IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH
4) PADA BERBAGAI SISTEM
PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN
HARTINI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRAK
HARTINI. Identifikasi Emisi Metan (CH4) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi
di Lahan Pertanian. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan PRIHASTO SETYANTO.
Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT) telah banyak dikembangkan baik pada lahan sawah irigasi maupun pada lahan sawah tadah hujan. Sistem ini menganjurkan pemberian bahan organik yang berpotensi meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK yang dalam penelitian ini difokuskan pada gas CH4. Dalam
penelitian ini diterapkan lima perlakuan, antara lain : (1) Non PTT Tergenang, (2) Non PTT
Intermittent, (3) PTT Intermittent, (4)PTT Tergenang dan (5) System of Rice Intensification (SRI). Pada perlakuan pertama komponen yang diterapkan antara lain : umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120 kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kedua : hampir sama dengan perlakuan pertama tetapi dengan irigasi berselang (Intermittent). Perlakuan ketiga : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD), pemberian bahan organik setara 2 ton/ha, cara tanam sistem legowo 2:1 dan irigasi intermittent. Perlakuan keempat : hampir sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kelima : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), menggunaan pupuk organik 15 ton/ha, tanpa pemupukan anorganik dan jarak tanam 30 x 30 cm.
Total emisi CH4 dari kelima perlakuan cukup bervariasi. Emisi CH4 tertinggi terdapat pada
perlakuan PTT tergenang (347.03±28.41) dan Non PTT tergenang (282.93±36.46), kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (78.33±42.02), SRI (60.73±9.13) dan Non PTT
intermittent (57.87±6.76). Perlakuan PTT tergenang memiliki nilai Gabah Kering Giling (GKG) bersih tertinggi sebesar 7.10±0.08, kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (6.76±0.14), Non PTT tergenang (6.72± 0.19), Non PTT Intermittent (6.49±1.15) dan SRI (2.41±0.34).
ABSTRACT
HARTINI, Identification of Methane (CH4) Emission from Different Rice Crop Management
Practices in Agricultural Land. Supervised by IBNUL QAYIM and PRIHASTO SETYANTO. Integrated crop management (ICM) have been developed both in irrigation and rainfall field. This system apply the organic manures to rice field, that can increase the emission of green house gases. For that reason, it is needed to identify the gases emission status where in this research we focused to identification CH4 gases. In this research, we use five treatments, there are : (1) Non
ICM under continuous flooding, (2) Non ICM under intermittent irrigation, (3) ICM, (4) ICM under continuous flooding and (5) System of Rice Intensification (SRI). Component of the first treatment are : five old seedling (25 days-old) were transplanted per hole, fertilized by 120 kg/ha N, 90 kg/ha P and 60 kg/ha K, without organic manures and under continuous flooding. The second treatment : is the same as the first treatment, except under intermittent irrigation. The third treatments : one young seedling (15 days-old) were transplanted per hole, N-fertilizer application based on leaf color chart (LCC), organic manures 2 ton/ha, intermittent irrigation, and ‘legowo’ with 10 x 20 cm plant spacing with 40 cm space in row. The fourth treatment : is the same as the third treatment, except under continuous flooding. The fifth treatment : was fertilized by 15 ton/ha organic manures, transplanting of a 15 days young seedling (1 per hill), without anorganic fertilizers and square planting at 30 x 30 cm.
The total emission of CH4 from the five treatments had enough variation. The highest CH4
IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH
4) PADA BERBAGAI SISTEM
PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN
HARTINI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Departemen Biologi
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul : Identifikasi Emisi Metan (CH4) pada Berbagai Sistem Pengelolaan
Tanaman Padi di Lahan Pertanian
Nama : Hartini
NRP : G34103070
Menyetujui :
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Ibnul Qayim
Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc
NIP 131878948
NIP 080119823
Mengetahui :
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim, DEA
NIP 131578806
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi atas berkah dan rahmat-Nya yang tiada pernah putus, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Identifikasi Emisi Metan (CH4) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan
Pertanian” tepat pada waktunya. Penelitian ini dibiayai oleh Balai Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Departeman Pertanian di Jakenan, Pati, Jawa Tengah.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu selama kegiatan penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim selaku pembimbing pertama dari Departemen Biologi FMIPA IPB dan Bapak Dr. Ir. Prihasto Setyanto, Msc selaku pembimbing kedua dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Bapak Nono Sutrisno selaku kepala Balai dan Bapak Asep Nugraha, terima kasih atas segala nasehatnya; keluarga besar GRK, yaitu Mbak Rina, Mbak Lina, Mbak Titi, Mbak Mira, Kak Yono, Kak Yanto, Pak Yarpani, Pak Jumari, Pak Yoto, Pak Darmin dan Pak Uwo terima kasih atas segala bantuan dan kebersamaan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian di Jakenan; kepada Mbak Mita selaku pengurus mess, keluarga laboratorium terpadu (Mas Fitra dan Bu Yulis), terima kasih atas fasilitas yang diberikan; Mas Pur, Mas Fany, Mbak Erna dan Kiki yang membuat mess selalu rame; Papa, Mama, Kakak dan Adikku tersayang yang selalu memberikan motivasi juga mencurahkan doa dan kasih sayangnya; teman-teman seperjuangan di Pati, yaitu Rika, Tyas, Tika dan Yulis, teman-teman satu angkatan (Bio 40) terutama Yusi, Chandra dan Iwan terima kasih atas semangat, saran dan kritiknya serta pihak-pihak lain yang telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan karya ilmiah ini.
Penulis telah berusaha menuangkan hasil penelitian dalam bentuk laporan dengan tujuan selain untuk memenuhi tugas akhir juga untuk berbagi informasi kepada setiap pembaca. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini, namun begitu penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2
Waktu dan Tempat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Efek GRK Terhadap Pemanasan Global ... 2
Metan (CH4) sebagai GRK ... 2 Kontribusi Lahan Sawah pada Pemanasan Global ... 3
SRI (System of Rice Intensification) ... 3
Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) ... 4
Komponen Teknologi PTT ... 4
Varietas Padi Rendah Emisi Metan ... 6
Varietas Unggul Ciherang ... 6
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ... 7
Metode Penelitian ... 7
Rancangan Percobaan dan Perlakuan ... 7
Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi ... 7
Pengamatan Tanaman, Tanah serta Pengukuran Gas ... 8
Analilsis Data ... 9
HASIL Fluks dan Kumulatif Fluks CH4 ... 11
pH dan Potensial Redoks Tanah ... 14
Parameter-parameter Tanaman ... 15
Hubungan antara CH4 dengan parameter tanaman ... 16
Hasil dan komponen hasil ... 16
PEMBAHASAN ... 18
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 21
Saran ... 21
DAFTAR PUSTAKA ... 21
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil analisis tanah sebelum ditanami di kebun percobaan Balingtan Jakenan, Jateng ... 7
2. Tinggi tanaman, jumlah anakan dan berat biomassa kering tanaman antar perlakuan ... 16 3. Emisi CH4 dan komponen hasil dari kelima perlakuan selama satu musim tanam ... 18
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Tanam cara legowo ... 42. Lay out perlakuan ... 7
3. Pembatas plastik pada plot 1 dan 4 ... 8
4. Pengukuran Eh dan pH ... 8
5. Box yang digunakan untuk menangkap gas dari tanah dan tanaman padi diletakkan pada tempat yang sama dan Pengambilan sampel gas CH4 ... 9
6. Ilustrasi penanaman dan pemupukkan tanaman padi dari kelima perlakuan ... 10
7. Fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam ... 12
8. Kumulatif fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam ... 12
9. Fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent ... 12
10. Fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent ... 13
11. Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent ... 13
12. Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent ... 13
13. Grafik pH selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan ... 14
14. Grafik Eh selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan ... 15
15. Hubungan antara jumlah anakan (x) dengan fluks CH4 harian (y) pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI ... 17
16. Hubungan antara biomassa kering (x) dengan fluks CH4 harian (y) pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI ... 17
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Deskripsi padi varietas ciherang ... 252. Cara pemupukan nitrogen dengan Bagan Warna Daun (BWD)... 26
3. Jadwal kegiatan penelitian PTT di kebun percobaan Balingtan... 27
4. Hasil pengukuran fluks CH4 (mg/m2/hari) selama penelitian... 28
5. Hasil pengukuran fluks dan kumulatif fluks CH4 (mg/m2/hari) saat pengeringan pada perlakuan intermittent ... 29
6. Hasil pengukuran pH tanah selama penelitian ... 30
7. Hasil pengukuran Eh (mV) tanah selama penelitian ... 31
8. Perbandingan hasil panen dari kelima perlakuan ... 32
9. Tabel dan gambar grafik hasil pengukuran klorofil daun dari semua perlakuan ... 33
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global (global warming) yang diakibatkan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4),
dan dinitro oksida (N2O) sering dikaitkan
dengan budidaya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber penyumbang gas CH4
yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan gas CH4. Luasnya areal tanah
pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber
dan penyumbang utama peningkatan
konsentrasi CH4 di atmosfer.
