• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun Di Kabupaten Bintan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun Di Kabupaten Bintan"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KONEKTIVITAS

SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

DI KABUPATEN BINTAN

NURUL DHEWANI MIRAH SJAFRIE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Disertasi ini merupakan dedikasi penulis kepada Almarhumah Ibunda

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NURUL DHEWANI MIRAH SJAFRIE. Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, ARIO DAMAR dan MENNOFATRIA BOER.

.

Ekosistem lamun memiliki peran sebagai pemberi jasa ekosistem. Di Kabupaten Bintan, pemanfaatan sumberdaya ekosistem lamun telah dilakukan sejak tahun 1970-an oleh nelayan, sehingga sumberdaya ekosistem ini cenderung mendapat ancaman sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Dalam pemanfaatan sumberdaya ekosistem lamun terjadi interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial, oleh sebab itu hubungan keduanya perlu diketahui untuk memberikan opsi pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi komponen sistem sosial-ekologis (SSE) ekosistem lamun di Kabupaten Bintan; 2) mengukur keterkaitan (konektivitas) SSE ekosistem lamun; 3) mengukur derajat keberlanjutan SSE ekosistem lamun dan 4) mengidentifikasi opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun.

Penelitian dilakukan di pesisir Utara dan Timur Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan yang ditetapkan oleh Keputusan Bupati Bintan Nomor 261/VIII/ 2007. Lokasi penelitian meliputi empat desa, yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Teluk Bakau, termasuk kedalam kecamatan Gunung Kijang dan Desa Pengudang dan Desa Berakit termasuk kedalam kecamatan Teluk Sebong. Pengumpulan data dilakukan selama bulan September 2014 – Mei 2015. Data yang dikumpulkan berasal dari aspek ekologi dan sosial yang merupakan data primer dan sekunder.

Parameter aspek ekologi yang diambil adalah biomasa lamun menggunakan transek kuadrat, fitoplankton dan zooplanton menggunakan plankton net sedangkan ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan menggunakan hasil tangkapan nelayan yang diambil setiap hari dari 10-15 nelayan. Parameter aspek sosial diambil menggunakan kuesioner sebanyak 64 responden, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan tokoh dan tetua desa yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. Perhitungan energi dilakukan untuk mengetahui sumberdaya ekosistem lamun, matriks jasa ekosistem dan spidergram digunakan untuk melihat aspek sosial, konektivitas SSE diketahui dengan Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP), sedangkan keberlanjutan diketahui dengan analisis emergi. Opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun dirancang berbasis hasil dari tujuan 1 sampai 3 menggunakan tactical decision.

(5)

Hasil analisis matriks jasa ekosistem memperlihatkan bahwa terdapat kelebihan persediaan jasa ekosistem pada jasa pengaturan untuk hampir semua komponen, pada jasa persediaan untuk sumber ikan hias, obat, pupuk, bioprospecting, pencarian kuda laut dan rumput laut (Sargassum-rengkam) dan pada jasa budaya untuk nilai intrinsik dan biodiversitas. Sebaliknya, terdapat kekurangan persediaan pada jasa persediaan untuk area peletakan bubu ikan, bubu ketam, jaring ikan, jaring ketam, pencarian kerang-kerangan, pencarian teripang, dan pada jasa budaya untuk rekreasi dan nilai estetika.Tipe habitat berupa hamparan lamun memiliki nilai penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem lamun dalam aspek integritas ekologis, jasa pengaturan, jasa persediaan, dan jasa budaya. Sebaliknya, morfologi ekosistem lamun lebih berperan dalam penyediaan area untuk kegiatan kenelayanan, seperti meletakkan perangkap.

Pola pemanfaatan ekosistem lamun menunjukkan bahwa profesi sebagai nelayan merupakan profesi yang diwariskan turun temurun. Sebagai nelayan tradisional, alat tangkap dan sarana penangkapan relatif sederhana. Ekosistem lamun merupakan sumber penghasilan utama bagi nelayan berupa hasil tangkapan yang dijual, diolah dan atau dikonsumsi. Ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan segar langsung dijual kepada tauke setempat, dan diteruskan penjualannya ke Tanjung Pinang. Hasil olahan berupa kerupuk, kerupuk atom, otak-otak dan bakso cenderung dipasarkan sebagai konsumsi desa. Bagi nelayan tradisional, musim dan sarana pendukung tidak menjadi hambatan untuk melakukan aktifitas penangkapan.

Hasil analisis konektivitas SSE di ekosistem lamun menunjukkan bahwa dominasi nelayan tradisional dengan ekosistem lamun sangat kuat atau ketergantungan/konektivitas nelayan tradisional dengan ekosistem lamun sangat kuat. Nilai HANPP pada musim Timur adalah 8.11 x 1010g (74.67%) dan musim Utara 7.31 x 1010g (83.25%). Aktifitas penangkapan tetap dilakukan baik pada musim Timur atau Utara, terlihat dari nilai efisiensi masing-masing sebesar 77% dan 79.39%.

Analisis emergi menunjukkan bahwa upaya penangkapan oleh nelayan tradisional sangat besar akan tetapi tidak memperoleh hasil yang maksimal (EYR = 9.93 x 10-06/ musim Timur; 6.52 x 10-06/musim Utara), nelayan tradisional memerlukan investasi ekonomi yang besar untuk mengeksploitasi sumber daya di ekosistem lamun (EIR = 0.898/musim Timur; 0.987/musim Utara) dan beban lingkungan akibat proses penangkapan di ekosistem lamun relatif besar (ELR = 2.56/musim Timur; 2.420/musim Utara. Nilai ESI adalah 3.88 x 10-06 pada musim Timur dan 2.7 x 10-06 pada musim Utara yang berarti bahwa sistem SSE ekosistem lamun tidak berkelanjutan.

Opsi pengelolaan yang dapat dilakukan adalah dan diversifikasi sarana penangkapan serta buka-tutup kawasan, memberikan mata pencaharian alternatif, perbaikan mutu produk dan peluang pasar dan revitalisasi kawasan konservasi lamun.

(6)

SUMMARY

NURUL DHEWANI MIRAH SJFARIE. Study on Connectivity of Socio-Ecological System of Seagrass Ecosystem in Bintan Regency. Supervised by LUKY ADRIANTO, ARIO DAMAR and MENNOFATRIA BOER.

