Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak Februari sampai dengan Juli 2011 di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan di antaranya peralatan gelas, perangkat ekstraksi, sonikator Branson 1510, dan sistem KCKT Shimadzu LC-20 AD yang dilengkapi dengan detektor larik diode, sistem pompa gradien, sistem injeksi loop, dan kolom oven. Bahan yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan) yang berasal dari Semarang. Pelarut ekstraksi etanol 70 %, DPPH (2,2-diphenyl-1-
picrylhidracyl), kolom kromatografi C18 LiChospher (5 µm, 250 mm x 4 mm),
dan fase gerak KCKT metanol 50 %, metanol:air:TFA (25:75:0.025 v/v), dan metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v)
Metode Penelitian
Kayu secang dikeringkan, digiling, dan diukur kadar airnya. Simplisia secang diekstraksi dengan teknik maserasi dan teknik sonikasi menggunakan pelarut etanol 70 % dengan perbandingan serbuk kayu dan pelarut 1:100. Ekstrak yang diperoleh disaring dengan kertas saring dan dikeringkan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 30oC. Uji aktivitas antioksidan dilakukan terhadap ekstrak
hasil maserasi dan sonikasi. Ekstrak yang memiliki nilai IC50 tertinggi dipisahkan
dengan KCKT menggunakan kombinasi fase gerak yang ditentukan dengan
mixture design dan dimonitor pada panjang gelombang 254 nm dan 280 nm untuk
mendapatkan fase gerak optimum (Lampiran 1).
Preparasi Sampel.
Kayu secang dikeringkan menggunakan oven bersuhu 40oC hingga kadar airnya kurang dari 10%. Sampel yang telah kering dihaluskan hingga menjadi serbuk berukuran 80 mesh.
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006).
Sebanyak 3 gram sampel ditimbang, digunakan wadah yang telah dikeringkan pada suhu 105oC selama 30 menit dan ditara. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air diperoleh sebagai nisbah selisih bobot sampel awal dengan bobot sampel setelah dikeringkan terhadap bobot sampel sebelum dikeringkan. Kadar air sampel ditentukan sebanyak 3 kali ulangan (Lampiran 2).
Ekstraksi maserasi (Meloan 1999)
Ekstraksi sampel secang dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Sebanyak 1 gram serbuk kayu secang direndam dengan 100 ml pelarut selama 24 jam. Maserat dipisahkan dari residu dengan penyaringan. Ke dalam residu ditambahkan kembali pelarut dan tahapan ekstraksi diulang sampai hingga tiga kali. Maserat dari setiap ulangan ekstraksi digabung dan dikeringkan dengan penguap putar.
Ekstraksi sonikasi (Melecci et al. 2006).
Ekstraksi sampel secang juga dilakukan dengan menggunakan teknik sonikasi. Serbuk kayu secang sebanyak 1 gram diekstraksi dengan 100 mL pelarut etanol 70% dalam ultrasonic cleaning bath dengan frekuensi 42 kHz pada suhu ruang selama 30 menit. Maserat dipisahkan dari residu dengan penyaringan. Ke dalam residu ditambahkan kembali pelarut dan tahapan diulang sebanyak tiga kali. Maserat dari setiap ulangan ekstraksi digabung dan dikeringkan dengan penguap putar.
Metode Pengujian DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidracyl) (Batubara 2010).
Aktivitas antioksidan diukur dengan metode penangkapan radikal bebas stabil DPPH. Ekstrak sebanyak 1 mg dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 10.0, 13.33, 16.67, 33.33, 66.67, 100 µg/mL. 100 µL sampel dimasukkan dalam well
plate dengan 100 µL DPPH, diinkubasi selama 30 menit dan diukur serapannya
(0,1,0) x2
Pengoptimuman Kondisi Kromatografi (Almeida & Scarminio 2007) Pengoptimuman kondisi kromatografi dilakukan terhadap komposisi fase gerak yang disusun sesuai mixture design dengan bentuk simplex-centroid dengan axial
design (Gambar 4). Fase gerak yang digunakan terdiri atas metanol 50 % (x1),
metanol:air:TFA (25:75:0.025 v/v) (x2), dan metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v)
(x3). Fase gerak yang digunakan disaring terlebih dahulu menggunakan membran
filter 0.45 um. Panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan adalah 254 nm dan 280 nm.
