• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di rumah kaca University Farm IPB di Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juli 2011.

Metode Penelitian Persiapan Tanaman Inang Sumber Inokulum

Tanaman untuk perbanyakan virus yang digunakan adalah bibit tanaman kacang panjang varietas Parade. Benih kacang panjang ditanam dalam polybag dengan menggunakan media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (1:1) dan ditempatkan di rumah kaca atau pada ruang kedap serangga untuk menghindari serangan hama terutama serangga vektor. Tanaman kacang panjang tersebut akan diinokulasi dengan BCMV secara mekanis.

Inokulasi Virus secara Mekanis

Inokulasi dilakukan secara mekanis menggunakan cairan perasan tanaman (sap) sakit. Sap dibuat dari daun tanaman yang terinfeksi BCMV. Isolat BCMV yang digunakan adalah BCMV isolat Cirebon yang berasal dari Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Daun terinfeksi digerus sampai halus didalam mortar setelah sebelumnya ditambahkan bufer fosfat (0.01M; pH 7.0) dengan perbandingan 1:10 (b:v). Daun tanaman kacang panjang yang akan diinokulasi sebelumnya ditaburi dengan carborundum (600 mesh). Sap dioleskan pada permukaan daun dengan menggunakan kapas steril dimulai dari bagian pangkal daun ke ujung secara searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama. Setelah pengolesan sap selesai, daun tanaman disiram dengan air mengalir untuk membersihkan sisa-sisa sap yang masih melekat. Tanaman yang sudah diinokulasi dipelihara dan dirawat di rumah kaca sampai muncul gejala.

Metode Indirect Enzyme -Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA)

Metode I-ELISA dilakukan dengan menggunakan tanaman yang terinfeksi BCMV. Sampel tanaman terinfeksi BCMV digerus dalam buffer coating dengan perbandingan 1:100 (b:v). Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100 µl dan diinkubasi pada suhu 4oC selama semalam. Masing-masing sumuran selanjutnya dicuci sebanyak 5-7 kali dengan phosphate buffer saline tween-20 (PBST) dan kemudian diisi dengan 100 µl antiserum BCMV yang telah dilarutkan dalam bufer ECL (bovine serum albumin 2 g, PVP 20 g, NaN3 0.2 g) (1:200).

Plat ELISA tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selam 2 jam. Masing-masing sumuran selanjutnya dicuci kembali dan kemudian diisi dengan 100 µl konjugat yang dilarutkan dalam bufer ECL dengan perbandingan 1:1000. Larutan konjugat terebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selam 2 jam. Setelah 2 jam plat dicuci 2-7 kali dengan PBST. Sumuran selanjutnya diisi dengan 100 µl PNP yang dilarutkan dalam bufer PNP. Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dilakukan pengamatan secara kuantitatif dengan menggunakan ELISA reader (Bio-RAD 550) pada panjang gelombang 405 nm. Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µl kedalam masing-masing sumuran. Pada setiap pengujian disertakan kontrol negatif yaitu tanaman sehat dan bufer.

Evaluasi metode I – ELISA dilakukan untuk menentukan batas sensitifitas, yaitu dengan melakukan pengenceran pada sap tanaman dan antiserum. Sap tanaman diencerkan secara berseri sampai 106 dan antiserum diencerkan hingga pengenceran 105.

Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA)

Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997). Sebelum digunakan membran nitroselulosa direndam dalam metanol 100% selama 10 detik dan dikering anginkan. Jaringan daun tanaman terinfeksi BCMV digerus dalam tris buffer saline (TBS dengan perbandingan 1:10 (b/v) (TBS: Tris-HCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7,5). Cairan perasan tanaman tersebut

13

selanjutnya diteteskan ke atas membran nitroselulosa sebanyak 10 μl. Setelah tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 ml larutan blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir 2%. Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam dengan menggunakan EYELA multi shaker MMS. Membran kemudian dicuci 5 kali dengan dH2O, tiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung antibodi 5 μl ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi semalam pada suhu kamar sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST). Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang mengandung konjugat 5 μl (goat anti rabbit-IgG, Sigma, USA) ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Membran selanjutnya dicuci kembali dengan TBST dan direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer substrat (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M dan MgCl2 5 mM) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 66 μl dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 μl. Bila reaksi positif akan terjadi perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan perasan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dalam dH2O.

Evalusi metode DIBA dilakukan dengan perlakuan pengenceran sap tanaman hingga 106 dan penggunaan dua membran yang berbeda yaitu Amersham HybondTM-P dan Nitropure GE untuk menentukan sensitifitas metode deteksi.