Seagrass ecosystem has a role as providers of ecosystem services to local fishermen. In Bintan regency, seagrass ecosystem resources have been used since the 1970s by fishermen, so the resources of these ecosystems tend to be threatened in line with population growth and development. In conjuction with the utilization of seagrass ecosystem resources, there are interaction between ecological systems and social systems, therefore, the relationship between them need to be understand to provide management options. This study aims: 1) to identify the components of social-ecological systems (SES) in seagrass ecosystem of Bintan regency; 2) to measure the connectivity of SES in seagrass ecosystem; 3) to measure the degree of sustainability of SES in seagrass ecosystem and 4) to identify management options of SES in seagrass ecosystem.

The study was carried out in the North and East coast of Marine Conservation Areas which was established by Mayor of Bintan Regency thru Decree Number. 261/VIII/2007. The research location covers four villages, namely Malang Rapat and Teluk Bakau village, included into Gunung Kijang district and Pengudang and Berakit village included into Teluk Sebong sub-districts. Data collection was conducted in September 2014 - May 2015. The data of ecological and social aspects comes from the primary and secondary data.

Parameter of ecological aspects consist of seagrass biomass which were taken using transects quadrate, phytoplankton and zooplankton biomass using a plankton net while fish, crab, squid and mollusks biomass were gathered from 10-15 fishermen daily report catched. Parameter of social aspects were taken using a questionnaire from 64 respondents, Focus Group Discussion (FGD) and in-depth interviews with leaders and village elders which were considered relevant to the purpose of research. Energy calculation was performed to determine seagrass resources, matrix of ecosystem services and spidergram were used to look at the social aspects. HANPP was used to measure the SSE connectivity, while emergy analysis was used to measure the sustainability. SSE seagrass management options designed based on the results of objectives 1 to 3 through the tactical decision making.

The results showed that the total energy of seagrass ecosystems resources in The East season is 1.55 x 1013Joule whereas in North season 1.43 x 1013 Joule or reduce by 7%.The energy of producer absorbs by consumer 27.6% on the East season and 18.3% in the North season. Supporting services and regulating services were in good condition, whereas provisioning sevices were defisit in both seasons.

(7)

cultural services for intrinsic value and biodiversity. On the contrary, there are a deficit of ecosystem services in provisioning services for placing the fish traps, crab traps, fishing nets, crab nets, mollusk search, sea cucumber search and deficit in cultural services for recreation and esthetic value. The habitat type of seagrass ecosystem has significant value in maintaining the balance of ecological integrity, regulating services, provisioning services and cultural services. Conversely, the morphology of seagrass ecosystem has a larger role in the provision of areas for fishing activity, such as putting down the traps.

The utilization pattern of seagrass ecosystems indicates that the profession as a fisherman is a profession from generation to generation. As a traditional fishermen, they used a simple fishing gears. Seagrass ecosystem is the main source of income for fishermen, they used the catch to be sold, processed or consumed. Fish, crab, squid and fresh mollusk are sold directly to a local trader and continued sales to Tanjung Pinang. The processed from fish and squids sold mainly as a village consumption. The season is not a barrier for a traditional fisherman to carry out their fishing activities.

The connectivity of SES seagrass ecosystem showed that the traditional fishermen are highly dependent on the seagrass ecosystem. They use the seagrass ecosystem in both the East and North seasons. It can be shown from the high value of HANPP in the East season (March-May) is 62.8 Gg (77.1%) and the North season (December-February) is 68.8 Gg (84.5%) with an efficiency of respectively 77.7% and 79.7%.

Emergy analysis showed that the SES in seagrass ecosystem is not sustainable, it can be shown from the high value of ESI in the East season is 3.88E-06 and in the North season is 2.7E-06. The fishing effort by traditional fishermen is very high but did not obtain the maximum results (EYR = 9.93E-06 / East season; 6.52E-06 / North season). The traditional fishermen require a huge economic investment to exploit its resources in seagrass (EIR = 8.98E-01 / East season; 9.87E-01 / North season). The environmental loading on seagrass ecosystem due to the process of fishing catch are relatively high (ELR = 2.56E + 00 / East season; 2.42E + 00/ North season.

The management options that can be applied are the diversification of catch equipment and open-close areas, provided alternative livelihoods and improved quality of products and market opportunities; and revitalization of seagrass conservation area.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

STUDI KONEKTIVITAS

SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

DI KABUPATEN BINTAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup dan Sidang Promosi:

1. Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

(13)

Judul Disertasi : Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan

Nama : Nurul Dhewani Mirah Sjafrie NIM : C262124011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Ketua

Dr Ir Ario Damar MSi Anggota

Prof. Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Anggota

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin,MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tertutup :1 Juni 2016 Terbuka : 25 Juli 2016

(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Berangkat dari pemikiran bahwa kelestarian sumberdaya pesisir dan laut tidak terlepas dari aktivitas manusia sebagai pemanfaatnya dan pentingnya ekosistem lamun maka topik penelitian yang dipilih adalah „Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologis Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan‟.

Penelitian ini dilakukan sejak bulan September 2014 sampai dengan bulan Mei 2015, diawali dengan mengidentifikasi unit ekologi ekosistem lamun sebagai penyedia jasa dan bagaimana jasa tersebut dimanfaatkan oleh nelayan dalam suatu sistem sosial. Kedua unit tersebut dilihat konektivitas dan keberlanjutannya, untuk menentukan opsi pengelolaan ekosistem tersebut. Kesemua ini tidak terlepas dari bantuan moril, materiil dan finansial dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc sebagai ketua Komisi Pembimbing yang memberikan ilmu, arahan, bimbingan dan wawasan tentang Sosio-Ecological System (SES). Dr. Ir. Ario Damar, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang memberikan arahan, kritikan dan saran yang tepat dalam penyempurnaan disertasi ini. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

2. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Dr. Ir. Zainal Arifin MSc, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Oseanografi LIPI yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan juga selaku penguji luar komisi.

3. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc selaku penguji luar komisi 4. Dr. Dirhamsyah Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.

