• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011. Proses penggilingan kaliks rosela dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB) dan proses ekstraksi dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Cimanggu-Bogor. Proses frezze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Kegiatan pemeliharaan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang Hewan Percobaan Bagian Patologi, perlakuan radiasi bertempat di Bagian Bedah dan Radiologi, dan pembuatan preparat histopatologi bertempat di Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu hewan model mencit jantan (Mus musculus) sebanyak 48 ekor strain ddy yang memiliki kisaran umur 6-8 minggu dengan berat badan 18-20 gram. Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini adalah pakan berupa pelet pakan mencit komersial, air mineral isi ulang untuk minum mencit, obat-obatan pretreatment mencit (anti cacing Prazyquantel® 10 mg/kg BB, antibiotik Clavamox® 25 mg/kg BB dan anti protozoa Metronidazole® 25 mg/kg BB), dan desinfektan sebagai pembersih kandang. Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak rosela berupa simplisia kelopak bunga atau kaliks rosela kering lokal (Darmaga-Bogor), etanol 96%, dan akuades. Bahan yang digunakan dalam nekropsi adalah kapas, alkohol 70%, obat bius Ketamin HCl dan NaCl 0.9%, dan larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Bahan yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi dan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) adalah sampel lambung mencit, alkohol (70%, 80%, 90%, dan alkohol absolut), xylol, parafin, akuades,

Alat yang dipergunakan selama penelitian ini berlangsung antara lain, yaitu box plastik sebagai kandang dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, tinggi 15 cm, anyaman jaring kawat penutup kandang, serbuk kayu untuk alas kandang, kain alas, botol minum yang dilengkapi saluran air, tempat pakan, marker, sonde lambung atau stomach tube (1.5 x 80 mm), syringe 1 ml, sarung tangan, masker, sikat, timbangan digital (Precisa 3000 D), kertas label, tissue gulung, gelas ukur 50 ml, dan lemari pendingin. Alat yang digunakan untuk paparan radiasi sinar-X adalah mesin Diagnostic X-Ray (VR-1020, MA Medical Morp, Japan), apron plumbum (Pb), pelindung mata, pelindung tiroid, dan dosimeter pengukur besaran radiasi (MYDOSE miniTM ALOKA CO., LTD Tokyo Japan). Alat nekropsi yang digunakan adalah 1 paket alat bedah (gunting kecil, pinset, dan scalpel), kantung plastik hitam, spidol waterproof permanen untuk penanda, aluminium foil, sterofoam, jarum pentul, dan botol plastik. Pembuatan preparat menggunakan tissue cassete, pensil, Sakura® automatic tissue processor, Paraffin Block Console, mikrotom, pinset anatomis, gelas objek, gelas penutup, dan inkubator. Alat untuk pengamatan yaitu mikroskop cahaya (Olympus® CH-20), Digital Electronic Eyepiece Camera, satu set komputer, perangkat lunak Image Processing and Analysis in Java (Image J®), dan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SPSS®)16 for Microsoft® Windows®.

Metode Penelitian

Desain penelitian ini mengacu pada prosedur penelitian yang telah dilakukan oleh Fidan et al. (2008).

Desain penelitian dan hewan coba

Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 48 ekor mencit jantan yang berumur 6-8 minggu dengan bobot badan 18-20 gram. Mencit berasal dari hasil budidaya laboran di FKH-IPB.

Sebanyak 12 ekor mencit dalam setiap kelompok dimasukkan ke dalam kandang plastik yang telah disiapkan. Semua mencit dilakukan aklimatisasi untuk menyesuaikan dan menyeragamkan kondisi sebelum penelitian dilaksanakan

selama 2 minggu. Aklimatisasi mencit dilakukan dengan melalui pemberian anti cacing (Praziquantel®) 10 mg/kg berat badan pada awal aklimatisasi dan di ulang pada hari ke-10, antibiotik (Clavamox®) 25 mg/kg berat badan dan anti protozoa (Metronidazole®) 25 mg/kg berat badan selama lima hari berturut-turut. (Hrapkiewicz dan Medina 2007). Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial sebanyak 6 gram/ekor sesuai dengan kebutuhan harian mencit dan air minum diberikan secara ad libitum.

