Program Global Village ini merupakan penelitian frontier (Frontier Research) ilmu-ilmu sosial dan kemanusian di lingkungan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI). Tujuan utama program ini adalah terwujudnya temuan baru/reformulasi, diskursus/perspektif baru, model, teori dan metode untuk penguatan masyarakat dan negara dalam kehidupan global melalui riset frontier ilmu sosial kemanusiaan.
Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan oleh Tim Review Program Global Village Kedeputian IPSK terhadap program Global Village sebelumnya (tahun 2014–2015), diperoleh kesimpulan bahwa Program Global Village IPSK LIPI perlu dilakukan reorientasi program, perubahan manajemen dan kegiatan yang dilakukan. Salah satu hal mendasar yang perlu dilakukan reorientasi adalah Indeks Kesiapan Masyarakat (IKM) yang dinilai oleh Tim Review mempunyai permasalahan utama terkait dengan framework dan dasar teori. Selain itu, Program Global Village adalah program kedeputian, bukan program deputi, sehingga dalam pelaksanaanya harus lebih melibatkan masing-masing satuan kerja (Satker) di lingkungan IPSK LIPI dan kemungkinan membuka kerja sama/meningkatkan jaringan (networking) dengan lembaga penelitian/universitas di Indonesia.
Global Village sebagai suatu konsepberbeda dengan Global Village sebagai sebuah program:.Dalam Program Global Village, kata Global Village adalah hanya sekedar nama, yang esensinya tidak terkait dengan konsep Global Village McLuhan (1962). Namun demikian, apa yang dilakukan oleh McLuhan (1962) memberikan inspirasi bahwa sesuatu yang akan menjadi fenomena besar/permasalahan besar di masa yang akan dating bisa diteliti/dikaji untuk dihadirkan di masa sekarang (untuk McLuhan, masa sekarang tersebut
45 adalah masa dimana dia menulis bukunya, 1962). Sebagai sebuah nama, diharapkan istilah Global Village bisa menginspirasi penelitian yang bersifat frontier, khususnya dalam bidang ilmu sosial kemanusiaan.
Program Global Village sebagai research frontier merupakan penelitian yang mempunyai dampak dalam jangka panjang yang bisa mempengaruhi arah penelitian ilmu sosial kemanusiaan di Indonesia sekaligus memposisikan ilmu pengetahuan sosial kemanusiaan sebagai cabang ilmu yang mempengaruhi masyarakat dan negara dalam jangka panjang. Riset frontier diharapkan bisa sebagai pijakan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan (sosial kemanusiaan) di masa yang akan datang (Rey, 2015; European Commission). Riset frontier diharapkan juga bisa mempengaruhi arah penelitian ilmu sosial kemanusiaan sekaligus memposisikannya sebagai cabang ilmu yang mampu mempengaruhi (dalam jangka panjang) kekuatan masyarakat dan negara. Program Global Village dirancang untuk mewujudkan temuan baru/reformulasi, diskursus/perspektif baru, model, teori dan metode untuk penguatan masyarakat dan negara dalam kehidupan global melalui riset frontier ilmu sosial kemanusiaan.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Program Global Village dilakukan melalui serangkaian kegiatan, yaitu: riset frontier, frontier research fellowship, methodology riset frontier dan penulisan jurnal ilmiah internasional. Program Global Village dengan jenis-jenis program dilakukan dengan melibatkan peneliti-peneliti di lingkungan IPSK LIPI, juga peneliti/akademisi di lembaga perguruan tinggi/lembaga penelitian yang ada di Indonesia.
Dalam pelaksanaanya baik yang melibatkan peneiliti IPSK LIPI maupun peneliti/akademisi luar LIPI dilakukan dengan sistem setengah kompetisi, yaitu dengan mengundang pengusul proposal khususnya untuk jenis program riset frontier dan research frontier fellowship.
Untuk Tahun 2016, ada sejumlah kegiatan yang dilakukan yaitu reorientasi Program GV dari tahun sebelumnya. Reorientasi ini berupa perubahan kegiatan yang dilakukan oleh Program GV yang diarahkan untuk melakukan kajian yang bersifat frontier.Dalam Program Global Village, Riset frontier (Frontier Research) mempunyai karakteristik sebagai penelitian yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi penemuan teori/paradigma/perspektif/metodologi baru yang bisa membantu memecahkan masalah-masalah sosial kemanusian dalam jangka panjang. Riset frontier bisa sebagai pijakan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan (sosial kemanusiaan) di masa yang akan datang (Rey,
46 20151; European Commission2). Berikut foto kegiatan relaunching program Global Village pada tahun 2016.