Pada analisis dengan KCKT, 50 mg ekstrak secang hasil sonikasi dilarutkan dalam 5 mL pelarut ekstraksi. Sebanyak 100 µL ekstrak tersebut dilarutkan dengan 1900 µL fase gerak dan disaring dengan membran filter 0.45 um sebanyak dua kali. Selanjutnya 20 µL larutan sampel yang telah disaring diinjeksikan ke dalam kolom C18. Suhu dijaga konstan pada suhu 40oC dengan laju alir fase gerak
1 mL/menit. Jumlah puncak yang muncul pada kromatogram setiap ekstrak dihitung. Puncak yang dihitung ialah puncak yang memiliki rasio sinyal terhadap derau ≥3 dan nilai resolusi ≥ 1.
x1 Metanol 50 %
Gambar 4. Komposisi fase gerak KCKT sesuai mixture design
Analisis Data Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pengaruh fase gerak KCKT terhadap jumlah puncak yang ditampilkan sidik jari kromatografi dimodelkan dengan bantuan pangolahan statistika. Perangkat lunak SAS 9.2 digunakan untuk membangun model interaksi fase gerak dari data pemisahan KCKT tersebut. Data yang digunakan untuk membangun model adalah
(1,0,0) x3 (0,0,1) (1/3,1/3,1/3) (1/2,1/2,0) (1/2,0,1/2) (1/6,1/6,2/3) (1/6,2/3,1/6) (2/3,1/6,1/6) (0,1/2,1/2) (metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v) (metanol:air:TFA(25:75:0.025 v/v)
data yang terletak pada sisi dan pusat simplex mengikuti bentuk simplex-centroid
dengan axial-design.
Preparasi dan ekstraksi kulit kayu secang
Kayu secang berasal dari Semarang yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, dengan kadar air sebesar 8.44% (Tabel 2) dan siap diekstraksi (Lampiran 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam 100 gram sampel kayu secang terkandung 8.44 gram air yang terikat secara fisik dan dapat hilang oleh pemanasan pada suhu sekitar 105oC. Kadar air kurang dari 10% diharapkan mengurangi resiko kerusakan sampel kulit kayu secang akibat serangan jamur dan bakteri dan memenuhi standar material untuk uji bahan baku herbal (BPOM 2004).
Tabel 2. Nilai hasil penentuan kadar air
Ulangan Bobot sampel awal (g) Bobot sampel akhir (g) Kadar air (%) 1 2 3 1.0060 1.0065 1.0062 0.9201 0.9208 0.9246 8.59 8.57 8.16 Rata-rata 1.0062 0.9218 8.440 Std deviasi 0.00025 0.00242 0.24269
Kayu secang dihaluskan hingga berukuran 80 mesh sebelum ekstraksi dilakukan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan sampel sehingga daerah kontak sampel dengan pelarut ekstraksi lebih besar dan proses ekstraksi berlangsung lebih optimal (Sembiring et al. 2006). Pada uji pendahuluan, ekstraksi dilakukan dengan menggunakan 2 teknik yang berbeda yaitu teknik maserasi pada suhu ruang dan teknik sonikasi. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70 %. Ekstraksi maserasi memberikan rendemen 12.87± 0.52 % sedangkan ekstraksi sonikasi memberikan rendemen 10.30 ± 0.45 %. Teknik maserasi memberikan rendemen yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh waktu ekstraksi yang cukup lama sehingga senyawa yang terekstrak juga semakin banyak.