Emisi CH4 tahunan secara global diduga
sebesar 420-620 Tg/tahun dan konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi CH4 di atmosfer saat ini diperkirakan
mencapai 1.7 ppmV (IPCC 1992). Emisi CH4
dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg/tahun (Yagi & Minami 1990; Seiler et al. 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH4 /tahun.
Pada skala nasional kontribusi tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi CH4 dari tanah sawah harus tetap
dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi CH4 yang tinggi,
yaitu pada tanah sawah beririgasi.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, lahan sawah beririgasi masih tetap menjadi andalan bagi produksi padi nasional. Program intensifikasi yang sudah dicanangkan sejak tiga dekade lalu, pada awalnya telah mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nyata. Namun sejak beberapa dekade terakhir, produktivitas padi cenderung melandai bahkan menurun di beberapa lokasi. Menurunnya produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah yang kurang sempurna, kurangnya penggunaan benih bermutu, serta rendahnya penggunaan pupuk oleh petani. Petani biasanya menggunakan benih dari tanaman sebelumnya yang sudah tidak murni lagi. Pemakaian benih bermutu atau berlabel sering menjadi masalah bagi petani karena benih bermutu sulit
didapatkan pada waktu diperlukan.
Penghapusan subsidi pupuk dan kenaikan harga pestisida menyebabkan peningkatan
biaya produksi padi yang semakin
memberatkan petani. Saat ini, banyak petani yang sama sekali tidak menggunakan pupuk anorganik pada lahan pertaniannya. Selain penurunan kesuburan lahan, penggunaan satu varietas padi tanpa adanya pergiliran tanaman, serta kurangnya penggunaan pupuk organik merupakan kendala dalam peningkatan produksi padi.
Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan faktor kunci dalam peningkatan produksi padi. Sedangkan rekomendasi pupuk yang berlaku saat ini
masih bersifat umum dan belum
mempertimbangkan kandungan atau status hara tanah, sehingga penggunaan pupuk menjadi tidak efisien. Akibatnya, setelah 20-30 tahun berlangsung program intensifikasi padi sawah, terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah, bahkan di beberapa daerah di Pulau Jawa telah terjadi penimbunan unsur P dan K dalam tanah.
Untuk mengatasi kendala tersebut Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah
merancang suatu metode Peningkatan
Produktivitas Padi Terpadu melalui
pendekatan Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). Sistem ini merupakan penyempurnaan dari System of Rice Intensification (SRI) yang dianggap mempunyai banyak kendala baik dalam teknis pelaksanaan di lapangan maupun dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat.
PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi. Komponen-komponen pengelolaan tanaman terpadu seperti pengelolaan hama terpadu, hara terpadu, air terpadu, dan gulma terpadu telah dipraktekkan beberapa tahun terakhir dan telah terbukti mampu meningkatkan hasil padi sawah sampai 1 ton/ha. Di daerah Tamil Nadu, India, sistem PTT yang diterapkan
selama musim tanam 2002-2004
meningkatkan hasil panen sebesar 1.5 ton/ha (Balasubramanian et al. 2006). Produksi padi gogo melalui pendekatan teknologi PTT mencapai 4.3 ton/ha (Toha et al. 2005). Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, intensifikasi pertanian dengan PTT dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp1.066.504/ha (20,72 %) dibandingkan dengan petani biasa (Arafah 2005).
lahan sawah tadah hujan. Pemberian bahan organik pada sistem ini berpotensi meningkatkan emisi GRK. Disisi lain sistem PTT juga menerapkan irigasi intermittent
yang diduga dapat menurunkan emisi GRK. Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK pada sistem PTT yang nantinya akan dibandingkan dengan sistem pengelolaan tanaman padi lainnya
Bila penerapan sistem PTT ini ternyata dapat menekan emisi GRK, maka sistem ini dapat menjadi cara budi daya padi yang ideal karena selain dapat menghemat penggunaan input pertanian, menaikkan hasil padi dan pendapatan petani, juga dapat mengurangi emisi GRK sehingga sistem pertanian menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan.
Tujuan
Mendapatkan informasi status emisi gas metan (CH4) pada berbagai sistem
pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juli 2007. Penelitian pengukuran emisi CH4 dilakukan di Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Jakenan, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Balingtan Jaken secara geografis terletak pada koordinat 06°45’ Lintang Selatan dan 111°40’ Bujur Timur, beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm/tahun.
TINJAUAN PUSTAKA
Efek GRK Terhadap Pemanasan Global Efek Rumah Kaca (green house effect) merupakan peristiwa yang terjadi secara alami sehingga memungkinkan kelangsungan hidup bagi semua makhluk yang ada di bumi. Tanpa adanya GRK, seperti karbondioksida (CO2),
metan (CH4) atau dinitro oksida (N2O), suhu
permukaan bumi akan 33°C lebih dingin dari suhu normalnya.
Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Akibatnya, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Proses tersebut dikenal dengan efek rumah kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari terjadinya efek rumah kaca.
Sejak awal jaman industrialisasi, akhir abad ke-17, konsentrasi GRK meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5–0.6°C akibat emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Pengukuran yang dilakukan sejak
tahun 1950-an menunjukkan tingkat
konsentrasi GRK meningkat secara tetap dan peningkatan ini berhubungan dengan emisi GRK yang dihasilkan industri dan berbagai aktivitas manusia lainnya.
Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global akan melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud salah satunya adalah melalui peningkatan temperatur bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global, yang diikuti dengan berubahnya iklim regional, pola curah hujan yang tidak teratur, penguapan, pembentukan awan, mencairnya es dan glasier di kutub dan perubahan iklim.
Perubahan iklim tersebut dapat merubah komposisi dan distribusi geografi di berbagai ekosistem seperti hutan, gurun pasir dan daerah pesisir pantai. Perubahan iklim akan
mempengaruhi siklus hidrologi dan
mempengaruhi persediaan air regional (Setyanto 2004a).
Metan (CH4) sebagai GRK
Setyanto (2004b) mengemukakan bahwa metan (CH4) merupakan salah satu GRK yang
dihasilkan melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik. Dimana pemasukan secara intensif bahan organik berupa jerami pada keadaan tanah tergenang sangat ideal bagi berlangsungnya proses dekomposisi di lahan pertanian. Proses tersebut dilakukan oleh bakteri metanogen yang dapat merubah CO2, asam format, asetat, metanol, metilamin
dan CO menjadi CH4 (Ciceron & Oremland
1988). Metanogen menggunakan asetat sebagai sumber karbon utama, sedangkan susbtrat lainnya seperti H2/CO2 dan format
berkontribusi 10-30% (Achtrich et al. 1995). Emisi CH4 dari lingkungan akuatik seperti
tanah sawah pada dasarnya ditentukan oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Sudadi 2002). Pada tanah sawah, CH4 diproduksi
sebagai hasil antara dan hasil akhir dari
berbagai proses mikrobial, seperti
dekomposisi anaerobik bahan organik oleh bakteri metanogen dan oksidasi CH4 oleh
tanah reduktif atau anaerobik telah tercapai akibat penggenangan, sedangkan metanotrof bersifat aerobik pada lapisan permukaan tanah dan zona perakaran.