5. Gilar Nandana, Guntur Nandana dan Guruh Nandana, anak-anak penulis yang telah memberikan motivasi, dukungan, pengorbanan, doa dan kasih sayangnya, tanpa itu semua mungkin karya ilmiah ini tidak terwujud. 6. Kakak penulis Prof. Dr. Sarwono Waspadji, SPD dan keluarga, Drs. Sri

Unggul Azul Sjafrie dan keluarga serta adik penulis Kol.Inf. Sri Umbul Mahatma Sjafrie dan keluarga yang memberikan dukungan moral dan finansial selama penulis menjalankan studi.

7. Para Dosen dan staff akademik Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Perairan FPIK IPB atas ilmu dan dukungannya

8. PKSPL dan jajarannya yang telah menyertakan penulis menjadi bagian dari penelitian lamun di Kabupaten Bintan.

9. Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya.

(15)

11.Dr. Hutomo Malikusworo, Dr. Anugerah Nontji, Prof Dr. Suharsono, Drs Wawan Kiswara, Prof Dr. Mulia Purba, MSc atas dukungannya.

12.Asisten II Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan Drs Supriyono, MSi, rekan-rekan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan: Savridit Alusco, MSi, Muin Sinaga, SSi, Raesa, SSi, Swenly Nainggolan, SSi yang memfasilitasi di lapangan.

13.Kepala Desa Teluk Bakau, Bapak Yulius, SSos beserta staff dan masyarakat Desa Teluk Bakau: Pak Mohamad Jamil, Ibu Murni, Pak Alay. 14.Kepala Desa Malang Rapat, Bapak Yusran beserta staff dan masyarakat

Desa Malang Rapat: Ato (almarhum), Kak Ijah, Ibu Emi, Kak Anna, Pak Sugiyo, Pak Teddy, Pak Bujang, Ibu Suminah.

15.Kepala Desa Berakit beserta staff Pak Samsuardi dan Pak Erwin, Ibu Bet dan masyarakat Desa Berakit Ibu Frans, Pak Ipul, Pak Sam, Pak Boncit, Pak Acu.

16.Kepala Desa Pengudang, Ibu Yanti STP beserta staff, Pak Awal, Pak Ledo, Pak Samsul dan masyarakat Desa Pengudang Pak Nizam, Pak Mahe Taher, Ibu Mardiah, Pak Miswan, Pak La Deromo, Pak Nyompa.

17.Dr. Pudji Rahmadi yang telah membantu pemahaman penulis mengenai emergi analisis.

18.Rekan-rekan SPL dan IKL, Feri Kurniawan, Muhammad Nur Arkam, Fitriyah Anggraini, Azhar Azhari, Femmy Hukom, Amri, Lilik Kartika Sari, Dori Rahmadani, Yunita yang selalu sabar berdiskusi dengan penulis 19.Widayatun, SH, MA dan Sari, SSos di Pusat Penelitian Kependudukan

LIPI.

20.Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu selama penulis menjadi mahasiswa hingga terwujudnya karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN UMUM 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Kerangka Pemikiran 4

1.4. Tujuan Penelitian 6 1.5. Hipotesis Penelitian 6 1.6. Kebaruan Penelitian 6

1.7. Manfaat Penelitian 6 1.8. Ruang Lingkup, Keterkaitan antar Bab dan Cakupan Penelitian 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 10 2.1. Ekosistem lamun 10

2.1.1. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Lamun 11

2.1.2. Dampak Antropogenik terhadap Ekosistem Lamun 12

2.1.3. Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan 13

2.2. Jasa Ekosistem Lamun 16

2.3. Sistem Sosial-Ecologis/SSE (Socio-Ecological System) 19

2.3.1. Human Appropriation of Net Primary Production 22

2.3.2. Analisis Emergi 22

2.4. Penelitian Terdahulu 24

3 ENERGI EKOSISTEM LAMUN 31 3.1. Pendahuluan 31 3.2. Tujuan Penelitian 32

3.3. Metodologi Penelitian 32

3.4. Hasil dan Bahasan 38

3.6. Simpulan 48

4 KESEIMBANGAN JASA EKOSISTEM LAMUN 49 4.1. Pendahuluan 49

4.2. Tujuan Penelitian 50

4.3. Metodologi Penelitian 50

4.4. Hasil dan Bahasan 54

4.5. Simpulan 63

5 PEMANFAATAN EKOSISTEM LAMUN 65 5.1. Pendahuluan 65

5.2. Tujuan Penelitian 65

5.3. Metodologi Penelitian 65

(17)

5.5. Simpulan 80

6 KONEKTIVITAS SISTEM SOSIAL-KOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 81 6.1. Pendahuluan 81

6.2. Tujuan Penelitian 82

6.3. Metodologi Penelitian 82

6.4. Hasil dan Bahasan 85

6.5. Simpulan 88

7 KEBERLANJUTAN SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 7.1. Pendahuluan 89

7.2. Tujuan Penelitian 90

7.3. Metodologi Penelitian 90

7.4. Hasil Penelitian 92

7.5. Bahasan 101

7.6. Simpulan 103

8 OPSI PENGELOLAAN SISTEM SOSIAL-EKOLOGISEKOSISTEM LAMUN 104 8.1. Pendahuluan 104

8.2. Metodologi 106

8.3. Revitalisasi Kawasan Konservasi Padang Lamun 108

8.4. Mata Pencaharian Alternatif 110

8.5. Perbaikan Mutu Produk Olahan 110

8.6.Diversifikasi Sarana Penangkapan dan Sistem Buka-Tutup Kawasan 111 9 SIMPULAN DAN SARAN 114 9.1. Simpulan 114

9.2. Saran 114

(18)

DAFTAR TABEL

1.1. Cakupan analisis penelitian 8

2.1. Beberapa dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun

(Cullen-Unsworth dan Unsworth 2013) 13

2.2. Beberapa biota yang dijumpai di ekosistem lamun Kabupaten Bintan 15 2.3. Perbedaan Ecological Footprint dengan HANPP 21 2.4. Beberapa penelitian tentang Sistem Sosial-Ekologis 25

3.1. Alat dan bahan penelitian 33

3.2. Tujuan, jenis dan cara pengumpulan data 34

3.3. Form data biomasa jenis lamun 35

3.4. From data biomasa ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan 37 3.5. Beberapa parameter kualitas air di lokasi penelitian 39

