• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang produktif (Cullen-Unsworth dan Unsworth 2013) dan memberikan jasa ekosistem pada perikanan skala kecil (Torre-Castro et al. 2014). Pada penelitian ini diketahui bahwa ekosistem lamun di pesisir Timur Kabupaten Bintan merupakan sumber pendapatan utama bagi nelayan tradisional setempat. Ketergantungan nelayan tradisional dengan ekosistem ini terukur sangat tinggi.

Dalam konteks SSE ekosistem lamun, terjadi pemanfaatan sumber daya oleh nelayan tradisional. Adrianto (2009) menyatakan bahwa SSE memiliki 2 ciri, yaitu konektivitas dan ko-evolusi. Artinya, apabila satu sistem berubah maka sistem yang lain juga akan mengalami perubahan. Pada penelitian ini konektivitas telah dapat terukur, namun ko-evolusi baru dapat dibuktikan dengan berjalannya waktu. Sebelum sampai pada tahap ko-evolusi, keberlanjutan suatu sistem perlu dilihat.

Analisis emergi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat keberlanjutan SSE. Telah dikatakan dimuka bahwa analisis emergi digunakan untuk melihat keberlanjutan budidaya, perikanan, desa dan sebagainya. Keberlanjutan dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti EYR, ELR, EIR, ESI. Nilai indikator tersebut dapat memberikan gambaran terhadap aliran energi di dalam, diluar dan hasil dari sistem yang dibuat.

Emergi Yield Ratio (EYR) adalah perbandingan antara emergi hasil dengan emergi yang dipakai dalam kegiatan penangkapan. Semakin tinggi nilai EYR, semakin kecil emergi kegiatan penangkapan yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut, sebaliknya jika nilai EYR rendah, upaya untuk melakukan mengeksploitasi sumberdaya semakin besar. Dalam konteks penelitian ini diperoleh nilai EYR pada musim Timur dan Utara sangat kecil, masing-masing adalah 9.93E-06 seJ/musim dan 6.52E-06 seJ/musim, artinya upaya penangkapan oleh nelayan tradisional sangat besar akan tetapi tidak memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi tersebut dapat dilihat dari perbandingan nilai emergi kegiatan kenelayanan (F) dengan total emergi dalam sistem (U), yaitu sebesar 49% pada musim Timur maupun musim Utara. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa upaya untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di ekosistem lamun relatif

besar. Dari persentase tersebut, diketahui bahwa tenaga nelayan dan alat tangkap (terutama bubu) merupakan faktor utama penyebab tingginya nilai EYR (Gambar 7.4).

Gambar 7.4. Persentase item F

Emergi Invesment Ratio (EIR) adalah perbandingan antara emergi input dari luar sistem (aktivitas kenelayanan) dengan emergi input yang ada dalam sistem. Nilai EIR rendah mencerminkan rendahnya investasi ekonomi dalam mengeksploitasi sumber daya (Liu 2011). Sebaliknya, nilai EIR yang tinggi menunjukkan bahwa investasi ekonomi yang dibutuhkan dari luar sistem untuk mengekploitasi sumber daya semakin besar. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa nilai EIR relatif tinggi, artinya nelayan tradisional memerlukan investasi ekonomi yang besar untuk mengeksploitasi sumber daya di ekosistem lamun. Odum (1998) menyatakan bahwa negara maju memiliki rasio 7 atau lebih tinggi, sedangkan taman nasional dan hutan belantara memiliki rasio 1 atau kurang.

Emergi Loading Ratio (ELR) adalah perbandingan antara emergi input dari luar sistem dan emergi dari sumber daya yang tidak dapat pulih dengan emergi dari sumber daya yang dapat pulih. ELR merupakan indikator tekanan lingkungan dari proses produksi (Brown dan Ulgiati 1977 dalam Liu 2011). Pada penelitian ini, nilai ELR baik musim Timur dan musim Utara relatif tinggi, artinya beban lingkungan akibat proses penangkapan di ekosistem lamun relatif besar.

Emergi Sustainability Index (ESI), merupakan indikator keberlanjutan suatu sistem. Nilai ESI yang tinggi memberikan pengertian bahwa hasil yang diperoleh dari sistem memberikan nilai ekonomi bagi nelayan tradisional dengan tidak menimbulkan tekanan terhadap ekosistem lamun. Nilai ESI yang diperoleh pada penelitian ini sangat kecil yang berarti bahwa sistem SSE ekosistem lamun tidak berkelanjutan.

