• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1982 di Ujungpandang Sulawesi Selatan, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Nama ayah Drs. Dg Idris Muhyiddin, M.Si dan ibu Ernina Dewi S.S. S.Pd

Riwayat pendidikan telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005. Judul karya ilmiah yang ditulis sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah “Histopatologi Badan Malpighi Ginjal Mencit (Mus musculus) Akibat Pemberian Parasetamol”.

Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Program Studi Biologi Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ……….xi DAFTAR GAMBAR ………xii DAFTAR LAMPIRAN ……….xiii PENDAHULUAN

Latar Belakang ……… 1 Tujuan Penelitian ……… 2 TINJAUAN PUSTAKA

Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas ……… 3 Karakteristik kura-kura sebagai inang ……… 4

Cuora amboinensis ……… 5

Hewan-hewan Parasit ……….. 6 Karakteristik Wilayah Penelitian. ... 8 BAHAN DAN METODE

Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses………... 10 Kepastian Spesies Inang ………... 11 Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Endoparasit pada Feses ……… 11 Analisis Data ... 12 HASIL

Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang ……….. 13 Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ………………...16 Prevalensi dan Intensitas Infetasi Cacing Endoparasit pada Feses Cuora

amboinensis ……………….…..18

PEMBAHASAN

Daerah Penyebaran Cuora amboinensis ………. 20 Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ……….20 Prevalensi dan Intensitas ………... 22 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 24 DAFTAR PUSTAKA ………. 25

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Lokasi Penangkapan dan Jumlah Cuora amboinensis yang Tertangkap . 13 2. Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ……… 16 3. Prevalensi dan Intensitas Cacing Endoparasit ……….. 19

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Cuora amboinensis ... 5 2. Sistem pencernaan Kura-kura ... 8 3. Garis Wallace ………. 9 4. Peta Lokasi Penangkapan Kura-kura ……… 10 5. Anakan Sungai Tallo Makassar ……….. 13 6. Anakan Sungai Tamata Watampone ………. 14 7. Anakan Sungai Magege Luwu Timur ………. 14 8. Persawahan Bulukumba ………. 15 9. Anakan Sungai Suso Luwu Utara ……….. 15 10. Morfologi Cuora amboinensis ………16 11. Cacing tipe 1 : (a & b) Cacing dari C. amboinensis Luwu Timur …….. 17 12. Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d) Cacing

dari C. amboinensis Bulukumba ……… 17 13. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone ………. 18 14. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur ……… 18

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Identifikasi Kura-kura Berdasarkan Iskandar (2000) ……… 30 2. Daftar Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis …………31

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam suatu komunitas terdapat berbagai bentuk interaksi. Interaksi terjadi di antara makhluk hidup yang satu dan yang lainnya dan menciptakan suatu simbiosis. Simbiosis secara luas diartikan sebagai interaksi antara dua individu yang berlainan spesies. Bentuk simbiosis yaitu simbiosis mutualisme, simbiosis komensalisme dan simbiosis parasitisme. Simbiosis mutualisme merupakan interaksi antara dua individu yang saling menguntungkan. Simbiosis komensalisme adalah bentuk interaksi di antara dua individu yang tidak saling menguntungkan maupun merugikan. Simbiosis parasitisme adalah interaksi yang merugikan karena satu spesies beruntung karena mendapat makanan dari spesies yang ditumpanginya dan spesies tersebut akan menderita kerugian karenanya (Brotowidjoyo, 1987). Simbiosis mutualisme dan parasitisme merupakan faktor penting dalam fungsi ekologi dan proses evolusi.

Simbiosis parasitisme tercipta antara kelompok herpetofauna dan parasitnya. Herpetofauna merupakan semua jenis hewan yang tergolong dalam kelas Amphibia dan Reptilia. Kura-kura adalah jenis reptilia (Goin & Zug 1993, Iskandar 2000). Secara popular Ernst & Barbour (1989) membedakan bangsa kura-kura menjadi empat kelompok berdasarkan habitat dan morfologinya, yaitu penyu merupakan kura-kura yang hidup dilaut (sea turtle), tortoise adalah kura- kura yang hidup di darat, terrapin adalah kura-kura air tawar dan labi-labi atau bulus adalah kura-kura yang berperisai lunak (soft shelled turtle).

