan kondisi cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran buah secara khas dilakukan oleh angin dan mungkin juga oleh binatang (Binggeli 1997). Tumbuhan ini termasuk dalam suku Eupatoria sub famili Lactucoideae yang sebagian besar anggotanya merupakan gulma penting.

Kirinyuh merupakan tumbuhan asli Amerika bagian selatan (McFadyen et al. 2003). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Calcuta (India) sebagai tanaman hias pada tahun 1840-an yang kemudian menyebar ke Myanmar, Assam, Benggala, dan Srilanka pada tahun 1920 (Tjitrosemito 1997). Setelah itu, kirinyuh dengan cepat tersebar luas ke Asia Tenggara. Di Indonesia,

9 kirinyuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 dari koleksi herbarium di Lubuk Pakam, Sumatera Utara oleh van Meer Mohr dan saat ini masih berada di Herbarium Bogoriense, Bogor. Saat ini, penyebaran kirinyuh meliputi seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lainnya (Tjitrosemito 1999).

Kirinyuh merupakan gulma penting pada sistem produksi pertanian, tanaman budidaya, dan hutan tanaman industri jati karena dapat berkompetisi secara kuat dengan tanaman budidaya (Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998). Sipayung dan Chenon (1995) melaporkan bahwa keberadaan kirinyuh pada tanaman perkebunan (kakao, karet, kelapa sawit) dapat menyebabkan kehilangan hasil terutama di pulau Jawa dan Kalimantan. Di daerah pengembalaan hutan lindung Pananjung, Jawa Barat, dan Taman Nasional Baluran, keberadaan kirinyuh dapat mengurangi hamparan padang pengembalaan banteng (Bos javanicus) dan rusa (Muntiacus muncak). Selain itu, kirinyuh juga dapat menimbulkan keracunan pada hewan-hewan ternak yang memakannya karena kandungan nitrat yang sangat tinggi terutama pada tunas- tunas muda yang tumbuh kembali sesudah pemangkasan (Torres & Paller 1989). Di Afrika bagian barat, tumbuhan ini mampu menekan regenerasi spesies pohon pada daerah yang mengalami suksesi, sedangkan di Afrika bagian selatan, mengurangi keanekaragaman spesies dan merupakan ancaman pada daerah tepi hutan (Binggeli 1997).

Dalam upaya mengatasi masalah gulma eksotik invasif kirinyuh di Indonesia, telah dilakukan beberapa cara pengendalian baik fisik, kimia maupun biologi. Pengendalian biologi yang telah dilakukan adalah dengan pengendalian hayati klasik yaitu mengintroduksi musuh alami dari daerah asal kirinyuh. Ada tiga serangga musuh alami yang telah diintroduksi ke Indonesia. Serangga

Dokumen terkait