• Tidak ada hasil yang ditemukan

b. Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis maupun dosisnya misalnya, penggunaan pewarna tekstil pada makanan jajanan (street food)

c. Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan dari awal produksi sampai pada tingkat pengolahan akibat kurang sanitasi.

d. Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba menjadi aktif kembali pada saat penyimpanan dan pengolahan.

B. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Pemberian makanan tambahan (PMT)/Feeding program adalah program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas kelompok tertentu misalnya ibu hamil dan balita dengan cara menambahkan suplemen pangan terhadap bahan pangan pada kelompok tersebut.

Kegiatan pemberian makanan tambahan ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan makanan atau minuman yang telah ditambahkan (difortifikasi) zat gizi tertentu sesuai dengan kebutuhan kelompok target. Zat gizi yang biasa ditambahkan dalam bahan pangan untuk kelompok ibu hamil adalah zat besi (Fe), asam folat (folic acid), vitamin A, vitamin C, zinc (Zn) dan Iodium (iodine) (Anonim, 2005).

C. Bihun Sebagai Produk Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Menurut SNI 01-2975-1992, bihun adalah produk pangan kering yang dibuat dengan beras dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan berbentuk khas bihun. Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Hasbullah (2001), menyatakan bahwa bihun dibuat dari beras melalui proses ekstrusi sehingga memperoleh bentuk seperti benang. Proses pembuatan bihun dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2.1. Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan a. bau b. rasa c. warna Normal Normal Normal

2 Benda asing Tidak boleh ada

3 Daya tahan Tidak hancur jika

direndam dengan air panas suhu kamar selama 10 menit

4 Air % b/b Maks 13

5 Abu % b/b Maks 1

6 Protein (N x 6,25) % b/b Min 4

7 Pemutih dan pematang Sesuai

SNI 01-0222-1995 8 Cemaran logam a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Seng (Zn) d. Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.005 9 Arsen (As) - -

10 Cemaran mikroba Koloni/gram Maks 1.0 x 106

10.1 Angka lempeng total APM/gram Maks 10

10.2 E.coli Koloni/gram Maks 1.0 x 104

10.3 Kapang - -

D. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil

Kebutuhan nutrisi kelompok khusus ibu hamil cenderung meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi wanita tidak hamil pada usia yang sama antara 20-50 tahun. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk wanita berumur 25-50 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari untuk wanita berumur 25-50 tahun.

Gizi yang dibutuhkan Tidak hamil Hamil

Protein (g) 44 60

Vitamin larut lemak

Vitamin A (μg) 800 800

Vitamin D (μg) 5 10

Vitamin E (μg) 8 10

Vitamin K (μg) 65 65

Vitamin larut air

Thiamin (mg) 1,1 1,5 Ribovlavin (mg) 1,3 1,6 Niasin 15 17 Vitamin B12 (μg) 2 2,2 Asam folat (μg) 180 400 Piridoksin (mg) 1,6 2,2 Vitamin C (mg) 60 70 Mineral Kalsium (mg) 800 1200 Fospor (mg) 800 1200 Besi (mg) 15 30 Seng (mg) 12 15 Iodium (µg) 150 175 Selenium (μg) 55 65 Magnesium (mg) 280 320 US FDA :1989

Berdasarkan Tabel 2.2. RDA (Recomended Dietary Allowances) untuk kebutuhan asam folat ibu hamil perhari meningkat hingga 400 µg dimana pada keadaan normal kebutuhan asam folat hanya 180 μg/hari. Peningkatan kebutuhan nutrisi juga terjadi pada zat besi, kalsium dan fospor. Ibu hamil membutuhkan 30 mg Fe/hari sedangkan dalam keadaan normalnya wanita hanya membutuhkan 15 mg/hari. Kalsium dan fospor diperlukan tambahan 400 mg dari jumlah normalnya. Zat gizi lain yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak adalah vitamin D. Dalam kondisi normal, hanya diperlukan 5 μg vitamin D perhari, namun pada saat hamil memerlukan 10 μg vitamin D perhari. Begitu juga dengan zat gizi yang lain, walaupun peningkatannya tidak terlalu banyak, tetapi zat-zat gizi tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin serta kesehatan ibu

hamil. Zat gizi yang tidak tercukupi selama kehamilan dapat berakibat fatal bagi ibu dan janin (US FDA, 1989). Sumber lain menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ibu hamil berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) 2500 Kkal adalah 2800 Kkal atau perlu penambahan 300 Kkal setiap harinya (Haryanto, 1999).

