• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil peremajaan delapan isolat

Streptomyces spp. pada media agar-agar ISP2 dan Oatmeal Agar selama 10-14 hari masa inkubasi pada suhu ruangan menunjukkan semua isolat dapat tumbuh baik ditandai dengan adanya sporulasi dan pembentukan miselium aerial. Kedelapan isolat tersebut yaitu PS4-16, LSW 05, LBR 05, LBR 02, SSW 02, SR01, SR02, dan SR03 yang merupakan anggota aktinomiset. Gambar 1 memperlihatkan beberapa contoh hasil peremajaan isolat Streptomyces spp. yang memiliki keragaman morfologi koloni dan warna miselia. Isolat LSW05 dan SR01 memiliki miselia berwarna putih, LBR02, LBR05, SSW02, dan SR03 menunjukkan miselia berwarna coklat keabuan, PS4-16 menunjukkan miselia bewarna putih kemerahan, sedangkan isolat SR02 menunjukkan miselia berwarna hitam.

Pembentukan miselia aerial dan sporulasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam siklus hidup Streptomyces (Abe et al.

2005). Menurut Miyadoh dan Otoguro (1997), spora Actinomycetes akan tumbuh dan berkembang menjadi miselium dan koloni apabila nutrisi, kelembapan dan suhu, serta kondisi lainnya memenuhi syarat untuk kehidupan. Bentuk koloni Streptomyces spp. ada yang bertepung, kasar seperti yang dilihat pada isolat LSW05, SR02, dan SR03 atau berkeriput seperti yang dilihat pada isolat LBR02, LBR05, dan SSW02, dan halus seperti beludru pada PS4-16 dan SR01.

tujuh minggu setelah tanam dengan mengukur parameter berupa tinggi tanaman, diameter tanaman, intensitas penyakit, dan bobot kering tanaman.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, dan diulang sebanyak 5 kali

a. Faktor pertama yaitu pemberian agens yang terdiri atas 3 macam aplikasi

A0: tanpa agens A1: agens SR02 A2: agens PS4-16

A3: bakterisida (Agrept WP 20)

b. Faktor kedua yaitu pemberian bakteri patogen X. campestris pv. acaciae yang terdiri atas 2 macam aplikasi

B0: tanpa bakteri patogen B1: dengan bakteri patogen

Parameter yang diamati Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur setiap satu minggu setelah tanam, diukur 1 cm dari leher akar sampai titik tumbuh tertinggi semai pada pucuk batang.

Diameter Batang dan Bobot Kering Tanaman

Diameter batang diukur pada minggu terakhir (tujuh minggu) setelah tanam, menggunakan alat ukur yaitu jangka sorong (caliper). Bobot kering tanaman juga dilakukan pada 7 MST dengan cara menghitung bobot tanaman yang sebelumnya disimpan dalam oven selama 72 jam pada suhu 70 oC.

Intensitas Penyakit

Pengamatan benih A. crassicarpa

dilakukan terhadap intensitas penyakit. Data intensitas penyakit tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus Ernawati (2008):

IP =

IP= Intensitas Penyakit

n = Banyaknya daun yang diamati dari tiap kategori serangan v = Nilai skala dari tiap kategori serangan

Z = Nilai skala dari tiap kategori serangan tertinggi

N = Banyak daun yang diamati

Intensitas serangan atau keparahan penyakit ditetapkan melalui skoring sebagai berikut:

0 = tidak ada gejala

1 = 1 - 25% permukaan daun terinfeksi 2 = 26 - 50% permukaan daun terinfeksi 3 = 51 - 75% permukaan daun terinfeksi 4 = 76 - 100% permukaan daun terinfeksi

Analisis data

Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati pada uji in planta dilakukan analisis sidik ragam dengan menggunakan program SPSS 16. Beda nyata antara perlakuan diuji dengan metode Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL

Peremajaan Streptomyces spp.