Bakteri metanogen dapat bekerja optimal pada redoks potensial kurang dari -150 mV. Proses metanogenesis merupakan proses biologis pada tanah yang dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks, pH tanah, akumulasi dan dekomposisi bahan organik serta varietas tanaman (Setyanto 2004).
Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi cepat-lambatnya proses produksi dan konsumsi gas CH4 adalah reaksi
oksidasi-reduksi (redoks) dari oksidan-oksidan tanah seperti NO3, SO4, Fe2O3, MnO4
dan CO2 (Setyanto 2004). Sudadi (2002)
mengemukakan sisa CH4 yang tidak
teroksidasi ditransportasikan ke atmosfer dengan cara difusi melalui air genangan, ebulisi (pembentukan gelembung-gelembung gas) serta transportasi melalui aerenchyma
padi.
Metan merupakan gas aktif yang
berpengaruh terhadap iklim bumi. Kehadiran 1.7 ppm CH4 di atmosfer menyebabkan
peningkatan suhu permukaan bumi sekitar 0.3-0.4 K.
Kontribusi Lahan Sawah pada Pemanasan Global
Lahan sawah merupakan salah satu sumber emisi CH4, yang berkontribusi pada peningkatan pemanasan global. Lahan sawah Indonesia yang luasnya sekitar 10,9 juta hektar diduga memberi kontribusi sekitar 1% dari total global CH4 di atmosfer (Setyanto
2006).
Pada tahun 1990, emisi metan dari tanah sawah diperkirakan mencapai 20-120 juta ton per tahun atau sekitar 12.5% dari emisi metan global sebesar 470-650 juta ton per tahun. Hasil penelitian IRRI dengan negara-negara Asia yang dilakukan pada tahun 1993-1999 membuktikan bahwa tingkat emisi metan dari tanah sawah di Cina ternyata hanya 3.7 juta ton per tahun, sedangkan di India, Indonesia, Filipina dan Thailand berturut-turut hanya 2.1, 1.7, 0.1 dan 0.2 juta ton per tahun. Total emisi metan dari tanah sawah di kelima negara tersebut hanya mencapai 6.5-17.4 juta ton per tahun atau hanya 2-5 % dari emisi metan secara global (Sudadi 2002).
Emisi metan dari tanah sawah beririgasi umumnya lebih tinggi dibandingkan tanah sawah tadah hujan dan tanah sawah air dalam. Luas tanah sawah beririgasi meliputi
50% dari total areal tanah sawah dunia. Meskipun demikian, laju emisi pada tanah sawah beririgasi di berbagai lokasi tidak seragam atau bervariasi dari kisaran rendah sampai tinggi. Penggunaan pupuk inorganik pada lahan tersebut juga menghasilkan laju emisi metan yang sangat bervariasi, sedangkan pengaruh aplikasi pupuk kandang terhadap peningkatan laju emisi metan bervariasi dari rendah hingga tinggi (Sudadi 2002).
SRI (System of Rice Intensification)(Uphoff & Satyanarayana 2006)
SRI atau yang lebih dikenal dengan
Teknologi Intensifikasi Pertanian
dikembangkan di Madagaskar 20 tahun yang lalu oleh Fr. Henry de Laulani , SJ. Sedangkan di Indonesian sendiri SRI baru
diterapkan pada periode 1999-2000.
Komponen yang direkomendasikan oleh SRI antara lain:
1. Penggunaan bibit muda
Bibit yang digunakan dalam SRI berumur 8-12 HSS (tidak lebih dari 15 HSS).
2. Pengaturan jarak tanam
Padi ditanam dengan jarak tanam 25cm x 25cm dengan menanam 1 bibit/lubang. Pengaturan jarak tanam pada SRI bertujuan untuk mendapatkan efek tanaman pinggir pada padi. Dimana tanaman yang berada pada bagian pinggir biasanya memberikan hasil lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akar tanaman menjadi lebih dalam dan luas penyerapannya.
3. Pengolahan tanah
Hal ini diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan akar yang baik dan menciptakan kondisi aerobik untuk biota tanah. Pencangkulan selain ditujukan untuk pemberantasan gulma, juga ditujukan untuk perbaikan aerasi tanah.
4. Penambahan bahan organik
Dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi akar dan biota tanah. Pemupukan dengan kompos yang dihasilkan dari
dekomposisi bahan organik dapat
meningkatkan hasil pertanian.
Komponen-komponen tersebut ketika
diterapkan secara bersamaan dapat
dibandingkan dengan tanaman padi dengan penanaman cara biasa.
SRI menjadi kontroversial di beberapa tempat karena dalam pelaksanaannya tidak memberikan hasil yang sama ketika diterapkan. Selain itu penggunaan benih muda dan pemberantasan gulma secara manual yang
menjadi salah satu komponen SRI
membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak sehingga tidak efisien.
Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pada awalnya Indonesia menerapkan SRI
sebagai usaha untuk meningkatkan
produktivitas pertanian. SRI diterapkan di Sukamandi dengan hasil panen 6.2 ton/ha pada musim hujan dan 9.2 ton/ha pada musim kering (Uphoff & Satyanarayana 2006).
Namun dalam perkembangannya SRI
menunjukkan kendala teknis di lapangan. Untuk itu dikembangkan teknologi pertanian terbaru yang merupakan hasil penyempurnaan dari SRI.
Inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani dilakukan melalui pendekatan PTT (Pengelolaan
Tanaman dan sumberdaya Terpadu).
Komponen teknologi yang saling bersinergi dalam PTT terdiri dari penggunaan bibit muda unggul, pemakaian bahan organik, perbaikan aerasi tanah dengan penerapan irigasi berselang (intermitten), penggunaan bagan warna daun (BWD) dan status hara tanah serta pemakaian benih bermutu.
Komponen Teknologi PTT
Komponen teknologi utama PTT,
meskipun tidak perlu semuanya diterapkan bila tidak sesuai lokasi, diantaranya :
1. Penggunaan benih bermutu
Benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, selain itu perkecambahan dan pertumbuhan tanaman akan seragam, ketika ditanam pindah bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar dan benih yang baik akan memberikan hasil tinggi. Untuk memilih benih yang baik, sebelumnya benih direndam dalam larutan garam 3% atau larutan ZA (benih yang mengapung atau mengambang dibuang) (BPPTP 2004).
2. Varietas unggul adaptif spesifik lokasi
Sebagai salah satu komponen intensifikasi padi, varietas unggul berperan penting dalam meningkatkan produksi, mengendalikan hama
dan penyakit tanaman serta menekan
pengaruh buruk kondisi lingkungan tumbuh.
Dibandingkan dengan teknologi produksi lainnya, varietas unggul lebih cepat diterima petani karena lebih mudah diimplementasikan dan harganya relatif murah. Badan Penelitian
dan Pengembangan (Litbang) Pertanian
melalui Balitpa terus berupaya merakit varietas unggul. Hingga saat ini, Departemen Pertanian telah melepas lebih dari 175 varietas unggul padi yang sebagian besar dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Puslitbangtan 2007).
Sesuai dengan teknologi PTT yang ditetapkan bahwa varietas yang digunakan adalah varietas unggul dengan kriteria berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit, tahan rebah, berdaya beli tinggi dengan cita rasa enak serta dapat beradaptasi dengan iklim dan tipe tanah setempat. Beberapa varietas yang dianjurkan dari varietas lokal antara lain: Pandanwangi, Rojolele dan Siam Unus; varietas unggul baru, misalnya IR64, Membramo, Way Apo Buru, Widas, Tukad Unda dan Ciherang; varietas unggul aromatik, misalnya Celebes, Sintanur, Batang Gadis dan Gilirang; padi tipe baru, misalnya
Fatmawati; padi Hibrida, misalnya Maro, Rokan, Hibrida Intani-1 dan Hibrida Intani-2 (BPPTP 2004). Selama ini benih yang digunakan petani masih berkualitas rendah.