Beberapa perbandingan nilai indikator emergi dirangkum dalam Tabel 7.13.

Tabel 7.13. Nilai indikator emergi dari berbagai sumber

Lokasi Topik EYR ELR EIR ESI Reference

Ilha Solteira Reservoir, Brazil

Budidaya tilapia 1.01 90.51 - 90.51 Garcia et al. 2014 Guaraira Lagoon, Brazil Budidaya udang tambak tradisional 2.13 58.58 0.88 - Lima et al. 2012 Budidaya udang tambak organik 4.31 51.64 0.33 -

Sicily, Italia Eco village 3.21 0.48 - 6.68 Siracusa et al. 2007 Cilacap,

Indonesia

Perikanan skala kecil 1 269.52 - 0.0037 Patria et al. 2014 KKLD Olele,

Indonesia

Produksi perikanan 3.28 0.44 - 7.48 Djau 2012 Shiyang River

Basin, baratdaya China

Agro-ecosystem, Liang Zhou oasis

9.85 1.07 - 9.18 Liu et al. 2011 Agro-ecosystem, Mingin oasis 8.51 1.84 - 4.63 Desa Tegalwaru, Indonesia Desa mandiri Kondisi terkini 4.52E-11 7.31E-07 7.31E-07 6.18E-05 Listyawati et al. 2014 Desa mandiri Dengan bioreaktor 3.54E-09 1.98E-05 1.98E-05 1.79E-04 Gulf of La Spezia, Itali Budidaya ikan Sparus aurata 1.2 5 - - Vassallo et al. 2007 Pesisir Timur Kabupaten Bintan, Indonesia

SSE ekosistem lamun musim timur 9.93E-06 2.56E+00 8.98E-01 3.88E-06 Penelitian ini

SSE ekosistem lamun musim Utara 6.52E-06 2.42E+00 9.87E-01 2.70E-06 7.6. Simpulan

Hasil penelitian dari keberlanjutan SSE ekosistem lamun memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. EYR mengidikasikan bahwa upaya penangkapan oleh nelayan tradisional sangat besar akan tetapi tidak memperoleh hasil yang maksimal

2. EIR mengidikasikan bahwa nelayan tradisional memerlukan investasi ekonomi yang besar untuk mengeksploitasi sumber daya di ekosistem lamun.

3. ELR mengidikasikan bahwa beban lingkungan akibat proses penangkapan di ekosistem lamun relatif besar.

4. Nilai ESI yang diperoleh pada penelitian ini sangat kecil yang berarti bahwa sistem SSE ekosistem lamun tidak berkelanjutan.

8. OPSI PENGELOLAAN

SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

8.1. Pendahuluan

Kabupaten Bintan merupakan salah satu kabupaten yang termasuk kedalam Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah penduduk tercatat 151 510 jiwa (Anonim, 2012), yang tersebar didataran seluas 1 946.13 km2. Luas lautan lebih kurang 86 092.41 km2 yang merupakan sumber mata pencaharian nelayan. Tentunya laut menjadi tumpuan utama para nelayan, terlihat dari jumlah rumah tangga nelayan yang mengalami kenaikan rata-rata 4.4% selama kurun waktu 2004-2012 (Anonim 2012). Konsekuensi dari pertambahan RTP tersebut adalah meningkatkan upaya penangkapan yang berakhir pada tekanan terhadap sumber daya yang ada.

Dalam wilayah tangkapan yang lebih sempit, seperti di ekosistem lamun tempat penelitian dilakukan pola diatas bisa saja terjadi. Namun, tekanan terhadap sumber daya di ekosistem lamun bukan disebabkan oleh pertambahan jumlah rumah tangga perikanan, akan tetapi oleh permintaan pasar yang tinggi akibat pertumbuhan penduduk. Jadi eksploitasi yang dilakukan nelayan tradisional adalah untuk memenuhi kebutuhan ikan bagi masyarakat lainnya yang berada baik di dalam Kabupaten Bintan ataupun di luar Kabupaten.

Informasi yang dikumpulkan menyatakan bahwa ekosistem lamun di lokasi penelitian telah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak tahun 70-an. Luas ekosistem lamun di empat desa penelitian 3012.88 ha, ditempat inilah masyarakat menangkap ikan, rajungan, sotong, teripang dan mencari kerang-kerangan. Dikatakan oleh beberapa tokoh desa bahwa saat ini hasil tangkapan terutama teripang dan rajungan lebih sedikit dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.