Hewan coba akan dibagi dalam 4 kelompok perlakuan secara acak sebagai berikut:

1. Kelompok Kontrol negatif (K-): Mencit menerima perlakuan peroral 0.2 ml NaCl fisiologis setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.

2. Kelompok Kontrol positif (K+): Mencit menerima perlakuan peroral 0.2 ml NaCl fisiologis setiap 2 hari sekali dan paparan radiasi.

3. Kelompok Rosela negatif (R-): Mencit diberi ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali tanpa radiasi.

4. Kelompok Rosela positif (R+): Mencit diberi Ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat badan secara peroral setiap 2 hari sekali dan paparan radiasi.

Tabel 1 Kelompok perlakuan

No Kelompok Perlakuan

Radiasi Ekstrak Rosela NaCl 1 Kontrol negatif (K-) - - + 2 Kontrol positif (K+) + - + 3 Rosela negatif (R-) - + - 4 Rosela positif (R+) + + - Keterangan : - (tanpa), + (dengan)

Radiasi ionisasi dosis rendah pada seluruh tubuh (Total Body Radiation) dilakukan dengan menggunakan mesin Diagnostic X-Ray (VR-1020, MA Medical Morp, Japan) setiap 2 hari sekali dengan dosis radiasi 0.2 mSv. Monitoring dosis paparan dilakukan dengan menggunakan MYDOSE miniTM, ALOKA CO., Ltd Tokyo Japan. Faktor paparan mesin sinar-X menggunakan pengaturan kVp 80 dan mili Ampere second (mAs) 12. Jarak sumber target (dasar kandang mencit) adalah 100 cm tegak lurus pada berkas sinar utama. Perlakuan radiasi dibagi menjadi 4 kelompok waktu yaitu radiasi selama 4 minggu, radiasi selama 8 minggu, masa pemulihan I atau Recov I dan masa pemulihan II atau Recov II.

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela

Kaliks rosela yang digunakan berasal dari daerah sekitar kampus IPB Darmaga-Bogor. Kaliks rosela dikeringkan terlebih dahulu menjadi simplisia yang kemudian dihaluskan melalui proses penggilingan yang dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka IPB. Proses ekstraksi dilakukan dengan maserasi yaitu dengan perendaman simplisia menggunakan pelarut untuk memperoleh zak aktif dari simplisia tersebut. Sebanyak 200 gram serbuk rosela di ekstrak dengan etanol 96% pada suhu 40°C melalui 2 tahap masing-masing dalam 500 ml pelarut. Proses tersebut dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Cimanggu-Bogor. Selanjutnya, dilakukan evaporasi dan frezze drying hingga menjadi bentuk kristal yang dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB. Terakhir, dilakukan uji fitokimia terhadap ekstrak rosela yang dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Sebelum digunakan, ekstrak rosela dilarutkan dalam akuades dengan komposisi 1.5 gram ekstrak dalam 200 ml akuades, sehingga didapatkan konsentrasi 7.5 mg/ml. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kg berat badan dengan jumlah pemberian ekstrak kaliks rosela pada mencit adalah 0.2 ml (Akindahunsi dan Olelaye 2003; Ali et al. 2005)

Gambar 6 Pencekokkan menggunakan sonde lambung.

Mencit yang diberi ekstrak rosela adalah mencit kelompok Rosela negatif (R-) dan Rosela positif (R+). Sebelum pemberian ekstrak rosela, mencit dipegang terlebih dahulu secara manual mulai dari belakang telinga sampai dengan dorsal punggung. Larutan ekstrak rosela diberikan dengan volume 0.2 ml/ekor mencit.

Kelompok lainnya yaitu Kontrol negatif (K-) dan Kontrol positif (K+) dilakukan pemberian NaCl fisiologis sebanyak 0.2 ml dengan menggunakan sonde lambung untuk penyeragaman kondisi stress. Pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis dilakukan setiap dua hari sebelum diradiasi dengan sinar-X.