Metode Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Tahapan metode deteksi BCMV menggunakan metode RT-PCR terdiri atas tahapan ekstraksi RNA total, transkripsi balik, dan amplifikasi cDNA.

Ekstraksi RNA Total. Metode ekstraksi RNA dilakukan dengan menggunakan NucleoSpin RNA Plant mini kit mengikuti metode Macherey-Nagel (2010). Daun tanaman kacang panjang yang sakit (0,1 g) digerus menggunakan pistil dan mortar steril yang didalamnya telah diisi dengan nitrogen cair hingga menjadi bubuk.

Sebanyak 350 μl bufer RA1 yang telah ditambahkan 1% merkaptoetanol (3.5 μl) dimasukkan ke dalam hasil gerusan yang telah menjadi bubuk. Sap yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung mikro1.5 ml kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 1 menit. Sap tanaman dipindahkan dalam tabung mikro yang baru tanpa endapannya dan ditambahkan 350 μl etanol 70%. Sap dipindahkan ke dalam kolom ungu dan disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk ditambahkan 350 μl MBD (Membrane Desalting Buffer) dan kemudian dipindahkan dalam kolom biru. Hal ini dilakukan dengan tanpa menyentuh pelet di dasar tabung. Sebanyak 95 μl DNase ditambahkan dalam kolom biru dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit.

Proses selanjutnya adalah pencucian dan pengeringan membran silika. Proses pencucian dilakukan sebanyak tiga kali dengan bufer pencucian yang berbeda. Sebanyak 200 μl RA2 ditambahkan pada kolom biru kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 30 detik. Pencucian kedua dilakukan dengan menambahkan RA3 sebanyak 600 μl pada kolom biru lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 30 detik. Pencucian ketiga dilakukan dengan menambahkan bufer yang sama pada pencucian kedua, tapi hanya sebanyak 250 μl dan disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selam 2 menit. Setiap proses pencucian kolom biru sebelumnya dipindahkan ke collection tube baru lalu ditambahkan bufer-bufer pencucian. Untuk memastikan bahwa kolom biru benar-benar kering, selanjutnya kolom dipindahkan lagi ke collection tube baru dan disentrifugasi lagi 11 000 rpm selama 1 menit. Kolom dipindahkan ke tabung mikro 1.5 ml baru dan ditambahkan 60 μl RNase- free water ke permukaan saringan dalam kolom sehingga pelet tergenang, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 1 menit. Hasil ekstraksi disimpan pada suhu -80oC sampai akan digunakan.

Transkripsi Balik (Reverse Transcription). Reaksi transkripsi balik (10 μl) terdiri atas 2.2 μl water free nuclease, 2 μl bufer RT 10x, 0.35 μl dNTP 10 mM, 0.75 μl oligo d(T) 10 μM, 0.35 μl RNAse Inhibitor, 0.35 μl MmULV RT, dan 2 μl RNA sampel ditambahkan kedalam tabung mikro. Tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700) dengan

15

kondisi RT; 25oC selama 5 menit, 37oC selama 90 menit dan 70oC selama 15 menit. Hasil akhir dari RT adalah produk cDNA yang akan digunakan pada reaksi selanjutnya yaitu PCR.

Amplifikasi cDNA. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan pasangan primer yaitu BIC-cpF (5’-TCA GGA ACT GGG CAG CCG CAA C-3’) dan BIC-cpR (5’-CTG CGG GGA ACC CAT GCC AAG-3’). Reaksi amplifikasi (25 μl) terdiri atas 16.3 μl water free nuclease, 2.5 μl PCR buffer, 0.2 μl dNTP, 2.5 μl sucrose creasol, 1μl primer BIC-F, 1 μl primer BIC-R, 1 μl taq polymerase, 1 μl cDNA hasil RT. Semua bahan tersebut diisi ke dalam tabung mikro, selanjutnya tabung mikro tersebut dimasukkan ke dalam thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700). Amplifikasi BCMV dilakukan sebanyak 35 siklus mengikuti metode Udayashankar et al. (1995) melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan utas DNA pada suhu 94 oC selama 2 menit, penempelan primer pada DNA 68 oC selama 1 menit dan sintesis DNA pada suhu 72 oC selama 1 menit. Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis selama 10 menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 4 oC.