3.6. Sebaran jenis lamun di lokasi penelitian 41

3.7. Jumlah spesies lamun di beberapa lokasi di Indonesia 41 3.8. Berat biota dalam ekosistem lamun di lokasi penelitian 42 3.9. Biomasa beberapa jenis lamun di perairan Indonesia 43

4.1. Contoh matriks kapasitas 53

4.2. Contoh matriks demand dan budget 54

4.3. Komponen jasa ekosistem lamun dari berbagai sumber 56 4.4. Matriks supply jasa ekosistem lamun di lokasi penelitian 57 4.5. Jumlah biota yang ada di beberapa ekosistem lamun 59 4.6. Matriks demand jasa ekosistem lamun di lokasi penelitian 60 4.7. Matriks budget jasa ekosistem lamun di lokasi penelitian 62 4.8. Hasil tangkapan nelayan dahulu dan sekarang 63

5.1. Rangkuman kebutuhan dan analisis data 66

5.2. Nama desa dan luasannya 68

5.3. Kondisi perairan berdasarkan musim 70

5.4. Kalender penangkapan nelayan tradisional Kabupaten Bintan 71 5.5. Hubungan antar komponen dalam Sistem sosial-ekologi pada

ekosistem lamun 80

6.1. Kebutuhan data untuk analisis dengan pendekatan HANPP 82 6.2. Berat biota dalam ekosistem lamun di lokasi penelitian 85 6.3. NPPo ekosistem lamun di lokasi penelitian 85 6.4. NPPact ekosistem lamun di lokasi penelitian 86 6.5. NPPh ekosistem lamun di lokasi penelitian 86 6.6. HANPP ekosistem lamun di Kabupaten Bintan 87 7.1. Kebutuhan data untuk menghitung energi dalam ekosistem lamun 90

7.2. Indeks Emergi 92

7.3. Komponen dalam diagram sistem emergi 94

7.4. Penghitungan komponen Renewable-resources (R) 94 7.5. Penghitungan komponen Non-renewable resources (N) 95

7.6. Penghitungan komponen Purchase (F) 96

7.7. Penghitungan komponen Yield (Y) 97

7.8. Emergi transformity dari berbagai sumber 97

(19)

7.10. Emergi SSE ekosistem lamun pada musim Utara 99

7.11. Nilai R, NR, F, U dan Y 100

7.12. Indeks Emergi SSE ekosistem lamun pada musim Timur dan Utara 101 7.13. Nilai indikator emergi dari berbagai sumber 103 8.1. Langkah taksis pengelolaan SSE ekosistem lamun 109 8.2. Stakeholder terkait dalam opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun 112

DAFTAR GAMBAR

1.1. Driving force, Pressure, State, Impact, Response (DPSIR) di ekosistem lamun Kabupaten Bintan

4 1.2. Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem lamun di Kabupaten

Bintan

5

1.3. Keterkaitan antara Bab 9

2.1. Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes, 1990) 11 2.2. Persentase tutupan lamun di Pulau Bintan bagian Utara-Timur

(Anonim 2009)

14 2.3. Kerangka konseptual Millenium Ecological Assessment: hubungan

antara jasa ekosistem dengan kesejahteraan manusia (MEA, 2005) 16 2.4. Kerangka konseptual untuk menghubungkan antara ekosistem dan

kesejahteraan manusia (TEEB, 2010) 17

2.5. Jasa ekosistem lamun (diadopsi dari Costanza et al. 1997; MEA 2005; Burkhard et al. 2012)

18 2.6. Sistem Sosial-ekologi (Anderies et al 2004) 19 2.7. Variabel dan pendekatan dalam socio-metabolism (Sigh et al, 2001) 20 2.8. Penghitungan HANPP (diadopsi dari Haberl et al. 2007b) 22 2.9. Simbol yang digunakan dalam analisis emergi 24

3.1 Lokasi Penelitian 32

3.2. Skematis metodologi 34

3.3. Geomorfologi ekosistem lamun di lokasi penelitian 40

3.4. Saat air surut di Desa Pengudang 40

3.5a. Energi ekosistem lamun pada musim Timur 45

3.5a. Energi ekosistem lamun pada musim Utara 46

3.6. Persentase aliran energi dalam kelompok tingkatan tropik 47 4.1. Persepsi nelayan tradisional tentang ekosistem lamun 54 4.2. Persepsi nelayan tentang kondisi ekosistem lamun 55 5.1. Tahapan pengumpulan informasi melalui wawancara 67 5.2. Hirarki pemanfaatan ekosistem lamun di pesisir timur Kabupaten

Bintan

68 5.3. Persentase kapal dan jumlah alat tangkap di lokasi penelitian 70 5.4. Profil nelayan tradisional di lokasi penelitian 70 5.5. Pemanfaatan lahan lamun oleh nelayan tradisional 72 5.6. Beberapa alat tangkap yang digunakan untuk mengambil sumber

daya yang ada di ekosistem lamun

(20)

5.8c. Jejaring pemanfaatan ekosistem lamun di desa Berakit 77 5.8d. Jejaring pemanfaatan ekosistem lamun di desa Pengudang 78 5.9. Kerangka SSE ekosistem lamun di pesisir timur Kabupaten Bintan 79 6.1. Penghitungan HANPP (diadopsi dari Haberl et al. 2007b) 84

6.2a. Komponen HANPP musim Timur 87

6.2b. Komponen HANPP musim Utara 87

7.1. Diagram sistem emergi ekosistem lamun di lokasi penelitian 93 7.2.

7.3

Fluktuasi rupiah terhadap $US pada tahun 2011 Persentase R, N dan F terhadap U

96 100

7.4. Persentase item F 102

8.1. Benang merah (red line) penelitian 107

8.3. Prediksi akhir dari opsi pengelolaan 113

DAFTAR LAMPIRAN

1. Stasiun pengambilan sampel lamun 125

2a. Stasiun pengambilan sampel plankton dan kualitas air Musim Timur 126 2b. Stasiun pengambilan sampel plankton dan kualitas air Musim Utara 127 3. Beberapa lokasi penangkapan nelayan tradisional 128