Pengambilan lambung mencit

Nekropsi dilakukan pada setiap kelompok secara acak pada minggu ke-4, ke-8 dan ke-12. Mencit sebelumnya dibius dengan ketamin HCl (30 mg/kg BB) secara intra peritoneal(Hrapkiewicz dan Medina 2007). Tahap nekropsi dilakukan dengan menyayat bagian kulit abdomen dan fascia. Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah bagian lambung yang kemudian dilakukan penyayatan di bagian curvatura mayor untuk mengeluarkan isi lambung dan dibilas menggunakan NaCl 0.9%. Lambung mencit kemudian direndam dalam larutan larutan BNF 10% dan disimpan dalam pot plastik selama 2x24 jam untuk dilakukan proses berikutnya.

Gambar 7 Proses nekropsi. A. Prosedur euthanasi mencit, B. Posisi kadaver mencit dorsal rekumbensi dengan fiksasi pada ekstremitas dilakukan menggunakan jarum pentul, C. Sampel organ dalam cawan petri dengan BNF 10%.

Pembuatan preparat histopatologi lambung

Organ lambung yang telah difiksasi kemudian dipotong ukuran 0.5 x 1 cm pada bagian fundus dengan ketebalan 0.5 mm dan dimasukkan ke dalam tissue cassette serta diberi label dengan pensil. Selanjutnya, potongan organ lambung didehidrasi dengan alkohol bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 95 %) masing-masing selama 24 jam dan alkohol absolut (I, II, dan III) masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan penjernihan (clearing) dalam larutan xylol I, II, III, masing- masing selama 1 jam (Kiernan 1990). Tahap berikutnya adalah infiltrasi parafin

secara otomatis menggunakan mesin Automatic Tissue Processor. Setelah itu dilakukan penanaman jaringan dalam blok parafin (embedding) dengan bantuan Paraffin Block Console (Gambar 8A). Blok jaringan dipotong (sectioning) setebal 5 µm dengan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) diletakkan di atas permukaan air hangat (37oC) yang bertujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Selanjutnya, potongan tipis jaringan diletakkan pada gelas objek yang telah dilapisi albumin, kemudian diberi label, dan dimasukkan ke dalam inkubator 60oC selama 24 jam (Gambar 8B).

Gambar 8 Proses pembuatan preparat histopatologi lambung. A. Proses penanaman

sampel potongan lambung, B. Ribbon hasil sectioning, C. Proses pewarnaan preparat dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).

Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)

Proses pewarnaan dilakukan melalui tahapan deparafinasi dan rehidrasi. Deparafinasi dilakukan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam xylol I dan II masing-masing selama 2 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan cara mencelupkan ke dalam alkohol absolut II, dan I, alkohol 95 %, 90 %, 80 %, dan 70 % masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dengan air kran mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering ditetesi Mayer’s hematoksilin dan di diamkan selama 8 menit kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan litium karbonat selama 15-30 detik, dibilas kembali dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan pemberian eosin selama 2 menit. Sediaan yang telah terwarnai dimasukan ke dalam alkohol 90 % dan alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit dan dikeringkan.

Sediaan yang telah kering ditetesi dengan perekat entelan secukupnya kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass) (Humason 1985; Kiernan 1990).

Pengamatan preparat histopatologi

Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatifterhadap sel-sel pada organ lambung dengan menggunakan mikroskop cahaya (Gambar 9A). Pengamatan secara kualitatif dilakukan pada preparat lambung secara keseluruhan untuk melihat perubahan secara umum yang terjadi pada organ lambung mulai lapis mukosa sampai serosa menggunakan perbesaran 100x (10x okuler, 10x objektif). Pengamatan secara kuantitatif dilakukan penghitungan terhadap jumlah sel parietal, sel chief dan sel radang pada preparat lambung. Penghitungan sel-sel tersebut dilakukan dengan cara pengambilan foto 10 lapang pandang preparat lambung dengan menggunakan Digital Electronic Eyepiece Camera MD-130® (Gambar 9B) pada perbesaran 400x (10x okuler, 40x objektif), kemudian dilakukan penghitungan sel parietal, sel chief dan sel radang dengan menggunakan perangkat lunak Image Processing and Analysis in Java (Image J®) for Microsoft® Windows® (Gambar 9C).