Kehidupan kura-kura air tawar juga di pengaruhi oleh adanya parasit. Synder & Clopton (2005) melaporkan bahwa kura-kura merupakan inang bagi beberapa spesies parasit, diantaranya, Apicomplexa, Acanthocephala, Nematoda, Platyhelminthes dan beberapa jenis Arthropoda. Beberapa laporan mengenai keberadaan parasit pada C. amboinensis telah dipublikasikan. Primiati (2000) melaporkan C. amboinensis di penangkaran Banten terinfestasi oleh cacing ektoparasit yang tergolong ke dalam super famili Gyrodactiloidea, Tetraoncoidea, Acanthocotyloidea dan Dactylogroidea dengan nilai prevalensi mencapai 100% dan intensitas 4.21.

Menurut cara hidupnya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit (Sains & Hartini, 1999). Ektoparasit adalah parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang dan umumnya berasal dari anggota Filum Platyhelminthes, Nemathelminthes dan Arthropoda. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yang umumnya termasuk ke dalam Filum Platyheminthes, Nemathelminthes dan Protozoa.

Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam macam-macam sistem peralatan tubuh yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran pencernaan.

Infestasi parasit pada inangnya memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi inang. Pada tingkatan yang lebih ringan parasit menganggu ketersediaan dan dinamika sumberdaya daripada inang. Parasit menjadi salah satu faktor pengendali pertumbuhan populasi inang (Newey et al. 2005).

Informasi tentang prevalensi dan pola spesifitas parasit yang menyerang kura-kura merupakan database biologi yang penting dan dapat memperkaya informasi ilmiah terutama terhadap hubungan antara inang-parasit.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis parasit yang terdapat di feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan intensitas endoparasit feses Cuora amboinensis, serta mengkaji pola spesifitas parasit terhadap inang.

TINJAUAN PUSTAKA

Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas

Simbiosis atau interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Simbiosis bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang bersimbiosis. Beberapa jenis simbiosis yaitu simbiosis mutualisme merupakan interaksi di antara dua spesies yang saling menguntungkan, simbiosis komensalisme merupakan interaksi dua spesies yang tidak saling menguntungkan ataupun merugikan dan simbiosis parasitisme (Brotowidjoyo 1987).

Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme lain yang disebut dengan inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan dan perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh inang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar atau lingkungan meliputi habitat dan lingkungan inang serta kesediaan makanan yang cukup bagi inang untuk menunjang kehidupan parasit. Faktor dalam meliputi kondisi tubuh inang tempat parasit bermukim yakni diorgan tubuh (Sprent 1963).

Inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja. . inang, selain mengganggu kehidupan inang, parasit juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang (Newey et al. 2005)

Kennedy (1975) menjelaskan bahwa ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya. Ekologi parasit meliputi distribusi parasit dengan tekanan pada sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat.

Pada umumnya parasit tidak terdapat pada berbagai jenis inang atau parasit itu memiliki inang pilihan. Secara alami parasit itu menunjukkan derajat preferensi inang. Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis yang diperoleh oleh moyangnya dan diturunkan pada progeninya. Makin tinggi derajat preferensi itu menyebabkan adanya spesifitas inang (Brotowidjoyo 1987).

Little et al. (2006) menyatakan bahwa infeksi maupun infestasi parasit terhadap inang bersifat luas dan memiliki spesifitas. Parasit tersebut hanya akan menyerang satu atau sejumlah kecil inang. Spesifitas terjadi karena adanya adaptasi lokal parasit terhadap populasi inang.

Mekanisme spesifitas sangat tergantung pada distribusi geografi antara inang dan parasitnya. Spesifitas tergolong atas tiga bagian yaitu spesifik yaitu parasit hanya akan menyerang satu inang tertentu, multi inang yaitu satu jenis parasit itu dapat menyerang berbagai kelompok hewan dan multi parasit terjadi bila satu inang dapat di jumpai berbagai jenis parasit (Sudina 2000; Yasa & Guntoro 2004 ).

