• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, yang merupakan salah satu varietas unggul (Lampiran 1), pupuk N (urea) sebanyak 250 kg/ha serta pupuk P dan K buatan seperti TSP sebanyak 100 kg/ha, KCl sebanyak 100 kg/ha, pestisida jenis Fastac, Bento dan biopestisida. Sedangkan alat yang digunakan antara lain boks, termometer, klorofil meter, Eh meter, pH meter, bagan warna daun (BWD), injektor polipropilen, seperangkat kromatografi gas, komputer, kamera, plastik hitam, bor tanah, timbangan analitik, meteran, Rika moisturizer

dan alat-alat bercocok tanam. Metode

a. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 jenis perlakuan dan 3 ulangan. Tata letak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Perlakuan yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain : (1) cara penanaman padi biasa (kontrol) dengan umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120

kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded); (2) sama dengan perlakuan pertama tetapi pengairan dilakukan secara berselang (intermittent); (3) PTT: bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan BWD, pemberian bahan organik 2 ton/ha, irigasi intermittent

dan cara tanam sistem legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded); (5)

System of Rice Intensification (SRI), yaitu penggunaan pupuk organik 15 ton/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, jarak tanam 30 cm x 30 cm dan irigasi intermittent.

b. Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi

Pembuatan plot diawali dengan

pengolahan tanah. Sebelum pengolahan, tanah dianalisis untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum ditanami padi. Hasil analisis dapat dilihat dalam Tabel 1.

Sifat Fisika dan Kimia Tanah Hasil Analisis pH H2O 5,7 KCL 4,9 Tekstur Tanah (%) Pasir 45 Debu 46 Liat 9 Bahan Organik C (%)

(Walkey & Black) 0,66 Bahan Organik N (%)

(Kjeldhal) 0,05

Nisbah C/N 13

Nilai Tukar Kation (cmol/kg) NH4-Acetat 1N, pH 7 Ca 3.82 Mg 0,51 K 0,41 Na 0,26 KTK (cmol/kg) 4,22 Oksalat Fe 0,2 Al 0,03 Si 0,01 DTPA (ppm) Fe 266 Mn 11,6 Cu 2,3 Zn 1 P2O5 (ppm) Olsen 38 K2O (ppm) Morgan 207 Asam humat (%) 0,33 Asam fulvat (%) 0,11 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Pl v v Sekat v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 2 vv 3 vv 3 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv 5 vv 3 vv 4 vv 1 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv I II III

Gambar 2 Tata letak perlakuan. I, II, III : Ulangan 1, 2, 3, 4, 5 : Perlakuan

Tabel 1 Hasil analisis tanah sebelum ditanami di kebun percobaan Balingtan di Jakenan, Jateng

setelah IR64, masing-masing 18% dan 33% (Puslitbangtan 2007).

Lebih lanjut Lis (2006) melaporkan bahwa pertanian di Banten dengan menggunakan varietas Ciherang melalui teknologi PTT dapat meningkatkan produktivitas padi yang semula produktivitasnya hanya sekitar 4-5 t/ha kini produktivitasnya bisa mencapai 7,7 t/ha.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, yang merupakan salah satu varietas unggul (Lampiran 1), pupuk N (urea) sebanyak 250 kg/ha serta pupuk P dan K buatan seperti TSP sebanyak 100 kg/ha, KCl sebanyak 100 kg/ha, pestisida jenis Fastac, Bento dan biopestisida. Sedangkan alat yang digunakan antara lain boks, termometer, klorofil meter, Eh meter, pH meter, bagan warna daun (BWD), injektor polipropilen, seperangkat kromatografi gas, komputer, kamera, plastik hitam, bor tanah, timbangan analitik, meteran, Rika moisturizer

dan alat-alat bercocok tanam. Metode

a. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 jenis perlakuan dan 3 ulangan. Tata letak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Perlakuan yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain : (1) cara penanaman padi biasa (kontrol) dengan umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120

kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded); (2) sama dengan perlakuan pertama tetapi pengairan dilakukan secara berselang (intermittent); (3) PTT: bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan BWD, pemberian bahan organik 2 ton/ha, irigasi intermittent

dan cara tanam sistem legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded); (5)

System of Rice Intensification (SRI), yaitu penggunaan pupuk organik 15 ton/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, jarak tanam 30 cm x 30 cm dan irigasi intermittent.

b. Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi

Pembuatan plot diawali dengan

pengolahan tanah. Sebelum pengolahan, tanah dianalisis untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum ditanami padi. Hasil analisis dapat dilihat dalam Tabel 1.