Gambar 9 Perangkat elektronik untuk pengambilan fotografi mikro lambung mencit. A. Mikroskop dan unit komputer untuk pengambilan foto, B. Digital Electronic

Eyepiece Camera MD-130®, C. Software NIH image J® for Microsoft®

Windows®.

B A

Analisis dan Penyajian Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan deskriptif. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan metode General Linear Model ANOVA menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SPSS)® 16 for Microsoft® Windows® dan uji lanjut Duncan (p<0.05) untuk melihat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Data disajikan dalam rataan dengan standar deviasi dan disampaikan secara deskriptif naratif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Fitokimia Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Analisis fitokimia ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dilakukan secara kualitatif sesuai dengan prosedur standar di Laboratorium Uji Biofarmaka LPPM- IPB (No. Sertifikat: 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010). Analisis kualitatif dapat mengetahui kandungan beberapa senyawa fitokimia seperti alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, steroid, terpenoid, phenol, dan glikosida. Hasil analisis fitokimia ekstrak rosela dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Uji fitokimia ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

No Parameter Uji Hasil Teknik Analisis

1 Alkaloid Uji Wagner + Kualitatif

Alkaloid Uji Meyer + Kualitatif

Alkaloid Uji Dragendorf + Kualitatif

2 Hidroquinon - Kualitatif 3 Tanin + Kualitatif 4 Flavonoid + Kualitatif 5 Saponin + Kualitatif 6 Steroid - Kualitatif 7 Triterpenoid - Kualitatif

Keterangan: + (ditemukan dan mengandung), - (tidak ditemukan dan tidak mengandung)

Pemeriksaan tanaman yang berkhasiat untuk pengobatan telah dilakukan oleh sejumlah ahli dengan menggunakan analisis awal fitokimia. Analisis fitokimia penting dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa yang memiliki nilai terapeutik yang berkhasiat untuk pengobatan yang berasal dari sumber kekayaan alam. Kandungan senyawa kimia pada sejumlah tanaman obat telah dideteksi oleh para peneliti. Pemilihan bagian tertentu dari tanaman yang menghasilkan metabolit sekunder tertinggi merupakan langkah utama dan syarat dalam melakukan pendeteksian senyawa kimia. Uji fitokimia perlu dilakukan untuk setiap bagian tanaman yang berbeda dan dengan pelarut ekstraksi yang berbeda untuk melihat ada atau tidaknya senyawa kimia yang bermanfaat. Hasil analisis fitokimia ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menunjukkan adanya kandungan flavonoid (antioksidan), alkaloid, tanin, dan saponin, sedangkan hidroquinon, steroid, dan triterpenoid tidak ditemukan. Flavonoid merupakan senyawa

antioksidan yang dapat melawan radikal bebas. Selain sebagai antioksidan, flavonoid juga memiliki khasiat anti-viral, anti peradangan, penanganan hipertensi, diabetes, reumatik, dan demam (Mungole dan Chaturvendi 2011).

Bahan pelarut seperti metanol, etanol, aseton, etil asetat, dan kombinasi antar pelarut tersebut sering digunakan untuk ekstraksi fenol dari tanaman. Pemilihan bahan pelarut mempengaruhi jumlah senyawa polifenol yang terekstraksi. Metanol merupakan bahan pelarut yang lebih tepat digunakan dalam ekstraksi senyawa polifenol yang memiliki bobot molekul rendah. Etanol juga merupakan bahan pelarut yang baik untuk ekstraksi polifenol dan aman dikonsumsi manusia. Proses ekstraksi senyawa antosianin dan phenol dari tanaman umumnya menggunakan bahan pelarut metanol dan etanol. Pelarut tersebut bekerja dengan mendenaturasi membran sel yang secara bersamaan melepas antosianin dan menstabilkannya. Metanol memiliki sifat toksik yang tinggi, sehingga pelarut etanol lebih sering digunakan (Shi et al. 2005).

