• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Metode I-ELISA, DIBA dan RT-PCR dapat digunakan untuk mendeteksi Bean common mosaic potyvirus (BCMV) dengan tingkat sensitifitas yang berbeda- beda. Tingkat sensitifitas metode I-ELISA adalah sampai pada tingkat pengenceran antigen 103 dan antiserum 102, sementara metode DIBA mempunyai sensitifitas lebih tinggi, karena masih dapat mendeteksi hingga tingkat pengenceran sap 105. Sensitifitas RT-PCR dalam mendeteksi BCMV lebih tinggi dibandingkan DIBA dan I-ELISA karena jumlah sampel daun tanaman minimal yang digunakan untuk pengujian lebih kecil. Akurasi dan biaya RT-PCR lebih tinggi daripada I-ELISA dan DIBA. Dari segi waktu pengujian RT-PCR lebih cepat dibandingkan dengan I-ELISA dan DIBA.

Saran

Perlu dilakukan sekuensing terhadap hasil PCR BCMV dan pengujian lebih lanjut terhadap Geminivirus serta virus- virus yang lain yang mungkin berasosiasi dengan BCMV pada tanaman kacang panjang.

WE, Petersen MA, Peyser B, Patte C, Hiebert E. 2002. Serological studies using polyclonal antisera prepared against the viral coat protein of four Begomovirus expressed in Escherichia coli. Plant Dis 86:1109-1114. Agdia Incorporated. 2009. Metode I-ELISA. Indiana, USA

Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed.ke-4. San Diego : Academic press.

Aidawati N. 2000. Penularan virus kerupuk tembakau dengan Bemisia tabaci genn. (Homoptera: Aleyrodidae)[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Anwar A, Sudarsono, Ilyas S, 2005. Indonesian Vegetable Seeds: Current Condition and Prospects in Business of Vegetable seeds. Bul Agron 33: 38-47.

[CABI] Center for Agriculture and Bioscience International. 2007. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. CABI Publish.

Damayanti TA, Alibi OJ, Naidu RA, Rauf A. 2009. Severe Outbreak of a Yellow Mosaic Disease on the Yard Long Bean in Bogor, West Java. HAYATI Journal of Biosciences 16: 78-82.

Damayanti TA, Gede S, Nurdianto, Rustiani US, Mugiono. 2005. Kajian sifat biologi-ekologi dan molekuler Banana streak virus isolat Indonesia (BSV-In) virus baru pada tanaman di Indonesia. [laporan penelitian]. IPB

Djikstra J, De Jegger. 1998. Practical Plant Virology: protocol and Exercise. Boston: Springer.

Drijfhout, Bos L. 1977. Classification of strains of bean common mosaic virus. Neth. J. Pl. Path 83: 13.

Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of Plant DNA from Fresh Tissue. Focus 12: 13- 15.

Foster GD, Taylor SC. 1998. Plant Virology Protocols. From virus isolation to transgenic resistence. New Jersey: Human Press.

Galvez GE, Morales FJ. 1989. Aphid-transmitted Viruses. Di dalam : H. F. Schwartz and M. A & Pastor-Corrales, editor. Bean Production Problems in the Tropics. Ed ke-2. Colombia : Cent. Int. Agric. Trop. (CIAT). Hlm 333-361.

Haryanto E, Suhartini T, Rahayu E. 1999. Budi Daya Kacang Panjang. Jakarta; Penebar Swadaya.

Hidayat SH. 1999. Keragaman genetik virus-virus Gemini di Indonesia: kisaran inang dan karakter molekuler [laporan penelitian]. IPB.

29

Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York: Cold Springer Harbor Laboratory Press.

Kadir M. 2002. Deteksi vrus penyebab penyakit kerupuk pada tanaman tembakau (Nicotinia tabacum L) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kartiningtyas, Hidayat SH. 2006. Deteksi Turnip mosaic virus (TuMV) pada benih dan jaringan daun. J HPT Tropica 6: 32-40

Langeveld SA et al. 1991. Identification of potyvirus using the polymerase chain reaction with degenerate primer. J Gen Virol 69: 1351-1357.

Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253.

Morales FJ, Bos L. 1988. Bean Common Mosaic Virus. Description of Plant Viruses 37.

Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika. Ed ke-2. Bogor: IPB Press.

Mulyaman S. 2009. Mewaspadai OPT baru yang eksplosif dan upaya penanggulangannya. Sinar Tani 28 Mei 2009 No. 3254.

Nazaruddin. 2003. Budi daya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Naidu RA, Hughes JDA (2003). Methods for the detection of plant viral diseases in plant virology in sub-Saharan Africa, Proceedings of plant virology, IITA, Ibadan, Nigeria. Eds. Hughes JDA, Odu B, pp. 233- 260.