Sifat Fisika dan Kimia Tanah Hasil Analisis pH H2O 5,7 KCL 4,9 Tekstur Tanah (%) Pasir 45 Debu 46 Liat 9 Bahan Organik C (%)

(Walkey & Black) 0,66 Bahan Organik N (%)

(Kjeldhal) 0,05

Nisbah C/N 13

Nilai Tukar Kation (cmol/kg) NH4-Acetat 1N, pH 7 Ca 3.82 Mg 0,51 K 0,41 Na 0,26 KTK (cmol/kg) 4,22 Oksalat Fe 0,2 Al 0,03 Si 0,01 DTPA (ppm) Fe 266 Mn 11,6 Cu 2,3 Zn 1 P2O5 (ppm) Olsen 38 K2O (ppm) Morgan 207 Asam humat (%) 0,33 Asam fulvat (%) 0,11 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Pl v v Sekat v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 2 vv 3 vv 3 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv 5 vv 3 vv 4 vv 1 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv I II III

Gambar 2 Tata letak perlakuan. I, II, III : Ulangan 1, 2, 3, 4, 5 : Perlakuan

Gambar 4 (a) Pengukuran Eh (b) Pengukuran pH. (b)

(a) Pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu (1) pembajakan dengan traktor untuk membalik tanah dan pembuatan pematang (plotting), (2) pengolahan tanah sempurna yaitu meratakan setiap plot sehingga siap untuk ditanami. Setiap plot dibentuk dengan ukuran 5 x 6 m. Pada perlakuan 1 dan 4, yaitu perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang plot diberi pembatas plastik agar tidak mengganggu plot perlakuan intermittent (Gambar 3).

Penanaman padi untuk perlakuan PTT dan SRI dilakukan saat bibit berumur 15 hari setelah sebar (HSS), dengan jarak tanam legowo (2:1), yaitu 10 cm x 20 cm dan legowo 40 cm untuk PTT dan 30 cm x 30 cm untuk SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT padi ditanam pada saat bibit berumur 25 HSS dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara terpadu, untuk perlakuan PTT dan Non PTT tanaman disemprot menggunakan Fastac dan ditaburi Furadan, sedangkan untuk perlakuan SRI disemprot menggunakan biopestisida yang komposisi utamanya terdiri dari urine sapi, rempah-rempah (sereh, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, kencur), alkohol, cuka dan air cucian beras. Resep pembuatan biopestisida ini didapatkan dari kelompok petani yang mengembangkan sistem pertanian organik di Sragen, Jawa Tengah.

Pemupukan untuk perlakuan Non PTT dilakukan 3 kali, yaitu sebelum tanam (pemupukan I), 48 HSS (pemupukan II) dan 64 HSS (pemupukan III). Pada perlakuan PTT pemupukan dilakukan berdasarkan BWD, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Jika terdapat > 5 dari 10 warna daun yang diamati berada pada skala 2-3, berarti tanaman membutuhkan pupuk N. Cara pemupukan menggunakan BWD dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada SRI pemupukan dengan bahan organik 15 ton/ha dilakukan pada saat pengolahan tanah kedua. Jadwal pemupukan dan pengambilan sampel gas CH4 dari semua

perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 3. Ilustrasi penanaman dan pemupukan padi dapat dilihat pada Gambar 5 (a-e).

c. Pengamatan Tanaman, Tanah serta Pengukuran Gas

1) Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur sebanyak 6 kali sesuai dengan jadwal pengamatan parameter tanaman dalam kegiatan penelitian. Tanaman yang telah ditentukan, diukur tingginya dari permukaan tanah sampai ujung tanaman. 2) Jumlah Anakan

Jumlah anakan yang dihitung adalah anakan aktif pada tanaman yang telah ditentukan.

3) Klorofil Daun

Klorofil daun diukur menggunakan klorofil meter pada daun ke-3 dari daun muda. Tanaman dipilih secara acak sebanyak 8 kali dalam setiap plotnya.