Prevalensi merupakan persentase jenis parasit yang menginfestasi kura- kura. Prevalensi berhubungan dengan habitat, penyebaran dan sumber perairan (Pramiati 2002). Intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi kura-kura. prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi

Karakteristik kura-kura sebagai inang

Kura-kura merupakan salah satu anggota dari kelompok herpetofauna. Herpetofauna merupakan semua hewan yang termasuk dalam kelas hewan melata yaitu kelas Amphibia dan Reptilia. Herpetofauna berasal dari kata herpeton yang berarti hewan yang berjalan merayap (Goin & Zug 1993).

Secara umum kura-kura dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok Cryptodira yang umumnya dapat memasukkan kepala ke dalam perisainya dan kelompok Pleurodira yang kepala dan lehernya hanya dibelokkan ke samping apabila bersembunyi. Kura-kura kelompok Pleurodira dapat mudah dikenali. Selain dari lehernya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam perisainya, juga dari bagian perisai perutnya yang mempunyai keping intergular (Ernst & Barbour 1989).

Morfologi kura-kura mudah dikenali dengan adanya perisai punggung dan perisai perut. Ciri-ciri luar seperti keping perisai, kepala, sisik dan warna merupakan pilihan yang termuda dan cukup handal untuk mengidentifikasi kura-kura.

Cuora amboinensis

Cuora amboinensis atau yang dikenal dengan nama Southeast Asian Box

Turtle C. amboinensis (Daudin, 1802), Wallacean Box Turtle C. a. amboinensis (Daudin, 1802), Malayan Box Turtle C. a. kamaroma Rummler and Fritz 1991, Indonesian Box Turtle C. a. couro (Schweigger, 1812), Burmese Box Turtle C. a. lineata McCord and Philippen, 1998. Di Indonesia, kura-kura air tawar secara umum dikenal dengan nama ‘Kura Kura’, nama khas tergantung kepada nama daerah tempat kura-kura tersebut, misalnya: Kura Kura ambon, Kura Kura kuning, Kura Kura batok, Kura Kura PD, Baning Banya, Kura Kurakatup, Kura kura tangkop, Kangkop (Schoppe 2008).

Cuora amboinensis merupakan salah satu anggota kelompok terrapin atau

kura-kura air tawar. Cuora amboinensis memiliki ciri antara lain bentuk karapas yang relatif tinggi dengan tiga buah lunas pada keping vertebral dan keping kostal. Urutan panjang keping vertebral 2 > 3 > 1 > 4 > 5 sedangkan urutan panjang hubungan antara plastron adalah abdominal >< anal > pectoral > gular > femoral > humeral. Keping inguinal dan aksilar sangat kecil, keping anal tidak berlekuk pada bagian belakang.. Ekor pendek, anggota tubuh mempunyai jari-jari yang berselaput, hewan jantan mempunyai plastron yang cekung dan ekor yang lebih tebal sedangkan yang betina mempunyai plastron yang datar dan ekor yang pendek. Besarnya dapat mencapai 20 cm (Ernst & Barbour 1989; Iskandar 2000).

Warna karapas coklat hingga hitam, plastron pada umumnya berwarna putih atau krem putih dengan bercak hitam pada setiap kepingnya, pada kepala terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik, matanya mempunyai iris berwarna kuning dan hitam pada sisinya.

Cuora amboinensis menyukai habitat perairan yang dangkal dan berarus sedang, selain di sungai, cuora ini dapat di jumpai pada rawa, persawahan dan laut (Iskandar, 2000). Senneka & Tabaka (2004) menyatakan lingkungan perairan yang menjadi habitat C. amboinensis memiliki kisaran suhu antara 25-280C. Cuora merupakan salah satu spesies yang mendiami habitat semi aquatik tetapi untuk juvenil selalu berada di dalam air (Taylor 1920). Cuora amboinensis menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan, dan naik ke darat untuk berjemur dan membuat sarang.