Nurulita S. 2011. Identifikasi Tomato infectious chlorosis virus (TiCV) dan Tomato chlorosis virus (ToCV) melalui Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) dan sikuen nukleotida [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robertson NL, French R, Gray SM. 1991. Use of group-spesific primers ant the

polymerase chain reaction for the detection and identification of Luteovirus. J Gen Virol 72: 1473-1477.

Rojas ME, Gilbertson RL, Russel DR, Maxwell DP. 1993. Use of the generate primers in the polymerase chain reaction to detect whitefly- Transmitted Geminiviruses. Plant Dis 77: 340- 347.

Shukla DD, Ward CW, Brunt AA. 1994. The Potyviridae. CAB INTERNATIONAL. United Kingdom.

Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam detesi TMV dengan DIBA. J perlind Tan Indo 1: 1- 5.

Statistik Indonesia. 2011. Production of Vegetables in Indonesia. http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table7.shtml. [7 September 2011]. Sudarshana MR, Wang HL, Lucas WJ, Gilbertson RL. 1997. Dynamics of Bean

dwarf mosaic geminivirus cell-to-cell and long distance movement in Phaseolus vulgaris revealed, using the green fluorescent protein. MPMI 4:277-291.

Susila AD. 2005. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bogor: IPB Press.

Udayashankar AC, Nayaka SC, Kumar HB, Mortensen CN, Shetty HS, Prakash HS. 2010. Establishing inoculum threshold levels for Bean. common mosaic virus strain blackeye cowpea mosaic infection in cowpea seed. African Journal of Biotechnology 9: 53.

Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: di Offset.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi BCMV pada berbagai tingkat pengenceran cairan perasan tanaman dan antiserum menggunakan metode I-ELISA*.

Pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi ** Pengenceran antiserum 101 102 103 104 105 106 1: 102 1.643 2.026 0.514 0.425 0.723 0.491 1: 103 0.446 0.764 0.340 0.360 0.220 0.185 1: 104 0.367 0.269 0.360 0.431 0.203 0.192 1: 105 0.168 0.257 0.269 0.248 0.237 0.265 1: 106 0.118 0.218 0.399 0.186 0.159 0.093 kontrol negatif 0.214 0.210 0.220 0.239 0.406 0.320

* Sampel dinyatakan positif bila nilai absorbansinya lebih dari dua kali nilai absorbansi control negatif yaitu sampel tanaman sehat

Penyakit Mosaik pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Berdasarkan Teknik Serologi dan Polymerase Chain Reaction. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam usaha tani. Penyakit mosaik kacang panjang merupakan penyakit penting karena dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi. Penyakit mosaik pada kacang panjang dapat disebabkan oleh beberapa virus antara lain Bean common mosaic potyvirus (BCMV). Deteksi BCMV dapat dilakukan berdasarkan metode serologi dan PCR. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi terhadap tiga metode deteksi yaitu Indirect Enzym Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA), Dot Immunobinding Assay (DIBA), dan RT-PCR untuk menentukan metode deteksi yang dapat digunakan sebagai metode diagnosis BCMV pada kacang panjang. Sampel yang digunakan adalah isolat virus (BCMV) asal Cirebon yang diperbanyak di rumah kaca. Evaluasi metode deteksi ditujukan untuk menentukan batas sensitifitas, yaitu dengan melakukan pengenceran pada sap tanaman dan antiserum (I-ELISA dan DIBA) atau cDNA (RT-PCR). Berdasarkan pengukuran nilai absorbans ELISA diketahui bahwa batas sensitifitas metode I-ELISA adalah pada tingkat pengenceran sap 1:103 dan pengenceran antiserum 102. Berdasarkan intensitas warna pada menbran nitroselulosa ditetapkan bahwa batas sensitifitas metode DIBA adalah pada tingkat pengenceran sap 1:105. Metode RT-PCR memiliki batas sensitifitas yang lebih tinggi karena pita DNA masih terbentuk pada pengenceran cDNA 104. Deteksi sampel lapangan yang berasal dari Kabupaten Bogor (Bubulak, Balebak, Cikabayan, Cibereum, dan Situ gede) dan Kabupaten Brebes berhasil mendiagnosis BCMV dan Geminivirus sebagai penyebab penyakit mosaik kacang panjang.

Kata kunci: Kacang panjang, Bean common mosaic potyvirus (BCMV), I-ELISA, DIBA, RT-PCR

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang sudah lama dikenal dan digemari banyak orang. Selain rasanya enak, kacang panjang sangat penting sebagai sumber vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral terutama pada polong yang muda. Biji kacang panjang mengandung protein, lemak, dan karbohidrat, sehingga kacang panjang merupakan sumber protein nabati yang baik bagi manusia ( Haryanto et al. 1999).

