• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinar-X

Sinar-X merupakan sinar tidak nampak yang menghasilkan radiasi ionisasi. Panjang gelombang sinar-X adalah 10-0.01 nano meter (nm) dengan frekuensi 30.1015 Hertz (Hz) – 30.1018 Hz dan energi 120 elektron volt (eV) sampai 120 kilo elektron volt (keV). Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet atau UV. Sinar-X kini banyak digunakan sebagai sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Khusus dalam dunia kedokteran hewan, sinar-X ini mulai dimanfaatkan pada tahun 1970-an. Ilmu yang mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini digunakan sebagai radiodiagnostik penyakit dan sarana radioterapi (Thrall 2002).

Radiasi Ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan nama yang tepat untuk semua jenis radiasi yang memiliki sejumlah energi yang dapat mengionisasi suatu molekul. Beberapa sumber radiasi yang termasuk dalam radiasi ionisasi yaitu sinar-α (alpha), sinar- (beta), sinar- (gamma), sinar-X, dan sinar UV dengan panjang gelombang yang rendah. Jumlah energi yang mampu mengionisasi atom dan molekul adalah 10 eV dan beberapa molekul dalam bentuk liquid dan solid memiliki energi ionisasi yang rendah sebesar 6 eV. Hal ini menjelaskan bahwa sinar UV yang memiliki panjang gelombang dibawah 200 nm (6.2 eV) mampu menyebabkan radiasi ionisasi (Henriksen dan Maillie 2003).

Sinar-X merupakan bentuk radiasi ionisasi yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena menyebabkan kerusakan pada DNA, sel, dan jaringan, serta organ tubuh yang terpapar. Menurut Thrall (2002), jumlah radiasi terendah yang mampu menginisiasi terbentuknya kanker adalah 50 mili Sievert (mSv). Badan Pengawas Nuklir Amerika Serikat atau disebut Nuclear Regulatory Commision (NRC) membatasi jumlah dosis okupasional pada orang dewasa, yaitu tidak boleh melebihi 0,05 Sv/tahun (Thrall 2002). BAPETEN menetapkan dosis maksimal

pekerja radiasi di Indonesia adalah 20 mSv rata-rata dalam 5 tahun (Ulum dan Noviana 2008).

Proteksi Radiasi

Keselamatan radiasi (radioprotektif) adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, dan paramedis), anggota masyarakat dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Syarat proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-X sebagai sarana penunjang diagnosa radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1) justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi dan keselamatan rabvdiasi. Keselamatan pasien dapat dilakukan dengan meminimalisasi dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan teknik radiografi dengan memanfaatkan kilo Volt peak (kVp) tinggi (Ulum dan Noviana 2008).

Keselamatan pekerja terhadap paparan radiasi dilakukan dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-X, menggunakan sarana proteksi radiasi seperti, apron Plumbum (Pb), sarung tangan Pb, kaca mata Pb, pelindung tiroid Pb, alat ukur radiasi dan mempersingkat waktu radiasi. Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan. Ruangan dilapisi dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap sinar-X yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum dan Noviana 2008).

Hingga saat ini, belum ada radioprotektor yang ideal untuk senyawa sintetik. Senyawa sintetik yang digunakan sebagai radioprotektor meliputi aminothiol, S-2-(3-aminopropyl-amino) ethyl phosphorothioic acid yang dikenal juga sebagai amifostine, ethiophos (USA), atau gammaphos. Senyawa sintetik tersebut menyebabkan efek toksik pada konsentrasi yang tertentu sehingga terdapat keterbatasan dalam penggunaannya. Menurut data Food and Drug Administration (FDA)-USA, yang diakui sebagai radioprotektor adalah amifostine (Ethyol®) (Arora et al. 2005).