3. Tanam bibit muda (umur <15 HSS, 1 bibit/lubang)
Keuntungan menggunakan bibit muda (15 HSS) adalah bibit akan cepat kembali pulih, akar lebih kuat dan dalam, tanaman akan menghasilkan anakan lebih banyak, tahan rebah, tahan kekeringan dan dapat menyerap pupuk lebih efisien (BPPTP 2004).
4. Tanam cara legowo (2:1 atau 4:1)
Yaitu cara tanam berselang-seling 2 atau 4 baris tanaman dan 1 baris kosong.
Jarak antara baris tanaman yang dikosongkan disebut 1 unit. Semula pengenalan tanam padi jajar legowo kurang diterima oleh petani, dengan alasan meningkatkan penggunaan tenaga tanam, waktu tanam lebih lama dan umumnya kurang
yakin terhadap peningkatan produktivitas dengan berkurangnya satu baris tanaman. Tetapi setelah mengetahui hasil penerapan tanam jajar legowo banyak petani yang tertarik dan menerapkan tanam jajar legowo (BPTP 2004). Keuntungan dari tanam jajar legowo antara lain semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), pengendalian hama dan gulma lebih mudah, penyerapan pupuk lebih efektif dan memfasilitasi ruang kosong untuk drainase.
5. Pemberian bahan organik
Penggunaan bahan organik seperti
kompos, jerami dan pupuk kandang
diperlukan dalam meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Hakim et al. (1986) pemberian bahan organik berpengaruh pada sifat fisika tanah, yaitu kemampuan tanah menahan air meningkat, warna tanah menjadi coklat hingga hitam, serta merangsang granulasi agregat. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah antara lain meningkatnya daya jerap tanah dan kapasitas tukar kation. Sedangkan pengaruhnya pada sifat biologi tanah antara lain meningkatnya jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah dan meningkatnya aktivitas jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik.
Dilain pihak pemberian pupuk organik dan anorganik (kimia) meningkatkan emisi CH4
(Lindau & Bollich 1993; Banik et al. 1996). Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa penambahan bahan organik 10 ton/ha menghasilkan rata-rata emisi CH4 sebesar
216.4 kg/ha. Nilai ini lebih kecil dibandingkan pada penambahan 5 ton/ha emisi CH4 yang
dihasilkan sebesar 230.3 kg/ha. Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering sebanyak 3 ton/ha menghasilkan emisi CH4 0.5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
tanpa pemberian jerami, 2 kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha dan 2.4 kali lebih tinggi pada penambahan 12 ton/ha. Yagi dan
Minami (1990) mengemukakan bahwa
penambahan jerami yang sudah menjadi kompos tidak memberikan emisi CH4 yang
tinggi. Semakin tinggi rasio C/N dari bahan organik (jerami) akan memberikan emisi CH4
yang lebih besar.
6. Pengelolaan hara spesifik lokasi (Ndengan BWD; P dan K berdasarkan status hara tanah)
Pemupukan secara hemat dilakukan dengan menggunakan bagan warna daun
(BWD) untuk menetapkan kebutuhan
nitrogen. Pemupukan P dan K dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah dan bersifat spesifik lokasi.
7. Irigasi intermittent
Pengairan berselang (intermitten) dimaksudkan untuk mengatur kondisi lahan dalam keadaan kering-tergenang secara bergantian. Manfaat pengairan berselang antara lain menghemat air irigasi, memberi kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar,
mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu
panen, serta memudahkan pembenaman
pupuk ke dalam tanah (BPTP 2004).
Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa secara umum kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (continuosly flooded) relatif mengemisi CH4 lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi tanah macak-macak dan pengairan terputus. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pengairan terputus (intermitten irrigation) dan penggenangan berlanjut memberi kontribusi emisi CH4
berturut-turut sebesar 77.33 dan 164.30 kg/ha. Rendahnya emisi CH4 pada pengairan terputus
disebabkan tidak terjadinya perubahan reduksi yang tajam pada tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak mendominasi. Cara pengairan seperti ini dapat menekan laju emisi CH4 rata-rata sebesar 46.5%.
Menurut Nugroho et al. (1994) rata-rata emisi CH4 melalui irigasi intermitten berkisar
20.6-27.6 mgCH4m -2
h-1, sedangkan pada pengairan berlanjut berkisar antara 26.6-29.0 mgCH4m-2h-1.
8. Penyiangan gulma secara manual
(menggunakan landak atau gasrok) Penyiangan dapat dilakukan melalui
pencabutan gulma dengan tangan,
menggunakan alat gasrok/landak atau dengan
menggunakan herbisida. Keuntungan
9. Penerapan PHT bagi pengendalian OPT
(Widiarta & Hendarsih 2007).
Hama dan penyakit tanaman merupakan
kendala yang perlu diantisipasi
perkembangannya, karena dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Pengendalian hama dan
penyakit dengan mengandalkan satu
komponen pengendalian saja, seperti
insektisida, varietas tahan atau musuh alami, belum memberikan hasil yang optimal. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No.12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang menekankan pentingnya pengendalian hama terpadu (Widiarta & Hendarsih 2007).
Konsep PHT dihasilkan melalui pertemuan panel para ahli Badan Pangan Dunia di Roma pada tahun 1965. Intisari dari konsep PHT adalah: PHT merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama,
serta menggunakan berbagai teknik
pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah ambang ekonomi. Di Indonesia, konsep PHT telah diakomodasikan ke dalam sistem produksi pertanian.
Hal mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam integrasi PHT ke dalam PTT adalah (1) Integrasi komponen pengendalian yang sesuai ke dalam tahapan budi daya sejalan dengan stadia pertumbuhan tanaman, (2) Petani berpartisipasi aktif dalam penerapan
PHT, (3) Penggunaan pestisida hanya
dilakukan berdasarkan hasil pemantauan dan (4) Pemantauan disarankan dilakukan bersama dalam satu hamparan/golongan air.
Penerapan PHT dalam pertanian antara lain dengan menanam tanaman yang sehat dengan pola tanam dan pergiliran tanaman yang tepat, menggunakan varietas yang tahan hama dan penyakit, pengamatan berkala di lapang, pemanfaatan musuh alami seperti predator dan patogen serangga serta penggunaan pestisida hanya bila diperlukan.
10. Cara panen dengan thresher
Panen pada waktu yang tepat dengan memperhatikan umur tanaman, dengan menghitung sejak padi mulai berbunga (biasanya panen jatuh pada 30-35 hari setelah padi berbunga). Jika 95% malai menguning, segera panen dengan menggunakan alat sabit bergerigi atau mesin pemanen.
11.Pascapanen
Kegiatan pascapanen perlu dikelola dengan tepat, karena kehilangan hasil dan penurunan mutu selama proses panen dan pascapanen masih tinggi (± 20%) (BPTP 2004). Penanganan panen dan pascapanen yang kurang baik menyebabkan kualitas benih rendah. Proses pengeringan, penggilingan dan penyimpanan perlu menjadi perhatian agar diperoleh beras dengan kualitas tinggi.
Varietas Padi Rendah Emisi Metan Tanaman padi memiliki peranan penting dalam mengemisi gas CH4 dari lahan
pertanian. Emisi CH4 dapat ditekan dengan cara menanam varietas padi dengan emisi CH4 rendah serta menerapkan teknik budi daya yang ramah lingkungan tanpa mengurangi hasil pertanian (Setyanto 2006).
Varietas IR64 cenderung menghasilkan emisi gas CH4 rendah dibandingkan varietas
lainnya yang umum digunakan oleh petani. Varietas baru seperti Ciherang, Tukad Balian, dan Way Apoburu memberikan harapan baru, karena mampu mengurangi besarnya emisi gas CH4 ke atmosfir. Besarnya emisi gas
metana dari varietas-varietas padi mempunyai hubungan positif non linier dengan bobot kering akar padi yang berperan sebagai penghasil eksudat akar sumber karbon bagi bakteri metanogen (Wihardjaka 2006).