E. Fortifikasi Zat Gizi

Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi kedalam bahan pangan, baik itu zat gizi yang secara alami terdapat dalam bahan pangan tersebut atau tidak dengan tujuan untuk mencegah atau mengoreksi kekurangan satu atau lebih zat gizi yang terjadi dalam suatu populasi atau kelompok populasi tertentu. Menurut Claudio dan Lagua (1991), fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi seperti vitamin, mineral, asam amino, atau konsentrat protein kedalam makanan sehingga seperti keadaan aslinya. Contoh: penambahan vitamin A pada margarin, vitamin D pada susu, lisin pada roti dan iod pada garam.

Fortifikasi umumnya bertujuan untuk restorasi atau mengembalikan jumlah zat gizi tertentu dalam bahan pangan, meningkatkan intake zat gizi tertentu untuk mengatasi defisiensi zat gizi tertentu dalam populasi target. Beberapa zat gizi yang dapat digunakan sebagai fortifikan diantaranya adalah:

1. Vitamin A

a. Sifat Kimia dan Keberadaannya dalam Bahan Pangan

Retinol (alkohol) dan retinal (aldehida) sering disebut sebagai komponen pembentuk vitamin A. Retinal dapat diubah oleh tubuh menjadi asam retinoat (retinoic acid). Retinol, retinal, asam retinoat, dan komponen lain yang berhubungan dikenal sebagai retinoid. Beta karoten dan karotenoid lain dapat diubah oleh tubuh menjadi retinol atau dikenal dengan provitamin A (Gambar 2.1). Tidak semua karoten yang terserap oleh tubuh dapat diubah menjadi vitamin A. Hanya sekitar 1/6 dari kandungan karoten yang akan dimanfaatkan oleh tubuh (Winarno, 1992)

Winarno (1992), menyatakan bahwa retinol bebas umumnya ditemukan pada bahan pangan. Bentuk penyimpanan retinol banyak ditemukan pada bahan pangan hewani seperti susu, keju, kuning telur, hati dan berbagai ikan yang mengandung banyak lemak merupakan sumber utama bagi retinol. Tumbuhan mengandung karotenoid, beberapa dari karotenoid itu adalah prekursor vitamin A (α-karoten dan β-karoten). Sayuran yang berwarna hijau dan kuning mengandung kerotenoid dalam jumlah yang sangat banyak. Sayuran hijau juga mengandung banyak karotenoid, walaupun pigmennya tertutupi oleh pigmen zat hijau daun (klorofil).

b. Kebutuhan, Fungsi dan Defisiensi Vitamin A

Rekomendasi RDA (Recommended Dietary Allowance) yang terbaru untuk kecukupan vitamin A adalah berdasarkan jumlah yang diperlukan oleh tubuh untuk dapat mendukung fungsi reproduksi secara normal, fungsi imun, ekspresi gen dan penglihatan. Tabel kecukupan vitamin A berdasarkan RDA dapat dilihat pada Tabel 2.3. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan xeroftalmia, noda bitot dan xerosis.

Tabel 2.3. Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk vitamin A

Kelompok Umur Pria : (IU/hari)μg/hari Wanita : (IU/hari)μg/hari

Bayi 0-6 bulan 400 (1333 IU) 400 (1333 IU)

Bayi 7-12 bulan 500 (1667 IU) 500 (1667 IU)

Anak-anak 1-3 tahun 300 (1000 IU) 300 (1000 IU)

Anak-anak 4-8 tahun 400 (1333 IU) 400 (1333 IU)

Anak-anak 9-13 tahun 600 (2000 IU) 600 (2000 IU)

Remaja 14-18 tahun 900 (3000 IU) 700 (2333 IU)

Dewasa 19 tahun dan lebih 900 (3000 IU) 700 (2333 IU)

