• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penangkapan kura-kura dan koleksi feses dilaksanakan dari bulan Maret–Juli 2007 dan Mei 2008 di perairan Sulawesi Selatan. Tahap kedua adalah preparasi spesimen, identifikasi dan analisis endoparasit yang dilaksanakan di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan Departmen Biologi, FMIPA-IPB dari bulan Juni–November 2008.

Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses

Penelitian diawali dengan kegiatan survei yang dilakukan berdasarkan informasi dari masyarakat setempat berkaitan dengan keberadaan kura–kura di daerah Sulawesi Selatan. Eksplorasi lapangan telah dilakukan di lima perairan di Sulawesi Selatan (Gambar 3) yang meliputi Anakan Sungai Tallo Kotamadya Makassar, Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone, Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur, persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba dan Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Gambar 3. Peta lokasi penangkapan kura-kura Keterangan:

A. Anakan sungai Tallo Kotamadya Makassar B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba E. Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Kepastian Spesies Inang

Pengumpulan spesimen kura–kura dilakukan dengan metode penangkapan langsung menggunakan tangan dan metode penangkapan tidak langsung dengan jaring. Jaring yang digunakan adalah jaring berumpan (baited trapping) dan jaring tanpa menggunakan umpan (non baited trapping) (Michael & Plummer, 1976). Kura-kura di tangkap di daerah anakan sungai dengan perairan yang dangkal, berpasir, berlumpur dan berbatu

Identifikasi jenis kura–kura ditujukan untuk mendapatkan kepastian spesies kura-kura sebagai Cuora amboinensis. Proses identifikasi menggunakan buku kunci identifikasi Iskandar (2000) (Lampiran 1). Karakter morfologi yang menjadi kunci identifikasi meliputi bentuk perisai karapas dan plastron, bentuk kaki, bentuk khusus pada bagian kepala dan warna tubuh, Iskandar (2000).

Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Parasit pada Feses

Kura-kura diletakkan dalam wadah yang terpisah dan kemudian dilanjutkan dengan mengkoleksi feses kura-kura. Pengambilan feses dilakukan pada setiap individu per hari. Kura-kura tersebut telah berada di tempat penangkaran selama 10 bulan. Feses segar yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol dan diawetkan dengan alkohol 70%. Feses dipindahkan dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9% kemudian dilakukan pemilahan untuk memisahkan cacing dari kotoran. Cacing parasit yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol yang berisi alkohol 70%.

Cacing diwarnai dengan eosin 1% selama 3 jam. Cacing didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan 100% masing-masing selama 15 menit. Cacing dijernihkan dengan larutan laktofenol dan dibiarkan sampai tubuh cacing menjadi transparan sekitar 30 menit. Tubuh cacing yang telah transparan diletakkan di atas kaca preparat dan dimounting dengan polyfinil alkohol.

Preparat cacing kemudian diamati dengan mikroskop. Pengukuran tubuh cacing meliputi panjang dan lebar tubuh menggunakan penggaris di mikrometer objektif. Ukuran yang telah diperoleh dari mikrometer objektif kemudian ditera menggunakan micrometer okuler untuk mendapatkan skala sebenarnya.

Analisis Data

Setiap jenis cacing yang ditemukan dalam feses kura-kura dihitung nilai prevalensi dan intensitas infestasinya. Prevalensi merupakan persentase jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Intensitas merupakan derajat jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Analisis prevalensi dan intensitas infestasinya berdasarkan Barton & Richard (1996), yaitu

Prevalensi jenis parasit = x100% p Pi Intensitas parasit n p I = (parasit/individu/inang) Keterangan:

I = Intensitas infestasi endoparasit n = Jumlah kura-kura yang terinfestasi p = Jumlah parasit yang menginfestasi Pi = Jumlah jenis parasit i yang menginfestasi

HASIL

Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang

Kura-kura yang telah dikoleksi dengan metode penangkapan langsung adalah Cuora amboinensis. Jumlah C. amboinensis ditangkap di lima perairan di Sulawesi Selatan sebanyak 40 ekor (Tabel 1).

Tabel 1 Lokasi penangkapan dan jumlah C. amboinensis yang tertangkap. Lokasi Penangkapan C. amboinensis tertangkap (n)

3 (A) Makassar

(B) Watampone 19

(C) Luwu Timur 12

(D) Bulukumba 4

(E) Luwu Utara 2

Jumlah 40

Lokasi penangkapan C. amboinensis di perairan Sulawesi Selatan umumnya berupa anakan sungai dengan tipe perairan dangkal, berarus sedang dan berbatu serta di saluran irigasi persawahan.