Obat herbal telah digunakan sejak lama untuk mengobati penyakit. Obat herbal menjadi alternatif terhadap penggunaan obat sintetik dengan pertimbangan tidak ada efek toksik atau efek toksik yang rendah. Sampai saat ini, hampir 70% populasi manusia bergantung pada tanaman untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan. Berbagai penelitian terus dilakukan untuk menemukan tanaman radioprotektor yang efektif dengan tingkat toksik yang rendah. Banyak tanaman telah berhasil diketahui kemampuannya dalam mengatasi penyakit pada manusia yang diakibatkan oleh radikal bebas seperti rheumatoid arthritis, atherosclerosis, kanker, Alzheimer’s, Parkinson’s, penuaan dan berbagai kondisi lain termasuk peradangan (Das 2002). Tanaman atau bagian dari tanaman dengan kandungan senyawa fitokimia diharapkan dapat melindungi kerusakan langsung akibat radiasi ionisasi maupun akibat radikal bebas yang dihasilkan.

Berbagai tanaman telah diteliti khasiatnya sebagai radioprotektor terhadap efek radiasi ionisasi. Ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai radioprotektor kebanyakan mengandung senyawa antioksidan, immunostimulan, stimulator proliferasi sel, anti inflamasi dan agen anti mikroba, serta kombinasi dari kandungan yang ada dalam tanaman tersebut. Spesies lain dari tanaman mungkin mengandung senyawa yang berkhasiat untuk perlindungan terhadap kerusakan akibat radiasi ionisasi (Arora et al. 2005).

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

Menurut Morton (1987), rosela merupakan tanaman asli Afrika tropik yaitu Nigeria dan mulai menyebar secara luas ke negara-negara tropik dan subtropik seperti Amerika Tengah dan India Barat. Rosela merupakan tanaman setahun yang dapat tumbuh mencapai ketinggian 2.4 meter. Batang rosela membulat dan memiliki beberapa karakter warna yakni hijau, hijau dengan bercak merah, dan merah. Kedudukan daun berseling dan terbagi dalam 3-5 helai dengan panjang 7.5-12.5 cm dan tepi daun bergerigi. Bentuk daun yang panjang dan lebar biasanya dimiliki oleh tanaman rosela batang hijau atau hijau dengan bercak merah, sedangkan daun berukuran lebih kecil dimiliki rosela berbatang merah. Bunga rosela muncul dari ketiak daun dengan diameter mencapai 12.5 cm, berwarna kuning atau kekuningan dan berubah menjadi merah muda pada sore

hari. Kaliks atau kelopak bunga rosela berwarna merah, berdaging renyah dan mengandung banyak air dengan panjang 3.2-5.7 cm serta mengeluarkan bunga hampir sepanjang tahun.

Sistem Taksonomi Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menurut Morton (1987) sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotiledonae Famili : Malvaceae Genus : Hibiscus

Spesies : Hibiscus sabdariffa Linn.

Rosela memiliki kaliks yang tebal (juicy) yang berkhasiat untuk mencegah penyakit kanker dan radang, mengendalikan tekanan darah, melancarkan peredaran darah dan melancarkan buang air besar. Kaliks tersebut mengandung vitamin C, vitamin A, kalsium, protein dan asam amino. Asam amino yang diperlukan tubuh, 18 diantaranya terdapat dalam kaliks rosela, termasuk arginin dan lignin yang berperan dalam proses peremajaan sel tubuh (Morton 1987).

Gambar 1 Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.). A. Rosela, B. Skema bagian bunga rosela, dan C. Kaliks rosela (Osman 2007).

Berbagai kandungan dalam tanaman rosela menjadikan rosela populer digunakan sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin pada rosela cukup lengkap yaitu vitamin A, B1, B2, C, dan D. Kandungan vitamin C yang

dikenal dengan asam askorbat pada rosela diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur dan 9 kali dari jeruk sitrus (Tsai 1996). Asam askorbat atau vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang utama. Rosela mengandung kadar antioksidan yang tinggi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada kumis kucing (Widyanto dan Nelista 2009).