Pengujian aktivitas antioksidan metode DPPH
Aktivitas biologis yang di uji pada penelitian ini adalah aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dalam ekstrak kayu secang karena antioksidan bermanfaat bagi kesehatan kulit dan dapat ditambahkan pada kosmetika (Batubara
et al. 2010), serta berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sa’diah et al. 2010 dalam rangka pengembangan formula sediaan salep dan metode kontrol kualitas ekstrak kayu secang sebagai antijerawat.
Metode DPPH (2,2-difenyl-1-pikrilhidrazil) merupakan senyawa radikal nitrogen. DPPH akan mengambil atom hidrogen yang terdapat dalam suatu senyawa, misalnya senyawaan fenol membentuk DPPH tereduksi (DPPH Hidrazin) yang stabil (Prakash 2001). Mekanisme terjadinya reaksi DPPH ini berlangsung melalui transfer elektron. Larutan DPPH berwarna ungu tetapi setelah membentuk DPPH tereduksi (DPPH Hidrazin) warnanya berubah menjadi kuning dengan intensitas perubahan warna tergantung pada kekuatan aktivitas antioksidannya. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dapat dilihat pada Tabel 3 sementara data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.
Tabel 3. Nilai IC50 ekstrak kayu secang
Ekstrak etanol 70 % IC50 (µg/mL)
Teknik maserasi Teknik sonikasi
89.92 ± 3.11 25.37 ± 2.24
Nilai IC50 yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari nilai IC50
brazilin dari ekstrak metanol 50 % teknik maserasi kulit kayu secang yang telah dilaporkan oleh Batubara et al. (2010) yaitu 8.8 µM dan Sa’diah et al. 2010 yang melaporkan bahwa ekstrak etanol 50 % kayu secang asal Semarang memiliki nilai IC50 sebesar 9.60 ± 0.92 µg/mL. Kadar dan jenis senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman sejenis tidak selalu sama, kandungan senyawa metabolit sekunder tersebut dipengaruhi oleh kandungan hara dan kondisi tanah tempat tumbuh. Selain itu juga dipengaruhi oleh umur tanaman ketika dipanen, waktu panen, dan penanganan pasca panen (Briskin 2002). Bagian tanaman dan usia tanaman yang berbeda juga berpengaruh terhadap jenis-jenis senyawa metabolit sekunder yang
ada. Selain itu perbedaan konsentrasi pelarut dan teknik ekstraksi juga mempengaruhi jenis-jenis senyawa metabolit sekunder yang terekstrak (Harborne 1987). Faktor-faktor di atas diduga menyebabkan terjadinya perbedaan nilai IC50
yang diperoleh dalam penelitian ini dengan nilai IC50 yang telah dilaporkan pada
penelitian-penelitian sebelumnya.
Ekstrak etanol teknik sonikasi dipilih untuk tahap pengoptimuman fase gerak KCKT karena memiliki nilai IC50 yang lebih rendah. Selain itu teknik
ekstraksi sonikasi dipilih dengan pertimbangan bahwa teknik sonikasi lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan teknik maserasi. Waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi sonikasi adalah 3 x 0.5 jam sedangkan untuk maserasi memerlukan waktu 3 x 24 jam.
Pengoptimuman kondisi KCKT
Pada penelitian ini panjang gelombang deteksi yang digunakan adalah 254 nm dan 280 nm. Panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan mengacu pada penelitian terdahulu terhadap ekstrak kulit kayu secang. Batubara et al. (2010) mengisolasi brazilin pada panjang gelombang 280 nm. Isolasi senyawa 5-
hidroxy-1,4-naphtoquinone dilakukan pada panjang gelombang 254 nm (Lim
2007).