Hasil peremajaan delapan isolat

Streptomyces spp. pada media agar-agar ISP2 dan Oatmeal Agar selama 10-14 hari masa inkubasi pada suhu ruangan menunjukkan semua isolat dapat tumbuh baik ditandai dengan adanya sporulasi dan pembentukan miselium aerial. Kedelapan isolat tersebut yaitu PS4-16, LSW 05, LBR 05, LBR 02, SSW 02, SR01, SR02, dan SR03 yang merupakan anggota aktinomiset. Gambar 1 memperlihatkan beberapa contoh hasil peremajaan isolat Streptomyces spp. yang memiliki keragaman morfologi koloni dan warna miselia. Isolat LSW05 dan SR01 memiliki miselia berwarna putih, LBR02, LBR05, SSW02, dan SR03 menunjukkan miselia berwarna coklat keabuan, PS4-16 menunjukkan miselia bewarna putih kemerahan, sedangkan isolat SR02 menunjukkan miselia berwarna hitam.

Pembentukan miselia aerial dan sporulasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam siklus hidup Streptomyces (Abe et al.

2005). Menurut Miyadoh dan Otoguro (1997), spora Actinomycetes akan tumbuh dan berkembang menjadi miselium dan koloni apabila nutrisi, kelembapan dan suhu, serta kondisi lainnya memenuhi syarat untuk kehidupan. Bentuk koloni Streptomyces spp. ada yang bertepung, kasar seperti yang dilihat pada isolat LSW05, SR02, dan SR03 atau berkeriput seperti yang dilihat pada isolat LBR02, LBR05, dan SSW02, dan halus seperti beludru pada PS4-16 dan SR01.

Koloni Streptomyces juga memberikan bau yang spesifik karena adanya geosmin.

Gambar 1 Morfologi koloni isolat

Streptomyces spp. (LSW 05, SSW02, LBR02, LBR0 5, SR02, dan SR03) yang ditumbuhkan pada media agar-agar ISP2 dan (PS4-16 dan SR01) pada media Oatmeal agar umur 15 hari.

Penapisan Isolat Streptomyces spp. Penghambat Pertumbuhan X. campestris

pv. acaciae secara in vitro.

Kedelapan isolat menghasilkan daya hambat yang berbeda-beda pada uji dengan menggunakan sel secara langsung. Isolat

Streptomyces dengan kode isolat SR02 memiliki daya hambat terbesar yaitu sebesar 20 mm dengan daya penghambatan sangat kuat disusul oleh isolat LSW05 yang memiliki zona hambat sebesar 8 mm dengan daya penghambatan sedang. Terdapat 2 jenis isolat yaitu SR01 dan SR03 yang tidak menghasilkan zona hambat sama sekali (Tabel 1). Kemampuan masing-masing isolat dalam menghambat bakteri patogen dapat dilihat pada Gambar 2. Daya penghambatan merujuk pada Suriawiria (1973).

Empat isolat yang mampu menghasilkan zona hambat kuat dipilih yaitu PS4-16, LSW05, LBR02, dan SR02 untuk uji penghambatan menggunakan filtrat kultur.

Garmbar 2 Kemampuan Streptomyces spp. terhadap X. campestris pv. acaciae

pada media NA inkubasi 24-48 jam(SR02 (1), PS4-16 (2), LSW05 (3), LBR02 (4), LBR05 (5), SSW02 (6), SR01 (7), SR02 (8)).

Isolat PS4-16 menunjukkan daya hambat cukup baik pada hari kelima sebesar 8,5 mm dan mengalami peningkatan pada hari kesepuluh sebesar 11 mm, pada hari kelimabelas sebesar 12,5 mm, dan pada hari keduapuluh menurun menjadi sebesar 10 mm. Isolat SR02 menghasilkan zona hambat pada hari kesepuluh, kelimabelas dan keduapuluh masing-masing sebesar 3,5 mm, 6,5 mm, dan 7 mm. Isolat LSW05 hanya menghasilkan zona hambat pada hari kelimabelas yaitu sebesar 4,5 mm. Isolat yang tidak menghasilkan zona hambat sama sekali ditunjukkan oleh LBR02 (Tabe1 2 dan Gambar 3).