Antioksidan merupakan pertahanan pertama untuk melawan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul bermuatan yang memiliki elektron tidak berpasangan dimana untuk menetralisirnya diperlukan elektron dari zat lain (Sen 2010). Antioksidan merupakan senyawa yang memiliki berat molekul rendah yang dapat bereaksi dengan oksidan. Antioksidan memiliki kemampuan untuk memperlambat, menunda, dan mencegah proses oksidasi sehingga antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal bebas. Antioksidan bereaksi dengan memberikan elektron ke molekul oksidan atau radikal bebas tanpa adanya gangguan dan menyebabkan terputusnya reaksi berantai dari radikal bebas tersebut (Percival 1998). Antioksidan terbagi menjadi 2 yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen dihasilkan sendiri oleh tubuh, contohnya glutathione peroksidase, reduktase, katalase, dan superoksida dismutase (SOD). Antioksidan eksogen contohnya flavonoid, ascorbic acid (vitamin C), beta karoten, tocopherol dan tocophenol (vitamin E) (Jacob 1995).

Kandungan penting yang terdapat pada kaliks atau kelopak bunga rosela adalah pigmen antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan. Flavonoid rosela terdiri dari pigmen antosianin dan flavonols (Wang 2000). Pigmen antosianin ini membentuk warna ungu kemerahan menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhan rosela. Antosianin berfungsi sebagai antioksidan yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit degeneratif. Antosianin pada rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari delfinidin-3- siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-siloglukosida, sedangkan flavonols terdiri dari gosipetin dan mucilago (rhmanogalakturonan, arabinogalaktan, arabinan) (Du dan Francis 1973; Wang et al. 2000; BPOM RI 2010). Penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak kasar dan beberapa dari

konstituen, khususnya antosianin dan asam protokatekuat (protocathechuic acid) memiliki aktifitas antioksidan yang kuat secara in vitro maupun in vivo (Tanaka et al. 1995, Tseng et al. 1997; Wang et al 2000).

Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) adalah rodensia (Latin = rodere, yang artinya mengerat) anggota famili Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Mencit termasuk hewan monogastrik, omnivora dan merupakan hewan yang aktif di malam hari atau disebut juga hewan nocturnal. Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian karena fungsi fisiologis dan genetik yang menyerupai manusia sehingga sering digunakan dalam penelitian biomedis. Selain itu, mencit juga dinilai cukup efisien karena memilki umur yang relatif singkat (2-3 tahun), ekonomis, mudah bereproduksi, praktis, mudah dipelihara dalam ruangan yang relatif kecil, dan dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang cukup banyak (Malole dan Pramono 1989).

Klasifikasi ilmiah menurut Meredith dan Redrobe (2002), sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Rodensia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae

Genus : Mus Gambar 2 Mencit (Mus musculus) (Porter 2000). Spesies : Mus musculus

Menurut Smith dan Mangkuwidjodjo (1988), data biologis dan fisiologis mencit adalah sebagai berikut: berat mencit dewasa rata-rata 18 gram sampai dengan 35 gram, berat lahir 0,5-1 gram, suhu antara 35-39°C, frekuensi nafas 140- 180 kali/menit, denyut jantung antara 600-650 kali/menit, umur sapih 21 hari,

sedangkan umur dewasa 50 hari. Mencit memiliki siklus reproduksi yang cepat dan berkembang biak dalam waktu yang singkat selama 19-21 hari sehingga keturunannya dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mencit jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu.

Anatomi Lambung Mencit

Menurut Cunningham (2002) sistem pencernaan mamalia terdiri dari saluran pencernaan dan organ aksesorius. Saluran pencernaan meliputi mulut, esophagus, lambung, usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (sekum, kolon, rektum), dan anus, serta organ aksesorius meliputi gigi, lidah, kelenjar ludah, hati, dan pankreas. Saluran pencernaan adalah salah satu tempat yang banyak terpapar mikroorganisme patogen dan bahan yang tidak hidup termasuk antigen dan karsinogen.

Lambung mencit terletak di sebelah kiri ruang abdomen dan berkontak langsung dengan hati. Lambung mencit terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu bagian lambung non-kelenjar atau fore stomach yang berwarna kelabu dan berdinding tipis serta sedikit transparan, dan bagian lambung kelenjar atau ventriculus yang berwarna putih dan berdinding tebal (Ghoshal dan Bal 1989). Tepi bagian tengah lambung yang berbentuk cekung disebut dengan curvature minor dan tepi bagian lateral disebut dengan curvature mayor. Secara anatomis lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu cardia, fundus, corpus, dan pylorus (Moore 2000).