Total Dosis Radiasi Ionisasi dari Sinar-X

Total dosis radiasi ionisasi didapatkan dengan cara menghitung jumlah akumulasi dosis radiasi dari mesin Sinar-X yang di ukur menggunakan dosimeter selama perlakuan radiasi. Radiasi selama 4 minggu menghasilkan total dosis radiasi 2.9 mSv, sedangkan radiasi selama 8 minggu menghasilkan total dosis radiasi 5.3 mSv. Masa pemulihan (recovery) merupakan waktu dimana mencit tidak mendapat perlakuan apapun, baik pencekokan maupun paparan radiasi. Masa pemulihan dilakukan selama dua kali yaitu setelah waktu perlakuan radiasi mencapai 4 minggu yang disebut dengan pemulihan I atau 2.9 Recov dan masa pemulihan setelah waktu perlakuan radiasi mencapai 8 minggu yang disebut dengan pemulihan II atau 5.3 Recov.

Gambaran Histopatologi Lambung Mencit

Hasil pengamatan secara kualitatif pada organ lambung menunjukkan tidak ada perubahan secara umum pada setiap lapisan lambung bagian non kelenjar dan kelenjar. Bagian lambung non kelenjar pada masing-masing kelompok dan perlakuan tidak memperlihatkan adanya perubahan yang ditunjukkan dengan

lapisan keratin yang utuh dan kontinu. Lapisan keratin mampu bertahan terhadap paparan radiasi (Gambar 10). Menurut Haschek dan Rousseaux (1998), paparan radiasi pada seluruh tubuh (whole body radiation) akan menimbulkan efek pada sel yang aktif membelah.

Bagian lambung kelenjar secara kualitatif tidak menunjukkan adanya perubahan secara umum mulai dari lapisan paling bawah yaitu serosa, tunika muskularis, submukosa, muskularis mukosa, dan mukosa. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara kuantitatif pada lapis mukosa lambung kelenjar. Hasil pengamatan secara kuantitatif pada lapis mukosa lambung kelenjar menunjukkan adanya perubahan. Perubahan yang terjadi yaitu perbedaan jumlah sel parietal dan chief, perubahan sel parietal dan sel chief, infiltrasi sel radang, dan kongesti.

Gambar 10 Fotografi mikro lambung mencit (Mus musculus) bagian non-kelenjar.

Keterangan: A. Kelompok K- (NaCl non radiasi). B. Kelompok K+ (NaCl+radiasi). C. Kelompok R- (Rosela non radiasi). D. Kelompok R+ (Rosela+radiasi). Lapisan keratin () terlihat utuh dan kontinu. Epitel mukosa (Ep). Muskularis mukosa (Mm). Submukosa (Sm). Tunika muskularis (Tm). Pewarnaan Haematoxylin-eosin (HE), Perbesaran 100x, Bar 100 µm.

Sel parietal

Pengamatan terhadap sel parietal dilakukan dengan menghitung jumlah sel parietal normal, sel parietal degenerasi, dan sel parietal nekrosis. Pengambilan data dilakukan pada dosis 2.9 mSv, 5.3 mSv, dan pada masa pemulihan (Recovery) setelah dosis radiasi 2.9 mSv (Pemulihan I atau 2.9 Recov) dan setelah pemberian dosis radiasi 5.3 mSv (Pemulihan II atau 5.3 Recov).

Hasil uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap jumlah sel parietal dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari jumlah sel parietal baik pada sel parietal yang normal, sel degenerasi, dan nekrosis antar kelompok perlakuan dan pemberian dosis radiasi (p<0.05). Jumlah sel parietal normal paling rendah ditunjukkan oleh K+ pada pemberian dosis radiasi 2.9 mSv, sedangkan K- merupakan yang paling tinggi dan R- dan R+ berada pada nilai yang hampir sama. Masa pemulihan I yaitu setelah pemberian dosis radiasi 2.9 mSv, kelompok K+ dan R+ mengalami peningkatan jumlah sel parietal sedangkan kelompok K-, dan R- mengalami penurunan. Pemberian dosis radiasi yang dilanjutkan hingga 5.3 mSv menyebabkan peningkatan jumlah sel parietal normal dan penurunan jumlah sel parietal degenerasi dan sel parietal nekrosis pada K+ dan R+. Masa pemulihan II yaitu setelah pemberian dosis radiasi 5.3 mSv terjadi peningkatan pada kelompok K+, sedangkan R+ mengalami penurunan dari jumlah sebelumnya pada dosis 5.3 mSv (Gambar 11A).