Hamil 18 tahun dan kurang - 750 (2500 IU)

Hamil 19- tahun dan lebih - 770 (2567 IU)

Menyusui 18 tahun dan kurang - 1,200 (4000 IU)

Menyusui 19- tahun dan lebih - 1,300 (4333 IU)

Sumber : The Linus Pauling Institute, 2005

c. Keamanan Vitamin A Selama Proses Kehamilan

Kondisi yang disebabkan oleh keracunan vitamin A disebut hiperavitaminosis A. Hal ini disebabkan oleh kelebihan konsumsi vitamin A, bukan karotenoid. Vitamin A diserap dengan cepat oleh tubuh dan dikeluarkan

dari tubuh dengan waktu yang lambat, sehingga keracunan dapat terjadi. Keracunan secara akut dapat terjadi dengan cara mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak pada waktu yang singkat atau secara kronis jika konsumsinya dalam jumlah yang sedikit dalam waktu yang lama.

Menurut Almatsier (2003), Keracunan vitamin A hanya bisa terjadi jika mengkonsumsi vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan. Gejala keracunan vitamin A adalah mual, sakit kepala, lelah, rambut rontok, pening dan kulit kering. Tanda-tanda keracunan secara kronis adalah kulit yang kering dan gatal, kehilangan nafsu makan, sakit kepala serta sakit pada tulang dan persendian. Hipervitaminosis A yang berat dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati, pendarahan (hemorrhage) dan koma. Umumnya, keracunan vitamin A berhubungan dengan kosumsi vitamin A dalam waktu yang lama dan jumlah 10 kali dari jumlah yang direkomendasikan RDA (8.000-10.000 μg/hari atau 25.000-33.000 IU/hari). The Linus Pauling Institute menujukkan batas toleransi vitamin A yang boleh dikonsumsi pada beberapa kelompok usia dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Batas toleransi konsumsi vitamin A (retinol)

Kelompok usia Batas dalam μg/hari (IU/hari)

Bayi 0-12 bulan 600 (2.000 IU)

Anak-anak 1-3 tahun 600 (2.000 IU)

Anak-anak 4-8 tahun 900 (3.000 IU)

Anak-anak 9-13 tahun 1.700 (5.667 IU)

Remaja 14-18 tahun 2.800 (9.333 IU)

Dewasa 19 tahun dan lebih 3.000 (10.000 IU) Sumber : The Linus Pauling Institute, 2005

Walaupun perkembangan janin membutuhkan asupan vitamin A yang cukup, konsumsi yang berlebihan juga dapat menimbulkan cacat lahir (birth defect). Telah diteliti bahwa tidak ada peningkatan resiko untuk mengalami cacat lahir apabila konsumsi vitamin A masih dibawah 3.000 μg/hari (10.000 IU/hari). Etretinate dan isotretinoin (accutane), turunan sintetis dari retinol adalah yang dikenal meningkatkan resiko cacat lahir dan tidak boleh dikonsumsi selama masa kehamilan atau masa kemungkinan hamil. Tretinoin (Retin-A), turunan retinol yang lain, sebagai ramuan tropis yang digunakan untuk kulit.

2. Asam Folat

a. Sifat Kimia dan Keberadaannya dalam Bahan Pangan

Asam folat atau PteGlu adalah asam 2-amino-4-hidroksi-6- methileneminobenzoil-L-glutamat pteridin (Gambar 2.2). Asam folat berwarna kuning dengan bobot molekul 441,4 dan mudah larut dalam air pada bentuk asamnya namun sulit larut dalam alkohol (Ottaway, 1993).