Gambar 3 Anatomi lambung mencit (Mus musculus). A. Saluran pencernaan, dan B. Lambung (Moore 2000).

Histologi Lambung

Dinding lambung disusun oleh beberapa lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna atau muskularis propria, dan serosa. Bagian lambung kelenjar berhubungan langsung dengan duodenum. Dinding bagian lambung kelenjar merupakan lapisan epitel kolumnar sederhana, terdiri atas sel- sel kelenjar, lamina propria, muskularis mukosa, submukosa, muskularis interna dan eksterna, serta serosa. Mukosa merupakan suatu lapisan tebal yang permukaannya halus dan licin, berwarna coklat kemerahan namun berwarna merah muda di sekitar daerah pilorik. Bagian mukosa lambung non kelenjar berbentuk epitel pipih banyak lapis yang tertutupi oleh lapisan keratin (Frappier 1998). Mukosa lambung tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal (rugae) yang terdiri dari lapis muskularis dan sedikit lamina propria yang mengandung kelenjar yang menghasilkan asam dan enzim untuk pencernaan serta gastric pit. Adanya lipatan-lipatan (rugae) ini memungkinkan lambung dapat berdistensi sewaktu di isi makanan (Wilson dan Lester 1994).

Chief cells Parietal cells Foveolar cells Gastric pit Muscularis mucosae Submucosa Tunica muscularis Serosa

Gambar 4 Fotografi mikro lambung bagian fundus mencit dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin, Perbesaran 10x (Kawasaki et al. 2005).

Permukaan laminal lambung dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Sel- sel epitel silindris melakukan invaginasi ke dalam lamina propria membentuk gastric pit yang berfungsi mensekresikan cairan mukus (mucins) untuk melindungi diri dari asam dan enzim-enzim proteolitik serta mencegah otodigesti mukosa lambung (Swan 2003). Cunningham (2002) menjelaskan bahwa lambung kelenjar terbagi menjadi tiga daerah yaitu kardia mukosa, parietal mukosa, dan pilorus mukosa. Daerah kardia memiliki kelenjar berbentuk tubular pendek, sedangkan pada daerah fundus terdapat susunan kelenjar berbentuk tubular panjang meluas sampai gastric pit. Permukaan epitel lambung secara terus menerus mengalami deskuamasi dan regenerasi pada bagian dasar gastric pit dan bagian leher kelenjar lambung oleh adanya mitosis. Sel baru secara perlahan-lahan terdorong ke atas untuk menggantikan sel-sel yang mati. Bagian fundus terdapat kelenjar yang terdiri atas beberapa tipe sel yaitu stem cell, sel leher mukus, sel parietal, sel chief, dan sel enteroendokrin.

Sel parietal

Menurut Samuelson (2007), sel parietal merupakan sel yang paling besar, memiliki bentuk segitiga dengan inti berbentuk bola dan beberapa diantaranya mengandung dua nuklei. Sitoplasma sel parietal yang banyak terdapat pada bagian leher atau isthmus yang mengambil warna eosin secara intensif sehingga sel ini bersifat eosinofilik dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Letak sel ini dominan di bagian tengah lambung kelenjar. Sel parietal berfungsi menghasilkan asam hidrokhlorik (HCl) dan merupakan sumber asam lambung dan glikoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12. Sel parietal memiliki struktur yang unik terkait dengan kemampuannya untuk mensekresikan HCl. Bagian luminal dari sel ini berinvaginasi membentuk beberapa kanal buntu yang menyokong sangat banyak mikrovili iregular, pada bagian dalam sitoplasma yang berhadapan dengan kanal ini adalah membran tubulus yang sangat banyak atau disebut dengan sistem tubulovesikular. Sel parietal mencit memiliki waktu lama hidup selama 54 hari (Karam 1993).