Pemanfaatan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan merupakan salah satu bentuk sistem ekologi-sosial (SES) yang didefinisikan oleh Anderies et al. (2004). Dalam interaksi tersebut ekosistem lamun merupakan unit ekologi yang berperan sebagai penyedia jasa, sedangkan masyarakat-dalam hal ini adalah nelayan tradisional- merupakan unit sosial yang berperan sebagai pemanfaat. Berbagai biota hidup di dalam ekosistem lamun. Masing-masing biota mempunyai peran yang berbeda dan berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa besar unit ekologi ekosistem lamun maka pendekatan energi dalam rantai makanan di ekosistem tersebut digunakan. Dalam konteks penelitian ini, rantai makanan dianalisis menggunakan pendekatan energi. Hal ini dilakukan untuk menciptakan „benang merah‟ antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa energi yang tersedia dalam ekosistem lamun berbeda menurut musim. Total energi dalam musim Timur sebesar 1.55 x 1013 Joule, sedangkan pada musim Utara 1.43 x 1013 Joule atau berkurang sebesar 7%. Jika dibedakan antara produsen dan konsumen, maka energi produsen yang diserap oleh konsumen sebesar 27.6% pada musim Timur dan 18.3% pada musim Utara. Dalam kaitannya dengan jasa ekosistem lamun, peran supporting dan regulating services dalam kondisi baik terlihat dari persentase energi lamun sebesar 78.42% pada kedua musim, sedangkan provisioning services berkurang di musim Utara terlihat dari persentase energi konsumen.

Untuk mengetahui sistem sosial dalam artian seberapa besar masyarakat memanfaatkan ekosistem lamun, jasa ekosistem lamun dan pola pemanfaatannya diidentifikasi. Jumlah nelayan di keempat desa 945 orang (Anonim 2013; Anonim 2014a, 2014b, 2014c, 2014d), mereka bekerja sebagai nelayan bagan, nelayan rumpon atau bekerja pada nelayan kapal besar dan hanya 189 orang (20%) yang melakukan kegiatan penangkapan di area lamun dan dalam penelitian ini disebut sebagai „nelayan tradisional‟. Nelayan tradisional dapat digolongkan menjadi tiga tipe berdasarkan hasil tangkapan, yaitu menangkap ikan dan sotong 128 orang, menangkap rajungan 110 orang dan menangkap kerang-kerangan 62 orang. Profesi sebagai nelayan merupakan profesi yang diwariskan turun temurun. Sebagai nelayan tradisional, alat tangkap dan sarana penangkapan relatif sederhana. Nelayan tradisional di Desa Teluk Bakau, Malang Rapat dan Berakit cenderung menggunakan alat tangkap jaring. Bubu rajungan lebih dominan digunakan oleh nelayan di Desa Pengudang dan Teluk Bakau. Alat tangkap empang digunakan hanya oleh nelayan Berakit dan Pengudang.

Ekosistem lamun di lokasi penelitian memberikan jasa ekosistem berupa jasa pendukung, jasa pengaturan, jasa persediaan dan jasa budaya (MEA 2005). Status keempat jasa tersebut dianalisis menggunakan Matriks jasa ekosistem yang dikembangkan oleh Burkhard et al. (2012). Dalam konteks penelitian ini jasa ekosistem dilihat dari sudut pandang tipe habitat dan morfologi ekosistem yang teridentifikasi. Hasil Analisis matriks jasa ekosistem menunjukkan bahwa surplus jasa pengaturan, dijumpai pada tipe habitat hamparan lamun dalam hubungannya dengan pelindung pantai, penstabil pH air laut, pemerangkap sedimen, penjaga kejernihan air dan penstabil substrat. Dari morfologi ekosistem lamun, surplus jasa pengaturan dijumpai pada reef crest. Surplus jasa persediaan dijumpai pada tipe habitat dalam hubungannya dengan sumber ikan hias, obat, pupuk, bioprospecting, mencari kuda laut dan mencari rengkam. Surplus jasa budaya dijumpai antara tipe habitat hamparan lamun dengan nilai intrinsik dan biodiversitas. Defisit jasa persediaan terlihat pada tipe habitat sebagai tempat meletakkan bubu ikan, bubu ketam, jaring ikan, jaring ketam, mencari kerang-kerangan serta mencari teripang. Dari sisi morfologi ekosistem lamun, kekurangan ketersediaan terlihat di cekungan, kaloran dan reef crest dalam hubungannya sebagai sumber ikan dan tempat meletakkan alat tangkap. Defisit jasa budaya terlihat pada tipe habitat dengan rekreasi dan nilai estetika.