Evaluasi metode RT-PCR dilakukan dengan perlakuan pengenceran cDNA hingga 105 untuk menentukan batas cDNA yang dapat digunakan untuk deteksi BCMV.

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR dilakukan melalui tahapan ekstrasi DNA, amplifikasi DNA, dan visualisasi hasil PCR dengan gel agarosa.

Ekstrasi DNA Total Tanaman. Ekstrasi DNA total dilakukan menggunakan metode CTAB (Doyle & Doyle, 1990) dengan beberapa modifikasi. Bufer ekstraksi (2% CTAB, 100 mM Tris pH 8, 10 mM EDTA, 5 M NaCl, 1% 2-β -makaptoetanol) dipanaskan sebanyak 10 ml dalam penangas air 65oC. Sampel daun sebanyak 0.1 g digerus dalam 500 µl bufer, setelah itu dimasukkan dalam tabung mikro berukuran 2 ml. Hasil campuran selanjutnya diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65oC selama 60 menit. Setiap 10 menit tabung dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Setelah 60 menit tabung yang berisi campuran tersebut diambil dari penangas dan didiamkan sebentar (2 menit) pada suhu ruang,

kemudian ditambahkan 1 ml campuran Kloroform:Isoamilalkhohol (CI) dengan perbandingan 24:1 (v : v). Agar tercampur dengan baik tabung divorteks selama 5 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit dan diambil supernatannya. Supernatan yang diperoleh diambil secara hati-hati dan dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 0.1 volume sodium asetat (CH3COOH 3M pH 5.2) dicampur dengan rata dan ditambahkan 2.5 volume etanol absolut dan diinkubasi pada suhu -20oC selama satu malam. setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Pelet hasil sentrifugasi dicuci dengan menambahkan etanol 70%, kemudian disentrifugasi kembali selama 10 menit dan dibuang supernatannya, selanjutnya pelet dikeringkan. Setelah kering, pelet yang diperoleh dilarutkan dengan 60 μl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0, 1 mM EDTA).

Amplifikasi DNA. Metode amplifikasi dilakukan mengikuti metode yang dilakukan oleh Rojas et al. (1993). Reaksi PCR (volume total 25 μl) dilakukan dengan mencampurkan water free nuclease, 16.3 μl bufer PCR, 2.5 μl sucrose cresol, 0.5 μl dNTP, 1 μl masing-masing primer pAL1v 1978 (5’GCA TCT GCA GGC CCA CAT YGT CTT YCC NGT 3’)pAR1c 715 (5’ GAT TTC TGC AGT TDA TRT TYT CRT CCA TCC A 3’) (Rojas et al. 1993), 0.2 μl unit Taq DNA polimerase, dan 1 μl DNA template. PCR dilakukan pada reaksi sebagai berikut: satu siklus optimasi pada suhu 94oC selama 1 menit, 30 siklus yang terdiri dari tahap denaturasi DNA pada suhu 94oC selama 1 menit, tahap penempelan primer ke DNA target pada suhu 55oC selama 2 menit, dan tahap pemanjangan DNA pada suhu 72oC selama 10 menit yang diakhiri pada suhu 4oC untuk penyimpanan.

Visualisasi Hasil PCR. Hasil PCR divisualisasi pada 1% gel agarosa dalam 0.5x bufer TBE (Tris-borate EDTA) dengan tegangan 100 volt selama 25 menit. Gel diamati dengan UV transilluminator setelah diwarnai dengan etidium bromida.

Deteksi Virus dari Sampel Kacang Panjang Bergejala

Sampel daun kacang panjang yang menunjukkan gejala mosaik diperoleh dari beberapa pertanaman kacang panjang. Pengambilan sampel dilakukan di Bogor (Balebak, Situ Gede, Bubulak, Cibereum, Cikabayan) dan Brebes.

17

Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan mengumpulkan daun dari tanaman yang menunjukkan gejala. Gejala pada tanaman diamati dan dicatat. Sampel tanaman tersebut kemudian digunakan untuk diagnosis BCMV menggunakan metode serologi (DIBA) dan molekuler (PCR dan RT-PCR).

Perbanyakan Sumber Inokulum Virus

Tanaman kacang panjang varietas Parade yang diinokulasi BCMV mulai menunjukkan gejala pada 7 hari setelah inokulasi. Gejala pada daun kacang panjang diawali dengan lepuhan atau daun mengkerut dan malformasi pada daun muda dan gejala berkembang mejadi mosaik pada daun tua (Gambar 1). Djikstra & De Jegger (1998) melaporkan tanaman kacang panjang yang terinfeksi oleh beberapa strain BCMV menunjukkan gejala yang mirip dengan hasil penelitian yaitu menunjukkan daun mosaik, klorosis, dan malformasi pada daun-daun muda.