Sel chief

Sel chief atau disebut juga dengan sel zimogen yang memiliki bentuk kuboidal atau piramid. Sitoplasma sel chief bersifat basofilik dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin dan memiliki granul-granul sekretori yang berlokasi pada apikal sitoplasma yang mengandung enzim proteolitik inaktif. Sel chief berada pada bagian basal dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sel parietal (Samuelson 2007). Sel chief memiliki lama waktu hidup selama 6 bulan dan membelah sekali dalam sebulan. Sel chief berperan memproduksi enzim terutama enzim pepsin, renin, dan lipase yang berfungsi dalam pencernaan protein dan lemak (Karam 1993).

Gambar 5 Fotografi mikro lambung bagian fundus mencit, sel parietal dan sel chief dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (Conti CJ et al. 2004).

Efek Radiasi

Sinar-X selain memiliki nilai positif juga memiliki nilai negatif ditinjau secara biologis. Sinar-X menghasilkan radiasi ionisasi yang mengakibatkan efek biologis yang terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (Swamardika

2009). Efek biologis yang terjadi berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang terpapar, sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar radiasi. Efek radiasi ditinjau dari segi dosis radiasi dapat dibedakan berupa efek stokastik dan deterministik. Efek stokastik adalah efek akibat paparan sinar-X yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas ambang dosis sedangkan efek deterministik adalah efek yang langsung terjadi apabila paparan sinar-X melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Ulum dan Noviana 2008).

Radiasi ionisasi menyebabkan terbentuknya senyawa radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Sinar-X merupakan salah satu sumber radiasi yang dapat menghasilkan pasangan elektron (ionisasi) pada jaringan. Jaringan tubuh yang umumnya terdiri atas 70% air jika terkena radiasi tersebut menyebabkan terjadinya reaksi ionisasi sehingga terbentuk radikal bebas. Radikal bebas banyak dilaporkan menyebabkan kerusakan pada jaringan. Sinar-X dapat berinteraksi langsung dengan DNA yang dapat menyebabkan beberapa perubahan yang potensial seperti kerusakan nucleotide, kerusakan rantai DNA, dan hubungan silang antar DNA. Efek kerusakan tersebut dapat menurun dan terjadi pemulihan dengan cepat secara enzimatis atau dapat menyebabkan kematian pada sel (Thrall 2002). Radikal bebas menyebabkan kerusakan hingga kematian sel melalui proses apoptosis atau nekrosis. Keduanya merupakan proses kematian sel yang bersifat irreversible atau tidak dapat kembali pulih menjadi sel aktif yang normal (Haschek dan Rousseaux 1998).

Radiosensitif merupakan istilah untuk kerentanan sel terhadap efek merugikan dari radiasi ionisasi yang dapat diperpanjang ke jaringan, organ-organ dan organisme. Gastrointestinal (GI) adalah salah satu sistem organ yang paling radiosensitif dalam tubuh. Selain pada kripta epitel, paparan radiasi ionisasi juga merusak struktur seperti kelenjar endokrin dari saluran GI. Duodenum merupakan bagian dari sistem GI yang paling radiosensitif, dan selanjutnya yaitu jejunum, ileum, esofagus, lambung, kolon, dan rektum (Hauer-Jensen et al. 2007).

Sejumlah sel memberikan respon terhadap radiasi dosis rendah dengan perubahan pada ekspresi gen, meskipun radiasi tidak terdeposit pada sel tersebut

(Alatas dan Lusiyanti 2003). Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia (Swamardika 2009). Efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada usus (Grudzinski 2000), leukemia (Alatas dan Lusiyanti 2003; Yoshinaga et al. 2005), kerusakan pada sel darah putih perifer (Rask et al. 2008), dan menyebabkan mutasi, aberasi kromosom, inaktivasi sel serta efek seluler lainnya (Lusiyanti dan Syaifudin 2007). Radiasi akut dosis tunggal sebesar 28.5 Gray (Gy), dapat menyebabkan kematian pada tikus 3 minggu setelah paparan akibat gangguan pada lambung yaitu gastritis erosive dan colitis (Breiter et al. 2009). Radiasi ionisasi juga menyebabkan apoptosis yaitu kematian sel. Proses apoptosis terjadi secara fisiologis akibat proses regenerasi sel, hemostasis jaringan, pertahanan terhadap infeksi virus dan mutasi, dan secara patologis akibat radiasi ionisasi, stres oksidatif, radikal bebas, sinar UV, sitotoksik, dan obat anti-kanker (Kam dan Ferch 2000).