Kajian global vilage pada tahun 2016 diselenggarakan oleh Pusat penelitian yang ada di IPSK LIPI yaitu: Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR dan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK). Sementara itu dua pusat penelitian lainnya yang ada di IPSK LIPI yaitu Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) dan Pusat Penelitian Politik (P2P) melakukan kegiatan penyusunan proposal Global Village untuk tahun 2017. Selain itu, dari sisi Manajemen Global Village juga melakukan kegiatan yaitu penyusunan Buku Panduan Program Global Village 2016.
Membangun daya saing inklusif daerah:
Konsep Dasinda dibangun dengan mencari simpul-simpul yang menghubungkan dimensi daya saing yang terdiri atas organisasi, kelembagaan, insentif, infrastruktur, kepemimpinan, kualitas faktor input produksi, kompetensi, kapabilitas dan sustainable development. Dimensi daya saing dalam konsep Dasinda tidak hanya bias pada capaian-capaian yang bersifat ekonomi semata, namun lebih komprehensif yang meliputi aspek-aspek sosial dan lingkungan.
Sementara itu, dimensi inklusif terdiri atas partisipasi dan kolaborasi, akses terhadap sumber daya, dan karakteristik sosial budaya. Karakteristik sosial budaya penting dimasukkan sebagai simpul dalam dimensi inklusif yang membedakan dengan konsep yang ada saat ini. Pentingnya karakteristik sosial budaya dalam dimensi inklusif karena Indonesia memiliki diversitas yang begitu luas dari sisi sosial dan budaya yang selama ini ini luput dari
1 Javier Rey. (2015). Frontier research: Bring the future closer. Lychnos, No. 5, fundacion General CSIC
2 European Commission. (2005). Frontier research: The European challenge. High-Level Expert Group Report
47 konsep inklusif. Dengan demikian ada 27 sel, yang menggambarkan interaksi antara daya saing dan inklusifitas (tabel 4). Substansi yang terdapat dalam masing-masing sel, perlu untuk
‗diperas‘ kembali, sehingga dapat diketahui, eleman-elemen apa saja yang terdapat di dalam sel yang masuk dalam kategori variable inti (core variable) dan variabel pinggiran (periphery variable). Dengan terindentifikasi kedua determinan tersebut akan lebih mudah dalam menyusun konsep Dasinda.
Tersusunnya konsep daya saing inklusif daerah yang disusun berdasarkan matrik pada tabel 4, akan lebih efektif diterapkan pada pembangunan ekonomi berbasis kluster lokal.Pambangunan ekonomi berbasis kluster lokal (Cluster based local economic development) bisa menjadi sebuah perekat untuk mensinergikan daya saing dan inklusifitas Klasterisasi dapat meningkatkan daya saing melalui beberapa manfaat kepada anggota kluster yang terlibat didalamnya seperti: meningkatnya transfer informasi dan pengetahuan, biasanya melalui meniru produk perintis dalam kelompok, mengoptimalkan pembagian tenaga kerja dan spesialisasi, berbagi sumberdaya, dan kedekatan secara lokasi juga dapat dapat menurunkan biaya transaksi dengan mitra bisnis dan tersedianya pasar tenaga kerja yang ahli dalam kluster tersebut (Sonobe dan Otsuka 2012). Terkait hal tersebut, penekanan tidak hanya pada konsep klusterisasi namun juga pada pembangunan ekonomi berdasarkan karakteristik lokal mengingat setiap daerah memiliki karakter yang unik dan tidak dapat diseragamkan model dan pola pengelompokan dan pengembengannya. Ketidaksesuaian hal tersebut dapat mengakibatkan tidak tercapai manfaat sosial dan ekonomi yang seharusnya dapat dicapai melalui cluster based local economic development. Dari sisi inklusifitas, klasterisasi lokal yang memprioritaskan partisipasi tenaga kerja dan unit usaha lokal juga akan berdampak terhadap meningkatnya permintaan akan tenaga kerja lokal serta berkembang dan tumbuhnya UMKM-UMKM lokal akibat multiplier efek yang dihasilkan oleh klasterisasi (Choe dan Roberts 2011).
Analisis pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa lokus daya saing dapat berada dalam tingkat yang berbeda. Demikian, juga terlihat adanya perbedaan titik berat dalam hal aktor yang secara aktif dapat menggerakan daya saing mulai dari melihat peran negara (state), hingga collaborative governance. Hal ini menunjukkan, adanya relatifitas dalam hal lokus dan aktor dalam memacu daya saing. Aktor yang belum banyak disinggung yaitu komunitas atau kelompok. Menyerahkan daya saing dalam ranah negara dan pasar, belumlah memadai. Dalam transisi menuju masyarakat yang lebih demokratis, komunitas dapat mengambil peran penting dalam mengerakan roda ekonomi. Peran komunitas, juga diakui dalam bentuk diakuinya hak-hak komunitas (community rights) sebagaimana banyak dikaji
48 oleh Elinor Ostrom yang mendapatkan hadiah nobel untuk karya-karya di bidang data kelola dan komunitas.