Emisi gas CH4 dari tanaman padi sawah ke
atmosfer didasarkan pada tiga proses, yaitu pelepasan gas CH4 dalam bentuk
gelembung-gelembung udara (ebulisi), proses difusi serta melalui aerenkima (Naharia 2004). Aerenkima merupakan ruang udara yang terdapat pada pelepah daun, helai daun, batang dan akar tanaman padi yang saling berhubungan satu sama lain, seolah-olah membentuk pipa kecil. Pembuluh aerenkima bertindak sebagai cerobong bagi pelepasan CH4 ke atmosfer
(Apriyanto 1997).
Varietas Unggul Ciherang
Tabel 1 Hasil analisis tanah sebelum ditanami di kebun percobaan Balingtan di Jakenan, Jateng
setelah IR64, masing-masing 18% dan 33% (Puslitbangtan 2007).
Lebih lanjut Lis (2006) melaporkan bahwa pertanian di Banten dengan menggunakan varietas Ciherang melalui teknologi PTT dapat meningkatkan produktivitas padi yang semula produktivitasnya hanya sekitar 4-5 t/ha kini produktivitasnya bisa mencapai 7,7 t/ha.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, yang merupakan salah satu varietas unggul (Lampiran 1), pupuk N (urea) sebanyak 250 kg/ha serta pupuk P dan K buatan seperti TSP sebanyak 100 kg/ha, KCl sebanyak 100 kg/ha, pestisida jenis Fastac, Bento dan biopestisida. Sedangkan alat yang digunakan antara lain boks, termometer, klorofil meter, Eh meter, pH meter, bagan warna daun (BWD), injektor polipropilen, seperangkat kromatografi gas, komputer, kamera, plastik hitam, bor tanah, timbangan analitik, meteran, Rika moisturizer
dan alat-alat bercocok tanam.
Metode
a. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 jenis perlakuan dan 3 ulangan. Tata letak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.
Perlakuan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain : (1) cara penanaman padi biasa (kontrol) dengan umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120
kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded); (2) sama dengan perlakuan pertama tetapi pengairan dilakukan secara berselang (intermittent); (3) PTT: bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan BWD, pemberian bahan organik 2 ton/ha, irigasi intermittent
dan cara tanam sistem legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded); (5)
System of Rice Intensification (SRI), yaitu penggunaan pupuk organik 15 ton/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, jarak tanam 30 cm x 30 cm dan irigasi intermittent.
b. Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi
Pembuatan plot diawali dengan
pengolahan tanah. Sebelum pengolahan, tanah dianalisis untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum ditanami padi. Hasil analisis dapat dilihat dalam Tabel 1.
Sifat Fisika dan Kimia Tanah Hasil Analisis
pH
H2O 5,7
KCL 4,9
Tekstur Tanah (%)
Pasir 45
Debu 46
Liat 9
Bahan Organik C (%)
(Walkey & Black) 0,66 Bahan Organik N (%)
(Kjeldhal) 0,05
Nisbah C/N 13
Nilai Tukar Kation (cmol/kg) NH4-Acetat 1N, pH 7
Ca 3.82
Mg 0,51
K 0,41
Na 0,26
KTK (cmol/kg) 4,22
Oksalat Fe 0,2 Al 0,03 Si 0,01 DTPA (ppm) Fe 266 Mn 11,6 Cu 2,3 Zn 1
P2O5 (ppm)
Olsen 38
K2O (ppm)
Morgan 207
Asam humat (%) 0,33
Asam fulvat (%) 0,11
v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v
v v v v v
v v v v v
v v v v v
v v v v v
v v Pl v v
Sekat v v
v v v v v
v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v v v v 2 vv 3 vv 3 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv 5 vv 3 vv 4 vv 1 vv 2 vv 5 vv 1 vv 4 vv I II III
Gambar 2 Tata letak perlakuan. I, II, III : Ulangan 1, 2, 3, 4, 5 : Perlakuan
Gambar 4 (a) Pengukuran Eh (b) Pengukuran pH. (b)
(a) Pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu (1) pembajakan dengan traktor untuk membalik tanah dan pembuatan pematang (plotting), (2) pengolahan tanah sempurna yaitu meratakan setiap plot sehingga siap untuk ditanami. Setiap plot dibentuk dengan ukuran 5 x 6 m. Pada perlakuan 1 dan 4, yaitu perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang plot diberi pembatas plastik agar tidak mengganggu plot perlakuan intermittent (Gambar 3).
Penanaman padi untuk perlakuan PTT dan SRI dilakukan saat bibit berumur 15 hari setelah sebar (HSS), dengan jarak tanam legowo (2:1), yaitu 10 cm x 20 cm dan legowo 40 cm untuk PTT dan 30 cm x 30 cm untuk SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT padi ditanam pada saat bibit berumur 25 HSS dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara terpadu, untuk perlakuan PTT dan Non PTT tanaman disemprot menggunakan Fastac dan ditaburi Furadan, sedangkan untuk perlakuan SRI disemprot menggunakan biopestisida yang komposisi utamanya terdiri dari urine sapi, rempah-rempah (sereh, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, kencur), alkohol, cuka dan air cucian beras. Resep pembuatan biopestisida ini didapatkan dari kelompok petani yang mengembangkan sistem pertanian organik di Sragen, Jawa Tengah.
Pemupukan untuk perlakuan Non PTT dilakukan 3 kali, yaitu sebelum tanam (pemupukan I), 48 HSS (pemupukan II) dan 64 HSS (pemupukan III). Pada perlakuan PTT pemupukan dilakukan berdasarkan BWD, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Jika terdapat > 5 dari 10 warna daun yang diamati berada pada skala 2-3, berarti tanaman membutuhkan pupuk N. Cara pemupukan menggunakan BWD dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada SRI pemupukan dengan bahan organik 15 ton/ha dilakukan pada saat pengolahan tanah kedua. Jadwal pemupukan dan pengambilan sampel gas CH4 dari semua
perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 3. Ilustrasi penanaman dan pemupukan padi dapat dilihat pada Gambar 5 (a-e).
c. Pengamatan Tanaman, Tanah serta Pengukuran Gas
1) Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur sebanyak 6 kali sesuai dengan jadwal pengamatan parameter tanaman dalam kegiatan penelitian. Tanaman yang telah ditentukan, diukur tingginya dari permukaan tanah sampai ujung tanaman.
2) Jumlah Anakan
Jumlah anakan yang dihitung adalah anakan aktif pada tanaman yang telah ditentukan.
3) Klorofil Daun
Klorofil daun diukur menggunakan klorofil meter pada daun ke-3 dari daun muda. Tanaman dipilih secara acak sebanyak 8 kali dalam setiap plotnya.
4) Biomassa Tanaman
Pengambilan biomassa dilakukan
sebanyak 5 kali, dengan mencabut tanaman sampai ke akarnya. Kemudian tanaman dicuci, dikeringanginkan lalu ditimbang bobot basahnya. Selanjutnya tanaman dioven pada suhu 70°C selama 48 jam lalu ditimbang bobot keringnya.
5) Pengukuran Eh dan pH
Pengukuran Eh dan pH dilakukan di
lapangan pada masing-masing plot
menggunakan Eh meter dan pH meter. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan
pengambilan sampel gas CH4. Pada
pengukuran Eh digunakan elektroda yang ditancapkan pada tanah dan telah dikalibrasi sebelumnya (Gambar 4).
(b)
6) Pengambilan dan Pengukuran Gas
Pengambilan gas CH4 dilakukan secara
manual di lapangan menggunakan boks berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang terbuat dari fleksigas. Pada saat tanaman mencapai ketinggian >60 cm digunakan box tambahan berukuran 40 cm x 40 cm x 50 cm, agar tanaman dapat masuk seluruhnya ke dalam box. Sampel gas diambil pada pukul 06.00 WIB menggunakan jarum suntik ukuran 5 ml dengan interval waktu pengambilan sampel setiap menit ke-6, 12, 18 dan 24. Pengambilan sampel dilakukan pada tempat yang sama yang telah diberi tanda (Gambar 5).