Gambar 2.2. Struktur kimia asam folat

Folat banyak terdapat pada produk pangan yang mengalami proses fermentasi. Salah satu contoh produk pangan yang mengandung banyak asam folat adalah roti tawar. Sebagian besar asam folat pada roti tawar berasal dari khamir. Kandungan asam folat pada roti tawar dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Kandungan asam folat pada beberapa bahan roti …

Produk B1 (ppm) B2 (ppm) Niasin (ppm) As. Folat (ppm)

Wheat, whole kernel 4.8 1.4 51 0.49

Wheat flour, type 455 0.6 0.3 7 0.1

Wheat flour, type 550 1.1 0.8 5 0.2

Wheat germ 20.1 7.2 45 5.2

Wheat gluten 6.5 5.1 177 4

Yeast

a. Breaker’s yeast, pressed 14.3 23.1 174 0.102

b. Brewer’s yeast, dried 120 38 448 0.32

Sumber : Belitz dan Grosch (1999)

b. Kebutuhan, Fungsi dan Defisiensi

Brody (1991) menyatakan bahwa kebutuhan asam folat bervariasi menurut beberapa kondisi, seperti kehamilan, masa menyusui dan masa bayi dan balita. Kebutuhan folat selama masa kehamilan adalah 350 μg/perhari, peningkatan kebutuhan asam folat selama kehamilan disebabkan oleh pertumbuhan fetus.

Secara biologis folat berfungsi sebagai kofaktor dan juga sebagai akseptor serta donor bagi satu unit karbon dalam berbagai reaksi metabolisme asam amino dan nukleotida (Muchtadi et al., 1993). Folat diperlukan untuk produksi dan pemeliharaan sel baru. Hal ini menjadi penting tertutama pada periode pembelahan sel yang cepat dan masa pertumbuhan seperti masa kehamilan dan masa anak-anak. Folat diperlukan dalam pembentukan DNA dan RNA yaitu sebagai pentransfer 1-karbon dalam pembentukan asam deoksitimidilat dan asam deoksiuridilat. Kedua asam tersebut merupakan pra-zat dalam pembentukan timin dan urasil (Thenawidjaja, 1982).

Kekurangan asam folat terutama menyebabkan gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi perubahan dalam morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah seperti sel darah merah, sel darah putih serta sel-sel epitel lambung dan usus, vagina dan serviks rahim. Keracunan asam folat jarang sekali terjadi, dosis 5-10 mg masih dianggap aman. Dianjurkan untuk menghindari konsumsi folat melebihi 2,5 kali AKG ibu hamil (Almatsier, 2003).

Ahli obstreti ginekologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta menyatakan bahwa setidaknya 3 dari 300 wanita hamil perminggu yang merujuk ke RSCM memiliki janin dengan kelainan bubung syaraf/neural tube defect (NDT). Peran asam folat menjadi sangat penting bagi pasangan subur yang ingin mempunyai keturunan. Mengingat terjadinya NTD adalah pada minggu- minggu awal kehamilan, maka konsumsi asam folat tidak hanya penting bagi yang sudah mengandung tetapi juga bagi yang berencana mengandung. Sebaiknya konsumsi asam folat yang cukup telah dilaksakan 3 bulan sebelum kehamilan (QMA, 2003).

Kelainan bubung syaraf yang paling umum adalah spina bifida (penutupan tulang belakang yang tidak sempurna), anenchephaly (pertumbuhan otak yang terhambat) dan encephalocele (jaringan otak menonjol ke kulit melalui bukaan yang tidak normal pada tengkorak. Kelainan ini umumnya mulai terjadi pada 28 hari pertama kehamilan (Milunsky et al., 1989)

Asam folat mencegah 70 % kelainan bubung syaraf pada manusia, meskipun mekanisme pencegahannya belum jelas (Northop-Clewes dan Turnham, 2002). Uji penekanan deoksiuridin secara in vitro menunjukan gangguan metabolisme

folat pada pembentukan homozigot (Pax3) embrio tikus yang menderita kelainan bubung syaraf. Penggabungan [3H]timidin secara berlebihan pada percikan embrio mengindikasikan defisiensi metabolik penyediaan folat untuk biosintetis pirimidin. Pemberian asam folat dan timidin secara bersamaan dari luar dapat mengoreksi kesalahan biosintesis tersebut dan mencegah kelainan bubung syaraf pada percikan homozigot. Data-data tersebut mendukung normalisasi proses pembentukan jaringan syaraf dengan pemberian asam folat pada manusia (Fleming, 1998).

c. Keamanan pangan pada proses kehamilan.

