• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Aspal Modifier

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal

2.5 Karakterisasi Aspal Modifier

100 ) ( x M M M WA k k j − =

dahulu kekerasannya. Silika ini paling sering ditemukan di alam sebagai

2.5 Karakterisasi Aspal Modifier

Karakteristik dari aspal modifier yang diukur meliputi Analisa Sifat Ketahanan Terhadap Air dengan Uji Serapan Air (Water Absorption Test) mengacu pada ASTM C 20-00-2005, Analisa Sifat Mekanik dengan Uji Kuat Tekan (Compressive Strengh Test)

mengacu pada ASTM D 1559-76, analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM), analisa Sifat Thermal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter

(DSC), analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), analisa Kristalinitas dengan X-Ray Diffraction (XRD).

2.5.1 Analisa Sifat Ketahanan Terhadap Air dengan Uji Serapan Air (Water Absorption Test)

Untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal modifier, dihitung dengan menggunakan persamaan 2.1 sebagai berikut :

... (2.1)

Dengan : WA = Penyerapan air

Mk = Massa sampel kering

Mj = Massa jenuh air

A F

P =

Pemeriksaan uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan kekuatan tekan yang sebenarnya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Pada mesin uji kuat tekan benda diletakkan dan diberikan beban sampai benda runtuh, yaitu pada saat beban maksimum bekerja seperti gambar dibawah ini :

Gambar 2.4 Kuat Tekan

Pengukuran kuat tekan (compressive strength) aspal modifier dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

... (2.2)

Dengan : P = Kuat tekan, N/m2

F = gaya maksimum dari mesin tekan, N

A = Luas penampang yang diberi tekanan, m2

(Butarbutar, 2009).

2.5.3 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS)

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron.

Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan

tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket.

Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rusdi Rafli, 2008).

2.5.4 Analisa Sifat Termal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC)

Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan teknik analisa termal yang dapat digunakan untuk mempelajari temperatur transisi, kalor transisi, entalpi reaksi, kalor spesifik dari material padat. Analisa termal dapat diartikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik maupun kimia suatu material sebagai fungsi dari temperatur. Pada awal data diplot kemudian dianalisa untuk menentukan nilai Tg, Tm, Entalpi reaksi baik eksoterm maupun endotermik dan lain-lain (Haines, P.J., 1995).

Peralatan DSC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengukur perbedaan energi yang diberikan pada substansi dan material referensi sebagai fungsi dari temperatur atau waktu. Dalam bidang polimer peralatan ini banyak digunakan untuk menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperatur leleh (Tm). Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana terjadi perubahan sifat-sifat fisik polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat elastik (lunak). Temperatur transisi gelas sendiri bersfat spesifik untuk setiap material padat yang dianalisa.

Untuk material yang kristalin atau semikristralin, puncak-puncak tersebut akan tampak tajam (jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak-puncak tersebut tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali (Bandrup, 1985).

Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (Tg) sangat penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer. Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak Tg

(eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. Tg campuran biasanya berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.

Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Basuki wirjosentono, 1995).

2.5.5 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000-400 cm-1

Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus karbonil dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum infra merah adalah adanya ikatan C/H/regangan pada daerah 2880 cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan regangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral (Hummel, 1985).

Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya ( Hummel, 1985 ).

Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran (Antonius Sitorus, 2009).

2.5.6 Analisa Kristanilitas dengan X-Ray Diffraction (XRD)

Difraksi sinar-X merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan untuk memperlajari keteraturan susunan atom atau molekul dalam ruang atau kritalinitas. Suatu material dikatakan mempunyai struktur kristalin jika rantai-rantainya tersusun secara

teratur antara satu dengan yang lain dan membentuk struktur tiga dimensi yang merupakan kumpulan sel satuan yang disebut kisi kristal. Materail amorf adalah material dengan susunan rantai acak. Disamping itu terdapat material yang strukturnya merupakan gabungan dari fasa amorf dan fasa kristalin (Tae Oan Ahn, 1994)

Derajat kritaslinitas didefinisikan sebagai persentase fasa kristalin dalam suatu material (polimer) dan dapat dinyatakan dengan persamaan 2.3 dibawah ini :

DK=

A

kristalinitas

A

kristalinitas

+A

amorf ×100% ... (2.3)

Keterangan

DK = derajat kristalinitas

Akritalinitas = luas daerah kristalin

Aamorf = luas daerah amorf

Polimer dengan fasa kristalin menghasilkan pola difraksi sinar-X (difraktogram) dengan puncak-puncak difraksi yang tajam. Sedangkan polimer yang susunan atom atau molekulnya tidak teratur, yaitu fasa amorf, menghasilkan pola difraksi sinar-X dengan puncak-puncak yang melebar bahkan tanpa puncak. Pada umumnya struktur polimer merupakan gabungan dari dua fasa atau disebut sistem semikristalin (Slade, P.E., 1990).

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait