• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

HARTINI. Identifikasi Emisi Metan (CH4) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan Pertanian. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan PRIHASTO SETYANTO.

Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT) telah banyak dikembangkan baik pada lahan sawah irigasi maupun pada lahan sawah tadah hujan. Sistem ini menganjurkan pemberian bahan organik yang berpotensi meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK yang dalam penelitian ini difokuskan pada gas CH4. Dalam penelitian ini diterapkan lima perlakuan, antara lain : (1) Non PTT Tergenang, (2) Non PTT

Intermittent, (3) PTT Intermittent, (4) PTT Tergenang dan (5) System of Rice Intensification (SRI). Pada perlakuan pertama komponen yang diterapkan antara lain : umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120 kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kedua : hampir sama dengan perlakuan pertama tetapi dengan irigasi berselang (Intermittent). Perlakuan ketiga : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD), pemberian bahan organik setara 2 ton/ha, cara tanam sistem legowo 2:1 dan irigasi intermittent. Perlakuan keempat : hampir sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kelima : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), menggunaan pupuk organik 15 ton/ha, tanpa pemupukan anorganik dan jarak tanam 30 x 30 cm.

Total emisi CH4 dari kelima perlakuan cukup bervariasi. Emisi CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang (347.03±28.41) dan Non PTT tergenang (282.93±36.46), kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (78.33±42.02), SRI (60.73±9.13) dan Non PTT

intermittent (57.87±6.76). Perlakuan PTT tergenang memiliki nilai Gabah Kering Giling (GKG) bersih tertinggi sebesar 7.10±0.08, kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (6.76±0.14), Non PTT tergenang (6.72± 0.19), Non PTT Intermittent (6.49±1.15) dan SRI (2.41±0.34).

ABSTRACT

HARTINI, Identification of Methane (CH4) Emission from Different Rice Crop Management Practices in Agricultural Land. Supervised by IBNUL QAYIM and PRIHASTO SETYANTO.

Integrated crop management (ICM) have been developed both in irrigation and rainfall field. This system apply the organic manures to rice field, that can increase the emission of green house gases. For that reason, it is needed to identify the gases emission status where in this research we focused to identification CH4 gases. In this research, we use five treatments, there are : (1) Non ICM under continuous flooding, (2) Non ICM under intermittent irrigation, (3) ICM, (4) ICM under continuous flooding and (5) System of Rice Intensification (SRI). Component of the first treatment are : five old seedling (25 days-old) were transplanted per hole, fertilized by 120 kg/ha N, 90 kg/ha P and 60 kg/ha K, without organic manures and under continuous flooding. The second treatment : is the same as the first treatment, except under intermittent irrigation. The third treatments : one young seedling (15 days-old) were transplanted per hole, N-fertilizer application based on leaf color chart (LCC), organic manures 2 ton/ha, intermittent irrigation, and ‘legowo’ with 10 x 20 cm plant spacing with 40 cm space in row. The fourth treatment : is the same as the third treatment, except under continuous flooding. The fifth treatment : was fertilized by 15 ton/ha organic manures, transplanting of a 15 days young seedling (1 per hill), without anorganic fertilizers and square planting at 30 x 30 cm.

The total emission of CH4 from the five treatments had enough variation. The highest CH4 emission came from ICM under continuous flooding (347.03±28.41), followed by Non ICM under continuous flooding (282.93±36.46), ICM (78.33±42.02), SRI (60.73±9.13) and Non ICM intermittent (57.87±6.76) respectively. The highest actual yield came from ICM under continuous flooded (7.10±0.08), followed by ICM (6.76±0.14), Non ICM under continuous flooding (6.72±0.19), Non ICM intermittent (6.49±1.15) and SRI (2.41±0.34) respectively.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global (global warming) yang diakibatkan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitro oksida (N2O) sering dikaitkan dengan budidaya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber penyumbang gas CH4

yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan gas CH4. Luasnya areal tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber

dan penyumbang utama peningkatan

konsentrasi CH4 di atmosfer.

Emisi CH4 tahunan secara global diduga sebesar 420-620 Tg/tahun dan konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi CH4 di atmosfer saat ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmV (IPCC 1992). Emisi CH4

dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg/tahun (Yagi & Minami 1990; Seiler et al. 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH4 /tahun.