Konsep daya saing inklusif daerah bukan konsep One Fits for All melainkan konsep yang sesuai dengan karakteristik dan keunikan di daerah. Konsep tersebut akan berbeda-beda karena masing-masing daerah mempunyai komunitas yang mempunyai kegiatan ekonomi yang berbeda pula. Di suatu daerah bisa terdapat komunitas yang mempunyai kegiatan ekonomi berbasis sumber daya alam (kehutanan, pertambangan perkebunan, pertanian dan perikanan darat/laut), keagamaan (Agama Islam dengan basis pesantren, dan bisa juga dengan agama lainnya), lembaga adat, STI (Science, Technology, and Innovation), ekonomi kerakyatan (pengelolaan pasar-pasar tradisional), kepemimpinan lokal yang mempunyai inovasi-inovasi dan komunitas lain-lain (gambar 24).
Memahami Kajian Wilayah (Area Studies): Sejarah, Konsep, Dan Metode (P2sdr)
Selama ini pemahaman tentang ekonomi kreatif di Indonesia cenderung mengikuti pandangan
―atomistic‖ dengan memisahkan proses ―kreatif‖ dari ―inovasi‖. Bahkan LIPI sendiri mengikuti pandangan seperti ini, dengan pandangan bahwa kegiatan kreatif terletak di tangan aktor atau lembaga individual yang bergerak di proses konseptualisasi ide, sedangkan kegiatan inovasi dianggap sebagai tanggung jawab lembaga lain yang belum tentu terkait dengan struktur produksi industri kreatif.
Pandangan ―atomistic‖ semacam ini yang kemudian menjadi dasarkebijakan pembentukan Pusat Inovasi atau Pusat Inkubasi yang sama sekali tak terlibat dalam kegiatan konsetualisasi ide kreatif dan berfungsi sekedar sebagai penghubung antara pencipta (creator) dan pasar atau industri di luar sektor industri kreatif. Dengan memahami dinamika jaringan kapital dan jaringan etnis dalam ekonomi kreatif di Asia dan Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada stakeholder yang terkait dengan ekonomi kreatif untuk memikirkan struktur kelembagaan baru yang lebih bersifat cair, dinamis, tidak linear, dan bersifat multifungsi (mencakup aspek pendidikan, penciptaan ide, produksi, sampai konsumsi).
Dengan pemahamantentang peran komunitas etnis dan komunitas profesi sebagai aktor terpenting dalam setiap aspek ekonomi kreatif, penelitian ini diharapkan menjadi masukan konseptual untuk pemikiran strategi peningkatan daya saing Indonesia di sektor industri dan ekonomi kreatif.
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan diskusi dan ceramah umum global village P2SDR adalah:
49 1. Pendekatan kajian wilayah (area studies) yang populer pada era 1950an sampai 1970an saat ini sudah ditinggalkan dan digantikan oleh pendekatan yang memberi perhatian utama pada jaringan transnasional pergerakan manusia, gagasan, barang, dan teknologi, sertainteraksi antara global dan lokal.
2. ―Area Studies‖ (Kajian Wilayah) bukan sebuah disiplin ilmu. Area studies adalah sebuah ruang pertemuan berbagai disiplin ilmu yang meneliti permasalahan-permasalahan yang ditemukan secara bersamaan dan komparatif di berbagai wilayah geografis.
3. Area studies tidak memiliki metode. Area studies adalah sebuah cara pendekatan yang bercirikan: multisitus, interaksi global-lokal, multidisiplin dan transdisiplin, dan difokuskan pada pergerakan manusia, barang, gagasan, dan teknologi.
4. Penelitian area studies pada abad ke 21 iniharus memperhatikan beberapa persoalan yang menjadi ciri khas modernitas masa kini dan berdampak global. Beberapa persoalan yang bisa menjadi tema penelitian area studies pada abad ke-21 ini misalnya:
- Teknologi dan Budaya Digital (Digital Culture) - Infrastruktur
- Lingkungan dan Anthropocene - Kesehatan Publik (Public Health)
- Perubahan Generasi (Generational Change) dan Budaya Pemuda (Youth Culture) 5. Kajian wilayah di Indonesia baru berkembang pada pertengahan 1990an, dan pada
awalnya lebih difokuskan pada pengajaran bahasa. Sampai saat ini, program kajian wilayah di universitas menghadapi kendala keterbatasan dana dan kekurangan staf pengajar yang memiliki pengetahuan luas tentang negara yang menjadi fokus kajian.