Resiko keracunan asam folat sangat rendah. Tetapi beberapa kemungkinan dapat terjadi jika asam folat dikonsumsi secara berlebihan (Hathcock,1997) yaitu, Reaksi alergi, meskipun sangat jarang terjadi alergi folat mungkin terjadi seperti munculnya rasa gatal pada konsumsi 800 μg. Keracunan asam folat, hal ini mungkin terjadi meskipun beberapa studi mengindikasikan hasil yang beragam, tetapi studi yang dapat dipercaya menunjukan bahwa konsumsi folat berlebih tidak mempengaruhi tidur, tingkah laku, kecemasan, kemampuan, untuk berkonsentrasi, atau fungsi pencernaan. Studi lain tidak menunjukan adanya efek penyakit pada konsumsi 15000 μg perhari pertahun.

3. Vitamin C

a. Sifat Kimia dan Keberadaannya dalam Bahan Pangan

Dalam bahan pangan, vitamin C terdapat dalam bentuk asam L- askorbat (L-ascorbic acid/AA) dan asam L-dehidroaskorbat (dehydro L-ascorbic acid/DHAA). Keduanya memiliki aktivitas vitamin C (Winarno, 1997). Selain itu terdapat pula asam isoaskorbat (isoascorbic acid) yang hanya memiliki 5 % aktivitas vitamin C. Total vitamin C dalam bahan pangan merupakan jumlah AA dan DHAA (Russel, 2000).

Winarno (1992), menyebutkan bahwa buah dan sayuran merupakan sumber utama, terutama buah-buahan segar (lebih dari 90 %) vitamin C dari total yang dikonsumsi manusia. Buah-buahan yang memiliki rasa asam seperti jeruk, nanas, dan jambu juga mengandung vitamin C lebih banyak dibanding buah yang tidak asam seperti pisang, apel, pear atau peach, buah sitrus, anggur

dan berries-yang lain. Beberapa rempah tropis dan sayuran daun juga mengandung vitamin C yang tinggi bahkan setelah sayuran tersebut dimasak seperti : lada hijau, cabe, kentang, bayam, kol, brokoli dan tomat.

Russel (2000) mengemukakan bahwa vitamin C sering digunakan sebagai indikator kerusakan atau kestabilan vitamin pada bahan pangan. Hal ini karena vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil. AA larut baik dalam air, asetonitril, asam asetat, etanol, dan metanol. Dalam larutan, AA dan DHAA dapat teroksidasi karena pengaruh suhu, oksigen, ion metal, kisaran pH basa, cahaya, dan degradasi enzim (AA oksidase). Oksidasi AA menjadi DHAA merupakan reaksi dapat balik (reversible), sedangkan oksidasi DHAA merupakan reaksi irreversible dan menghasilkan produk yang tidak aktif yaitu asam diketogulonat (2,3-diketogulonic acid).

Aplikasi vitamin C pada bahan pangan dimulai pada bir ketika tahun 1950-an, pada tahun 1954-an vitamin C digunakan sebagai pengawet daging, sampai akhir tahun 1950-an vitamin C banyak digunakan pada tepung sebagai improver baking qualities serta pada soft drinks. Secara kimiawi, vitamin C memiliki sifat pereduksi yang berguna sebagai senyawa antioksidan dan stabilisator pada flour improving dan sebagai meat curing agent. Vitamin C terbukti dapat diterima dan aman.

Awal ditemukannya vitamin C bermula dari merebaknya penyakit “skorbut” yang pada masa itu bisa diobati dengan air jeruk lemon. Selanjutnya, zat yang terdapat pada lemon itu disebut sebagai zat anti “skorbut” yang kemudian dikenal dengan vitamin C. Studi tentang struktur vitamin C ini dimulai tahun 1918 di Institut Leister. Hingga kini, diketahui bahwa hanya lima spesies hewan yang ternyata memerlukan vitamin C. Selain manusia, hewan yang memerlukan vitamin C tersebut adalah kera, marmot (Guinea pig), kelelawar (Indian fruit bat), dan burung red-vented bulbuls (Winarno, 1992).