4) Biomassa Tanaman

Pengambilan biomassa dilakukan

sebanyak 5 kali, dengan mencabut tanaman sampai ke akarnya. Kemudian tanaman dicuci, dikeringanginkan lalu ditimbang bobot basahnya. Selanjutnya tanaman dioven pada suhu 70°C selama 48 jam lalu ditimbang bobot keringnya.

5) Pengukuran Eh dan pH

Pengukuran Eh dan pH dilakukan di

lapangan pada masing-masing plot

menggunakan Eh meter dan pH meter. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan

pengambilan sampel gas CH4. Pada

pengukuran Eh digunakan elektroda yang ditancapkan pada tanah dan telah dikalibrasi sebelumnya (Gambar 4).

(b)

6) Pengambilan dan Pengukuran Gas

Pengambilan gas CH4 dilakukan secara manual di lapangan menggunakan boks berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang terbuat dari fleksigas. Pada saat tanaman mencapai ketinggian >60 cm digunakan box tambahan berukuran 40 cm x 40 cm x 50 cm, agar tanaman dapat masuk seluruhnya ke dalam box. Sampel gas diambil pada pukul 06.00 WIB menggunakan jarum suntik ukuran 5 ml dengan interval waktu pengambilan sampel setiap menit ke-6, 12, 18 dan 24. Pengambilan sampel dilakukan pada tempat yang sama yang telah diberi tanda (Gambar 5).

Sampel gasyang ada dalam injektor dibawa ke laboratorium untuk dianalisis konsentrasi gas CH4-nya menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi dengan

Flame Ionization Detector (FID). Data yang dihasilkan berupa puncak (peak) akan masuk ke dalam integrator untuk diinterpretasikan dalam bentuk area. Kemudian data akan dikonversi dalam bentuk ppm menggunakan rumus sebagai berikut :

C = 10.1 ppm x

As

Ac

Keterangan : C : Konsentrasi CH4 (ppm) 10.1 : Konsentrasi CH4 standar (ppm) As : Area standar CH4 Ac : Area sampel CH4

Selanjutnya dibuat kurva linier untuk mencari perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit). Data yang didapat akan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan Fluks gas CH4, yaitu :

F =

)

2

.

273

(

2

.

273

T

x

mV

mW

x

Ach

Vch

x

dt

dc

+

F : Fluks gas CH4 (mg/m2/hari) dc/dt : Perbedaan konsentrasi

CH4 per waktu (ppm/menit)

Vch : Volume boks (m3)

Ach : Luas boks (m2)

mW : Berat molekul CH4 (g)

mV : Tetapan volume molekul CH4

(22.41 l)

T : Suhu rata-rata selama

pengambilan sampel (0C) Nilai 273.2 : Tetapan suhu Kelvin

(IAEA 1993) Selanjutnya dari nilai fluks CH4 yang didapat, dapat dihitung total emisi gas CH4

(kg/ha) yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan.

7) Data Panen

Data yang dimasukkan adalah komponen hasil, baik biomassa panen (bobot jerami basah dan kering), hasil aktual panen Gabah Kering Giling (GKG) dengan kadar air 14% dan potensi hasil. Potensi hasil panen dihitung berdasarkan rumus :

Potensi hasil (t/ha) = malai/rumpun x gabah/malai x % gabah isi/malai x berat 1000 butir x 10-7

Presentase gabah hampa dan isi diambil dari 4 rumpun tanaman, berat 1000 butir diambil dari 5 rumpun secara acak, berat jerami basah dan berat jerami kering diambil dari ubinan yang berukuran 2 x 3 m.

d. Analisis Data

Data emisi CH4 dan beberapa parameter tanaman dianalisis menggunakan program

analysis of varian (ANOVA) untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan program SAS versi 6.12.

Pengujian untuk melihat sejauh mana perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) yang dilanjutkan dengan analisis regresi untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati, yaitu jumlah anakan dan biomassa kering tanaman dengan fluks harian dan emisi CH4.