Murray (2004) menyatakan penyebaran C. amboinensis meliputi India (pulau Nicobar, Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia Singapura, Filipina. Penyebaran C. amboinensis di Indonesia meliputi daerah Sumatra, Jawa, Borneo, Nias, Enggano, Simeulue, Sumbawa, Halmahera, Seram, Maluku dan Sumbawa (Iskandar 2000).

Cuora amboinensis termasuk ke dalam hewan dengan status konservasi

apendix II sites dengan status “Vulnerable”, tetapi walaupun hewan ini tidak dikategorikan sebagai hewan langka namun di eksploitasi dan dimanfaatkan secara besar-besaran sehingga mengandung resiko kepunahan (CITES, Apendiks I dan II).

Hewan-hewan Parasit

Kelompok hewan yang bersifat parasit ini tergolong ke dalam Filum Protozoa, Filum Platyhelminthes, Filum Nemathelminthes dan Filum Arthropoda. Parasit ini terdapat di permukaan luar tubuh dan hidup di dalam tubuh (Sains & Hartini 1999).

Protozoa merupakan hewan uniseluler yang berukuran mikroskopis dan bersifat parasit pada beberapa spesies hewan invertebrata maupun vertebrata (Semans 2006).

Filum Platyhelminthes dan Nemathelminthes tergolong ke dalam kelompok cacing. Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani yakni platys berarti pipih dan helmiths yang berarti cacing (Romimohtarto, 2005). Ciri khas lain yang dapat dijumpai adalah hewan tidak beruas, simetri bilateral, tidak mempunyai anus maupun rongga tubuh atau selom, hermafrodit, dapat hidup bebas di dalam

air sungai dan di laut ataupun hidup parasit pada tubuh hewan lain (Mollaret 2006). Ciri yang lain adalah berukuran lebih kecil dari 10mm pada

beberapa jenis. Makanan berupa hewan-hewan invertebrata kecil (Brown 1979) Nematoda merupakan anggota filum Nemathelminthes. Karakteristik nematoda adalah mempunyai saluran usus dan rongga badan, berbentuk bulat tidak bersegmen, tubuhnya dilapisi oleh kutikula. Ciri lain ditandai dengan adanya sebuah mulut pada ujung anterior, mulut dikelilingi oleh bibir.

Arthropoda memiliki anggota kelompok yang bersifat vektor parasit dan ada juga yang hidup bebas di alam. Karakteristik hewan ini adalah tubuhnya berbuku-buku, memilik eksoskeleton, berhabitat di darat maupun di perairan (Cable 1997).

Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran pencernaan.

Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam sistem tubuh inang yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Dalam sistem pencernaan, parasit dapat dijumpai dalam saluran dan dinding saluran pencernaan, yaitu duodenum, ileum, yeyunum, sekum, kolon dan rektum. Parasit-parasit yang mendiami saluran dan dinding saluran pencernaan memperoleh makanannya dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut di dinding sel dan di jaringan tersebut. Organ paru-paru dalam sistem respirasi merupakan organ lintasan bagi cacing nematoda dan merupakan tempat berbiaknya larva trematoda.

Sistem pencernaan pada kura-kura (Gambar 2) terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan kloaka. Di dalam saluran pencernaan inilah parasit bermukim, khususnya di bagian usus.

Gambar 2. Sistem pencernaan kura-kura

Karakteristik Wilayah Penelitian

Pulau Sulawesi atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Celebes merupakan salah satu pulau besar Indonesia. Sulawesi merupakan pulau kelima terbesar di Indonesia. Pulau ini terbentuk sebagai akibat benturan beberapa patahan benua Gondwana tiga juta tahun yang lalu (Lang & Vogel, 2006). Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng yaitu Australia, Eurasia dan Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng tersebut membentuk pulau di zaman Eocene.

Sulawesi terletak diantara Borneo dan Maluku dan juga terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyarankan garis pemisah fauna yang dikenal sebagai garis Wallace (Gambar 3). Garis ini memisahkan wilayah zoogeografi Oriental dan Australia garis ini memisahkan sebagian besar fauna Asia dan Australia (Cox & Moore 2000).