Perubahan berupa degenerasi pada sel parietal ditunjukkan oleh Gambar 12 B,C,D. Berdasarkan hasil pada Tabel 3, jumlah sel parietal degenerasi paling tinggi ditunjukkan oleh K+ pada dosis radiasi 2.9 mSv dan K- memiliki jumlah paling rendah. Setelah masa pemulihan I, semua kelompok mengalami penurunan jumlah sel parietal degenerasi kecuali K-. Hal ini dapat disebabkan faktor kondisi mencit yang berubah pada kelompok tersebut sehingga jumlah sel parietal denerasi meningkat. Paparan radiasi yang dilanjutkan hingga mencapai 5.3 mSv menunjukkan adanya penurunan jumlah sel parietal degenerasi dibandingkan dengan dosis radiasi 2.9 mSv pada kelompok K+, R-, dan R+, sedangkan K- memiliki nilai yang sama dengan dosis radiasi 2.9 mSv. Masa pemulihan II yaitu setelah pemberian dosis radiasi 5.3 mSv, terjadi penurunan jumlah sel parietal

degenerasi yang signifikan pada kelompok K+ dan K-, sedangkan R- dan R+ mengalami penurunan yang tidak signifikan (Gambar 11B).

Perubahan lain yang terjadi pada sel parietal yaitu nekrosis. Tabel 2 menunjukkan jumlah sel parietal nekrosis tertinggi pada pemberian dosis radiasi ditunjukkan oleh K+, sedangkan R- dan R+ berada pada kisaran jumlah yang sama. Setelah masa pemulihan I, terjadi penurunan jumlah sel parietal nekrosis pada K+. Paparan radiasi yang dilanjutkan hingga mencapai 5.3 mSv menunjukkan adanya penurunan pada K+, R-, dan R+. Setelah masa pemulihan II yaitu setelah pemberian dosis radiasi 5.3 mSv, jumlah sel parietal nekrosis setiap kelompok menurun kecuali pada R- (Gambar 11C). Perubahan berupa nekrosis pada sel parietal yang ditunjukkan oleh Gambar 12B.

Tabel 3 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi terhadap jumlah rataan sel parietal pada kelompok perlakuan

Data ditampilkan secara kuantitatif dalam rataan ± standar deviasi dan dengan satuan sel; Huruf superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05);

K-=NaCl fisiologis tanpa radiasi ionisasi; K+=NaCl fisiologis dengan radiasi ionisasi; R-=ekstrak rosela tanpa radiasi ionisasi; R+=ekstrak rosela dengan radiasi ionisasi; mSv=dosis radiasi ionisasi dalam mili Sievert; 2.9 Recov=pemulihan I setelah pemberian dosis radisi 2.9 mSv; 5.3

Recov=pemulihan II setelah pemberian dosis radiasi 5.3 mSv.

Waktu (minggu) Total Dosis Radiasi (mSv) Kelompok Perlakuan K- K+ R- R+

Jumlah Sel Parietal Normal (p=0.000)

2-4 2.9 102.90±19.50h 35.60±11.90a 76.97±17.29cd 70.97±12.02bc 4-8 2.9 Recov 77.67±19.84cd 69.83±12.37bc 71.97±17.73bc 72.50±13.00bc 6-8 5.3 91.07±12.09efg 67.47±6.03b 87.27±10.56ef 88.50±14.09ef 8-12 5.3 Recov 103.63±22.92h 98.57±20.21gh 95.73±14.91fgh 84.13±15.58de

Jumlah Sel Parietal Degenerasi (p=0.000)

2-4 2.9 27.33±8.53c 45.23±11.45f 33.80±6.19d 32.13±6.57d 4-8 2.9 Recov 39.80±6.98e 27.37±6.67c 24.07±5.58abc 21.40±6.09ab 6-8 5.3 27.27±5.55c 39.50±9.24e 23.13±4.92ab 22.30±6.92ab 8-12 5.3 Recov 20.13±5.72a 24.73±5.48bc 21.53±8.29ab 22.10±4.25ab

Jumlah Sel Parietal Nekrosis (p=0.000)

2-4 2.9 0.10±0.55a 3.53±2.26e 1.87±1.55d 1.93±1.39d 4-8 2.9 Recov 1.83±1.42d 2.17±2.63d 1.67±1.79cd 0.83±1.12d 6-8 5.3 0.63±1.19ab 1.43±2.36bcd 0.20±0.55a 0.70±3.10ab 8-12 5.3 Recov 0.00±0.00a 0.00±0.00a 0.23±0.97a 0.00±0.00a

Gambar 11 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi terhadap jumlah rataan sel parietal pada kelompok perlakuan.