b. Kebutuhan, Fungsi dan Defisiensi

Recomended daily or dietary allowance (RDA) menetapkan jumlah konsumsi vitamin C perhari adalah 60-75 mg (US FDA, 1989). Dalam tubuh, vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen intraseluler. Kolagen merupakan senyawa protein yang banyak terdapat pada tulang rawan, kulit

dalam, tulang, dentin, dan vascular endothelium. Ascorbic acid (AA) sangat penting peranannya dalam proses hidroksilasi asam amino prolin dan lisin menjadi hidroksi-prolin dan hidroksi-lisin. Diperkirakan vitamin C juga berperan dalam pembentukan hormon steroid dan kolestrol (Winarno, 1992). Vitamin C juga ikut menjaga kesehatan pembuluh darah, gigi serta membantu menyembuhkan luka dan jaringan yang rusak. Berkontribusi pada produksi haemoglobin dan sel darah merah pada tulang belakang serta mencegah penggumpalan darah. Selain itu vitamin C juga membantu menyembuhkan infeksi saluran urin dan anemia gizi besi (Almatsier, 2003). Gejala awal kekurangan vitamin C adalah lelah, kehilangan nafsu makan, penurunan ketahan tubuh terhadap infeksi dan pendarahan kapiler minor. Kekurangan vitamin C dalam waktu yang lama dapat menyebabkan struktur kolagen melemah, dan dapat menyebabkan pendarahan lebih lanjut (Northop-Clewes dan Turnham, 2002). Kajian toksikologi menunjukkan keamanan konsumsi vitamin C sampai 4 gram per hari (Klaui, 1974).

4. Zat Besi (Fe)

a. Sifat Kimia dan Keberadaannya dalam Bahan Pangan

Kandungan zat besi dalam bahan pangan sangat bervariasi dan tergantung dari jenis makanan tersebut. Beberapa macam bahan pangan yang banyak mengandung zat besi dapat dilihat pada Tabel 2.6. Menurut Muhilal et al. (1993), bahwa jumlah zat besi yang dapat diserap sangat dipengaruhi oleh banyaknya komponen dalam bahan makanan yang dapat menghambat atau meningkatkan penyerapan zat besi, sehingga penyerapan zat besi dari makanan yang dikomsumsi bervariasai 5-10%. Orang yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewan, tingkat penyerapan zat besinya dapat berkisar antara 10-20%.

Salah satu cara peningkatan konsumsi zat-zat gizi adalah dengan peningkat konsumsi zat gizi yang dapat dicapai dengan peningkatan mutu gizi pangan itu sendiri atau sering disebut sebagai fortifikasi. Menurut Hurrel dan Cook (1990), senyawa besi yang digunakan untuk fortifikasi dapat digolongkan menjadi empat kelompok yaitu: (1) senyawa yang larut air (fero sulfat, fero glukonat, fero

ammonium sitrat, feri ammonium sulfat). (2) senyawa yang sedikit larut air (fero suksinat, fero fumarat, feri sakarat). (3) senyawa yang tidak larut air dan sedikit larut dalam asam (feri ortofosfat, fero pirofosfat, besi elemental) dan (4) senyawa untuk percobaan (Na Fe-EDTA, bofina hemoglobin).

Ada dua macam komponen zat besi dalam bahan pangan yang berpengaruh terhadap mekanisme absorpsi, yaitu zat besi heme (zat besi yang berikatan dengan protein) dan zat besi non heme (senyawa besi non anorganik (III) yang komplek). Zat besi heme umumnya terdapat dalam bahan pangan hewani, sedangkan zat besi non heme biasanya berasal dari bahan pangan nabati, terutama serealia, buah-buahan dan sayuran. Zat besi heme dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk komplek besi forfirin. Jumlah zat besi heme yang dapat diabsorpsi lebih tinggi daripada zat besi non heme. Zat besi heme yang dapat diabsorpsi sebanyak 15-30%, sedangkan non heme hanya 2-20% (Monsen, 1988)

Tabel 2.6. Kandungan Zat Besi dalam beberapa Bahan Pangan.