(a)

Gambar 5 (a) Box yang digunakan untuk menangkap gas dari tanah dan tanaman padi diletakkan pada

tempat yang sama (b)

Gambar 6 Ilustrasi penanaman dan pemupukan tanaman padi pada perlakuan (a) Non PTT tergenang, (b) Non PTT intermittent, (c) PTT intermittent, (d) PTT tergenang dan (e) SRI. : Penggenangan : Pengeringan (a) (b) (e) (c) (d)

HASIL

a. Fluks dan Kumulatif Fluks CH4 Pola fluks CH4 secara umum selama satu musim tanam dapat dilihat pada Gambar 7. Fluks CH4 dari kelima perlakuan mengalami peningkatan di awal pertumbuhan tanaman dan cenderung menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif sampai menjelang panen. Selain fase pertumbuhan tanaman, cara budidaya pertanian juga mempengaruhi fluks CH4 yang dikeluarkan. Hal ini dapat terlihat dari adanya kesamaan pola fluks CH4 pada

perlakuan yang mengalami proses

penggenangan-pengeringan (intermittent), di mana nilai fluks CH4 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang mengalami penggenangan terus-menerus.

Nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang (1019.1 mg/m2/hari) dan Non PTT tergenang (633.8 mg/m2/hari). Proses penggenangan yang terus-menerus menyebabkan nilai Eh tanah semakin menurun dan menciptakan kondisi anaerob yang sangat sesuai bagi bakteri metanogen sebagai penghasil CH4. Sebaliknya pada perlakuan yang mengalami proses pengairan

intermittent, nilai fluks CH4 tertinggi hanya sebesar 465.1 mg/m2/hari untuk perlakuan PTT intermittent, 455.4 mg/m2/hari untuk perlakuan SRI dan 358.4 mg/m2/hari untuk perlakuan Non PTT intermittent. Data fluks CH4 selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4.

Grafik kumulatif fluks CH4 disajikan dalam Gambar 8. Selama pelaksanaan penelitian, secara kumulatif perlakuan PTT tergenang memiliki nilai fluks CH4 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan Non PTT tergenang, Non PTT intermittent, PTT

intermittent dan terendah pada perlakuan SRI. Pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT intermittent nilainya tidak jauh berbeda.

Pada periode pengeringan 57-63 HSS dan 74-80 HSS, pengukuran CH4 dilakukan setiap hari untuk mengetahui besarnya perubahan fluks CH4 selama pengeringan. Grafik perubahan fluks selama pengeringan disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Fluks CH4 saat pengeringan 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent, yaitu Non PTT

intermittent, PTT intermittent dan SRI cenderung menurun. Pada awal pengeringan (57 HSS) fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan SRI sebesar 126.96 mg/m2/hari diikuti oleh PTT intermittent dan Non PTT

intermittent sebesar 117.83 dan 95.16

mg/m2/hari (Lampiran 5). Pada pengukuran selanjutnya nilai fluks CH4 terus menurun sampai akhir pengeringan (63 HSS) dimana nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT intermittent sebesar 21.48 mg/m2/hari, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan PTT intermittent sebesar 15.17 dan 13.33 mg/m2/hari.

Nilai fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS tidak stabil. Secara keseluruhan nilainya lebih rendah dibandingkan dengan fluks saat pengeringan pada 57-63 HSS. Selama periode pengeringan, nilai fluks CH4

terendah terdapat pada hari

terakhir pengeringan (80 HSS), yaitu sebesar -3.02 mg/m2/hari untuk perlakuan PTT

intermittent, 1.75 mg/m2/hari untuk Non PTT

intermittent dan 9.02 mg/m2/hari untuk perlakuan SRI (Lampiran 5). Selain proses pengeringan fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi besarnya fluks CH4 yang dikeluarkan. Pada saat pengeringan 57-63 HSS tanaman memasuki fase vegetatif, di mana terdapat jumlah anakan maksimum yang

mempengaruhi besarnya fluks CH4.

Sedangkan pada pengeringan 74-80 HSS jumlah anakan aktif menurun, sehingga nilai fluks CH4 lebih rendah.

Grafik kumulatif fluks CH4 pada saat pengeringan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Dari gambar tersebut dapat diketahui perlakuan yang mengalami penurunan fluks CH4 paling besar selama periode pengeringan. Gambar 11 (periode pengeringan 57-63 HSS)

menunjukkan bahwa perlakuan PTT

intermittent mengalami penurunan paling besar, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan Non PTT intermittent. Pada Gambar 12 (periode pengeringan 74-80 HSS) penurunan fluks CH4 paling besar terdapat pada perlakuan SRI, sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan Non PTT intermittent

penurunannya tidak berbeda jauh. Data kumulatif fluks CH4 pada saat pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 5.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112

Hari setelah sebar (HSS)

K u m u la ti f f lu k s C H4 ( m g /m 2 ) Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI -5 15 35 55 75 95 115 135 57 58 59 60 61 62 63

Hari setelah sebar (HSS)

F lu k s C H 4 (m g /m 2 /ha r i) Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Pengeringan Perlakuan intermittent Perlakuan tergenang

Gambar 8 Kumulatif fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam.