Gambar 3. Garis Wallace

Fauna dan flora yang mendiami pulau Sulawesi merupakan hewan transisi bersifat khas dan memiliki tingkat endemisitas tinggi. Tingkat endemisitas yang tinggi pada fauna terdapat dalam kelompok mamalia, amphibia, dan invertebrata. Pulau ini memiliki daratan yang luas dan sejumlah kepulauan dengan topografi dan ekosistem yang beragam (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Iskandar & Tjan 1996 melaporkan terdapat 115 taksa reptilia yang bersifat endemik di pulau ini.

Salah satu propinsi di Sulawesi yakni Propinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0o12’-8o Lintang Selatan dan 116o48’- 122o36’ Bujur Timur dengan luas wilayah berkisar 45.574,56 km2 yang meliputi 22 kabupaten dan 3 kota.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penangkapan kura-kura dan koleksi feses dilaksanakan dari bulan Maret–Juli 2007 dan Mei 2008 di perairan Sulawesi Selatan. Tahap kedua adalah preparasi spesimen, identifikasi dan analisis endoparasit yang dilaksanakan di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan Departmen Biologi, FMIPA-IPB dari bulan Juni–November 2008.

Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses

Penelitian diawali dengan kegiatan survei yang dilakukan berdasarkan informasi dari masyarakat setempat berkaitan dengan keberadaan kura–kura di daerah Sulawesi Selatan. Eksplorasi lapangan telah dilakukan di lima perairan di Sulawesi Selatan (Gambar 3) yang meliputi Anakan Sungai Tallo Kotamadya Makassar, Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone, Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur, persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba dan Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Gambar 3. Peta lokasi penangkapan kura-kura Keterangan:

A. Anakan sungai Tallo Kotamadya Makassar B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba E. Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Kepastian Spesies Inang

Pengumpulan spesimen kura–kura dilakukan dengan metode penangkapan langsung menggunakan tangan dan metode penangkapan tidak langsung dengan jaring. Jaring yang digunakan adalah jaring berumpan (baited trapping) dan jaring tanpa menggunakan umpan (non baited trapping) (Michael & Plummer, 1976). Kura-kura di tangkap di daerah anakan sungai dengan perairan yang dangkal, berpasir, berlumpur dan berbatu

Identifikasi jenis kura–kura ditujukan untuk mendapatkan kepastian spesies kura-kura sebagai Cuora amboinensis. Proses identifikasi menggunakan buku kunci identifikasi Iskandar (2000) (Lampiran 1). Karakter morfologi yang menjadi kunci identifikasi meliputi bentuk perisai karapas dan plastron, bentuk kaki, bentuk khusus pada bagian kepala dan warna tubuh, Iskandar (2000).

Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Parasit pada Feses

Kura-kura diletakkan dalam wadah yang terpisah dan kemudian dilanjutkan dengan mengkoleksi feses kura-kura. Pengambilan feses dilakukan pada setiap individu per hari. Kura-kura tersebut telah berada di tempat penangkaran selama 10 bulan. Feses segar yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol dan diawetkan dengan alkohol 70%. Feses dipindahkan dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9% kemudian dilakukan pemilahan untuk memisahkan cacing dari kotoran. Cacing parasit yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol yang berisi alkohol 70%.

Cacing diwarnai dengan eosin 1% selama 3 jam. Cacing didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan 100% masing-masing selama 15 menit. Cacing dijernihkan dengan larutan laktofenol dan dibiarkan sampai tubuh cacing menjadi transparan sekitar 30 menit. Tubuh cacing yang telah transparan diletakkan di atas kaca preparat dan dimounting dengan polyfinil alkohol.

Preparat cacing kemudian diamati dengan mikroskop. Pengukuran tubuh cacing meliputi panjang dan lebar tubuh menggunakan penggaris di mikrometer objektif. Ukuran yang telah diperoleh dari mikrometer objektif kemudian ditera menggunakan micrometer okuler untuk mendapatkan skala sebenarnya.