Lokasi A (Gambar 4) adalah Anakan Sungai Tallo yang terdapat di kelurahan Tamalanrea Jaya kotamadya Makassar. Anakan Sungai Tallo akan bermuara pada Sungai Tallo. Sungai Tallo merupakan sungai besar yang bermuara ke selat Makassar. Penangkapan kura-kura di sungai Tallo ini berlokasi jauh dari pemukiman penduduk. Perairan ini agak berlumpur dan berarus tenang.

Gambar 4. Anakan Sungai Tallo Makassar

Lokasi B (Gambar 5) merupakan Anakan Sungai Tamata yang berlokasi di desa Momputo kecamatan Amali kabupaten Watampone. Sungai ini merupakan sungai dengan perairan berbatu.

Gambar 5. Anakan Sungai Tamata Watampone

Lokasi C (Gambar 6) adalah Anakan Sungai Magege merupakan anak sungai dari sungai Kalaena yang bermuara di teluk Bone. Sungai ini melintasi desa Wonorejo, kecamatan Mangkutana kabupaten Luwu Timur. Perairan sungai ini berbatu dan berlumpur serta arus sungai yang tenang.

Gambar 6. Anakan Sungai Magege Luwu Timur

Lokasi D (Gambar 7) persawahan Tanaberu di Kabupaten Bulukumba.

Cuora amboinensis yang melintasi saluran air di persawahan ini langsung di

tangkap menggunakan tangan.

Gambar 7. Persawahan Bulukumba

Lokasi E (Gambar 8) adalah Anakan Sungai Suso yang terdapat di desa Tetekang kecamatan Bajo kabupaten Luwu Utara. Sungai ini melintasi daerah perkebunan masyarakat.

Gambar 8. Anakan Sungai Suso Luwu Utara

Berdasarkan Iskandar (2000), kura-kura yang telah dikoleksi termasuk jenis Cuora amboinensis. Morfologi C. amboinensis (Gambar 9) tampak dari bentuk perisai yang dapat ditutup sepenuhnya, perisai punggung atau karapas relatif tinggi, terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik. Pada bagian pipi dan bibir juga terdapat garis kuning. Kaki depan dan kaki belakang tidak berbentuk dayung, kaki memiliki jari yang berselaput. Cuora amboinensis di jumpai pada sungai besar maupun sungai kecil dan sering juga di jumpai di area persawahan.

Tampak dorsal (bagian karapas) Tampak ventral (bagian plastron)

Tampak samping Bagian kepala Gambar 9. Morfologi Cuora amboinensis

Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis

Cuora amboinensis yang terkumpul selama Maret-Juli 2007 dan Mei

2008 sebanyak 40 ekor dan kemudian fesesnya dikoleksi. Dari 40 feses

C. amboinensis yang di koleksi, terdapat 4 ekor C. amboinensis yang terinfestasi

cacing endoparasit (Lampiran 2).

Cacing endoparasit yang ditemukan dalam feses C. amboinensis termasuk ke dalam anggota filum Platyhelminthes yang berjumlah tujuh ekor. Cacing parasit ini dibedakan ke dalam dua tipe parasit berdasarkan atas kemiripan morfologi (Tabel 2).

Tabel 2. Cacing endoparasit pada feses Cuora amboinensis Jumlah

C. amboinensis

Yang

Terinfestasi Cacing Tipe 1 Cacing Tipe 2 Jumlah

19 B (n = 1) - 1 1

12 C (n = 2) 2 2 4

4 D (n = 1) 2 - 2

4 3 7

Keterangan:

B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba

Tipe 1 merupakan cacing endoparasit yang terdapat pada feses

C. amboinensis yang berasal Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur dan

persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Cacing tipe 1 ini dikelompokkan berdasarkan kemiripan morfologi tubuhnya.

Cacing endoparasit tipe 1 (Gambar 11) ini ditemukan pada feses C.

amboinensis yang berasal dari Kabupaten Luwu Timur. Cacing Tipe 1 (a) ini

memiliki panjang tubuh 1,55 mm dan lebar tubuh 0,3 mm, pada bagian anterior terdapat adanya batil isap yang berukuran panjang 0,125 mm dan lebarnya 0,175 mm. Sedangkan ukuran panjang tubuh cacing Tipe 1 (b) berkisar 1,5 mm dan lebar tubuh 0,275 mm serta panjang batil isap 0,125 mm.

batil isap

(a) (b)

Gambar 11. Cacing tipe 1 : (a & b) cacing dari C. amboinensis Luwu Timur

Cacing endoparasit tipe 1 juga terdapat pada C. amboinensis yang berasal dari persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Morfologi cacing endoparasit (Gambar 12).

(d) (c)

Gambar 12. Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d) cacing dari C. amboinensis Luwu Timur

Cacing endoparasit Tipe 1 (c) memiliki ukuran panjang tubuh 1,45 mm dengan lebar tubuh 0,225 mm serta panjang batil isap 0,125 mm. Sedangkan untuk cacing endoparasit yang ditunjukkan oleh gambar 12 (d) tidak dapat diukur, hal ini disebabkan preparat terdapat dua individu cacing yang saling bertumpuk.