Gambar 3 Kemampuan penghambatan

Streptomyces spp. terhadap X. campestris pv. acaciae umur 15 hari pada media NA inkubasi 24-48 jam (PS4-16 (A), SR02(B), LSW05 (C), LBR02 (D), dan K (kontrol negatif)).

Tabel 1. Kemampuan Penghambatan Streptomyces spp.terhadap Xanthomonas campestris pv. acaciae

menggunakan koloni langsung.

Tabel 2. Kemampuan penghambatan Streptomyces spp. terhadap pertumbuhan Xanthomonas campestris pv. acaciae menggunakan filtrat kultur.

Biomassa sel Streptomyces spp. pada hari ke 5,10,15, dan 20 (Gambar 4) menunjukkan bahwa semua isolat memiliki jumlah biomassa sel tertinggi pada hari ke-15 dan kemudian turun pada hari ke-20. Rata-rata biomassa terbanyak dimiliki oleh isolat LBR02 yaitu sebesar 630 mg (Lampiran 5). Namun demikian banyaknya biomassa tidak selalu diikuti peningkatan kemampuan penghambatan terhadap bakteri patogen akan besar, hal ini dapat dilihat meskipun LBR 02 memiliki jumlah biomassa yang banyak tapi tidak menghasilkan zona hambat pada uji aktivitas filtrat kultur sebab biomassa sel tidak terlibat langsung dalam uji aktivitas kultur.

Gambar 4 Pertumbuhan Streptomyces pada hari ke 5, 10,15, dan 20.

No. Kode Isolat

Daya Hambat ( Zona bening) (mm)

R1 R2 Rata2 (mm) Daya (mm) Daya (mm) 1 LBR 02 3 ++ 4 ++ 3,5 2 PS4-16 6 + 4 + 5 3 LBR 05 2 + 3 ++ 2,5 4 SR01 - - - - - 5 SR02 22 ++++ 18 ++++ 20 6 SR03 - - - - - 7 LSW 05 7 +++ 9 +++ 8 8 SSW 02 3 ++ 3 ++ 3 No Kode Isolat

Daya Hambat (zona bening) (mm)

Hari ke-

5 10 15 20

(mm) Daya (mm) Daya (mm) Daya (mm) Daya

1 PS4-16 8,5 +++ 11 +++ 12,5 ++++ 10 ++

2 LSW 05 - - - - 4,5 + - -

3 LBR 02 - - - -

4 SR02 - - 3,5 ++ 6,5 + 7 ++

tanda minus (-) menunjukkan tidak mampu menghasilkan zona hambat

Kemampuan Penghambatan Streptomyces

spp. terhadap Xanthomonas campestris pv. acaciae secara in planta.

Intensitas Penyakit

Gejala awal penyakit mulai tampak pada tanaman 3 MST (minggu setelah tanam). Intensitas penyakit (IP) pada masing-masing perlakuan disetiap waktu pengamatan terus mengalami peningkatan hingga 7 MST dengan laju peningkatan yang bervariasi. Namun perlakuan Streptomyces spp.mampu menurunkan intensitas penyakit pada tanaman dibandingkan perlakuan lainnya walaupun tidak signifikan (Gambar 5). Berdasarkan uji statistik terdapat perbedaan antar perlakuan. Intensitas penyakit tertinggi terjadi pada perlakuan A0B1, sedang terendah pada perlakuan A1B1. Perlakuan yang hanya diberi patogen (A0B1) (Kontrol positif) memiliki intensitas penyakit terbesar yaitu sebesar 24,03% pada 7 MST. Hal ini berbeda dengan perlakuan A1B1 dan A2B1 yang memiliki intensitas penyakit masing-masing sebesar 9,14% dan 11,71% lebih kecil dari perlakuan kontrol (Lampiran 6).

Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman mulai diukur pada 2 MST. Perlakuan agens antagonis Streptomyces menunjukkan kemampuan dalam meningkatkan tinggi tanaman akasia pada semua periode pengamatan. Tanaman akasia yang diberi perlakuan Streptomyces dan bakterisida lebih tinggi bila dibandingkan tanaman kontrol walaupun tidak secara nyata (Gambar 6). Isolat SR02 mampu meningkatkan tinggi tanaman lebih baik sebesar 25% pada perlakuan A1B0 dan 29,1% pada perlakuan A1B1 dibandingkan kontrol yaitu pada 7 MST. Begitupula dengan perlakuan menggunakan isolat PS4-16 menunjukkan peningkatan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan kontrol walaupun kurang signifikan ( Lampiran 7).

Diameter batang

Diameter batang diukur setelah panen yaitu 7 MST. Hasil pengamatan pengaruh agens antagonis Streptomyces terhadap diameter batang tanaman akasia menunjukkan perlakuan A2B1 menghasilkan diameter batang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 12,6 mm. Diameter batang terkecil diperoleh perlakuan A0B1 yaitu sebesar 7,59 mm (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh perlakuan Streptomyces terhadap diameter batang akasia umur 7 MST.

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%

Bobot Kering Tanaman

Bobot kering tanaman juga diukur setelah panen yaitu saat tanaman berumur 7 MST. Perlakuan Streptomyces spp. mampu meningkatkan bobot kering tanaman dibandingkan kontrol (Tabel 4). Bobot kering tertinggi diperoleh dengan perlakuan A1B0 sebesar 194,36 mg. Perlakuan ini meningkatkan bobot kering tanaman mencapai 42,4 % bila dibandingkan dengan kontrol positif (117,96 mg). Peningkatan bobot kering tanaman yang diberi perlakuan

Streptomyces berbanding terbalik dengan intensitas penyakit. Tanaman kontrol dengan tingkat intensitas penyakit paling tinggi menghasilkan bobot kering paling rendah. Tabel 4 Pengaruh perlakuan Streptomyces terhadap

Bobot kering tanaman akasia umur 7 MST.

Perlakuan Bobot Kering Tanaman (mg) A0B0 111,96±19,3a A0B1 117,44±30,1a A1B0 194,36±51,5b A1B1 186,1±37,6b A2B0 164,1±16,5b A2B1 181,22±67,8b A3B0 164,82±12,1b A3B1 111,8±17,5a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Perlakuan Diameter Batang ( mm) A0B0 8,26±0,7a A0B1 7,59±1,8a A1B0 10,45±1,4b A1B1 10,69±1,3b A2B0 10,4±1,4b A2B1 12,6±0,8c A3B0 8,21±0,4a A3B1 9,1±0,9ab

Gambar 5 Pengaruh perlakuan kombinasi Streptomyces, X. campestris, dan bakterisida terhadap intensitas penyakit pada tanaman akasia umur 3-7 MST.

Gambar 6 Pengaruh perlakuan kombinasi Streptomyces, X. campestris, dan bakterisida terhadap tinggi tanaman akasia umur 2-7 MST.

PEMBAHASAN

Pengujian antagonis isolat Streptomyces

spp. terhadap bakteri patogen target dengan menggunakan sel secara langsung merupakan penapisan awal untuk mendapatkan isolat yang memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Xanthomonas campestris pv. acaciae. Hasil uji antagonis kedelapan isolat Streptomyces spp. menunjukkan sebanyak enam isolat mampu menghambat bakteri patogen. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni Streptomyces spp. Namun demikian, enam isolat Streptomyces yang diujikan memiliki daya hambat yang beragam (Tabel 1). Isolat LSW05 dan SR02 memiliki daya hambat kuat yang ditunjukkan dengan zona hambat sebesar 7-22 mm, sedangkan empat isolat lainnya yaitu PS4-16, LBR02, LBR05, dan SSW02 memiliki zona hambat berkisar 2-6 mm. Adanya zona bening mengindikasikan bahwa isolat tersebut mampu menghasilkan senyawa yang berfungsi sebagai antimikrob. Senyawa yang dihasilkan diduga merupakan mekanisme pertahanan Streptomyces dalam berkompetisi dengan mikroorganisme lain untuk memperoleh nutrisi (Atlas & Bartha 1997).