Sampel gasyang ada dalam injektor dibawa ke laboratorium untuk dianalisis konsentrasi gas CH4-nya menggunakan
kromatografi gas yang dilengkapi dengan
Flame Ionization Detector (FID). Data yang dihasilkan berupa puncak (peak) akan masuk ke dalam integrator untuk diinterpretasikan dalam bentuk area. Kemudian data akan dikonversi dalam bentuk ppm menggunakan rumus sebagai berikut :
C = 10.1 ppm x
As
Ac
Keterangan :
C : Konsentrasi CH4 (ppm)
10.1 : Konsentrasi CH4 standar (ppm)
As : Area standar CH4
Ac : Area sampel CH4
Selanjutnya dibuat kurva linier untuk mencari perbedaan konsentrasi CH4 per
waktu (ppm/menit). Data yang didapat akan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan Fluks gas CH4, yaitu :
F =
)
2
.
273
(
2
.
273
T
x
mV
mW
x
Ach
Vch
x
dt
dc
+
F : Fluks gas CH4 (mg/m
2
/hari) dc/dt : Perbedaan konsentrasi
CH4 per waktu (ppm/menit)
Vch : Volume boks (m3)
Ach : Luas boks (m2)
mW : Berat molekul CH4 (g)
mV : Tetapan volume molekul CH4
(22.41 l)
T : Suhu rata-rata selama
pengambilan sampel (0C) Nilai 273.2 : Tetapan suhu Kelvin
(IAEA 1993)
Selanjutnya dari nilai fluks CH4 yang
didapat, dapat dihitung total emisi gas CH4
(kg/ha) yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan.
7) Data Panen
Data yang dimasukkan adalah komponen hasil, baik biomassa panen (bobot jerami basah dan kering), hasil aktual panen Gabah Kering Giling (GKG) dengan kadar air 14% dan potensi hasil. Potensi hasil panen dihitung berdasarkan rumus :
Potensi hasil (t/ha) = malai/rumpun x gabah/malai x % gabah isi/malai x berat 1000 butir x 10-7
Presentase gabah hampa dan isi diambil dari 4 rumpun tanaman, berat 1000 butir diambil dari 5 rumpun secara acak, berat jerami basah dan berat jerami kering diambil dari ubinan yang berukuran 2 x 3 m.
d. Analisis Data
Data emisi CH4 dan beberapa parameter
tanaman dianalisis menggunakan program
analysis of varian (ANOVA) untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan program SAS versi 6.12.
Pengujian untuk melihat sejauh mana perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) yang dilanjutkan dengan analisis regresi untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati, yaitu jumlah anakan dan biomassa kering tanaman dengan fluks harian dan emisi CH4.
(a)
Gambar 5 (a) Box yang digunakan untuk menangkap gas dari tanah dan tanaman padi diletakkan pada
tempat yang sama (b)
Gambar 6 Ilustrasi penanaman dan pemupukan tanaman padi pada perlakuan (a) Non PTT tergenang, (b) Non PTT intermittent, (c) PTT intermittent, (d) PTT tergenang dan (e) SRI.
: Penggenangan : Pengeringan
(a) (b)
(e)
HASIL
a. Fluks dan Kumulatif Fluks CH4
Pola fluks CH4 secara umum selama satu
musim tanam dapat dilihat pada Gambar 7. Fluks CH4 dari kelima perlakuan mengalami
peningkatan di awal pertumbuhan tanaman dan cenderung menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif sampai menjelang panen. Selain fase pertumbuhan tanaman, cara budidaya pertanian juga mempengaruhi fluks CH4 yang dikeluarkan. Hal ini dapat terlihat
dari adanya kesamaan pola fluks CH4 pada
perlakuan yang mengalami proses
penggenangan-pengeringan (intermittent), di mana nilai fluks CH4 cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang mengalami penggenangan terus-menerus.
Nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada
perlakuan PTT tergenang (1019.1 mg/m2/hari) dan Non PTT tergenang (633.8 mg/m2/hari). Proses penggenangan yang terus-menerus menyebabkan nilai Eh tanah semakin menurun dan menciptakan kondisi anaerob yang sangat sesuai bagi bakteri metanogen sebagai penghasil CH4. Sebaliknya pada
perlakuan yang mengalami proses pengairan
intermittent, nilai fluks CH4 tertinggi hanya
sebesar 465.1 mg/m2/hari untuk perlakuan PTT intermittent, 455.4 mg/m2/hari untuk perlakuan SRI dan 358.4 mg/m2/hari untuk perlakuan Non PTT intermittent. Data fluks CH4 selengkapnya dapat dilihat dalam
Lampiran 4.
Grafik kumulatif fluks CH4 disajikan
dalam Gambar 8. Selama pelaksanaan penelitian, secara kumulatif perlakuan PTT tergenang memiliki nilai fluks CH4 tertinggi,
kemudian diikuti oleh perlakuan Non PTT tergenang, Non PTT intermittent, PTT
intermittent dan terendah pada perlakuan SRI. Pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT intermittent nilainya tidak jauh berbeda.
Pada periode pengeringan 57-63 HSS dan 74-80 HSS, pengukuran CH4 dilakukan setiap
hari untuk mengetahui besarnya perubahan fluks CH4 selama pengeringan. Grafik
perubahan fluks selama pengeringan disajikan pada Gambar 9 dan 10.
Fluks CH4 saat pengeringan 57-63 HSS
untuk perlakuan intermittent, yaitu Non PTT
intermittent, PTT intermittent dan SRI cenderung menurun. Pada awal pengeringan (57 HSS) fluks CH4 tertinggi terdapat pada
perlakuan SRI sebesar 126.96 mg/m2/hari diikuti oleh PTT intermittent dan Non PTT
intermittent sebesar 117.83 dan 95.16
mg/m2/hari (Lampiran 5). Pada pengukuran selanjutnya nilai fluks CH4 terus menurun
sampai akhir pengeringan (63 HSS) dimana nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada
perlakuan Non PTT intermittent sebesar 21.48 mg/m2/hari, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan PTT intermittent sebesar 15.17 dan 13.33 mg/m2/hari.
Nilai fluks CH4 saat pengeringan pada
74-80 HSS tidak stabil. Secara keseluruhan nilainya lebih rendah dibandingkan dengan fluks saat pengeringan pada 57-63 HSS. Selama periode pengeringan, nilai fluks CH4
terendah terdapat pada hari
terakhir pengeringan (80 HSS), yaitu sebesar -3.02 mg/m2/hari untuk perlakuan PTT
intermittent, 1.75 mg/m2/hari untuk Non PTT
intermittent dan 9.02 mg/m2/hari untuk perlakuan SRI (Lampiran 5). Selain proses pengeringan fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi besarnya fluks CH4 yang
dikeluarkan. Pada saat pengeringan 57-63 HSS tanaman memasuki fase vegetatif, di mana terdapat jumlah anakan maksimum yang
mempengaruhi besarnya fluks CH4.
Sedangkan pada pengeringan 74-80 HSS jumlah anakan aktif menurun, sehingga nilai fluks CH4 lebih rendah.
Grafik kumulatif fluks CH4 pada saat
pengeringan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Dari gambar tersebut dapat diketahui perlakuan yang mengalami penurunan fluks CH4 paling besar selama periode pengeringan.
Gambar 11 (periode pengeringan 57-63 HSS)
menunjukkan bahwa perlakuan PTT
intermittent mengalami penurunan paling besar, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan Non PTT intermittent. Pada Gambar 12 (periode pengeringan 74-80 HSS) penurunan fluks CH4 paling besar terdapat pada
perlakuan SRI, sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan Non PTT intermittent
penurunannya tidak berbeda jauh. Data kumulatif fluks CH4 pada saat pengeringan
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112
Hari setelah sebar (HSS)
K
u
m
u
la
ti
f
f
lu
k
s
C
H4
(
m
g
/m
2 )
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI
-5 15 35 55 75 95 115 135
57 58 59 60 61 62 63
Hari setelah sebar (HSS)
F
lu
k
s
C
H
4 (
m
g
/m
2 /h
a
r
i)
Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI
Pengeringan
Perlakuan
intermittent
Perlakuan tergenang
Gambar 8 Kumulatif fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam. Pengeringan
Gambar 7 Fluks CH4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam. 0
200 400 600 800 1000 1200
16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112
Hari setelah sebar (HSS)
F
lu
k
s
C
H4
(
m
g
/m
2 /h
a
ri
)
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI
Pemupukan I 25 HSS
Pemupukan II & BWD I 48 HSS
Pemupukan III & BWD III
64 HSS
Panen P-5 104 HSS
Panen P 1-4 108 HSS
Keterangan :
Keterangan :
Gambar 9 Fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent.
Gambar 10 Fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent. -5
15 35 55 75 95 115 135
74 75 76 78 79 80
Hari setelah sebar (HSS)
F
lu
k
s
C
H
4
(
m
g
/m
2 /h
a
r
i)
Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI
Tergenang Tergenang
Hujan
Gambar 11 Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent. -5
95 195 295 395 495 595 695
57 58 59 60 61 62 63
Hari setelah sebar (HSS)
F
lu
k
s
C
H
4
k
u
m
u
la
ti
f
(m
g
/m
2 )
Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI
Tergenang Tergenang
Gambar 12 Kumulatif fluks CH4 saat pengeringan pada 74-80 HSS untuk perlakuan intermittent. -5
95 195 295 395 495 595 695
74 75 76 78 79 80
Hari setelah sebar (HSS)
F
lu
k
s
C
H
4k
u
m
u
la
ti
f
(m
g
/m
2 ) Non PTT Intermittent
PTT Intermittent SRI
b. pH dan Potensial Redoks Tanah Tanah sawah umumnya memiliki pH netral. Hal ini disebabkan karena adanya proses penggenangan yang menyebabkan pH, baik pada tanah masam maupun tanah alkali berkisar antara 6-7. Perubahan pH setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi feri menjadi fero, sulfat menjadi sulfida dan CO2 menjadi
CH4 (Ismunadji et al. 1988). Sebagian besar
bakteri metanogen adalah neutrofilik, yang hidup pada kisaran pH 6-8. Wang et al. (1993) menemukan bahwa pembentukan CH4 secara
maksimum akan terjadi pada kisaran pH 6.9-7.1.
Selama pelaksanaan penelitian, nilai pH pada tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah (Gambar 13). Pada awal musim tanam (16 HSS) nilai pH tanah berkisar antara 6.77-7.38 kemudian mengalami penurunan dan kenaikan pada pengukuran-pengukuran selanjutnya. pH tanah untuk perlakuan tergenang cenderung mendekati netral, nilainya berkisar 6.29-7.13 pada perlakuan Non PTT Tergenang dan 6.00-7.25 pada PTT Tergenang sebelum panen.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa proses penggenangan menyebabkan tanah memiliki nilai pH berkisar antara 6-7. Sebaliknya pada perlakuan intermittent, kisaran nilai pH lebih luas, yaitu 5.51-7.45 untuk perlakuan Non PTT Intermittent, 5.32-7.37 untuk PTT
Intermittent dan 5.33-7.50 untuk SRI.
Nilai pH tanah pada kondisi kering cenderung mengalami penurunan. Hal ini terbukti bahwa nilai pH setelah panen mengalami penurunan dari 6.29 menjadi 5.52 pada perlakuan Non PTT tergenang dan 6.00 menjadi 5.32 pada perlakuan PTT tergenang. Data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 6.
Potensial redoks (Eh) merupakan suatu petunjuk status reaksi oksidasi-reduksi pada tanah. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik (aerob), sedangkan reaksi reduksi berkaitan dengan kondisi tanah tergenang. Potensial redoks merupakan faktor penting pengontrol pembentukan CH4 (Wang et al.
1992). Bakteri Metanogen dapat bekerja optimal pada potensial redoks <-150 mV (Setyanto 2004), sedangkan Ponnamperuma (1972) menyebutkan bahwa pembentukan CH4 akan terjadi pada kisaran potensial redoks
-250 mV hingga -300 mV.
Nilai Eh selama penelitian
mengalami fluktuasi yang beragam (Gambar 14). Secara umum dari kelima perlakuan, nilai Eh tanah pada perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang selalu bernilai negatif, kecuali setelah panen. Kondisi tergenang membuat tanah berada dalam keadaan reduktif, sehingga menurunkan nilai Eh. Pada perlakuan Non PTT tergenang nilai Eh berkisar antara -184 mV hingga 217 mV (setelah panen), sedangkan pada PTT tergenang berkisar antara -188 mV hingga 281 mV (setelah panen) (Lampiran 7).
5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 7,40 7,60 7,80
16 30 45 57 59 61 63 71 75 78 80 85 100 113
Hari setelah sebar (HSS)
p
H
Non PTT Intermittent Non PTT Tergenang PTT Intermittent PTT Tergenang SRI
Gambar 13 Nilai pH selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan.
Panen Pengeringan
Berbeda dengan perlakuan tergenang, perlakuan yang mengalami pengairan
intermittent, memiliki kisaran nilai Eh yang beragam. Pada saat pengeringan nilai Eh cenderung naik bahkan positif. Perlakuan Non PTT intermittent memiliki kisaran nilai Eh antara -159 mV hingga 271 mV, PTT
intermittent -148 mV hingga 350 mV (setelah panen) dan SRI -216 mV hingga 341 mV (setelah panen). Nilai Eh mempengaruhi fluks CH4, semakin rendah nilai Eh maka semakin
meningkatkan aktivitas bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 dalam tanah.
c. Parameter-parameter Tanaman 1. Tinggi tanaman
Perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Secara statistik berdasarkan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) tinggi tanaman pada 39 HSS berbeda nyata pada perlakuan PTT intermittent, PTT tergenang dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT tergenang dan Non PTT
intermittent nilainya tidak berbeda nyata. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan PTT
intermittent sebesar 45.9 cm dan nilai terendah terdapat pada perlakuan Non PTT
intermittent sebesar 35.1 cm. Pada 52 HSS tinggi tanaman pada perlakuan Non PTT tergenang (52.9 cm) dan SRI (55.0 cm) tidak berbeda nyata, begitu juga dengan PTT
intermittent (61.7 cm) dan PTT tergenang (60.1 cm). Sedangkan untuk Non PTT
intermittent (45.6 cm) nilainya berbeda nyata di antara kelima perlakuan.
Tinggi tanaman pada 66 dan 82 HSS berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT
tergenang, Non PTT intermittent dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent
dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman pada pengukuran 96 dan 104 HSS tidak berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT tergenang dan PTT
intermittent serta untuk perlakuan Non PTT
intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan PTT tergenang dengan tinggi tanaman tertinggi di antara perlakuan lainnya.
2. Jumlah anakan
Perbedaan jumlah anakan antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Berdasarkan uji DMRT, jumlah anakan pada umur tanaman 39 HSS tidak berbeda nyata pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT Tergenang, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang dengan jumlah anakan 6 malai. Jumlah anakan maksimum terdapat pada umur tanaman 66 HSS, dengan jumlah anakan terbanyak terdapat pada perlakuan Non PTT tegenang dan Non PTT
intermittent masing-masing 16 malai, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI sebanyak 13 malai dan jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan PTT
intermittent dan PTT tergenang dengan jumlah anakan masing-masing 10 malai. Selanjutnya jumlah anakan semakin menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada usia tanaman 82 HSS jumlah anakan pada perlakuan Non PTT Tergenang, Non PTT intermittent dan SRI nilainya tidak berbeda nyata, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata di antara kedua perlakuan.