Fase gerak yang digunakan pada penelitian ini adalah metanol 50 %, metanol: air :TFA (25:75:0.025 v/v), dan metanol :air :TFA (15:85:0.035 v/v). Ketiga pelarut ini bersifat polar. Metanol dan air umum digunakan sebagai fase gerak pada KCKT fase terbalik. Menurut Synder & Kirkland (1979) metanol dan air memiliki selektivitas berlainan sehingga akan memberikan kecepatan elusi yang bervariasi. Metanol dan air memiliki viskositas dan titik didih yang nilainya di pertengahan, dapat bercampur dengan baik, sesuai untuk detektor ultraviolet, dan mudah diperoleh.
Fase gerak yang digunakan pada penelitian juga ini mengacu pada penelitian terdahulu yang telah dilakukan terhadap secang. Fase gerak yang telah dilaporkan untuk pemisahan ekstrak kayu secang adalah metanol:air (l:l v/v) (Safitri 2000), metanol:TFA 0.05 % secara gradien (Batubara et al. 2010).
Ekstrak etanol secang dipisahkan dengan KCKT fase terbalik menggunakan sepuluh kombinasi fase gerak sesuai mixture design yang mengambil bentuk simplex-centroid dengan axial design. Rancangan ini digunakan untuk mempelajari pengaruh fase gerak tunggal, campuran dua fase gerak, dan campuran tiga pelarut terhadap sidik jari kromatografi yang dihasilkan.
Jumlah puncak yang muncul pada kromatogram KCKT ekstrak kayu secang dihitung berdasarkan kriteria nilai resolusi dan rasio sinyal terhadap derau (S/N). puncak diakui dan dihitung jika memiliki nilai resolusi 1 dan nilai S/N 3. Nilai resolusi 1 digunakan sebagai batasan karena suatu puncak dikatakan terpisah apabila memiliki nilai resolusi 1 (Dong 2006). Nilai S/N 3 dipilih karena nilai ini umum digunakan untuk menentukan nilai limit deteksi (Bliesner 2006). Informasi nilai resolusi dan S/N diperoleh melalui pengolahan kromatogram ekstrak menggunakan perangkat lunak LC solution yang terintegrasi dengan KCKT Shimadzu varian LC-20 AD yang digunakan pada penelitian ini. Jumlah puncak yang terdeteksi disajikan pada Tabel 4 dan kromatogram terbaik disajikan pada Gambar 5. Pada Gambar 5, puncak puncak yang ditandai adalah puncak yang memiliki nilai resolusi 1 dan nilai S/N 3.
Gambar 5. Kromatogram KCKT ekstrak etanol 70 % dengan fase gerak metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v).
Jumlah puncak terbanyak diperoleh ketika ekstrak etanol 70 % kayu secang dipisahkan dengan fase gerak metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v) dan dideteksi pada panjang gelombang 280 nm. Puncak yang terdeteksi sebanyak 23 tetapi yang memenuhi nilai resolusi 1 dan nilai S/N 3 hanya 15 puncak.
menit
Tabel 4. Desain variable dan respon
No X1 X2 X3
Komposisi fase gerak Jumlah puncak metanol air TFA 245 nm 280 nm 1 1 0 0 5000 5000 0 1 0 2 0 1 0 2500 7500 2.50 3 10 3 0 0 1 1500 8500 3.50 9 15 4 ½ ½ 0 3750 6250 1.25 9 12 5 0 ½ ½ 2000 8000 3.00 12 12 6 ½ 0 ½ 3250 6750 1.75 6 9 7 1/6 2/3 1/6 2750 7250 2.25 3 10 8 1/6 1/6 2/3 2250 7750 2.75 9 12 9 2/3 1/6 1/6 4000 6000 1.00 8 12 10 1/3 1/3 1/3 3000 7000 2.00 3 12
Pemisahan dengan fase gerak metanol 50 % pada panjang gelombang 280 nm menghasilkan 7 puncak tetapi tidak ada yang memenuhi nilai resolusi 1 dan nilai S/N 3 (Lampiran 4). Adanya TFA dalam fase gerak berpotensi meningkatkan jumlah puncak yang dihasilkan. TFA merupakan senyawa asam kuat dan biasa ditambahkan dalam fase gerak KCKT pada konsentrasi rendah sebagai ion pairing agent (Sadek 2002).
