• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 hingga April 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB dan rumah kaca Departemen Silvikultur FAHUTAN IPB, Darmaga Bogor.

PENDAHULUAN

Tanaman akasia termasuk kedalam suku leguminosae, memiliki lebih dari 1300 spesies dan terdistribusi di daerah tropik dan sub tropik. Kayu akasia banyak digunakan untuk perabot rumah tangga seperti pintu, bingkai jendela serta menjadi bahan baku utama dalam industri kertas. Beberapa jenis akasia yang paling banyak di tanam di wilayah asia adalah Acacia auriculiformis Cunn. Ex Benth., A.mangium Willd., A. crassicarpa

Cunn. Ex Benth., dan A. aulacocarpa Cunn. Ex Benth (Prosea 1995).

Hambatan rendahnya produksi kayu akasia di daerah tropis dapat disebabkan oleh penyakit karat daun, embun tepung, rebah semai, dan busuk akar (Old et al. 2000). Pada saat di persemaian, tanaman akasia terutama

A. crassicarpa juga dapat terserang penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan

Xanthomonas campestris pv. acaciae.

Penyakit ini merupakan penyakit baru pada pembibitan tanaman A. crassicarpa khususnya ditemukan di pembibitan tanaman akasia di daerah Riau (Ernawati 2008).

A. crassicarpa merupakan tanaman tropis yang tumbuh cepat dengan kemampuan adaptasi yang tinggi dan merupakan tanaman pemfiksasi nitrogen. Di alam, akasia ini dapat hidup pada tanah yang memiliki drainase yang buruk sampai tanah kering (Gunn & Midgley 1991). A. crassicarpa memiliki tinggi antara 25-30 meter dengan biji berwarna hitam memanjang. Daun akasia memiliki dua jenis bentuk, ketika dalam masa juvenil daunnya akan membentuk daun majemuk bipinnate,

sedangkan pada masa dewasa akan muncul filodia (Bhattacharrya & Johri 1998).

Pengendalian penyakit tanaman saat ini lebih ditekankan pada pengendalian agen hayati yakni penggunaan organisme antagonis untuk menekan jumlah, aktivitas, dan penyebaran patogen. Namun penelitian mengenai upaya pengendalian A. crassicarpa

masih sangat sedikit dilaporkan. Salah satu anggota aktinomiset yang telah diteliti dan digunakan sebagai pengendali penyakit tanaman adalah Streptomyces (Prapagdee et.al

2008), yang dimanfaatkan berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antimikrob.

Aktinomiset dikenal sebagai sumber utama beragam senyawa bioaktif diantaranya adalah senyawa antimikrob yang dapat digunakan sebagai agen biokontrol patogen tanaman

(Holtsmark et.al 2006; Alina & Susilowati 2008). Anggota terbesar Aktinomiset ialah genus Streptomyces. Streptomyces merupakan bakteri berfilamen dengan diameter 0.5-1.0 µm, aerob, gram positif, dan bereproduksi dengan spora yang dihasilkan miselium aerial (Holt et al 1994). Streptomyces memiliki siklus hidup yang kompleks dan mampu menghasilkan dan mensekresi metabolit sekunder, senyawa bioaktif seperti antibiotik, enzim, dan inhibitor enzim. Streptomyces

biasanya hidup di tanah dan merupakan dekomposer penting karena dapat menguraikan bahan organik serta tahan terhadap keadaan stres lingkungan seperti kekeringan dan kekurangan makanan dengan membentuk spora (Cao et al. 2004).