Cacing endoparasit tipe 2 ditemukan pada feses C. amboinensis yang berasal dari Kabupaten Watampone dan Kabupaten Luwu Timur (gambar 13 dan gambar 14). Cacing tipe 2 (Gambar 13) memiliki panjang tubuh berkisar 5 cm dengan lebar tubuh 20 mm dan cacing tipe 2 (Gambar 14) memiliki panjang tubuh berkisar 5 cm dengan lebar tubuh 18 mm.

Gambar 13. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone

Gambar 14. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur

Prevalensi dan Intensitas Infestasi

Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis

Tingkat penularan penyakit pada umumnya dinyatakan dengan prevalensi kejadian dan intensitas parasit. Prevalensi merupakan persentase jenis cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Intensitas adalah derajat jenis cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Nilai persentase infestasi cacing parasit dan nilai prevalensi untuk masing-masing tipe cacing parasit yang terdapat pada feses C. amboinensis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Prevalensi dan intensitas cacing endoparasit Lokasi

C. amboinensis

Jumlah Cacing Prevalensi (%) Intensitas (parasit/individu/inang B (n = 1) C (n = 2) D (n = 1) 1 4 2 0.05 0.33 0.50 1 2 2 Jumlah 7 0.88 1.75 Keterangan:

B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba

PEMBAHASAN

Daerah Penyebaran Cuora amboinensis

Cuora amboinensis merupakan kura-kura air tawar yang menyukai

lingkungan akuatik seperti kolam sungai, rawa dan persawahan (Iskandar, 2000).

Cuora amboinensis yang di koleksi berasal dari perairan di Sulawesi Selatan.

Cuora amboinensis ini umumnya di jumpai di anakan sungai yang berarus tenang,

berbatu, berpasir dan berlumpur.

Morfologi C. amboinensis dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura yang lainnya karena kura-kura ini memiliki perisai yang dapat di tutup sepenuhnya sehingga sering kali dinamakan sebagai kura-kura batok. Cuora

amboinensis memiliki perisai punggung yang tinggi dengan perisai perut yang

datar atau agak melengkung. Pada bagian kepala di jumpai adanya garis kuning yang melingkar. Tungkai memiliki jari berselaput dan pada jari dijumpai adanya kuku.

Cuora memakan apa yang tersedia di lingkungan mereka dan kebiasaan makanan itu berpengaruh pada jenis parasit yang menginfestasinya (Murray, 2004). Jenis makanan yang dimakan akan mempengaruhi nutrien yang dibutuhkan oleh endoparasit di dalam sistem pencernaan inang.

Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis

Dari hasil identifikasi, organisme yang ditemukan pada feses

C. amboinensis tergolong ke dalam anggota filum Platyhelminthes. Cacing

endoparasit ini ditemukan sebanyak tujuh ekor.

Penggolongan cacing hanya ke dalam tingkat filum disebabkan oleh karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.

Pemberian “tipe” pada kedua jenis cacing ini disebabkan oleh karena sampel tidak bisa diidentifikasikan hingga ke tingkat spesies. Berdasarkan pada kunci identifikasi endoparasit, cacing ini dikelompokkan ke dalam filum Platyhelminthes, karena parasit ini mempunyai bentuk seperti cacing pipih dorsoventral. Parasit ini memiliki pengait untuk melekatkan diri pada tubuh inang. Cacing ini memiliki bentuk tubuh pipih, simetri bilateral dan belum memiliki rongga tubuh. Cacing ini bersifat hermaprodit. Cacing ini memiliki sistem pencernaan sederhana dan sistem respirasi. Sistem pencernaan terdiri atas mulut, faring, usus dan tanpa anus dan sistem respirasi melalui difusi dari permukaan tubuhnya. Cacing ini ada yang hidup bebas, dan ada pula yang parasit. Cacing parasit memiliki adanya alat pelekatan diri pada inang berupa batil isap, mulut dan pengait (Crompton & Joyner 1980).

Cacing tipe 1 tergolong ke dalam filum Platyhelminthes berdasarkan kunci identifikasi endoparasit karena morfologi cacing ini yang pipih dorsoventral, bentuk yang oval dan tubuh yang berwarna coklat. Tubuhnya ditutupi oleh tegumen. Bagian ventral terdapat batil isap sebagai alat pelekat di tubuh inang.