Pada skala nasional kontribusi tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi CH4 dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi CH4 yang tinggi, yaitu pada tanah sawah beririgasi.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, lahan sawah beririgasi masih tetap menjadi andalan bagi produksi padi nasional. Program intensifikasi yang sudah dicanangkan sejak tiga dekade lalu, pada awalnya telah mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nyata. Namun sejak beberapa dekade terakhir, produktivitas padi cenderung melandai bahkan menurun di beberapa lokasi. Menurunnya produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah yang kurang sempurna, kurangnya penggunaan benih bermutu, serta rendahnya penggunaan pupuk oleh petani. Petani biasanya menggunakan benih dari tanaman sebelumnya yang sudah tidak murni lagi. Pemakaian benih bermutu atau berlabel sering menjadi masalah bagi petani karena benih bermutu sulit

didapatkan pada waktu diperlukan.

Penghapusan subsidi pupuk dan kenaikan harga pestisida menyebabkan peningkatan

biaya produksi padi yang semakin

memberatkan petani. Saat ini, banyak petani yang sama sekali tidak menggunakan pupuk anorganik pada lahan pertaniannya. Selain penurunan kesuburan lahan, penggunaan satu varietas padi tanpa adanya pergiliran tanaman, serta kurangnya penggunaan pupuk organik merupakan kendala dalam peningkatan produksi padi.

Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan faktor kunci dalam peningkatan produksi padi. Sedangkan rekomendasi pupuk yang berlaku saat ini

masih bersifat umum dan belum

mempertimbangkan kandungan atau status hara tanah, sehingga penggunaan pupuk menjadi tidak efisien. Akibatnya, setelah 20-30 tahun berlangsung program intensifikasi padi sawah, terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah, bahkan di beberapa daerah di Pulau Jawa telah terjadi penimbunan unsur P dan K dalam tanah.

Untuk mengatasi kendala tersebut Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah

merancang suatu metode Peningkatan

Produktivitas Padi Terpadu melalui

pendekatan Pengelolaan Tanaman dan

Sumberdaya Terpadu (PTT). Sistem ini merupakan penyempurnaan dari System of Rice Intensification (SRI) yang dianggap mempunyai banyak kendala baik dalam teknis pelaksanaan di lapangan maupun dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat.

PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi. Komponen-komponen pengelolaan tanaman terpadu seperti pengelolaan hama terpadu, hara terpadu, air terpadu, dan gulma terpadu telah dipraktekkan beberapa tahun terakhir dan telah terbukti mampu meningkatkan hasil padi sawah sampai 1 ton/ha. Di daerah Tamil Nadu, India, sistem PTT yang diterapkan

selama musim tanam 2002-2004

meningkatkan hasil panen sebesar 1.5 ton/ha (Balasubramanian et al. 2006). Produksi padi gogo melalui pendekatan teknologi PTT mencapai 4.3 ton/ha (Toha et al. 2005). Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, intensifikasi pertanian dengan PTT dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp1.066.504/ha (20,72 %) dibandingkan dengan petani biasa (Arafah 2005).

Sistem PTT telah banyak dikembangkan baik pada lahan sawah irigasi maupun pada

lahan sawah tadah hujan. Pemberian bahan organik pada sistem ini berpotensi meningkatkan emisi GRK. Disisi lain sistem PTT juga menerapkan irigasi intermittent

yang diduga dapat menurunkan emisi GRK. Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK pada sistem PTT yang nantinya akan dibandingkan dengan sistem pengelolaan tanaman padi lainnya

Bila penerapan sistem PTT ini ternyata dapat menekan emisi GRK, maka sistem ini dapat menjadi cara budi daya padi yang ideal karena selain dapat menghemat penggunaan input pertanian, menaikkan hasil padi dan pendapatan petani, juga dapat mengurangi emisi GRK sehingga sistem pertanian menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan.

Tujuan

Mendapatkan informasi status emisi gas metan (CH4) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juli 2007. Penelitian pengukuran emisi CH4 dilakukan di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Jakenan, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Balingtan Jaken secara geografis terletak pada koordinat 06°45’ Lintang Selatan dan 111°40’ Bujur Timur, beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm/tahun.

Dokumen terkait