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa beberapa isolat indigenus Streptomyces spp. diketahui mampu menghasilkan senyawa antimikrob (Lestari 2006), seperti menghambat serangan bakteri patogen Ralstonia solanacearum pada cabai (Muthanas 2004) dan X. axonopodis pada kedelai (Andri 2004). Yuan & Crawford (1995) juga melaporkan kemampuan

Streptomyces dalam menghambat cendawan patogen tanaman yakni Phytium ultimum dan Rhizoctonia solani. Streptomyces isolat indigenus juga dilaporkan mampu menghambat serangan S. Rolfsii pada tomat (Yusniawati 2009; Sasono 2010). Namun demikian kajian tentang kemampuan

Streptomyces spp. dalam mengendalikan X. campestris pv. acaciae patogen tanaman akasia belum banyak dilakukan. Berdasarkan kemampuan Streptomyces spp. isolat indigenus tersebut dalam menghasilkan senyawa antimikrob, maka kajian potensi

Streptomyces spp. isolat indigenus terhadap

Xanthomonas campestris pv. acaciae yang menyerang tanaman akasia penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menapis kemampuan Streptomyces spp. isolat indigenus dalam menghambat

Xanthomonas campestris pv. acaciae secara

in vitro dan in planta.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 hingga April 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB dan rumah kaca Departemen Silvikultur FAHUTAN IPB, Darmaga Bogor.

Peremajaan Isolat Bakteri

Bakteri X. campestris pv. acaciae sebagai patogen target berasal dari koleksi Dr. Ir. Giyanto, M.Si. diremajakan pada media agar-agar Yeast Dextrose CaCO3(YDC) (Lampiran 1) dan diinkubasi pada suhu 27-28o C selama dua hari. Pengukuran kerapatan bakteri dihitung dengan menggunakan metode cawan sebar dan dengan bantuan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 620 nm. Streptomyces spp. isolat indigenus yang digunakan yaitu PS4-16, LSW 05, LBR 05, LBR 02, SSW 02, SR01, SR02, dan SR03 merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi IPB. Isolat-isolat tersebut diremajakan pada media agar-agar

International Streptomyces Project (ISP) no 2 (Lampiran 2) dan media Oatmeal (OM) (Lampiran 3). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 10-15 hari.

Produksi Filtrat dan Biomassa

Streptomyces spp.

Produksi filtrat kultur dilakukan dengan menggunakan media ISP No. 4 (Lampiran 4) yang diinkubasi diatas mesin penggoyang dengan kecepatan 125 rpm pada suhu ruang. Selanjutnya kultur disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 10 menit. fltrat kultur yang diperoleh digunakan untuk esei antagonis pada hari ke 5,10,15, dan 20.

Pengukuran biomassa Streptomyces spp. yang ditumbuhkan pada media ISP 4 dilakukan pada hari ke 5, 10, 15 dan 20. Biakan yang telah disentrifugasi, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan pelet dan supernatannya. Pelet dikeringkan didalam oven selama 24 jam pada temperatur 70oC dan ditimbang bobotnya.

Penapisan Isolat Streptomyces spp. Penghambat Pertumbuhan X. campestris

pv. acaciae secara in vitro.

Penapisan isolat penghasil senyawa antibakteri dilakukan secara kualitatif dengan uji antagonis menggunakan metode dual culture. Pertama-tama dilakukan uji menggunakan sel Streptomyvces spp. secara langsung. Isolat Streptomyces spp. yang ditumbuhkan pada media agar-agar ISP No.2 diambil dengan sedotan steril berdiameter 5 mm lalu diletakkan pada media uji Nutrient Agar (NA) semisolid yang telah memadat diatas media NA solid (Over lay) dan sudah mengandung isolat bakteri X. campestris pv. acaciae dengan konsentrasi minimal 106/ml, kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada

suhu ruang dan diamati zona hambat yang terbentuk. Isolat dengan zona hambat sangat jernih dan memiliki kemampuan penghambatan kuat terhadap bakteri patogen target dipilih untuk diuji lebih lanjut aktivitas penghambatan filtrat kulturnya yang mengacu pada metode Kirby Bauer (Madigan et al.

2006). Isolat Streptomyces spp. diinokulasikan kedalam media ISP4 cair. Cakram kertas steril berdiameter 8 mm ditetesi 15 µl filtrat kultur

Streptomyces spp, kemudian diletakkan pada permukaan media NA semisolid yang telah memadat diatas media NA solid dan sudah mengandung bakteri patogen target dengan konsentrasi minimal 106/ml, diinkubasi pada suhu ruang, dan diamati zona hambat yang terbentuk setelah 24-48 jam. Kontrol negatif menggunakan media ISP 4 steril. Besar diameter zona hambat diukur berdasarkan diameter seluruh zona yang terbentuk dikurangi diameter cakram kertas (8 mm). Penilaian daya penghambatan mengacu pada Suriawiria (1973). Kedua uji antagonis diatas dilakukan sebanyak dua kali pengulangan.