Ukuran tubuh cacing tipe 1 dapat dikategorikan ke dalam tingkatan larva. Telur cacing akan keluar dari tubuh cacing dewada melalui feses. Telur akan berkembang menjadi larva cacing dan larva ini tidak bersifat parasitik karena dapat hidup bebas selama 1 x 24 jam sebelum mendapatkan inang perantara atau inang definitif. Siklus hidup cacing diawali dengan menghasilkan telur yang dikeluarkan bersamaan dengan feses. Telur ini kemudian menetas menjadi larva miracidium dan masuk ke inang perantara pertama. Di dalam tubuh inang perantara pertama, larva mirasidium akan bermetamorfosis menjadi sporosit, sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi Redia. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang menjadi serkaria yang akan pindah ke inang perantara kedua. Pada inang ini metaserkaria akan membentuk kista dan berkembang menjadi cacing dewasa (Campbell, 2005).

Cacing tipe 2 memiliki panjang tubuh 5 cm dengan lebar antara 18–20 mm artinya cacing ini tergolong ke dalam filum Platyhelminthes kelas trematoda karena rentangan ukuran panjang tubuh cacing ini berkisar antara 1cm - 6cm. (http://www.bumblebee.org/invertebrates/PLATYHELMINTHES.htm)

Cuora amboinensis ini terinfestasi oleh cacing parasit dari anggota filum

Platyhelminthes tipe 1 dan tipe 2. Pada C. amboinensis dari Watampone hanya terinfestasi oleh cacing tipe 2 yang berjumlah satu ekor dan C. amboinesis dari Bulukumba terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1 sebanyak dua ekor. Hal ini menunjukkan bahwa spesifitas pada C. amboinensis Watampone dan Bulukumba adalah spesifik dimana satu inang hanya terinfestasi oleh satu jenis cacing parasit tertentu. C. amboinensis dari Luwu Timur terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1

Prevalensi dan Intensitas

Cuora amboinensis yang terkumpul sebanyak 40 ekor dan hanya ada

4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit yaitu C. amboinensis yang berasal dari Watampone, Luwu Timur dan Bulukumba. Prevalensi setiap jenis cacing endoparasit yang menginfestasi C. amboinensis sebesar 0.88% dan intensitas infestasi sebesar 1.75 parasit/individu inang.

Nilai prevalensi intensitas pada C. amboinensis sangat rendah dimana dari 40 ekor C. amboinensis hanya ada empat ekor C. amboinensis yang terinfestasi cacing parasit sebanyak tujuh ekor.

Inang dari cacing parasit ini merupakan C. amboinensis yang ditangkap langsung di daerah Sulawesi Selatan. Pulau Sulawesi atau Celebes merupakan pulau dengan tingkat endemisitas tinggi bagi flora dan faunanya. Hal ini karena pembentukan Sulawesi sangat unik dimana terbentuk dari benturan tiga lempeng tektonik lempeng Asia yang membentuk Sulawesi bagian barat dan selatan, lempeng Australia yang membentuk Sulawesi bagian tenggara dan Banggai serta lempeng pasifik yang membentuk Sulawesi bagian Utara. Di awal pembentukan pulau ini juga terjadi pergerakan satwa dan oleh Wallacea mengungkapkan penemuan bahwa satwa-satwa yang mendiami pulau Sulawesi merupakan

perpaduan antara satwa Asia dan Australia dan sangat berbeda sehingga dikategorikan sebagai satwa yang endemik.

Rahayu (2003) melaporkan bahwa cacing ektoparasit yang ditemukan pada C. amboinensis yang berasal dari Sulawesi tidak berhasil diidentifikasi menggunakan buku kunci identifikasi Yamaguci karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh karena karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.

Nilai intensitas sangat rendah karena dari 40 ekor C. amboinensis yang ditangkap hanya 4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit. Rendahnya nilai prevalensi intensitas ini disebabkan oleh keadaan endemik suatu parasit, kemampuan adaptasi parasit di tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit dan kualitas lingkungan (Rahayu, 2003).

Cuora amboinensis yang ditemukan di perairan Watampone, Luwu Timur

dan Bulukumba tidak bermuara langsung ke laut lepas sehingga kualitas perairan masih bersih dan belum tercemar serta didukung oleh lingkungan yang memadai. Kualitas lingkungan memegang pengaruh di dalam keberadaan parasit selain kemampuan.

Preez & Lim (2000) melaporkan bahwa C. amboinensis yang berasal dari Malaysia terinfestasi oleh cacing parasit Neopolystoma liewi sp. n. (Monogenea: Polystomatidae) di bagian mata dengan tingkat pervalensi mencapai 67% dan

intensity 2.5). Murray (2000) mengemukan laporannya mengenai keberadaan

cacing parasit pada C. amboinensis yang dikoleksi dari Hongkong dimana pada bagian usus ditemukan Stunkardia dilymphosa dan Telorchis clemmydis dari kelas trematoda serta dibagian kantung kemih ditemukan Polystomoides malayi dari kelas monogenea.

Dokumen terkait