Gambar 1. Gejala infeksi BCMV pada kacang panjang varietas Parade: (A) Gejala melepuh pada daun muda, (B) Gejala mosaik.

Deteksi BCMV dengan Metode I – ELISA

Metode ELISA merupakan suatu metode pengujian serologi yang didasarkan pada terbentuknya kompleks ikatan antara antibodi dengan antigen di dalam sumuran plat mikrotiter ELISA yang terbuat dari bahan plastik. Jika terjadi reaksi kompatibel antara antibodi dengan antigen akan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna (Dijkstra et al. 1998). Pengamatan secara visual terhadap perubahan warna yang terjadi pada plat mikrotiter ELISA menunjukkan perbedaan warna kuning. Warna kuning terlihat sangat jelas pada pengenceran sap 1:102 dan warna kuning semakin berkurang dengan semakin tingginya pengenceran sap tanaman. Begitu juga dengan pengenceran antiserum, semakin tinggi pengenceran maka warna kuningnya akan semakin berkurang. Hasil

19

pembacaan nilai absorbansi ELISA (NAE) pada 405 nm menunjukkan bahwa pada pengenceran sap 1: 102 NAE dapat mencapai lebih dari 6 kali NAE kontrol negatif bila konsentrasi antiserum yang digunakan adalah 100 dan 101 (Tabel 1 dan Lampiran 1). Nilai absorbansi tersebut menurun mengikuti faktor pengenceran antiserum. Pada pengenceran sap 1:103 NAE dapat mencapai lebih dari 2 kali NAE kontrol negatif untuk konsentrasi antiserum 1: 100 dan 1: 10 dan NAE akan menurun mengikuti faktor pengenceran antiserum. Batas sensitifitas pengujian dengan metode I-ELISA adalah pada tingkat pengenceran sap tanaman 1:103 dengan pengenceran antiserum 102. Batas sensitifitas yang sama dilaporkan oleh Opriana (2009) pada pengujian ChiVMV dengan ELISA.

Tabel 1 Hasil pengujian BCMV menggunakan metode I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran cairan perasan tanaman dan antiserum.

- : nilai absorban < 2 kali kontrol negatif + : nilai absorban 2 kali kontrol negatif ++ : nilai absorban > 2 – 4 kali kontrol negatif +++ : nilai absorban > 4 - 6 kali kontrol negatif ++++ : nilai absorban > 6 kali kontrol negatif.

Deteksi BCMV dengan Metode DIBA

Metode DIBA menggunakan membran HybondTM-P Amersham dan Nitropure science GE memberikan reaksi positif yang ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran (Gambar 2). Reaksi positif yang ditunjukkan oleh warna ungu yang sangat tebal terlihat pada tingkat pengenceran sap 1:102 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran berikutnya. Perubahan reaksi tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya, konsentrasi virus yang terkandung dalam sap tanaman. Semakin tinggi konsentrasi virus maka akan memberikan reaksi yang semakin kuat pada membran, begitu

Pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi Pengenceran antiserum 100 101 102 103 104 105 1: 102 ++++ ++++ ++ - - - 1: 103 ++ ++ - - - - 1: 104 - - - - 1: 105 - - - - 1: 106 - - - -

juga sebaliknya semakin rendah konsentrasi virus pada sap tanaman maka akan memberikan reaksi lemah pada membran.

Reaksi positif pada membran HybondTM-P Amersham dapat terlihat sampai tingkat pengenceran sap 1: 105 sementara pada membran Nitropure science GE reaksi positif terlihat sampai tingkat pengenceran sap 1: 104. Perbedaan sensitifitas kedua membran disebabkan oleh kualitas dan kondisi membran. 1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 2 Reaksi perubahan warna pada metode DIBA dengan berbagai tingkat pengenceran sap dengan menggunakan membran HybondTM-P Amersham (A) dan Nitropure science GE (B). Sampel pada masing-masing membrane terdiri atas Bufer (1), daun tanaman sehat (2), daun tanaman terinfeksi (3), daun tanaman bergejala berturut-turut dengan faktor pengenceran 102, 103, 104, 105, dan 106 (4 sampai 8).