Uji Kemampuan Penghambatan

Streptomyces spp. terhadap X. campestris

pv. acaciae secara in planta.

Biji akasia (Acacia crassicarpa) diperoleh dari Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor. Biji tersebut kemudian disterilisasi permukaan menggunakan alkohol 70% selama 30 detik kemudian dibilas dengan air steril sebanyak dua kali. Selanjutnya dilakukan pemecahan masa dormansi biji dengan cara merendam benih akasia pada air mendidih selama 30 detik, kemudian ditiriskan lalu direndam dalam air dingin selama 24 jam. Setelah itu biji diberi perlakuan Streptomyces spp. dengan cara

seed coating. Kultur isolat Streptomyces spp disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit. Dua gram massa sel

Streptomyces spp disuspensikan dalam 10 ml larutan kanji 2% steril (konsentrasi akhir 0,2 g massa sel/ml). Biji akasia kemudian direndam dalam suspensi Streptomyces spp dan larutan kanji selama 30 menit di dalam laminar air flow. Biji kemudian di simpan di dalam cawan petri yang sudah diberi kapas basah dan diinkubasi selama 3-5 hari hingga biji berkecambah kemudian dihitung persentase perkecambahannya. Benih yang sudah berkecambah untuk masing-masing perlakuan kemudian ditanam ke dalam polybag sebanyak 2 benih per polybag dan selanjutnya ditempatkan di rumah kaca Departemen Silvikultur IPB. Pengamatan dilakukan selama

tujuh minggu setelah tanam dengan mengukur parameter berupa tinggi tanaman, diameter tanaman, intensitas penyakit, dan bobot kering tanaman.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, dan diulang sebanyak 5 kali

a. Faktor pertama yaitu pemberian agens yang terdiri atas 3 macam aplikasi

A0: tanpa agens A1: agens SR02 A2: agens PS4-16

A3: bakterisida (Agrept WP 20)

b. Faktor kedua yaitu pemberian bakteri patogen X. campestris pv. acaciae yang terdiri atas 2 macam aplikasi

B0: tanpa bakteri patogen B1: dengan bakteri patogen

Parameter yang diamati Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur setiap satu minggu setelah tanam, diukur 1 cm dari leher akar sampai titik tumbuh tertinggi semai pada pucuk batang.

Diameter Batang dan Bobot Kering Tanaman

Diameter batang diukur pada minggu terakhir (tujuh minggu) setelah tanam, menggunakan alat ukur yaitu jangka sorong (caliper). Bobot kering tanaman juga dilakukan pada 7 MST dengan cara menghitung bobot tanaman yang sebelumnya disimpan dalam oven selama 72 jam pada suhu 70 oC.

Intensitas Penyakit

Pengamatan benih A. crassicarpa

dilakukan terhadap intensitas penyakit. Data intensitas penyakit tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus Ernawati (2008):

IP =

IP= Intensitas Penyakit

n = Banyaknya daun yang diamati dari tiap kategori serangan v = Nilai skala dari tiap kategori serangan

Z = Nilai skala dari tiap kategori serangan tertinggi

N = Banyak daun yang diamati

Intensitas serangan atau keparahan penyakit ditetapkan melalui skoring sebagai berikut:

0 = tidak ada gejala

1 = 1 - 25% permukaan daun terinfeksi 2 = 26 - 50% permukaan daun terinfeksi 3 = 51 - 75% permukaan daun terinfeksi 4 = 76 - 100% permukaan daun terinfeksi

Analisis data

Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati pada uji in planta dilakukan analisis sidik ragam dengan menggunakan program SPSS 16. Beda nyata antara perlakuan diuji dengan metode Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL

Dokumen terkait