Tanaman kacang panjang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai komoditi usaha tani, karena selain mudah dibudidayakan, pangsa pasarnya juga cukup tinggi. Salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi kacang panjang adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Selain hama dan penyakit, faktor kendala yang dihadapi petani dalam mengembangkan usahatani kacang panjang adalah harga di pasar yang relatif rendah dan penggunaan benih dengan mutu yang rendah.

Salah satu penyakit yang sering ditemui pada tanaman kacang panjang adalah penyakit mosaik. Penyakit mosaik merupakan penyakit penting karena dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi kacang panjang. Penyakit mosaik tersebut dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus, diantaranya Bean common mosaic potyvirus (BCMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV) (Damayanti et al. 2009).

Penyakit mosaik pada kacang panjang dapat ditularkan melalui benih, secara mekanis, dan serangga vektor yaitu kutudaun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae). A. craccivora dapat menularkan lebih dari 30 virus tanaman secara non persisten. Peranan A. craccivora dalam menularkan virus di lapangan sangat penting, apalagi keberadaan kutudaun dapat terjadi sepanjang tahun (Galvez & Morales 1989). Selain kacang panjang, virus mosaik dapat menginfeksi tanaman dari famili leguminosae yang lain seperti Calopogonium mucuniodes, Crotalaria brevidens, Pisum sativum, Vigna unguiculata, Gliycine max,Trifolium hybridum, T. pretense, T. repensdan infeksinya bersifat sistemik (CABI 2007).

Beberapa tahun terakhir (2008-2011) dilaporkan adanya peningkatan kejadian penyakit mosaik kacang panjang di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten (Mulyaman 2008). Damayanti et al. (2009) melaporkan bahwa salah satu virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik tersebut adalah BCMV dan CMV. Hasil diagnosis lainnya menyimpulkan adanya infeksi Geminivirus pada tanaman kacang panjang yang menunjukkan gejala mosaik kuning (S. H Hidayat 11 Juli 2011, komunikasi pribadi). Hasil diagnosis tersebut menunjukkan pentingnya upaya deteksi dan diagnosis penyebab penyakit yang akurat dan benar.

Teknik deteksi (virus) yang akurat menjadi persyaratan dalam tahapan awal diagnosis penyebab penyakit. Teknik dasar yang sejak lama dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tanaman adalah melalui pengamatan partikel virus menggunakan mikroskop elektron, pengamatan gejala pada tanaman terinfeksi, uji kisaran inang, dan uji penularan virus (Akin 2006). Teknik deteksi menggunakan uji serologi seperti ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan DIBA (Dot Immunobinding Assay) telah dikembangkan sejak tahun 1970-an (Hull 2002). Teknik deteksi tersebut didasarkan pada reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Dilaporkan bahwa teknik serologi tersebut sangat baik untuk deteksi virus tumbuhan. Teknik deteksi lain yang sering digunakan dewasa ini adalah teknik deteksi molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) yang memanfaatkan sifat spesifk urutan nukleotida virus (Akin 2006). Teknik PCR telah umum digunakan untuk mendeteksi virus, seperti Virus kerupuk daun tembakau (Kadir 2002), Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) pada cabai (Opriana 2011), Tomato chlorosis virus (ToCV) dan Tomato infectious choloris virus (TiCV) (Nurulita 2011). Pemilihan teknik deteksi yang tepat sangat menentukan hasil deteksi, karena teknik deteksi yang kurang baik akan menyebabkan kerancuan pada identifikasi penyebab penyakit.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap tiga metode deteksi virus, yaitu ELISA, DIBA dan RT-PCR untuk menentukan metode deteksi yang dapat digunakan sebagai metode diagnosis BCMV pada kacang panjang.

3

Manfaat Penelitian

Metode deteksi yang diperoleh dalam penelitian ini akan sangat berguna dalam mendeteksi penyebab penyakit pada tanaman kacang panjang. Ketepatan identifikasi penyebab penyakit merupakan langkah awal dalam mengembangkan strategi manajemen dan pengendalian virus.

Budi Daya Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

Kacang panjang termasuk dalarn divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Leguminosae, genus Vigna, spesies Vigna sinensis L. (Susila 2005).

Budi daya kacang panjang dapat dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Namun demikian tanaman ini tumbuh lebih baik pada ketinggian kurang dari 600 m dpl. Oleh sebab itu, kacang panjang banyak diusahakan di dataran rendah dan digolongkan dalam sayuran dataran rendah. Sebelum dilakukan penanaman benih kacang panjang perlu dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu seperti penggemburan, pembuatan bedengan, dan pengapuran. Tanaman kacang panjang membutuhkan tanah yang gembur yaitu tanah yang kaya akan bahan organik atau ditambah pupuk kandang pada saat pengolahan tanah agar tumbuh dengan baik, Pemeliharaan yang umum dilakukan pada pertanaman kacang panjang adalah penyulaman, penyiangan, penyiraman, pemangkasan cabang, dan pemupukan. Tanaman kacang panjang mulai berbunga pada umur 30 hari setelah tanam dan pemanenan polong kacang panjang dapat dilakukan setelah tanaman berumur 45 hari (Susila 2005).

Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang

Produksi rata- rata kacang panjang Indonesia pada tahun 1997 sampai tahun 2000 adalah 400.66 ton, sedangkan produksi rata-rata pada tahun 2001 sampai tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 313.743 ton. Penurunan produksi kacang panjang disebabkan karena luasan panen mengalami penurunan sebanyak 12% (sekitar 70.000 ha), produktivitas tanaman yang rendah yakni 10,09 ton/ha, penggunaan benih dengan mutu yang kurang baik, dan gangguan hama penyakit tanaman (Statistik Indonesia 2011).

Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain, tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutukebul

5

Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae), kutudaun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae) dan ulat penggerek polong Maruca restualis (Lepidoptera : Crambidae). Upaya yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara biologi dengan menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp dan laba-laba (Anwar et al. 2005).

Beberapa penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya layu cendawan (Fusarium sp.), antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru akar (Meloidogyne sp), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV) (Anwar et al. 2005). Penyakit mosaik kuning kacang panjang dilaporkan oleh Damayanti et al. (2009) disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV).

Sifat-sifat Penting BCMV

Bean common mosaic potyvirus (BCMV) termasuk dalam famili Potyviridae dan genus Potyvirus (Agrios 1997). Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini. Partikel virus ini berbentuk batang panjang lentur dengan kisaran panjang 720-770 nm dan lebarnya 11-12 nm. Tipe asam nukleatnya adalah RNA utas tunggal. Berat molekul asam nukleatnya yaitu 2,3-4,3 juta kDa. Kandungan asam nukleat dalam partikel virus sebesar 5% dan kandungan protein dalam mantelnya sebesar 95%. Nukleokapsid merupakan subunit protein yang membentuk mantel protein yang menyelubungi asam nukleat. Asam nukleat yang diselubungi oleh mantel protein menyebabkan virus bersifat virulen atau menimbulkan penyakit (Shukla et al. 1994).

Penyakit mosaik yang disebabkan oleh BCMV merupakan penyakit penting pada tanaman kacang-kacangan. BCMV mempunyai kisaran inang tidak terbatas pada tanaman Phaseolus spp., tetapi dapat juga menyerang tanaman leguminosae yang lain (CABI 2007). BCMV bersifat terbawa benih dan dapat

ditularkan secara mekanik oleh sap tanaman. Virus ini juga ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun termasuk A. craccivora secara non persisten (Shukla et al. 1994)

Tipe gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV tergantung dari strain BCMV, suhu dan genotip inang. Lebih dari 15 strain BCMV yang telah diketahui diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan NL8 (Morales & Bos 1988). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, tulang daun menguning, bercak dan malformasi. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil dan menghasilkan hanya sedikit polong dan masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang tidak terinfeksi (Shukla et al. 1994). Gejala pada tanaman umumnya muncul 7 sampai 10 hari setelah inokulasi (Djikstra & Dejeger 1998)

Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman

Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull 2002).

Sangat diperlukan metode yang tepat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan melalui pengujian kisaran inang dan tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1998; Hull 2002).

7

Serologi

Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang digunakan untuk deteksi serologi antara lain presipitasi dalam tabung, aglutinasi kloroplas, flokulasilateks, gel double-diffusion test, Dot immunobinding assay (DIBA), immunoblotting atau western blotting, dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999).

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu molekul DNA. Dengan metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan hingga jutaan kali lipat dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50- 100 μl (Yuwono 2006). Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno 2010).

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari tiga tahapan atau tiga reaksi, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan pemanjangan primer (extension).

Denaturasi. Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono 2006). Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas enzim Taq polymerase (Muladno 2010).

Penempelan Primer (Annealing). Tahap kedua yaitu penempelan primer (annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer (Yuwono 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada untai tunggal lainnya (Muladno 2010).

Pemanjangan Primer (Extension). Setelah kedua primer menempel pada posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010). Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase (Yuwono 2006).

Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan

9

tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono 2006).

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono 2006).

Pemanfaatan Metode Serologi dan PCR untuk Mendeteksi Virus Tumbuhan Masing-masing metode serologi yang diuraikan di atas telah dikembangkan dan berhasil digunakan untuk mendeteksi beberapa jenis virus penting pada tumbuhan. Metode DIBA dilaporkan digunakan untuk mendeteksi Tobaco mosaic tobamovirus (TMV) (Somowiyarjo et al. 1997) dan Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) pada cabai (Opriana 2009). Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Kartiningtyas (2005) mendeteksi Turnip mosaic potyvirus (TuMV) dengan ELISA. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al.

Dokumen terkait