Pengeringan

Gambar 7 Fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam.

0 200 400 600 800 1000 1200 16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112

Hari setelah sebar (HSS)

F lu k s C H4 ( m g /m 2 /ha ri )

Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI Pemupukan I 25 HSS Pemupukan II & BWD I 48 HSS

Pemupukan III & BWD III 64 HSS Panen P-5 104 HSS Panen P 1-4 108 HSS Keterangan : Keterangan :

Gambar 9 Fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent.

Gambar 10 Fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent. -5 15 35 55 75 95 115 135 74 75 76 78 79 80

Hari setelah sebar (HSS)

F lu k s C H 4 ( m g /m 2 /ha r i) Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Tergenang Hujan

Gambar 11 Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent.

-5 95 195 295 395 495 595 695 57 58 59 60 61 62 63

Hari setelah sebar (HSS)

F lu k s C H 4 k u m u la ti f (m g /m 2 ) Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Tergenang

Gambar 12 Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent.

-5 95 195 295 395 495 595 695 74 75 76 78 79 80

Hari setelah sebar (HSS)

F lu k s C H 4ku m u la ti f (m g /m 2 ) Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Tergenang

b. pH dan Potensial Redoks Tanah Tanah sawah umumnya memiliki pH netral. Hal ini disebabkan karena adanya proses penggenangan yang menyebabkan pH, baik pada tanah masam maupun tanah alkali berkisar antara 6-7. Perubahan pH setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi feri menjadi fero, sulfat menjadi sulfida dan CO2 menjadi CH4 (Ismunadji et al. 1988). Sebagian besar bakteri metanogen adalah neutrofilik, yang hidup pada kisaran pH 6-8. Wang et al. (1993) menemukan bahwa pembentukan CH4 secara maksimum akan terjadi pada kisaran pH 6.9-7.1.

Selama pelaksanaan penelitian, nilai pH pada tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah (Gambar 13). Pada awal musim tanam (16 HSS) nilai pH tanah berkisar antara 6.77-7.38 kemudian mengalami penurunan dan kenaikan pada pengukuran-pengukuran selanjutnya. pH tanah untuk perlakuan tergenang cenderung mendekati netral, nilainya berkisar 6.29-7.13 pada perlakuan Non PTT Tergenang dan 6.00-7.25 pada PTT Tergenang sebelum panen.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa proses penggenangan menyebabkan tanah memiliki nilai pH berkisar antara 6-7. Sebaliknya pada perlakuan intermittent, kisaran nilai pH lebih luas, yaitu 5.51-7.45 untuk perlakuan Non PTT Intermittent, 5.32-7.37 untuk PTT

Intermittent dan 5.33-7.50 untuk SRI.

Nilai pH tanah pada kondisi kering cenderung mengalami penurunan. Hal ini terbukti bahwa nilai pH setelah panen mengalami penurunan dari 6.29 menjadi 5.52 pada perlakuan Non PTT tergenang dan 6.00 menjadi 5.32 pada perlakuan PTT tergenang. Data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 6.

Potensial redoks (Eh) merupakan suatu petunjuk status reaksi oksidasi-reduksi pada tanah. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik (aerob), sedangkan reaksi reduksi berkaitan dengan kondisi tanah tergenang. Potensial redoks merupakan faktor penting pengontrol pembentukan CH4 (Wang et al. 1992). Bakteri Metanogen dapat bekerja optimal pada potensial redoks <-150 mV (Setyanto 2004), sedangkan Ponnamperuma (1972) menyebutkan bahwa pembentukan CH4 akan terjadi pada kisaran potensial redoks -250 mV hingga -300 mV.