Ekosistem lamun merupakan sumber bagi nelayan di lokasi penelitian. Hasil pemetaan mengenai pola pemanfaatan ekosistem lamun menunjukkan bahwa ekositem lamun merupakan sumber penghasilan utama berupa hasil tangkapan, sedangkan sebagian kecil penghasilan berasal dari kegiatan wisata setempat. Hasil tangkapan dijual, diolah dan atau digunakan sebagai umpan. Ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan segar langsung dijual kepada tauke setempat, dan diteruskan penjualannya ke Tanjung Pinang. Di beberapa penampung, rajungan direbus, dipisahkan antara daging abdomen, cephalothorax dan telson, selanjutnya dijual ke penampung yang lebih besar. Hasil olahan berupa kerupuk, kerupuk atom, otak-otak dan bakso cenderung dipasarkan sebagai konsumsi desa. Hasil lainnya adalah cinderamata yang terbuat dari cangkang kerang.

Pola pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun di lokasi penelitian membentuk hubungan kait mengkait antara sumber daya, pengguna langsung,

pengguna tidak langsung serta sarana pendukung. Pengguna langsung adalah nelayan tradisional, sedangkan pengguna tidak langsung adalah nelayan yang lebih besar, mereka memanfaatkan ekosistem lamun pada musim Utara untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Bagi pengguna langsung, yaitu nelayan tradisional, musim Utara bukan merupakan penghalang untuk tidak dapat melakukan aktifitas penangkapan. Sarana pendukung seperti kepemilikan perahu juga tidak menjadi hambatan bagi nelayan tradisional untuk melakukan aktifitas penangkapan. Dengan kata lain bahwa tingkat ketergantungan nelayan tradisional dengan sumber daya yang ada di ekosistem lamun relatif tinggi, namun belum terukur secara kuantitatif.

Hasil identifikasi SSE ekosistem lamun yang telah dijelaskan diatas memperlihatkan adanya interaksi antara ekosistem lamun dengan sistem sosial nelayan tradisional. Namun interaksi/konektiitas tersebut belum terukur secara kuantitatif. Oleh karena itu besaran tingkat konektivitas SSE direpresentasikan dengan Human Appropriation of Net Primary Production. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa HANPP ekosistem lamun pada musim Timur dan Utara adalah 8.11 x 1010g (74.67%) dan 7.31 x 1010g (83.25%) yang berarti bahwa dominasi nelayan tradisional dengan ekosistem lamun sangat kuat atau ketergantungan/konektivitas nelayan tradisional dengan ekosistem lamun sangat kuat. Aktifitas penangkapan tetap dilakukan baik pada musim Timur atau Utara, terlihat dari nilai efisiensi masing-masing sebesar 77.74% dan 79.68%. Akan tetapi nilai-nilai tersebut diatas belum dapat menggambarkan keberlanjutan SSE ekosistem lamun di Kabupaten Bintan.

Keberlanjutan SSE ekosistem lamun menjadi penting di masa mendatang. Hal ini didasari bahwa pertumbuhan populasi manusia semakin meningkat, sementara sumber daya alam yang memenuhi kebutuhan manusia semakin hari semakin berkurang. Hasil analisis emergi menunjukkan bahwa sistem SSE ekosistem lamun di Kabupaten Bintan tidak berkelanjutan dengan nilai Indeks Keberlanjutan Emergi (ESI) 3.88 x 10-6 pada musim Timur dan 2.7 x 10-6 pada musim Utara. Nilai tersebut sangat jauh dibawah 1, yang berarti bahwa hasil yang diperoleh dari ekosistem lamun tidak memberikan nilai ekonomi bagi nelayan tradisional dan menimbulkan tekanan terhadap ekosistem lamun.

Inti dari penelitian ini adalah melihat konektivitas (Bab 6), keberlanjutan (Bab 7) dan menetapkan opsi pengelolaan (Bab 8) SSE ekosistem lamun. Ketiga Bab tersebut merupakan pengujian dari gambaran yang terjadi pada SSE ekosistem lamun di lokasi penelitian, yaitu Bab 3 (energi dalam ekosistem lamun), Bab 4 (jasa ekosistem lamun) dan Bab 5 (pola pemanfaatan ekosistem lamun). Mengacu pada kerangka penelitian di Bab 1, terlihat bahwa benang merah antara Bab satu dengan lainnya sudah terjawab dan dituangkan dalam Gambar 8.1. Selanjutnya opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun perlu dirumuskan.

Dokumen terkait