Terjadinya perbedaan penghambatan pertumbuhan bakteri patogen dengan menggunakan sel Streptomyces spp. secara langsung dibandingkan dengan filtrat kultur kemungkinan disebabkan antara lain oleh jenis dan jumlah senyawa antimikrob yang dihasilkan, konsentrasi dan kualitas dari senyawa mikrob yang dihasilkan (Mc-Manus & Stocwell 2001). Dibandingkan dengan menggunakan koloni isolat Streptomyces, aktivitas filtrat kultur rata-rata mempunyai kemampuan penghambatan lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan pada uji aktivitas filtrat kultur hanya 15 µl supernatan yang digunakan dalam pengujian sehingga konsentrasi senyawa antibakteri yang terkandung dalam filtrat kemungkinan cukup rendah. Disamping itu kandungan beragam komponen media juga dapat berpengaruh terhadap aktivitas penghambatan. Tingkat penghambatan terhadap bakteri target semakin bertambah dengan semakin tingginya konsentrasi zat bioaktif di dalam filtrat (Syefianah 2000). Hwang et al. (2001) juga melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi filtrat semakin tinggi daya hambat yang dihasilkan. Penurunan aktivitas penghambatan yang terjadi pada uji filtrat kultur juga dapat

disebabkan oleh adanya perbedaan masing-masing sel dalam merespon kondisi lingkungan (media produksi), sehingga biomassa dan senyawa aktif yang dihasilkan dapat berbeda tergantung pada kemampuan masing-masing sel. Keempat isolat

Streptomyces spp. menghasilkan 100-600 mg massa sel/25 ml media produksi (ISP4). Schlegel dan Schmidt (1994) mengemukakan bahwa biomassa bakteri ditentukan oleh jenis, jumlah nutrien, dan kondisi pertumbuhan yang digunakan oleh bakteri tersebut. Jenis dan jumlah nutrisi yang cukup akan digunakan oleh sel bakteri untuk pertambahan biomassa, sedangkan pada kondisi pertumbuhan dengan jumlah nutrisi terbatas pertumbuhan sel menjadi lambat dan akan menstimulir sel untuk memproduksi metabolit sekunder.

Streptomyces spp. yang diaplikasikan ke tanaman akasia secara tidak nyata mampu menekan tingkat keparahan penyakit serta meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, dan bobot kering tanaman. Dari hasil yang telah dilakukan isolat SR02 dan PS4-16 mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu menekan mikrob patogen secara in planta

melalui mekanisme penghambatan yang kemungkinan berbeda. Senyawa bioaktif yang dihasilkan isolat SR02 diduga lebih efektif dibandingkan isolat PS4-16 sehingga kemampuannya lebih tinggi dalam menekan intensitas penyakit. Setiap mikrob antagonis memiliki mekanisme tersendiri dan dapat mempunyai lebih dari satu mekanisme penghambatan. Streptomyces liydicus WYEC 108 misalnya, dapat menghambat pertumbuhan fungi tular tanah karena memiliki beberapa mekanisme, yaitu mampu mengkolonisasi akar lebih baik daripada patogen, bersifat antibiosis, mempunyai aktivitas mikroparasitisme, dan menghasilkan selulase (Lichatowich 2006).

Streptomyces spp. isolat SR02 dan PS4-16 terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikrob patogen. Secara in vitro kemampuan terbaik ditunjukkan oleh isolat SR02 begitupun pada uji in planta isolat SR02 memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan isolat PS4-16. Perbedaan kemampuan isolat

Streptomyces diduga disebabkan oleh keragaman senyawa bioaktif yang dihasilkan.

Streptomyces dikenal memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang potensial untuk menghambat pertumbuhan mikrob patogen (Lestari 2006). Senyawa bioaktif yang

dihasilkan isolat SR02 diduga lebih efektif dibandingkan isolat PS4-16 sehingga kemampuannya lebih tinggi dalam menekan intensitas penyakit dan meningkatkan tinggi tanaman.