Analisis Data

Setiap jenis cacing yang ditemukan dalam feses kura-kura dihitung nilai prevalensi dan intensitas infestasinya. Prevalensi merupakan persentase jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Intensitas merupakan derajat jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Analisis prevalensi dan intensitas infestasinya berdasarkan Barton & Richard (1996), yaitu

Prevalensi jenis parasit = x100% p Pi Intensitas parasit n p I = (parasit/individu/inang) Keterangan:

I = Intensitas infestasi endoparasit n = Jumlah kura-kura yang terinfestasi p = Jumlah parasit yang menginfestasi Pi = Jumlah jenis parasit i yang menginfestasi

HASIL

Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang

Kura-kura yang telah dikoleksi dengan metode penangkapan langsung adalah Cuora amboinensis. Jumlah C. amboinensis ditangkap di lima perairan di Sulawesi Selatan sebanyak 40 ekor (Tabel 1).

Tabel 1 Lokasi penangkapan dan jumlah C. amboinensis yang tertangkap. Lokasi Penangkapan C. amboinensis tertangkap (n)

3 (A) Makassar

(B) Watampone 19

(C) Luwu Timur 12

(D) Bulukumba 4

(E) Luwu Utara 2

Jumlah 40

Lokasi penangkapan C. amboinensis di perairan Sulawesi Selatan umumnya berupa anakan sungai dengan tipe perairan dangkal, berarus sedang dan berbatu serta di saluran irigasi persawahan.

Lokasi A (Gambar 4) adalah Anakan Sungai Tallo yang terdapat di kelurahan Tamalanrea Jaya kotamadya Makassar. Anakan Sungai Tallo akan bermuara pada Sungai Tallo. Sungai Tallo merupakan sungai besar yang bermuara ke selat Makassar. Penangkapan kura-kura di sungai Tallo ini berlokasi jauh dari pemukiman penduduk. Perairan ini agak berlumpur dan berarus tenang.

Gambar 4. Anakan Sungai Tallo Makassar

Lokasi B (Gambar 5) merupakan Anakan Sungai Tamata yang berlokasi di desa Momputo kecamatan Amali kabupaten Watampone. Sungai ini merupakan sungai dengan perairan berbatu.

Gambar 5. Anakan Sungai Tamata Watampone

Lokasi C (Gambar 6) adalah Anakan Sungai Magege merupakan anak sungai dari sungai Kalaena yang bermuara di teluk Bone. Sungai ini melintasi desa Wonorejo, kecamatan Mangkutana kabupaten Luwu Timur. Perairan sungai ini berbatu dan berlumpur serta arus sungai yang tenang.

Gambar 6. Anakan Sungai Magege Luwu Timur

Lokasi D (Gambar 7) persawahan Tanaberu di Kabupaten Bulukumba.

Cuora amboinensis yang melintasi saluran air di persawahan ini langsung di

tangkap menggunakan tangan.

Gambar 7. Persawahan Bulukumba

Lokasi E (Gambar 8) adalah Anakan Sungai Suso yang terdapat di desa Tetekang kecamatan Bajo kabupaten Luwu Utara. Sungai ini melintasi daerah perkebunan masyarakat.

Gambar 8. Anakan Sungai Suso Luwu Utara

Berdasarkan Iskandar (2000), kura-kura yang telah dikoleksi termasuk jenis Cuora amboinensis. Morfologi C. amboinensis (Gambar 9) tampak dari bentuk perisai yang dapat ditutup sepenuhnya, perisai punggung atau karapas relatif tinggi, terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik. Pada bagian pipi dan bibir juga terdapat garis kuning. Kaki depan dan kaki belakang tidak berbentuk dayung, kaki memiliki jari yang berselaput. Cuora amboinensis di jumpai pada sungai besar maupun sungai kecil dan sering juga di jumpai di area persawahan.

Tampak dorsal (bagian karapas) Tampak ventral (bagian plastron)

Tampak samping Bagian kepala Gambar 9. Morfologi Cuora amboinensis

Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis

Dokumen terkait