Radiasi ionisasi dapat menyebabkan perubahan pada materi biologis yang terdiri atas tiga fenomena yaitu efek bystander, ketidakstabilan genom, dan respon radioadaptasi, yang merupakan bagian penting dari respon molekul, sel dan jaringan tubuh terhadap radiasi pengion (Brooks 2005). Respon pada sel yang terpapar oleh radiasi ionisasi secara tidak langsung menunjukkan respon yang sama dengan sel yang terpapar radiasi ionisasi secara langsung. Efek biologi yang terjadi pada sel yang terpapar radiasi ionisasi secara tidak langsung tetapi berada berdekatan dengan sel yang terkena radiasi ionisasi disebut sebagai efek bystander. Efek tersebut dapat berupa mutasi, kerusakan kromosom, dan transformasi sel pada paparan radiasi dosis rendah (Mothersill dan Seymour 2001; Brooks 2005).

Fenomena yang kedua yaitu ketidakstabilan genom yang sangat berperan dalam induksi kanker. Sebelumnya, terdapat pemikiran bahwa kerusakan DNA terjadi langsung akibat radiasi dosis rendah. Saat ini telah diketahui bahwa berbagai perubahan baru diekspresikan pada beberapa generasi kemudian setelah sebuah sel terpapar radiasi dosis rendah. Radiasi tersebut dapat menginduksi ketidakstabilan genom pada sel, yang digambarkan melalui peningkatan laju perubahan pada materi genetik baru yang mampu merubah genom stabil pada sel

normal menjadi tidak stabil yang merupakan karakteristik dari sel kanker. Ketidakstabilan genom dijumpai pada sel beberapa waktu kemudian setelah paparan radiasi dan termanifestasi pada turunan sel yang terpapar tersebut selama beberapa generasi. Ketidakstabilan dari genom akan menimbulkan berbagai kerusakan seluler meliputi aberasi kromosom, mikronuklei, mutasi, dan amplifikasi gen, transformasi neoplastik, dan kematian reproduktif yang tertunda (Little 1998; Alatas 2005; Brook 2005). Ketidakstabilan genom tersebut memberikan jeda waktu dan kesempatan untuk dapat dilakukan intervensi antara paparan radiasi dan perkembangan ketidakstabilan genom.

Fenomena yang ketiga yaitu perubahan profil ekspresi gen dapat diinduksi oleh paparan radiasi dosis sangat rendah (< 0.5 Gy). Perubahan ini dalam kondisi tertentu, bertujuan untuk melindungi sel terhadap efek yang ditimbulkan oleh paparan radiasi berikutnya dengan dosis yang lebih tinggi. Fenomena proteksi ini dikenal sebagai respon adaptasi atau respon radioadaptasi (Brooks 2005; Coleman 2005). Paparan radiasi dosis rendah diketahui pertama kali dapat memodifikasi tingkat kerusakan dari paparan radiasi berikutnya yang lebih tinggi pada sel limfosit manusia (Olivieri et al. 1984).

Respon adaptasi atau radioadaptasi merupakan suatu fenomena biologi dimana terjadi resistensi atau ketahanan terhadap radiasi yang diperoleh dengan adanya satu atau beberapa paparan radiasi awal dengan dosis yang sangat rendah. Respon adaptasi tersebut menjadi sinonim untuk radioresisten, yaitu sebuah paparan radiasi adaptasi yang dapat merubah efektivitas biologis paparan radiasi berikutnya dengan dosis yang lebih besar (Okazaki et al. 2005). Sejumlah studi menunjukkan adanya respon radioadaptasi berupa resistensi terhadap induksi mutasi (Ueno 1996; Zhou et al. 2003), aberasi kromosom (Wolff 1996), mikronuklei (Thierens 2002), apoptosis (Ueno 1996), transformasi malignansi (Redpath 2001), dan peningkatkan resistensi terhadap infeksi dan reduksi karsinogenesis (Brooks 2005; Coleman 2005).

Dokumen terkait