Aplikasi isolat SR02 dan PS4-16 juga diduga lebih baik dalam menakan intensitas penyakit serta meningkatkan tinggi, diameter dan bobot kering tanaman bila dibandingkan dengan penggunaan bakterisida yaitu Agrept WP 20. Agrept WP 20 adalah salah satu jenis bakterisida yang mengandung bakteri yang mampu mengendalikan bakteri patogen pada tanaman. Streptomisin yang terkandung dalam Agrept WP 20 berpengaruh terhadap perkembangan bakteri karena akan berikatan dengan ribosom bakteri dan mencegah sintesis protein, pembentukan rantai peptida dan pengenalan triplet-triplet yang normal (Semangun 2006). Kandungan Streptomisin

yang terdapat pada Agrept WP 20 seharusnya dapat mengatasi penyakit pada tanaman akasia. Namun pada penelitian ini pemberian bakterisida kurang memberikan hasil yang baik. Hal ini mungkin dikarenakan dosis yang diberikan hanya sedikit yaitu hanya seperempat dosis yang dianjurkan sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal.

Cara aplikasi agen hayati pengendali patogen dapat mempengaruhi keefektifannya. Banyak aplikasi yang bisa digunakan diantaranya penyiraman, penyemprotan, dan

seed coating. Metode seed coating adalah metode pelapisan benih yang dilakukan sebelum perkecambahan biji. Dengan cara aplikasi agens hayati melalui benih diharapkan dapat melindungi benih selama perkecambahan sampai pertumbuhannya melalui kolonisasi akar. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa metode pelapisan benih merupakan salah satu cara aplikasi yang terbaik. El-abyad et al. (1993) menyatakan bahwa pelapisan benih tomat dengan spora Streptomyces spp. sangat efektif mengendalikan patogen pada tanaman berumur 42 dan 63 hari setelah tanam. Yuan & Crawford (1995) menyatakan bahwa perlakuan benih dengan S. liydicus WYEC108 dapat menekan intensitas serangan patogen hingga 40-70% pada 96 jam setelah tanam, sedangkan intensitas serangan patogen mencapai 70-100% pada 24-48 jam setelah tanam pada benih yang tidak diberi perlakuan. Sasono (2010) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa perlakuan seed coating

dengan Streptomyces spp. isolat LSW05 merupakan perlakuan terbaik dalam

meningkatkan tinggi tanaman, bobot dan jumlah buah pada tanaman tomat.

Berdasarkan hasil uji antagonis terhadap tingg tanaman akasia menunjukkan bahwa mikrob antagonis dapat meningkatkan tinggi tanaman akasia. Hal ini dikarenakan agens antagonis kemungkinan mampu menghasilkan hormon pertumbuhan sehingga tanaman menjadi lebih tinggi dibanding kontrol. Mekanisme peningkatan pertumbuhan oleh bakteri bisa terjadi dengan beberapa cara diantaranya merangsang pembentukan akar lateral (Vasudevan et al. 2002) dan menghasilkan hormon pertumbuhan seperti IAA (Indole Acetic Acid) (Vonderwell et al. 2001), auksin (Khalid et al. 2004) dan sitokinin. Kemampuan mikrob dalam menghasilkan hormon pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh jenis isolat serta kemampuannya dalam mengkonversi L-triptofan yang terkandung dalam media produksi menjadi IAA (Patten & Glick 2002). L-triptofan merupakan senyawa asam amino yang berperan sebagai prekursor dalam pembentukan IAA. Ketersedian prekursor yang cocok adalah salah satu faktor primer sekresi metabolit sekunder dari mikrob (Manulis et al. 1994). Hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh bakteri dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bakteri penghasil IAA yang diisolasi dari rizosfer tanaman Brassica dapat meningkatkan tinggi tanaman hingga mencapai 56,5%, diameter batang 1,0%, jumlah cabang 35,7% dibanding dengan kontrol yang tidak diinokulasi rizobakteria (Asghar et al. 2002).

