• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Pengikat Alami ( Natural Binder )

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal

2.2 Bahan Pengikat Alami ( Natural Binder )

Bahan pengikat alami (natural binder) aspal adalah suatu bahan yang dipakai untuk ditambahkan pada aspal. Terrel & Epps (1988), penggunan bahan pengikat alami (natural binder) atau aditif aspal merupakan bagian dari klasifikasi jenis aspal modifier yang yang berunsur dari jenis karet alam, karet sintetis /buatan juga dari karet yang sudah diolah (dari ban bekas), dan juga dari bahan plastic. Adapun pengujian yang pernah dilakukan adalah :

a. Badan Litbang Dep PU (2007), melakukan pengujian dengan menggunakan bahan pengikat alami (natural binder) dengan menggunakan karet alam (Lateks KKK.60) untuk meningkatkan mutu perkerasan jalan berasapal sebesar 3 % dari berat aspal minyak dengan hasil memperbaiki karakteristik aspal konvensional, meningkatkan mutu perkerasan beraspal yang ditunjukkan dengan peningkatan modulus resilien dan kecepatan deformasi, meningkatkan umur konstruksi perkerasan jalan yang ditunjukkan percepatan terjadinya retak dan alur .

b. PT. Tunas Mekar Adiperkasa (2005) dengan produknya aspal BituPlus®. Aspal BituPlus® memakai polimer elastomerik atau dari bahan jenis karet. Pengujian dilakukan dari penelitian penggunaan aspal tersebut pada jalan yang telah dibangun. Hasil penelitian adalah dengan pemakaian aspal BituPlus® menghasilkan aspal yang memiliki titik lembek tinggi, kelenturan yang lebih baik serta penetrasi yang optimal daripada menggunakan aspal biasa serta perkerasan jalan lebih tahan terhadap aging akibat pengaruh sinar ultraviolet sehingga memperbaiki kinerja beton aspal.

Lignin berasal dari kata “lignum” yang berarti kayu. Lignin merupakan salah satu komponen kayu baik kayu jarum (gymnospermae) maupun kayu daun (angiospermae) di samping polisakarida dan ekstraktif (sarkanen dan ludwig, 1971). Ketiganya merupakan komponenn polimer, bergabung satu sama lain membentuk suatu struktur tiga dimensi yang sangat kompleks.

Lignin adalah bahan polimer alam kedua terbanyak setelah selulosa, lignin berada pada dinding sel dan antar sel, membuat kayu keras dan mampu menahan stress

mekanik. Lignin berada dengan polisakarida kayu, seperti selulosa dan liemilulosa yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap molekul air (hidrofobik) dan berfungsi mengontrol penyerapan air oleh kayu. Lignin merupakan perekat alam, suatu polimer kompleks penyusun kayu (Fengel dan wagener, 1985).

Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi dan bergantung pada jenis kayu, kayu daun jarum (softwood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia kayu. Penelitian pada “Douglas-fir: menunjukkan bahwa kayu di bagian tengah batang memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi batang. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17% (Supri, 2000).

2.2.2 Gugus Fungsi Pada Lignin

Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil non fenolik, karbonil, eter, dan karbosilat (Dance, 1992). Analisis gugus fungsi lignin pada prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal tersebut disebabkan oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan struktur rumit, sifat polifungsi dan kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.3 Gugus Hidroksil Pada Lignin

Suatu monomer lignin mempunyai gugu hidroksil alifatik terminal pada C-γ pada rantai

kayu dan bambu mengandung hidroksil alifatik total lebih dari 1,1 mol/satuan C-9, sedangkan kandungan hidroksil fenolik total pada lignin kayu kurang dari 0,1 mol persatuan C-9. Gugus hidroksil fenolik sangat mempengaruhi stabilitas warna putih pulp dan berperan penting dlam proses pulping dan pemucatan pulp karena kemampuannya memecah ikatan eter yang dibantu oleh katalis basa dan degradasi oksidatif lignin. Reaktivitas kimiawi lignin dalam berbagai proses modifikasi sangat dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik (reaksi dengan formaldehid untuk produksi bahan perekat). Pengukuran kuantitatif gugus hidroksil fenolik memberikan informasi penting tentang struktur dan reaktivitas lignin (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.4 Spektroskopi Infra Merah Pada Lignin

Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat diperuntukkan secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang diperoleh dari senyawa model lignin. Pita-pita FTIR khas dengan peruntukan saling mungkin tercantum dalam tabel 2.2

Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR Lignin (menurut Hergert 1971).

Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal

3450-3400 Rentangan OH

2940-2820 Rentangan metil dan metilen 1715-1710 Rentangan C=O tak terkonjugasi 1675-1660 Rentangan C=O terkonjugasi 1605-1600 Vibrasi cincin aromatik 1515-1505 Vibrasi cincin aromatik 1470-1460 Deformasi C-H (asimetri) 1430-1425 Vibrasi cincin aromatik 1330-1325 Vibrasi cincin siringil 1270-1275 Vibrasi cincin quaiasil 1085-1030 Deformasi C-H2 C-O

Pita serpan infra merah lignin yang paling karakteristik terdapat pada sekitar 1510 cm-1 dan 1600 cm-1 (vibrasi cincin aromatik). Daerah bilangan gelombang yang di sebut pertama miskin dalam pita-pita tambahan dan karena itu dapat digunakan untuk mengkaji adanya lignin dalam sedian-sedian yang tak diketahui.

Hubungan yang berbeda antara intentitas pita-pita serapan pada 1510 cm-1dan 1600 cm-1 dapat digunakan untuk membedakan lignin kayu lunak dan kayu keras. Dalam senyawa model siringil tak terkonjugasi dan lignin kayu keras. Intentitas pita-pita serapan tersebut hampir sama, sedangkan dalam senyawa quaiasil tak terkonjugasi dan lignin kayu lunak intentitas pita-pita serapan 1510 cm-1 jauh lebih tinggi lagi. Serapan quaiasil dan siringil masing-masing terdapat pada sekitar 1270 cm-1 dan 1330 cm-1 (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.5 Isolasi Lignin

Disebabkan oleh sifat-sifat lignin yang dihasilkan dari struktur molekul dan terdapatnya di dalam dinding sel, maka isolasi dalam bentuk yang tidak berubah dan penentuannya secara pasti hingga sekarang belum dimungkinkan. Semua metoda isolasi mempunyai kerugian yaitu mengubah struktur alami lignin secara mendasar atau hanya melepaskan sebagian lignin yang relatif tidak berubah. Metoda isolasi lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:

• Metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa.

• Metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut.

Sebelum isolasi lignin, ektraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses isolasi. Dengan alasan yang sama, terutama jika asam mineral kuat digunakan dalam isolasi pelarut seperti alkohol atau aseton harus dihilangkan dengan sempurna dari kayu yang diekstraksi. Metoda isolasi kelompok pertama menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida, campuran asam-asam tersebut atau mineral lain. Dalam hal lignin asam sulfat konsentrasi asam yang digunakan untuk tahap hidrolisis pertama

adalah antara 68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan dengan tahap pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan asam dengan konsentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan mereaksikan kayu dengan asam klorida lewat jenuh dikatakan kurang terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat. Semua lignin yang diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama karena reaksi kondensasi (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.6 Penentuan Lignin

Penentuan kandungan lignin adalah penting untuk analisis kayu maupun untuk karakteristik pulp. Metoda-metoda penentuan lignin secara kuantitatif dapat dibagi sebagai berikut :

1. Metoda langsung , yaitu lignin ditentukan sebagai sisa.

2. Metoda tidak langsung, dimana kandungan lignin dihitung sesudah penetuan polisakarida, dihitung dengan metoda spektrofotometri, merupakan hasil reaksi lignin dengan kimia pengoksidasi.

Lazim pada semua metoda penentuan lignin adalah munculnya persoalan senyawa penggangu (senyawa ekstraktif hasil degradasi polisakarida).

Metoda langsung didasarkan pada prinsip isolasi dan penentuan secara gravimetri lignin yang tidak larut dalam asam. Metoda yang paling mantap adalah penentuan lignin menurut Klason. Hidrolisis dilakukan dengan perlakuan kayu yang sudah diekstraksi lebih dahulu atau pulp tak dikelantang dengan asam sulfat 72% dan langkah terakhir hidrolisis dengan asam sulfat 3% pada kondisi tertentu (Fengel dan wagener, 1985).

2.3 Perekat

Dokumen terkait