Selain itu, pada dasarnya kajian wilayah di Indonesia sangat tergantung pada dukungan lembaga pemberi dana asing seperti Japan Foundation, Korea Foundation, AMINEF, Goethe, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian terhadap wilayah yang tidak memiliki lembaga pemberi dana, seperti wilayah Afrika dan negara-negara ASEAN, sangat sulit untuk dilakukan.
Multikulturalisme dan nasionalisme untuk membangun bangsa: sebuah pendekatan
Pada dasarnya yang menjadi arena penelitian ini lebih merupakan ―battle of mind‖, ada dalam ruang kesadaran sosial (social consciousness), ada dalam ruang ketegangan ideologis, yang semuanya membutuhkan reformulasi budaya sebagai bahan baku untuk menyusun strategi
50 kebudayaan kedepan. Maka, praktis yang digunakan –salah satunya--model pendekatan ala- tradisi riset civic culture yang dirintis Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963) yang dipetik dari tradisi Weberian (social consciousness determine social condition). Tentu saja yang perlu ditegaskan di sini bahwa pendekatan kebudayaan bukanlah sebuah mono-causal yang melihat realitas sosial dengan kaca mata tunggal: kebudayaan. Perspektif kebudayaan hanyalah salah satu jenis pendekatan –bukan satu-satunya pendekatan—yang ada. Cara pendekatan seperti ini bukanlah model pendekatan esensialis yang memutlakkan kebudayaan sebagai penjelasan tunggal. Bahwa setiap realitas social dianggap selalu embedded dengan kebudayaan. Bagaimanapun realitas sosial jauh lebih kaya dari pendekatan apapun. Apa yang harus diyakini bahwa multikulturalisme dapat mendukung integritas dan stabilitas politik dalam demokrasi dan pluralism. Sebaliknya, politik mulikulturalisme akan mudah berkembang menjadi politik aliran yang dengan penuh kebencian meradikalkan dan mendramatisasikan segala perbedaan kecil, sehingga orang kehilangan perspektif keseluruhan (Hardiman, 2002).Multikulturalisme yang memberikan ruang pada otonomi lokal, yang serba mengedepankan diversitas kultural, penting untuk diwacanakan kembali secara terus-menerus guna mencegah peningkatan kekerasan yang berangkat dari egoism kolektif yang numpang dalam semangat etnoreligius.
Kita belum tahu persis konsep baru seperti apa yang dapat dirumuskan bagi Negara multikultural dan pluralis seperti Indonesia yang lebih rumit dari pengalaman Negara barat.
Dalam dimensi apa saja penguatan Negara dan masyarakat itu harus dilakukan. Asumsi dasarnya multikulturalisme dan penguatan nasionalisme ―baru‖ akan mampu menjembatani sejumlah ketegangan antara modernitas dan tradisional, cairnya relasi agama dan Negara, simbiose-mutualisik antara mayoritas-minoritas, yang semuanya diharapkan akan mampu mengkombinasikan kembali elemen-elemen lokal sebagai basis kultural dengan problem nasional dalam menghadapi penyeragaman globalisasi. Semuanya itu membutuhkan rekontruksi relasi-relasi yang lebih konstruktif, khususnya dalam rangka penguatan Negara dan masyarakat. Di atas segalanya untuk melakukan kerja budaya jangka panjang dibutuhkan strategi kebudayaan yang mempertimbangkan seluruh ketengangan yang terjadi lebih dinamis dan produktif tanpa harus saling menafikan.
Sekiranya Nasionalisme dan Multikulturalisme ―baru‖ memiliki peluang untuk mencairkan ketegangan yang semi-permanen ini, termasuk tuntutan ‖sekularisme‖ dan/atau
―teokrasi‖, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi; agar rumusan itu tidak hanya ada dalam daftar keinginan yang ideal (das sollen), tetapi juga memiliki kemampuan operasional sosiologis yang dapat dijadikan pedoman tindakan bersama. Sementara secara pragmatis
51 strategi kebudayaan seperti apa yang harus dirumuskan dalam melakukan melakukan (counter hegemony), baik secara ideologis, wacana maupun langkah-langkah yang lebih konkrit. Mengingat corak keagamaan yang ―religiousness‖, ―syari‘ahness‖, skriptualis, literal, eksklusif, intoleran, dogmatis, telah menghegemoni kelompok-kelompok strategis, khususnya para pelajar, mahasiswa, dan sebagian para santri. ―Conservative Turn‖ yang telah lama melanda MUI, dan sebagian kelompok mainstream, NU (NU garis lurus versus Islam Nusantara) dan Muhammadiyah (puritan versus progresif), merupakan dialektika negative yang membutuhkan jawaban. Singkatnya kalau semua gejala itu dianggap constructed yang anomalis: bagaimana disconructed itu harus dilakukan.