Kecepatan elusi ekstrak etanol bervariasi tergantung komposisi fase geraknya. Ekstrak terelusi paling cepat ketika dipisahkan dengan fase gerak metanol 50 %. Hal ini terjadi karena ekstrak etanol yang relatif bersifat polar mengalami retensi yang kecil oleh fase diam yang bersifat nonpolar.
Dari hasil pemisahan yang dilakukan pada penelitian dapat dilihat bahwa penambahan pelarut metanol ke dalam fase gerak menyebabkan waktu retensi turun. Semakin banyak metanol yang ditambahkan maka waktu retensinya juga turun atau dengan kata lain elusi yang terjadi semakin cepat. Penambahan pelarut organik yang relatif kurang polar seperti metanol dan asetonitril ke dalam fase gerak menyebabkan tekanan air berkurang sehingga menyebabkan waktu retensi berkurang (Dong 2006).
Analisis Data Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Model interaksi fase gerak yang menggambarkan pengaruh fase gerak KCKT terhadap jumlah puncak KCKT dibangun dari sepuluh data dengan menggunakan perangkat lunak SAS 9.2.
Pengolahan data dimulai dengan menentukan nilai koefisien setiap interaksi fase gerak KCKT menggunakan persamaan:
ŷ = b1x1 + b2x2 + b3x3 + b12x1x2 + b13x1x3 + b23x2x3 + b123x1x2x3
Interaksi yang memiliki nilai mutlak t-hitung lebih besar dari t-tabel pada selang kepercayaan 95% atau nilai p lebih kecil dari α digunakan untuk membangun model interaksi fase gerak. Model interaksi fase gerak pada masing-masing panjang gelombang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Model interaksi fase gerak pada panjang gelombang 254 dan 280 nm λ (nm) Model interaksi fase gerak
254 280
20.78x2 + 14.87x3
9.30x2 + 13.76x3
Dua interaksi linear menjadi bagian model interaksi linear pada panjang gelombang deteksi 254 maupun 280 nm. Interaksi yang terjadi antara ekstrak etanol 70 % dengan fase gerak yang mengandung TFA (x2 dan x3)menunjukkan
interaksi yang sinergis, atau dengan kata lain fase gerak yang mengandung TFA berpotensi meningkatkan jumlah puncak yang dapat dideteksi. Koefisien interaksi menunjukkan jumlah puncak dugaan yang terjadi. Sebagai contoh pada panjamg gelombang 280 nm notasi 9x2 menunjukkan bahwa jumlah puncak dugaan saat
ekstrak dipisahkan dengan fase gerak metanol: air: TFA (25:75:0.025 v/v) adalah 9 buah ternyata jumlah puncak yang terdeteksi adalah 10 buah. Demikian juga untuk notasi 13.76x3 yang menunjukkan bahwa jumlah puncak dugaan ada 14
buah ternyata jumlah puncak yang terdeteksi ada 15 buah.
Model interaksi fase gerak juga digunakan untuk menentukan jumlah puncak dugaan dari data yang digunakan membangun model. Nilai root mean
square error of calibration (RMSEC) dan root mean square error of prediction
RSMEC dan RSMEP menunjukkan kesesuaian jumlah puncak dugaan dengan jumlah puncak yang dideteksi pada data yang digunakan membangun model interaksi fase gerak. Semakin kecil nilai RMSEC dan RMSEP, semakin baik model interaksi fase gerak yang dibangun (Naes et al. 2002 dalam Wahyuni 2010). berdasarkan nilai RMSEC dan RMSEP, model interaksi fase gerak dibangun dari data pada panjang gelombang deteksi 280 nm karena memiliki nilai RMSEC dan RSMEP yang lebih kecil dibanding pada 254 nm.