21

Deteksi BCMV dengan RT – PCR

Amplifikasi menggunakan pasangan primer BIC-cpF dan BIC-cpR menghasilkan produk yang berukuran sekitar 850 pasang basa (bp) (Gambar 3). Pengenceran bertingkat terhadap cDNA yang digunakan sebagai DNA cetakan pada tahap amplifikasi menunjukkan bahwa semakin banyak cDNA yang digunakan maka hasil amplifikasi akan semakin jelas. Produk amplifikasi DNA berkorelasi positif dengan konsentrasi cDNA. Pita DNA masih terbentuk pada pengenceran cDNA 104 dan pita tidak terbentuk lagi pada pengenceran 105, 106 dan 107.

100 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang terinfeksi BCMV dengan cDNA yang diencerkan bertingkat menggunakan primer BIC-F dan BIC-R. (M) Marker 1 kb; (1) tanaman sehat; sampel cDNA yang diencerkan bertingkat berturut- turut 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 (2 sampai 9).

Deteksi Sampel dari Lapangan

Gejala pada tanaman kacang panjang di lapangan cukup beragam antara satu tempat dengan tempat lainnya. Gejala mosaik kuning ditemukan pada tanaman di Bubulak, Balebak, Brebes, dan Situ Gede sedangkan gejala melepuh ditemukan pada tanaman di Cibereum dan Cikabayan (Gambar 4).

500 bp

850 bp 1000 bp

Gambar 4 Gejala pada daun tanaman kacang panjang dari berbagai lokasi. (1) Bubulak; (2) Balebak; (3) Cibereum; (4) Situ gede; (5) Cikabayan. Deteksi BCMV dengan RT-PCR. Amplifikasi BCMV menggunkan primer BIC-cpF dan BIC-cpR menghasilkan pita DNA sekitar 850 bp untuk semua sampel dari lapangan (Gambar 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa semua sampel positif terinfeksi BCMV.

Gambar 5 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman kacang panjang yang terinfeksi BCMV menggunakan primer BIC-cpF dan BIC-cpR. (M) Marker 1 kb; (1) tanaman sehat; (2) tanaman terinfeksi; (3) Sampel Cibereum; (4) Sampel Brebes; (5) Sampel Cikabayan; (6) Sampel Balebak; (7) Sampel Situ gede; (8) Sampel Bubulak.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 4 5 3 500 bp 850 bp 1000 bp

23

Deteksi BCMV dengan DIBA. Membran HybondTM-P Amersham digunakan untuk deteksi virus dengan metode DIBA untuk sampel lapangan, karena sensitifitasnya lebih tinggi saat digunakan untuk menguji sampel dari rumah kaca. Pada deteksi BCMV sampel lapangan dengan menggunakan metode DIBA, diperoleh reaksi positif pada semua isolat BCMV pada tingkat pengenceran 1 : 102. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran (Gambar 6). Semua sampel menunjukkan reaksi positif dengan signal kuat pada tingkat pengenceran 1: 102 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran berikutnya. Secara umum, sampel yang diuji sudah tidak lagi menunjukkan signal positif pada tingkat pengenceran 1 : 104 kecuali pada sampel Brebes dan Situ Gede yang menunjukkan signal positif hanya sampai pengenceran 1: 102.

Tingkat pengenceran Isolat 1 2 2 3 4 5 6 Tanaman sehat Tanaman terinfeksi 1:102 1:103 1:104 1:105 1:106 Bufer

Gambar 6 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai tingkat pengenceran sap menggunakan 6 isolat BCMV (1) Cibereum, (2) Brebes, (3) Cikabayan, (4) Balebak, (5) Situ gede, (6) Bubulak.

Deteksi Geminivirus dengan PCR. Deteksi Geminivirus dilakukan karena sampel yang diambil dari lapangan menunjukkan gejala yang diduga berasosiasi dengan infeksi Geminivirus yaitu gejala kuning pada daun. Dari enam sampel yang diuji terdapat empat sampel (Cirebon, Cikabayan, Balebak, dan Bubulak) yang menghasilkan pita DNA berukuran 1600 bp sesuai yang dilaporkan Aidawati (2000) (Gambar 7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa gejala kuning yang disertai mosaik pada tanaman kacang panjang merupakan gejala infeksi Geminivirus. Perbedaan ketebalan pita DNA dapat disebabkan oleh konsentrasi virus dalam jaringan tanaman.

Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR dari tanaman kacang panjang yang terinfeksi Geminivirus menggunakan primer pAL1v 1978 dan pAR1c 718. (M) Marker 100 base pairs (bp); (1) tanaman sehat; (2-8) sampel berturut- turut berasal dari Cirebon, Cibereum, Brebes, Cikabayan, Balebak, Situ gede, Bubulak.

Pembahasan

Deteksi dan identifikasi virus dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan dengan pengujian tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1998; Hull 2002).

Metode ELISA dan DIBA merupakan metode serologi yang banyak digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tumbuhan. Dalam metode

M 1 2 3 4 5 6 7 8

1600 bp 1000 bp

25

ini antiserum dikonjugasikan dengan enzim, sehingga bila ditambahkan substrat enzim maka kompleks antigen-antibodi dalam jumlah yang sedikit saja dapat tervisualisasi. Hasil yang diperoleh pada metode ELISA dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer (ELISA reader) sementara hasil DIBA hanya dapat dianalisis secara kualitatif. Keuntungan uji ELISA adalah sensitifitas yang sangat tinggi yaitu dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (1-10 ng/ml), dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, penggunaan antiserum yang sedikit, dan hasilnya dapat diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif, serta prosedur pengujian yang mudah. Karena keuntungan tersebut, ELISA dengan cepat menggantikan semua teknik seri diagnostik yang lain (Agrios 1997; Dijkstra et al. 1998).

Deteksi serologi dengan metode Indirect ELISA memberi hasil positif untuk BCMV sampai pengenceran sap 103 dan pengenceran antiserum 103. Tingkat pengujian yang lebih sensitif diperoleh dengan metode DIBA yang mampu memberikan hasil positif sampai pengenceran sap 105. Batas sensitifitas sap DIBA lebih tinggi dibandingkan dengan metode I-ELISA dan hanya memerlukan antiserum yang lebih sedikit dibandingkan dengan I-ELISA untuk pengujian dengan sampel yang sama.

Dewasa ini metode deteksi yang lebih banyak digunakan adalah metode deteksi berdasarkan sifat molekuler virus. Metode ini lebih sensitif, akurat, dan lebih efisien dalam penggunaan waktu dan tenaga. Hasil visualisasi elektroforesis menunjukkan bahwa metode RT-PCR berhasil mengamplifikasi BCMV dengan konsentrasi template cDNA yang rendah. Hal tersebut menunjukkan keunggulan teknik PCR yaitu kemampuan mendeteksi virus dari jaringan tanaman dengan konsentrasi virus yang rendah.

Apabila dilakukan pengkajian terhadap metode deteksi I-ELISA, DIBA, dan PCR, masing- masing metode deteksi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan (Tabel 2). Dari segi kepraktisan pelaksanaan pengujian metode I-ELISA dan DIBA termasuk metode yang mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat pembacaan hasil yang canggih. Hal ini disebabkan hasil I-ELISA dan DIBA dapat ditentukan dengan membandingkan warna substrat antar sampel, kontrol

positif,kontrol negatif, dan larutan penyangga. Sebaliknya, RT-PCR tidak dapat dilakukan pada kondisi lapangan karena memerlukan peralatan yang canggih.

Teknik RT-PCR memiliki keunggulan pada aspek kecepatan diagnosis. Waktu yang dibutuhkan dalam teknik RT-PCR adalah sekitar 6,5 jam, sedangkan untuk teknik I-ELISA dan DIBA sekitar 10 - 15 jam (bila dilakukan secara overnight akan memakan waktu selama 22 - 30 jam) (Tabel 2). Teknik RT-PCR memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada teknik I-ELISA. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, dibutuhkan keterampilan yang tinggi. Ketrampilan dalam melakukan berbagai pengujian dapat diperoleh melalui latihan yang intensif sehingga hasil pengujian yang diperoleh akan optimal.

Berdasarkan kebutuhan biaya pengujian I-ELISA dan DIBA memerlukan biaya lebih rendah daripada RT-PCR (Tabel 2), karena bahan-bahan untuk I-ELISA dan DIBA relatif lebih murah. Perhitungan biaya I-I-ELISA dan RT-PCR menunjukkan bahwa untuk 1 sampel uji yang dilakukan secara duplo, teknik I-ELISA hanya membutuhkan biaya Rp 5.500,- sedangkan tiap sampel uji RT-PCR membutuhkan biaya sekitar Rp 103.000,- (Kartiningtyas et al. 2006).

Ketersediaan metode deteksi virus yang sangat beragam perlu disikapi

Dokumen terkait