4. Jenis-jenis ikan yang dianalisa 129

5. Jenis-jenis moluska yang ditangkap oleh nelayan tradisional 129

6. Rangkuman nilai kalori beberapa biota 130

7a. Energi lamun di Desa Teluk Bakau 131

7b. Energi lamun di Desa Malang Rapat 131

7c. Energi lamun di Desa Berakit 131

7d. Energi lamun di Desa Pengudang 132

8a. Energi fitoplankton musim Timur 133

8b. Energi fitoplankton musim Utara 134

9a. Energi zooplanton musim Utara 135

9b. Energi zooplanton musim Timur 135

10a. Energi ikan pada Musim Timur 136

10b. Energi ikan pada Musim Utara 137

11. Energi rajungan, sotong dan kerang-kerangan 138 12a. Perhitungan energi ekosistem lamun pada musim Timur 139 12b. Perhitungan energi ekosistem lamun pada musim Utara 144 13. Contoh Peraturan Desa tentang Pengelolaan Padang Lamun 149

(21)

DAFTAR ISTILAH

Cultural services Adalah jasa budaya, yaitu manfaat nonmaterial yang diperoleh manusia dari ekosistem.

DPSIR Driving, Pressure, State, Impact, Response Ecosystem Services Manfaat yang diambil manusia dari ekosistem

EF Ecological Footprint adalah perbandingan kebutuhan manusia dan sumberdaya yang menjadi input bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.

EIR Emergy Investment Ratio menggambarkan investasi ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya.

ELR Emergy Loading Ratio merupakan indikator dari jumlah tekanan dari proses produksi pada lingkungan setempat. Emergy Energi yang tersedia (exergi) yang sebelumnya digunakan

untuk membuat sesuatu produk atau jasa Emergy

Transformity

Emergi per unit energi yang tersedia dari satu jenis (unit: joule per joule)

ESI Emergy Sustainability Index adalah ukuran hasil keberlanjutan yang mengasumsikan bahwa untuk mendapatkan hasil tertinggi pada beban lingkungan terendah

EYR Emergy Yield Ratio adalah ukuran dari berapa banyak proses yang memberikan kontribusi terhadap

perekonomian.

F Purchase

Feeding ground Daerah tempat mencari makan biota

Habitat generalis Ikan yang bergerak bebas dari habitat satu ke habitat yang lain

Habitat specialist Ikan yang selama hidupnya menempati satu habitat HANPP Human Appropriation of Net Primary Production, yaitu

skala dari aktivitas manusia dibandingkan dengan proses alami atau ukuran fisik dari ekonomi relatif terhadap isi dari suatu ekosistem

MEA Millenium Ecosystem Assessment

NR Non-renewable resources

NPP Net Primary Production

NPPact Actual Net Primary Production adalah NPP yang tersedia dalam ekosistem sebelum dilakukan pemanenan yang berada dalam kondisi aktual

NPPh Harvested Net Primary Production adalah NPP yang dimanfaatkan oleh manusia

NPPo Potential Net Primary Production adalah NPP yang tersedia dalam ekosistem sebelum ada intervensi manusia, dapat dikatakan NPPo adalah NPP dalam suatu area yang virgin. NPPt Remaining Net Primary Production merupakan hasil

pengurangan antara NPPact dan NPPh. NPPt mencerminkan ruang tersisa.

(22)

Ontogenic shifters Ikan yang hanya sebagian hidupnya tinggal di suatu habitat, sedangkan sebagian lagi hidup di habitat lainnya

Overshoot Melebihi kapasitas Provisioning

services

Adalah jasa penyedia yaitu jasa yang langsung digunakan untuk kepentingan manusia

R Renewable resources, energi yang tersedia dan bebas diambil dari alam.

Regulating services Adalah jasa pengaturan yaitu jasa yang diperoleh dari proses regulasi ekosistem

SES Socio-Ecological System adalah hubungan antara unit ekologi sistem dengan satu atau lebih sistem sosial, keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi.

Supporting services Adalah jasa pendukung yaitu semua yang diperlukan untuk memproduksi jasa ekosistem lainnya.

Sustainable development

Memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan

TEEB The

U Jumlah total energi dalam suatu sistem Undershoot Dibawah kapasitas

(23)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Bintan terletak antara 0o06‟17” Lintang Utara - 1o34‟52” Lintang Utara dan 104o12‟47” Bujur Timur di sebelah barat-108o2‟27” Bujur Timur di sebelah timur. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Natuna, di bagian selatan dengan Kabupaten Lingga. Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam menjadi batas di bagian barat. Sementara di timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Bintan terdiri dari 240 pulau besar dan kecil, hanya 39 buah pulau yang sudah berpenghuni, sedangkan sisanya walaupun belum berpenghuni sebagian sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, khususnya usaha perkebunan. Luas wilayah mencapai 88 038.54 km persegi dengan luas daratan hanya 2.21% atau 1.946.13 km2. Secara administratif terdiri dari 10 kecamatan (Anonim 2012).

Pesisir Timur Kabupaten Bintan memiliki hamparan lamun yang cukup luas. Luas ekosistem lamun di kabupaten ini lebih kurang 2500 hektar, tersebar di perairan sebelah utara tepatnya di Desa Pengudang dan Berakit sampai ke sebelah timur, yaitu Desa Malang Rapat, Teluk Bakau dan Kelurahan Kawal. Jumlah jenis lamun di pesisir Bintan Timur tercatat 10 spesies dari 12 spesies lamun yang ada di Indonesia dengan kondisi yang masih baik. Thallasia hemprichii dan Enhalus acoroides merupakan jenis dominan (Anonim 2009a).