Keterangan: A. Sel parietal normal. B. Sel parietal degenerasi. C. Sel parietal nekrosis. K- (NaCl non radiasi); K+ (NaCl+radiasi); R- (Ekstrak rosela non radiasi); R+ (Ekstrak rosela+radiasi); Rc I (recovery atau pemulihan setelah pemberian radiasi 2.9 mSv); Rc II (recovery atau pemulihan setelah pemberian radiasi 5.3 mSv); mSv (mili Sievert).

Pemberian dosis radiasi 2.9 mSv menyebabkan jumlah sel parietal normal yang rendah pada K+ dibandingkan K-. Jumlah tersebut disebabkan oleh banyaknya sel parietal yang mengalami perubahan berupa degenerasi hidropis. Degenerasi hidropis merupakan respon sel terhadap gangguan endogen salah satunya akibat radikal bebas dan eksogen yang dalam hal ini adalah akibat radiasi ionisasi sinar-X. Menurut Haschek dan Rousseaux (1998), degenerasi hidropis ditandai dengan perubahan pada sel berupa pembengkakan dan perubahan warna sitoplasma menjadi lebih pucat, serta sitoplasma yang bervakuola mulai dari ukuran kecil hingga besar. Perubahan tersebut merupakan tahapan awal dari proses nekrosis yang disebut onkosis (Gambar 12 B,C,D). Faktor lain terjadinya onkosis dapat disebabkan oleh menurunnya jumlah sel darah merah dalam tubuh

A

B

yang menyebabkan penurunan asupan oksigen dilanjutkan dengan penurunan oxidative phosphorylation dan penurunan jumlah ATP (Haschek dan Rousseaux 1998). Jumlah sel parietal degenerasi yang tinggi berkorelasi dengan tingginya jumlah sel parietal nekrosis pada K+. Pemberian ekstrak rosela pada R+ mampu mempertahankan jumlah sel parietal normal dari radiasi ionisasi dosis 2.9 mSv dan melindungi sel parietal sehingga jumlah sel yang mengalami degenerasi lebih rendah dibandingkan dengan K+.

Gambar 12 Fotografi mikro sel parietal pada lambung mencit (Mus musculus) bagian fundus. Keterangan: A. Kelompok K- (NaCl non radiasi); B. Kelompok K+ (NaCl+radiasi); C. Kelompok R- (Rosela non radiasi); D. Kelompok R+ (Rosela+radiasi); Sel parietalnormal () terlihat dengan sitoplasma normal dan basofilik, Sel parietal degenerasi () terlihat dengan sitoplasma bervakuola dan berwarna lebih pucat; Sel parietal nekrosis () terlihat dengan sitoplasma dan inti sel yang rusak serta akumulasi sel-sel radang;

Pemberian dosis radiasi hingga 5.3 mSv menyebabkan peningkatan sel parietal normal dan penurunan sel parietal degenerasi dan nekrosis pada K+ dan R+. Peningkatan sel parietal normal dan penurunan jumlah sel parietal degenerasi dan nekrosis pada K+ dapat disebabkan oleh adanya respon adaptasi sel terhadap radiasi. Hasil ini memperkuat simpulan Okazaki et al. (2005) dimana paparan radiasi adaptasi dapat merubah efektivitas biologis terhadap paparan radiasi berikutnya dengan dosis yang lebih besar. Peningkatan sel parietal normal dan jumlah sel parietal degenerasi dan sel parietal nekrosis yang lebih rendah pada R+ dibandingkan K+ disebabkan oleh adanya aktivitas antioksidan dalam ekstrak rosela. Antioksidan yang terkandung dalam rosela yaitu flavonoid yang ditunjukkan oleh hasil uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak rosela yang

Dokumen terkait