Tim penelitian bahasa dan NKRI pada tahun 2016 menghasilkan tujuh dokumen yang berisikan mengenai potensi budaya (local wisdom) yang memiliki kontribusi pada NKI sebagai berikut. Empat buku di antaranya berisi mengenai cerita-cerita rakyat yang diperoleh dari daerah Skouw Kabupaten Jayapura, Provinsi Papuua. Dua buku lainnya adalah seri pengalaman penduduk di perbatasan Kalimantan dan Malaysia yang memiliki kearifan lokal untuk mendukung identitas ke-Indonesia-an. Sedangkan satu buku mengenai kumpulan peribahasa-peribahasa di dareah Aceh. Ketujuh karya tersebut dapat dilihat judulnya lebih lengkap berikut ini:
1. Imelda (ed.). Gagak, disadur Oleh Elly Membilong (dalam proses penerbitan-output local wisdom NKRI-Papua)
41 2. Imelda (ed.), Menokok Sagu, disadur Oleh Elly Membilong (dalam proses
penerbitan-output local wisdom NKRI-Papua)
3. Imelda (ed.),Burung Kuning,disadur Oleh Elly Membilong (dalam proses penerbitan-output local wisdom NKRI-Papua)
4. Imelda (ed.), Kerja Kebun, disadur Oleh Elly Membilong (dalam proses penerbitan-output local wisdom NKRI-Papua)
5. M. Alie Humaedi, Selembayung Merah Putih (dalam proses penerbitan-output local wisdom NKRI-Kalbar)
6. M. Alie Humaedi, Selembayung Merah Putih 2 (dalam proses penerbitan-output local wisdom NKRI-Kalbar)
7. Tim NKRI-Aceh, Buku Kumpulan Peribahasa: Hadih Madja dan Perimustike dalam Beberapa Aspek Kehidupan.
42 EKSPEDISI WIDYANUSANTARA
Sebagai salah satu kawasan pulau terdepan, Sumba, memiliki sejumlah potensi dan sekaligus kerentanan. Pulau ini secara geo-politik memiliki posisi strategis sebagai salah satu kawasan pulau terdepan (di luar Rote). Jika dalam kawasan seperti ini negara tidak hadir secara sistematis, maka isolasi struktural seperti ini akan memiliki kerentanan dalam membangun rasa nasionalisme yang dibutuhkan. Dari aspek kultural kekayaan tradisi yang dimiliki besar kemungkinan akan mudah mengalami sikap dilematis.
Antara kebutuhan untuk mempertahankan nilai-nilai lama, khususnya kearifan lokal (local wisdom) yang memiliki fungsi sebagai: energi perubahan, penyimpan nilai-nilai luhur, penjaga kemapanan sosial, perekat kohesi sosial, penegas identitas, pelestari lingkungan, perawat kehidupan yang toleran dan pencegah konflik sosial, dengan kuatnya gelombang modernitas yang cenderung mendestabilisasi nilai-nilai lama. Disfungsi nilai-nilai lama (adat) tidak jarang ikut mempersulit bagaimana proses perubahan itu hasrus disikapi. Basis sub-kultural (ikatan primordial: agama dan etnis) yang memiliki potensi konflik (adat) latent, misalnya, atau sebaliknya sebagai ikatan sub-kultural yang melahirkan kohesi sosial, membutuhkan konservasi yang produktif fan berkelanjutan.
Sementara keterbatasan akses: kekuasaan, ekonomi, sosial, politik dan infrastruktur, membuat wilayah ini mudah terpinggirkan secara struktural. Proses seperti ini cenderung membawa marginalisasi dan kerentanan yang semi-permanen bagi kelompok miskin yang tersumbat mobilitas vertikalnya. Hambatan mobilitas vertikal yang diperparah oleh kendala struktural seperti ini sangat membutuhkan affirmative action. Baik dalam upaya untuk mempercepat proses transformasi sosial-ekonomi yang dibutuhkan, maupun untuk menciptakan ketahanan ekonomi keluarga.