Ekosistem lamun memiliki peran sebagai pemberi jasa ekosistem (Cullen-Unsworth dan (Cullen-Unsworth 2013). Jasa ekosistem adalah manfaat yang diambil manusia dari ekosistem (Costanza et al. 1997). Millenium Ecological Assessment (2005) membagi jasa ekosistem menjadi regulating, supporting, provisioning dan cultural services. Sebagai regulating services ekosistem lamun berperan dalam pemerangkap sedimen, pelindung pantai, pemerangkap karbon serta memiliki peluang untuk menjaga kestabilan pH air laut (Unsworth et al. 2012). Kiswara (2009) mengatakan bahwa padang lamun pesisir menyimpan sekitar 3 kali lebih banyak karbon dibanding hutan terestrial, diperkirakan dengan luas 0.2% bagian dari laut dapat menyerap 10 % dari penyerapan karbon tahunan. Sebagai supporting services, ekosistem lamun berperan sebagai nursery ground, feeding ground (Unsworth et al. 2007a), pemasok nutrisi untuk ikan di terumbu karang (Verweij et al. 2008), memiliki konektivitas dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Unsworth et al. 2007b; Honda et al. 2013; Jaxion-Ham et al. 2012; Bekstrom et al. 2013). Sebagai provisioning services, ekosistem lamun berperan sebagai sumber ikan, invertebrata, benih, pupuk, bioprospecting, tempat meletakkan perangkap dan tempat budidaya (Torre-Castro dan Ronnback 2004). Sayangnya, fungsi ekologis ekosistem lamun belum mendapat perhatian (Dennison 2009), juga jasa ekosistem tersebut dalam perikanan skala kecil (Torre-Castro 2014).

(24)

berkelanjutan (Costanza et al. 1997). Dalam konteks jasa ekosistem lamun dapat diartikan adalah manfaat yang dapat diambil dari ekosistem tersebut oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Hal ini diungkapkan oleh Tore-Castro dan Ronnback (2004) di desa Chiwaka, pantai Timur Zanzibar. Mereka juga mengatakan bahwa perekonomian masyarakat pedesaan di wilayah pesisir memiliki ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya laut sebagai sumber makanan dan pendapatan. Oleh karena itu investigasi tentang fungsi dan jasa ekosistem sangat diperlukan untuk mengetahui kerangka pengelolaan suatu ekosistem (Adrianto 2009; Costanza 2007), diantaranya adalah pengelolan ekosistem lamun.

Pengelolaan ekosistem lamun tentunya tidak terlepas dari teori-teori perencanaan pengelolaan pesisir dan laut. Kay dan Alder (1999) mengatakan bahwa pendekatan perencanaan pengelolaan pesisir cenderung merupakan bagian atau gabungan dari sejumlah teori perencanaan untuk memberikan solusi perencanaan terbaik, yaitu rational, incremental, adaptive dan consensual planning. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah akhir dari tujuan pengelolaan yang didalamnya telah mengakomodir aspek ekologi, sosial, ekonomi yang berada dalam keadaan saling terkait dan terintegrasi (Chua 2006).

Integrasi pengelolaan berbasis ekosistem dengan mempertimbangkan dinamika sistem sosial di dalamnya dikenal sebagai Social-Ecological System Approach/SES (Anderies et al. 2004). SES membicarakan unit ekologi seperti wilayah pesisir, misalnya ekosistem mangroves, lamun, terumbu karang yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial. Kedua sistem tersebut berinteraksi secara dinamis dan ber co-evolusi, yang artinya bahwa apabila sistem yang satu berubah, maka sistem yang lain juga akan mengalami perubahan. Untuk melihat konektivitas antara kedua unit sistem tersebut beberapa pendekatan yang dapat digunakan antara lain social-metabolism (Sigh et al. 2001; Giampierto dan Mayumi 2003), ecological footprint (Adrianto 2012), dan human appropriation of net primary production/HANPP (Visoutek et al. 1986; Haberl et al. 2007a; 2007b). Ketiga pendekatan tersebut memiliki penekanan yang berbeda. Social-metabolism cenderung ke aspek sosial, ecological footprint melihat kebutuhan per kapita dan HANPP melihat dominasi manusia terhadap alam. HANPP sendiri belum dapat menggambarkan keberlanjutan dari suatu sistem (Krausman et al. 2012). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis lanjutan setelah HANPP.

Analisis emergi merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk melihat keberlanjutan suatu sistem. Odum (1998) menyatakan bahwa pendekatan emergi dapat digunakan secara objektif untuk mengevaluasi kontribusi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial dari suatu sistem. Menurut definisi, emergi adalah “the available energy (exergy) of one kind (usually solar energy) that was used up directly and indirectly to generate a resource, product, services or activity”. Untuk menerapkan konsep emergi dalam menganalisis sistem, sistem harus dianggap sebagai rangkaian aliran energi dan setiap rangkaian dalam sistem ditentukan nilai emerginya.

(25)

rajungan, teripang dan kerang-kerangan. Sejauh ini belum ada informasi pemanfaatan tersebut secara terperinci Oleh karena itu perlu diketahui hubungan antara ekosistem lamun dengan nelayan tradisional pemanfaat ekosistem tersebut, agar diketahui apakah ekosistem lamun dapat menopang kehidupan nelayan tradisional. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk pengelolaan ekosistem tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Bintan merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tanjung Pinang. Pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Bintan tentunya menimbulkan berbagai permasalahan baik ekologis, sosial dan ekonomi. Permasalahan yang terjadi perlu diidentifikasi, agar dapat dijadikan sebagai data dasar untuk perencanaan dan pengelolaan ke depan (Camanho 2010). Pendekatan Driving, Pressure, State, Impact, Response (DPSIR) merupakan model pendekatan yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan (European Environmental Agency 1999; Tao et al. 2007; Pastres dan Solidoro 2012).

Pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun oleh nelayan di Kabupaten Bintan merupakan interaksi antara unit ekologi dan sistem sosial. Dalam unit ekologi ekosistem lamun berperan sebagai penyedia jasa ekosistem (ecosystem services). Dalam sistem sosial terjadi pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun oleh masyarakat, terutama nelayan tradisional. Mereka memanfaatkan sumber daya yang ada di ekosistem lamun dengan berbagai cara. Hasil yang diperoleh sebagian untuk dikonsumsi dan sebagian lagi untuk dijual.

Anonim (2009a) menyatakan bahwa keberadaan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan cenderung mendapat ancaman. Faktor yang memicu kerusakan antara lain adalah: pertumbuhan penduduk, aktivitas pembangunan, perubahan fungsi lahan, penangkapan yang tidak ramah lingkungan serta kurang efektifnya kebijakan. Kesemuanya itu akan menyebabkan dampak terhadap ekosistem lamun maupun kepada masyarakat -dalam hal ini nelayan tradisional- yang memanfaatkan ekosistem tersebut.

(26)

tangkapan nelayan tradisional (impact). Oleh karena itu upaya pengelolaan sangat diperlukan (response).