Bahan Pangan Kandungan Zat Besi (mg/l00g) Hati 6.0-14.0 Daging 2.0-4.3 Ikan 0.5-1.0 Telur ayam 2.0-3.0 Kacang-kacangan 1.9-14.0 Tepung terigu 1.5-7.0 Sayuran hijau 0.4-18.0 Umbi-umbian 0.3-2.0 Buah-buahan 0.2-4.0 Beras 0.5-8.0

Sumber : Husaeni & Karyadi, 1989

b. Kebutuhan, Fungsi dan Defisiensi

Besi merupakan mineral mikro yang sebagian terletak dalam sel-sel darah merah sebagai heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Jumlah besi yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg per hari dan yang diserap hanya 10 %. FAO/WHO menganjurkan bahwa jumlah zat besi yang harus dikonsumsi, sebaiknya berdasarkan jumlah kehilangan besi dalam tubuh dan jumlah bahan makanan yang terdapat dalam menu kita. Konsumsi zat besi yang dianjurkan

adalah 10 mg untuk orang dewasa per hari, atau 18 mg untuk wanita dengan usia 11-50 tahun (Winarno, 1992).

c. Keamanan pangan pada proses kehamilan

Youb (2006), menyatakan bahwa keracunan zat besi pada ibu hamil sangat jarang terjadi. Pada masa kehamilan ibu hamil membutuh kan zat besi dalam jumlah yang cukup banyak, pada bulan ke-8 memerlukan 15 mg/hari. Karacunan sering terjadi pada anak-anak. Keracunan yang parah dapat mengakibatkan kematian. Menurut Majid (2006), Zat besi sebenarnya bersifat keras, dapat melukai lapisan perut dan usus halus sehingga dapat menyebabkan pendarahan.

Jika dikonsumsi berlebihan semua zat besi akan diserap ke dalam saluran darah. Keberadaan zat besi yang berlebihan di dalam darah dapat merusak organ- organ tubuh termasuk jantung, hati dan otak. Youb (2006) menjelaskan keracunan zat besi dalam beberapa tahap. Tahap pertama, korban keracunan akan mengalami rasa mual, muntah-muntah, diare (biasanya disertai dengan darah), dan sakit perut. Gejala ini terjadi selama 30 menit sampai 6 jam pertama setelah konsumsi. Tahap kedua, tanda-tanda korban mulai pulih dan tampak stabil. Hal ini terjadi 3 atau 4 jam setelah zat besi dikomsumsi. Keadaan ini berlangsung sementara dan mungkin akan berlanjut untuk sekitar 48 jam sebelum keadaan korban menjadi lebih parah. Tahap ketiga, akan berlanjut pada pendarahan usus. Korban keracunan akan tampak sangat lesu dan selanjutnya korban mungkin tidak sadarkan diri atau berada dalam keadaan terkejut (shock). Kulit dan mata korban berubah menjadi kekuningan. Hal ini terjadi antara 12 hingga 48 jam setelah zat besi ditelan. Tahap keempat, terjadi kerusakan pada hati (setelah 48 jam zat besi dikonsumsi). Jika ini tidak terjadi, kemungkinan besar korban akan pulih kembali.

5. Iodium (I)

a. Sifat Kimia dan Keberadaannya dalam Bahan Pangan

Iodium merupakan bahan mineral dan termasuk unsur gizi esensial yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit.lodium adalah monovalen dan hanya diketahui terdapat pada mamalia sebagai komponen hormon-hormon dari kelenjar tiroid. Hormon-hormon ini penting selama perkembangan embriologis, untuk pengaturan metabolisme dan produksi panas sepanjang hidup (Brody, 1994).

Senyawa iodium yang dikenal dalam industri antara lain garam KI (Kalium lodida) dan KIO3 (Kalium lodat) yang digunakan untuk fortifikasi garam dapur.

Iodium sangat dipengaruhi oleh medianya. Iodium sangat sensitif terhadap media yangbersifat asam dan panas. Dalam media yang bersifat asam, iodium akan mudah teroksidasi sehingga KIO3 akan terurai dan membebaskan I2 yang berupa gas ke

udara. Pada media yang panas (suhu udara >20°C) iodium akan mudah terhidrolisis. Jadi, apabila beberapa bahan pangan sumber iodium diperlakukan

Dokumen terkait