Beberapa penelitian terkait kemampuan

Streptomyces dalam menghasilkan hormon pertumbuhan juga telah banyak dilaporkan. Yusniawati (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa Streptomyces

merupakan agen hayati yang tergolong mikrooorganisme pemacu pertumbuhan tumbuhan. Lebih lanjut Agrios (1995) menyatakan bahwa kemampuan Streptomyces

selain sebagai agen hayati juga dapat menghasilkan hormon pertumbuhan atau disebut Plant Growth Promoting Bacteria

(PGPB). Aryantha et al. (2004) melaporkan bahwa produk cair aktinomiset galur LC mampu meningkatkan jumlah cabang akar tanaman kacang hijau. Khamna et al. (2010) juga melaporkan Streptomyces viridis mampu meningkatkan perkecambahan dan panjang akar tanaman jagung dan kacang polong melalui dihasilkannya IAA.

Salah satu isolat yang digunakan pada penelitian ini telah terbukti mampu menghasilkan hormon pertumbuhan IAA. Yusepi (2011) menyatakan bahwa uji aktivitas aktinomiset endofit terhadap tanaman padi terbukti dapat menghasilkan Asam Indol Asetat (IAA). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktinomiset isolat indigenus PS4-16 menghasilkan IAA dengan konsentrasi 82 ppm serta mampu meningkatkan pertumbuhan dan tinggi pada tanaman padi.

Berdasarkan hasil pengukuran diameter batang dan bobot kering tanaman terlihat agens antagonis memberikan pengaruh nyata terhadap diameter batang dan bobot kering tanaman A. crassicarpa pada 7 MST. Perlakuan Streptomyces spp. menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan kontrol. Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang diinfeksi oleh bakteri patogen memiliki bobot kering dan tinggi tanaman lebih besar dibandingkan tanaman yang tidak diinfeksi oleh bakteri patogen. Hal ini kemungkinan terjadi akibat dihasilkannya senyawa hormon pertumbuhan oleh masing-masing mikrob antagonis yang memacu tanaman untuk tumbuh lebih besar sehingga bobot kering tanamanpun lebih besar. Selain itu kemungkinan terdapat mekanisme kompetisi dan antibiosis yang membuat Streptomyces

bekerja lebih keras pada tanaman yang diinfeksi oleh patogen. Romeiro et al. 1997 menyatakan kemampuan Streptomyces dalam menghambat patogen tanaman dikarenakan adanya mekanisme antibiosis dan peningkatan ketahanan sistemik tanaman melawan patogen tanaman. Djatmiko et al. (2007) juga melaporkan Streptomyces spp. (S4) mampu menekan R. solanacearum dengan cara antibiosis dan mekanisme penghambatan secara bakteriostatik. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini jelas menunjukkan bahwa isolat Streptomyces spp. isolat indigenus efektif dalam menghambat pertumbuhan mikrob patogen Xanthomonas campestris pv. acaciae.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Sebanyak delapan isolat Streptomyces

spp. memiliki aktivitas penghambatan yang beragam secara in vitro. Empat isolat (LBR02, LSW05, SR02, dan PS4-16) memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap

mikrob antagonis X. campestris pv. acaciae.

Berdasarkan hasil uji in planta, Streptomyces

yang diaplikasikan mampu menekan intensitas penyakit dan meningkatkan tinggi, diameter dan bobot kering tanaman. Isolat SR02 memiliki kemampuan terbaik dalam menghambat mikrob patogen baik secara in vitro maupun in planta.

Saran

Perlu telaah karakterisasi senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh Streptomyces isolat SR02 dan PS4-16 serta uji kemampuannya dalam mengahsilkan hormon pertumbuhan. Selain itu perlu dikaji cara pemberian inokulum seperti penyiraman dan penyemprotan untuk mengetahui metode yang lebih efektif dalam mengendalikan

Xanthomonas campestris pv. acaciae serta pemberian dosis bakterisida yang tepat di pembibitan Acacia crassicarpa.

Dokumen terkait