-300 -200 -100 0 100 200 300 400
16 30 45 57 59 61 63 71 75 78 80 86 101 113
Hari s e te lah s e bar (HSS)
P
o
te
n
si
a
l
R
e
d
o
k
s
(m
V
)
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI
Gambar 14 Nilai Eh selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan.
Pengeringan
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada p=0.05
3. Biomassa Tanaman
Perbedaan nilai biomassa tanaman baik basah maupun kering disajikan dalam Tabel 2. Biomassa tanaman yang diukur adalah biomassa total tanaman, di mana bobot akar dan bobot tanaman bagian atas dihitung secara keseluruhan. Berdasarkan uji DMRT, Nilai biomassa kering pada 40 HSS, 67 HSS, 83 HSS dan 97 HSS tidak berbeda nyata antar perlakuannya. Pada 53 HSS nilai biomassa kering tanaman untuk perlakuan Non PTT tergenang (3.67 g), Non PTT intermittent
(3.47 g) dan PTT tergenang (3.23 g) tidak berbeda nyata, sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan SRI nilainya berbeda nyata antar perlakuan.
d. Hubungan antara CH4 dengan
parameter tanaman
1. Hubungan antara CH4 dengan jumlah
anakan
Banyaknya jumlah anakan juga
mempengaruhi besarnya fluks CH4 harian.
Hubungan antara fluks CH4 harian dengan
jumlah anakan pada tanaman dapat dilihat dalam Gambar 15.
Terdapat hubungan yang nyata antara jumlah anakan dengan fluks CH4 harian pada
perlakuan Non PTT intermittent, PTT
intermittent dan SRI, sedangkan untuk perlakuan lainnya tidak berhubungan nyata (Lampiran 8).
2. Hubungan antara CH4 dengan biomassa
tanaman
Biomassa tanaman total diduga
mempengaruhi besarnya fluks harian CH4.
Hubungan antara biomassa kering tanaman dengan fluks harian CH4 dapat dilihat dalam
Gambar 16.
Nilai biomassa kering dengan fluks CH4
harian berkorelasi pada perlakuan Non PTT
intermittent, PTT intermittent dan SRI, sedangkan untuk kedua perlakuan lainnya tidak berhubungan nyata (Lampiran 8).
e. Hasil dan komponen hasil
Hasil gabah (baik aktual maupun potensial hasil) dan emisi CH4 dari semua perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diketahui bahwa nilai biomassa panen dan gabah kering giling (GKG) bersih dari keempat perlakuan, yaitu Non PTT tergenang, Non PTT intermittent, PTT intermittent dan PTT tergenang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Perlakuan SRI menunjukkan perbedaan nyata dengan nilai biomassa panen dan GKG bersih paling rendah, yaitu 2.50±0.31 t/ha dan 2.41±0.34 t/ha. Selain hasil panen aktual, nilai potensial hasil panen juga dihitung untuk mengetahui hasil panen optimum yang diharapkan dari tiap perlakuan. Perlakuan PTT intermittent memiliki potensi hasil panen terbesar, yaitu 10.61±1.00 t/ha,
sedangkan untuk perlakuan Non PTT
tergenang (9.08±0.30 t/ha) dan PTT tergenang Tabel 2 Tinggi tanaman, jumlah anakan dan berat biomassa kering tanaman antar perlakuan
Non PTT Tergenang 36,8 c 52,9 b 69,1 b 86,0 b 94,2 b 94,3 b
Non PTT Intermittent 35,1 c 45,6 c 62,5 c 77,1 c 87,7 c 86,6 c
PTT Intermittent 45,9 a 61,7 a 78,8 a 96,8 a 95,9 b 96,0 b
PTT Tergenang 41,2 b 60,1 a 78,4 a 98,9 a 100,6 a 99,4 a
SRI 44,6 ab 55,0 b 64,8 bc 80,8 bc 84,9 c 85,5 c
Non PTT Tergenang 6 a 13 a 16 a 12 a 10 a 10 a
Non PTT Intermittent 5 b 11 ab 16 a 11 a 9 a 9 a
PTT Intermittent 5 ab 8 b 10 c 8 b 6 b 6 b
PTT Tergenang 5 b 8 b 10 c 7 b 7 b 7 b
SRI 6 ab 13 a 13 b 11 a 10 a 11 a
Non PTT Tergenang 1,0 a 3,7 b 18,7 a 39,2 a 45,0 a
Non PTT Intermittent 1,1 a 3,5 b 18,8 a 29,6 a 45,0 a
PTT Intermittent 2,3 a 7,4 a 22,5 a 44,9 a 41,0 a
PTT Tergenang 1,9 a 3,2 b 20,3 a 47,8 a 39,1 a
SRI 2,5 a 5,9 ab 32,9 a 52,5 a 49,9 a
Biomassa Kering (g) Perlakuan
39 HSS 52 HSS 66 HSS
Tinggi Tanaman (cm)
82 HSS 96 HSS 104 HSS
40 HSS 53 HSS
Jumlah Anakan
Gambar 15 Hubungan antara jumlah anakan (x) dengan fluks CH4 harian (y)
pada perlakuan (a) Non PTT
intermittent, (b) PTT intermittent
dan (c) SRI.
* Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 5% dan 1%
a.
y = 3.16x2 - 87.95x + 636.96
r = 0.916**, n=12
-100 0 100 200 300 400
0 5 10 15 20
Jumlah anakan F lu k s C H
4 (
m g /m 2 /h a r i)
39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS
b.
y = 10.02x2 - 193.4x + 959.38
r = 0.847**, n=12
-100 0 100 200 300 400
0 5 10 15 20
Jumlah anakan F lu k s C H 4 (m g /m 2 /h a r i)
39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS
c.
y = 2.13x2 - 53.76x + 369.37 r = 0.731**, n=12
-100 0 100 200 300 400
0 5 10 15 20 25
Jumlah anakan F lu k s C H 4 ( m g /m 2/h a r i)
39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS
Gambar 16 Hubungan antara biomassa kering (x) dengan fluks CH4 harian (y)
pada perlakuan (a) Non PTT
intermittent, (b) PTT intermittent
dan (c) SRI.
* Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 5% dan 1%
y = 3.42x2 - 82.83x + 369.9 r = 0.888**, n=9
-150 -50 50 150 250 350 450
0 5 10 15 20 25
Biomassa kering (g)
F lu k s C H 4 ( m g /m 2 /h a r i)
40 HSS 53 HSS 65 HSS a.
y = 0.60x2 - 24.38x + 258.19
r = 0.924**, n=9
-150 -50 50 150 250 350
0 10 20 30 40
Biomassa kering (g)
F lu k s C H 4(m g /m 2 /h a r i)
40 HSS 53 HSS 65 HSS
b.
c.
y = 0.18x2 - 10.17x + 143.39 r = 0.78*, n=9
-150 -50 50 150 250 350
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Biomassa kering (g)
F luk s C H 4 (m g /m 2 /ha r i)
(8.81±0.74 t/ha) nilainya tidak berbeda nyata. Perlakuan Non PTT intermittent (8.14±1.16) dan SRI (7.30±0.60) nilainya berbeda nyata dari perlakuan lainnya.
Total emisi CH4 dari kelima
perlakuan bervariasi. Emisi CH4 tertinggi
terdapat pada perlakuan tergenang, yaitu PTT tergenang sebesar 347.03±28.41kg/ha/musim tanam, sedangkan perlakuan Non PTT tergenang nilainya masih lebih rendah 282.93±36.46 kg/ha/musim tanam. Emisi CH4
pada perlakuan intermittent tidak berbeda nyata antar perlakuannya, yaitu 57.87±6.76
kg/ha/musim tanam untuk Non PTT
intermittent, 60.73±9.13 kg/ha/musim tanam untuk SRI dan 78.33±42.02 kg/ha/musim tanam untuk PTT intermittent.
Berdasarkan tabel tersebut nilai CV (coefisien of varian), yaitu variasi nilai emisi CH4 antar ulangan dari tiap perlakuan cukup