Diadopsi dari Carr et.al (2007) dan Mateus dan Campuzano (2008)

Gambar 1.1. Driving force, Pressure, State, Impact, Response (DPSIR) di ekosistem lamun Kabupaten Bintan

Untuk menyeimbangkan kemampuan ekosistem lamun dan pemanfaatannya oleh nelayan, maka perlu diketahui keterkaitan antar keduanya. Dari uraian di atas muncul pertanyaan:

1. Bagaimana status sumber daya lamun di lokasi penelitian?

2. Bagaimanakah jasa dan pemanfaatan ekosistem lamun oleh nelayan setempat?

3. Sejauh mana konektivitas keduanya?

4. Bagaimana keberlanjutan SSE ekosistem lamun tersebut? 1.3. Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan merupakan salah satu bentuk sistem ekologi-sosial (SES) yang didefinisikan oleh Anderies et al. (2004). Dalam interaksi tersebut ekosistem lamun merupakan unit ekologi yang berperan sebagai penyedia jasa, sedangkan masyarakat-dalam hal ini adalah nelayan tradisional- merupakan unit sosial yang berperan sebagai pemanfaat.

(27)

ekosistem lamun, jasa ekosistem lamun dan pola pemanfaatannya diidentifikasi. Analisis Matriks Jasa Ekosistem yang diadopsi dari Burkhard et al. (2012), digunakan untuk melihat jasa ekosistem lamun, sedangkan pola pemanfaatannya dianalisis dengan Spidergram, mengacu pada Wildenberg (2005).

Konektivitas antara unit ekologi dan sistem sosial dapat diketahui dengan mengukur seberapa besar intensitas penggunaan ekosistem lamun oleh nelayan tradisional. Pendekatan Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) digunakan guna mengukur seberapa besar konektivitas tersebut (Visoutek et al. 1996, Haberl et al. 2007a; 2007b). HANPP sendiri belum dapat mencerminkan keberlanjutan SSE di ekosistem lamun Kabupaten Bintan (Krausman et al. 2012), sehingga diperlukan analisis untuk melihat keberlanjutan tersebut. Index Keberlanjutan Emergy (Odum 1998; Vora dan Thrift 2010) digunakan untuk mengetahui keberlanjutan SSE di ekosistem lamun. Opsi pengelolaan dirancang menggunakan tactical desicion (Gavaris 2009) berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Kerangka pemikiran pengelolaan SSE ekosistem lamun di Kabupaten Bintan disederhanakan dalam Gambar 1.2.

1.SSE

Keterangan: garis putus-putus menunjukkan analisis yang digunakan

(28)

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi sistem sosial-ekologis (SSE) ekosistem lamun di Kabupaten Bintan.

2. Mengukur keterkaitan (konektivitas) SSE ekosistem lamun. 3. Mengukur derajat keberlanjutan SSE ekosistem lamun.

4. Mengidentifikasi opsi pengelolaan SSE ekosistem lamun di Kabupaten Bintan.

1.5. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah konektivitas sosial-ekologis di ekosistem lamun akan berkelanjutan apabila Indeks Keberlanjutan Emergy (ESI) > 1.

1.6. Kebaruan

Sistem Sosial-Ekologis (SSE) adalah interaksi antara unit ekologi dengan sistem sosial. Dalam pengertiannya, bagaimana unit ekologi dan sistem sosial saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk melihat keberlanjutan SSE adalah ecological footprint dan carrying capacity (daya dukung), namun pendekatan socio-ecological metabolism belum pernah dilakukan di ekosistem lamun dan ini yang menjadi kebaruan dari disertasi ini.

Dalam konteks SSE ekosistem lamun, hubungan antara unit ekologi dan sistem sosial secara kualitatif, telah diteliti oleh beberapa peneliti, diantaranya Torre-Castro dan Ronnback (2004), Cullen-Unsworth (2014), Torre-Castro (2014) akan tetapi konektivitas dan keberlanjutan SSE eskosistem lamun secara kuantitatif belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini memiliki beberapa kebaruan dalam hal penggunaan alat analisis yaitu:

1. Pendekatan energi untuk melihat rantai makanan di ekosistem lamun. 2. Penggunaan Spidergram untuk melihat pola pemanfaatan ekosistem

lamun.

3. Penggunaan pendekatan Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) untuk mengukur konektivitas SSE di ekosistem lamun.

4. Penggunaan Indeks Keberlanjutan Emergi (Emergy Sustainability Index/ESI) untuk mengukur keberlanjutan SSE di ekosistem lamun.

1.7. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang Sistem Sosial-Ekologis dan bukan hanya di ekosistem lamun, namun pada ekosistem lainnya. Bagi pemerintah Daerah Kabupaten Bintan bermanfaat untuk mengelola ekosistem lamun secara berkelanjutan. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat keterkaitan SSE di ekosistem lainnya. 1.8. Ruang Lingkup, Keterkaitan antara Bab dan Cakupan Analisis

Penelitian

1.8.1. Ruang Lingkup Penelitian

(29)

Batasan ekosistem lamun:

Dimulai dari pasang tertinggi sampai batas reef crest. Jarak terpanjang dari pasang tertinggi sampai reef crest adalah 1767.20 meter (di Desa Berakit) dan terpendek 15.10 meter (di Desa Teluk Bakau). Wilayah ini disebut sebagai reef flat, dengan luas total 3018.22 ha.

Sistem Sosial-Ekologis (SSE) ekosistem lamun:

Yang dimaksud dengan SSE ekosistem lamun adalah hubungan antara sumber daya yang dimanfaatkan nelayan tradisional di ekosistem lamun dengan nelayan tradisional yang memanfaatkan ekosistem tersebut.

Aspek ekologi:

Adalah ekosistem lamun, dibatasi pada beberapa biota yang terkait dengan pemanfaatan langsung oleh nelayan setempat, yaitu lamun, plankton, ikan, rajungan, sotong dan kerang-kerangan.

Aspek sosial:

Adalah pola pemanfaatan ekosistem lamun oleh nelayan tradisional, mencakup sarana dan prasarana penangkapan, jenis komoditas serta rantai pemasaran.