Dalam era otonomi daerah ketergantungan terhadap pusat yang tinggi, serta minimnya potensi daerah yang bisa dikembangkan (kecilnya Pendapatan Asli Daerah), diduga ikut membuat Pemda mengalami keterbatasan pilihan untuk memajukan daerahnya. Jalan pintas yang umumnya ditempuh adalah mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan dengan menggundang rezim investor (asing). Jika hal ini yang ditempuh, besar kemungkinan proses polarisasi masyarakat lokal tidak dapat dihindari. Kemajuan menjadi hanya dipetik oleh segelintir orang dan mengabaikan asas kemakmuran bersama.
43 Policy paper ini beberapa rekomendasi yang diusulkan sebagai hasil kegiatan Ekspedisi Widya Nusantara- LIPI :
a. Dalam bidang peternakan perlu dilakukan pilot project dengan model pengembangan intensifikasi ternak dengan sistem SPS (Sentra Peternakan Sapi) ditingkat kecamatan.
Dengan asumsi bahwa dalam setiap cluster berisikan 100 ekor sapi (milik peternak lokal) dengan sistem setengah kandang dengan model plasma-inti, diperkirakan keadilan distributive itu akan dapat diperbaharui. Setiap claster di lengkapi tehnologi tepat guna (kincir angin) dan generator listrik dengan panas matahari (surya cell), untuk menaikkan air sekaligus mengadaan listrik. Dengan intensifikasi seperti ini kualitas ternak akan terkontrol dan aman. Dengan sistem inti-plasma peternakakan menjadi ―juragan‖ dirinya sendiri. Seluruh siklus akan termanfaatkan dan ramah lingkungan. Kotoran sapi akan digunakan sebagai biogas (energy) dan pupuk organic yang sehat dan ramah lingkungan.
Luas SPS ( sekitar 25-50 ha) dapat dimanfaatkan sebagai eco-wisata, lahan pertanian dan sekaligus tambak ikan air tawar sebagai tambahan pendapatan.
b. Dalam rangka memotong mata-rantai ketergantungan petani rumput laut dengan Papalele, diperlakukan penguatan kelembagaan melalui koperasi. Dengan lembaga ini diharapkan ada proteksi terbatas dari pabrik atas hasil petani rumput laut sekaligus difungsikan sebagai quality control dan sistem pengembangan intensifikasi produk. Dalam konteks ini diperlukan revisi kebijakan system zonasi pengelolaan rumput laut agar lebih mendekatkan petani rumput laut kepada pabrik melalui koperasi. Di sini diperlukan kontrak antara petani/koperasi rumput laut dengan pabrik. Kontrak pertanian ini tidak hanya menyangkut kontrak pemasaran, tetapi juga, kontrak produksi dan pembinaan teknis membibitan yang berkualitas. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang sering disebut dalam pertanian kontrak ['dynamicpartnership' ],antara petani kecil dan sebuah usaha besar, yang memberikan keuntungan bagi keduanya, tanpa mengorbankan pihak lain.
c. Pemberian bantuan kapal dan sarana alat tangkap pukat Cincin (small purseine).
Pengembangan pukat cincin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ikan konsumsi penduduk lokal (ketahanan pangan). Selama ini ketersediaan ikan konsumsi tergantung dari hasil penangkapan ikan nelayan luar Sumba. Di samping itu perlu dilakukan pembentukan kelompok nelayan yang dilakukan melalui pendekatan model pemilikan sarana penangkapan secara kolektif (capital sharing) dan memperkenalkan prinsip berkoperasi. Dengan model pemberdayaan nelayan seperti ini akan terhindar dari terjadinya konsentrasi pemilikan secara perorangan atau kesenjangan sosial pada masyarakat pesisir.
44 d. Perlu menaikan status tanaman pangan lokal sebagai bahan pangan pokok.
Pengembangan pangan lokal melalui program diversifikasi pangan dapat menjadi solusi dari masalah kerawanan pangan yang seringkali melanda kabupaten Sumba Timur. Hal inis sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Status tanaman yang sifatnya masih liar tumbuh di hutan, seperti misalnya Kelompok Dioscorea spatau Uwi, Ganyong (Canna edulis Ker.), dan Garut (Maranta arundinacea), dapat ditingkatkan statusnya menjadi tanaman budidaya dan pada akhirnya diharapkan bahwa pemanfaatan tanaman pangan lokal dapat meningkatkan status gizi masyarakat setempat.