Nilai Eh selama penelitian

mengalami fluktuasi yang beragam (Gambar 14). Secara umum dari kelima perlakuan, nilai Eh tanah pada perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang selalu bernilai negatif, kecuali setelah panen. Kondisi tergenang membuat tanah berada dalam keadaan reduktif, sehingga menurunkan nilai Eh. Pada perlakuan Non PTT tergenang nilai Eh berkisar antara -184 mV hingga 217 mV (setelah panen), sedangkan pada PTT tergenang berkisar antara -188 mV hingga 281 mV (setelah panen) (Lampiran 7).

5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 7,40 7,60 7,80 16 30 45 57 59 61 63 71 75 78 80 85 100 113

Hari setelah sebar (HSS)

p

H

Non PTT Intermittent Non PTT Tergenang PTT Intermittent PTT Tergenang SRI

Gambar 13 Nilai pH selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan.

Panen Pengeringan

Berbeda dengan perlakuan tergenang, perlakuan yang mengalami pengairan

intermittent, memiliki kisaran nilai Eh yang beragam. Pada saat pengeringan nilai Eh cenderung naik bahkan positif. Perlakuan Non PTT intermittent memiliki kisaran nilai Eh antara -159 mV hingga 271 mV, PTT

intermittent -148 mV hingga 350 mV (setelah panen) dan SRI -216 mV hingga 341 mV (setelah panen). Nilai Eh mempengaruhi fluks CH4, semakin rendah nilai Eh maka semakin meningkatkan aktivitas bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 dalam tanah.

c. Parameter-parameter Tanaman 1. Tinggi tanaman

Perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Secara statistik berdasarkan uji Duncan Multiple Range Test

(DMRT) tinggi tanaman pada 39 HSS berbeda nyata pada perlakuan PTT intermittent, PTT tergenang dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT tergenang dan Non PTT

intermittent nilainya tidak berbeda nyata. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan PTT

intermittent sebesar 45.9 cm dan nilai terendah terdapat pada perlakuan Non PTT

intermittent sebesar 35.1 cm. Pada 52 HSS tinggi tanaman pada perlakuan Non PTT tergenang (52.9 cm) dan SRI (55.0 cm) tidak berbeda nyata, begitu juga dengan PTT

intermittent (61.7 cm) dan PTT tergenang (60.1 cm). Sedangkan untuk Non PTT

intermittent (45.6 cm) nilainya berbeda nyata di antara kelima perlakuan.

Tinggi tanaman pada 66 dan 82 HSS berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT

tergenang, Non PTT intermittent dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent

dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman pada pengukuran 96 dan 104 HSS tidak berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT tergenang dan PTT

intermittent serta untuk perlakuan Non PTT

intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan PTT tergenang dengan tinggi tanaman tertinggi di antara perlakuan lainnya.

2. Jumlah anakan

Perbedaan jumlah anakan antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Berdasarkan uji DMRT, jumlah anakan pada umur tanaman 39 HSS tidak berbeda nyata pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT Tergenang, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang dengan jumlah anakan 6 malai. Jumlah anakan maksimum terdapat pada umur tanaman 66 HSS, dengan jumlah anakan terbanyak terdapat pada perlakuan Non PTT tegenang dan Non PTT

intermittent masing-masing 16 malai, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI sebanyak 13 malai dan jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan PTT

intermittent dan PTT tergenang dengan jumlah anakan masing-masing 10 malai. Selanjutnya jumlah anakan semakin menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada usia tanaman 82 HSS jumlah anakan pada perlakuan Non PTT Tergenang, Non PTT intermittent dan SRI nilainya tidak berbeda nyata, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata di antara kedua perlakuan.

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 16 30 45 57 59 61 63 71 75 78 80 86 101 113

Hari s e te lah s e bar (HSS)

P o te n si a l R e d o k s (m V )

Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI

Gambar 14 Nilai Eh selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan.

Pengeringan

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada p=0.05 3. Biomassa Tanaman

Perbedaan nilai biomassa tanaman baik basah maupun kering disajikan dalam Tabel 2. Biomassa tanaman yang diukur adalah biomassa total tanaman, di mana bobot akar dan bobot tanaman bagian atas dihitung secara keseluruhan. Berdasarkan uji DMRT, Nilai biomassa kering pada 40 HSS, 67 HSS, 83 HSS dan 97 HSS tidak berbeda nyata antar perlakuannya. Pada 53 HSS nilai biomassa kering tanaman untuk perlakuan Non PTT tergenang (3.67 g), Non PTT intermittent

Dokumen terkait