Tabel 6. Nilai RMSEC dan RMSEP pada 254 dan 280 nm parameter 254 nm 280 nm RMSEC RMSEP 8.30060 8.29659 3.88730 4.85913
Pada panjang gelombang 280 nm jumlah puncak dugaan yang diperoleh dari model dan jumlah puncak yang terdeteksi disajikan pada Tabel 7. Terlihat kedekatan antara jumlah puncak dugaan dan jumlah puncak deteksi, dan sepakat dengan nilai RSMEC dan RSMEP yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 7. Jumlah puncak dugaan dan puncak terdeteksi pada 280 nm
No X1 X2 X3 Jumlah puncak dugaan deteksi 1 1 0 0 0 0 2 0 1 0 9 10 3 0 0 1 14 15 4 ½ ½ 0 9 12 5 0 ½ ½ 12 12 6 ½ 0 ½ 7 9 7 1/6 2/3 1/6 9 10 8 1/6 1/6 2/3 11 12 9 2/3 1/6 1/6 4 12 10 1/3 1/3 1/3 8 12
Pemilihan kondisi optimum pada panjang gelombang deteksi 280 nm didasarkan pada tiga hal yaitu profil kromatogram atau banyaknya puncak yang terdeteksi, model yang dibangun, dan kontur plot.
1. Berdasarkan profil kromatogram
Pada Gambar 5 dapat diamati bahwa pemisahan ekstrak dengan fase gerak metanol: air: TFA (15:85:0.035 v/v) yang terletak di ujung segitiga kanan bawah menghasilkan jumlah puncak lebih banyak dengan resolusi yang lebih baik dibanding kromatogram yang dihasilkan fase gerak KCKT lainnya sejumlah 15 puncak, meskipun secara keseluruhan kromatogram yang dihasilkan belum begitu bagus karena puncak-puncak yang muncul masih menumpuk di depan. Kromatogram dapat diperbaiki dengan mengubah fase gerak yang digunakan agar diperoleh jumlah puncak yang lebih banyak atau mengubah cara elusi isokratik menjadi elusi gradien serta parameter alat. Semakin banyak jumlah puncak yang terdeteksi berarti semakin banyak pula jenis senyawa dalam ekstrak yang dapat terdeteksi sehingga kontrol kualitas yang dibangun juga semakin bagus.
Gambar 5. Sidik jari KCKT ekstrak etanol kayu secang pada 280 nm.
X1 X2 X3 menit menit mAU mAU mAU menit menit mAU
2. Berdasarkan model
Kondisi optimum pada panjang gelombang 280 nm dicapai saat ekstrak etanol 70 % dipisahkan dengan fase gerak metanol: air: TFA (15:85:0.035 v/v). Kondisi optimum diperoleh berdasarkan model interaksi fase gerak. Ketika variabel bebas dimasukkan ke dalam model, maka puncak dugaan tertinggi (respon tertinggi) atau disebut kondisi optimum terjadi ketika ekstrak dipisahkan dengan fase gerak x3 menghasilkan 14 puncak dugaan.
3. Berdasarkan plot kontur
Gambar 6 menyajikan kontur plot yang dihasilkan saat ekstrak etanol 70 % dipisahkan dengan berbagai jenis fase gerak KCKT. Dapat diamati bahwa puncak optimum berada pada daerah x3 yaitu pada pemisahan dengan fase gerak
metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v) dengan jumlah puncak lebih besar dari 12, sepakat dengan hasil penelitian yang dilakukan yaitu puncak yang terdeteksi ketika dipisahkan dengan fase gerak metanol:air:TFA (15:85:0.035 v/v) adalah 15 buah. x1 0 1 x2 1 0 x3 1 0 12 10 8 6 4
Mixture Contour Plot of respon (component amounts)
Gambar 6. Kontur plot ekstrak etanol pada panjang gelombang 280 nm.