1.8.2. Keterkaitan antar Bab

Penelitian Konektivitas SSE Ekosistem lamun di Kabupaten Bintan terdiri dari 5 Bab hasil penelitian. Antara Bab yang satu dengan yang lain memiliki kaitan, artinya data pada Bab yang satu dianalisis dengan pendekatan yang berbeda pada Bab lainnya. Data pada Bab 3 digunakan dalam analisis di Bab 6 dan Bab 7. Secara skematis keterkaitan tersebut disarikan dalam Gambar 1.3. 1.8.3. Cakupan analisis penelitian

(30)

Tabel 1.1. Cakupan analisis penelitian

No Metode Cakupan analisis

1 Analisis energi Rantai makanan merumput digunakan untuk melihat

energi dalam ekosistem lamun dan dibatasi oleh rantai makanan yang berhubungan langsung dengan apa yang dimanfaatkan oleh nelayan tradisional.

2 Matriks jasa ekosistem

lamun

Diadopsi dari matriks jasa ekosistem di terestrial, sehingga dilakukan penyesuaian. Data tipe habitat dan morfologi dasar perairan ekosistem lamun digunakan sebagai tipe tutupan lahan

3 Analisis Spidergram Untuk Focus Group Discussion (FGD) data yang

digunakan adalah data hasil kuesioner.

4 Human Appropriation

of Net Primary

Production (HANPP)

Diadopsi dari HANPP di terestrial (berdimensi 2) dan diterapkan ke ekosistem lamun (berdimensi 3) sehingga dilakukan penyesuaian.

5 Analisis emergi Diagram sistem yang dibuat berdasarkan apa yang terkait

dengan SSE ekosistem lamun.

(31)

fitoplankton

(32)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Lamun

Lamun adalah satu-satunya tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang secara penuh beradaptasi pada lingkungan bahari. Tumbuhan ini mampu hidup di media air asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik serta mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam (Dennison 2009).

Lamun dapat berkembang membentuk hamparan luas di mintakat pasang surut (intertidal) maupun subtidal sehingga membentuk padang luas yang disebut padang lamun. Padang lamun dihuni oleh berbagai biota, mulai yang hidup di dasar perairan (bentos), hidup di perairan antara daun lamun (nekton dan plankton) serta yang menempel di daun baik yang menetap (peribiota) maupun yang tidak. (Kiswara, 2009)

Secara ekologis padang lamun memiliki fungsi penting bagi daerah pesisir, yaitu: sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi organisme, menstabilkan dasar yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran beberapa jenis biota, peredam arus dan tudung pelindung sinar panas surya bagi penghuninya. Karena hidup di bawah permukaan air laut (submerged), maka pertumbuhan lamun dibatasi oleh 5 faktor pembatas utama yang menentukan keberlangsungan hidupnya (Anonim 2009a), yaitu sinar surya, salinitas, sedimentasi, substrat dan kedalaman air.

Ekosistem lamun dihuni oleh berbagai biota. Diketahui ada 360 spesies ikan, 117 spesies makro alga, 24 spesies moluska, 70 spesies krustasea dan 45 spesies ekinodermata yang hidup di padang lamun Indonesia (Kiswara 2009). Interaksi biota di padang lamun dapat terjadi antara biota dengan biota lainnya ataupun antara biota dengan lingkungannya, yang kemudian membentuk suatu rantai makanan. Rantai makanan terdiri dari berbagai tingkatan trofik yang mencakup proses dan pengangkutan detritus organik dari ekosistem lamun menuju konsumen yang lain. Rantai makanan tersebut dibagi dalam 2 bagian, yaitu rantai makanan merumput dan rantai makanan detritus (Gambar 2.1.)

(33)

Gambar 2.1. Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes, 1990) 2.1.1. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Lamun

Secara ekologis ekosistem lamun memiliki peran penting bagi daerah pesisir, yaitu sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi organisme, menstabilkan dasar yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran beberapa jenis organisme, peredam arus dan tudung pelindung sinar panas surya bagi penghuninya (Dennison 2009).

Sebagai produsen primer lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan, baik memalui proses dekomposisi sebagai serasah maupun dikonsumsi langsung oleh biota. Untuk Thalassia, produksinya berkisar antara 15-1500 g berat kering/m2/tahun (Hutomo dan Azkab 1987). Sebagai habitat biota laut, ekosistem lamun dihuni oleh berbagai jenis biota. Salah satu jenis biota yang penting adalah dugong, karena hewan ini telah terancam punah. Dugong hanya memakan lamun, oleh sebab itu dugong mendapat julukan seagrass specialist (Sheppard et al. 2006).

(34)

mangrove sebelum bermigrasi ke terumbu karang. Banyak jenis yang menggunakan lamun dan mangrove sebagai nursery ground. Disarankan agar konektivitas lamun, mangrove dan terumbu karang harus dipertimbangkan dalam mengimplementasikan kebijakan dan praktek konservasi.

Sebagai pendaur zat hara, lamun memegang peran penting. Zat hara hasil dekomposisi dimanfaatkan oleh fitoplankton sehingga terjadi rantai makanan. Sebagai penangkap sedimen, lamun memegang peranan penting dalam menjaga kejernihan air. Selain itu lamun juga berfungsi sebagai penyerap karbon. Chiu et al. (2013) menunjukkan bahwa 20% karbon budget dari daun dimakan oleh ikan dan bulu babi, sedangkan 80% mengalir sebagai detritus. Hal ini menunjukkan bahwa daun lamun merupakan sumber makanan penting untuk herbivora yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu ekosistem lamun mempunyai peran sebagai penyerap karbon dan penyumbang nutrisi ke lingkungan sekitarnya (terumbu karang) melalui pergerakan air.

2.1.2. Dampak Antropogenik Terhadap Keberadaan Ekosistem Lamun Aktivitas manusia dalam pemanfaatan ekosistem lamun memberikan ancaman tersendiri bagi keberlanjutan ekositem tersebut (Tabel 2.1). Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem lamun di seluruh dunia adalah kerusakan ekosistem lamun akibat kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus menerus dan pencemaran air termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinisasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Sampai saat ini kerusakan lamun dunia telah mencapai 58% dan sejak tahun 1980 setiap 30 menit, dunia kehilangan lamun sebesar lapangan sepak bola (Dennison 2009).

Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun telah dipublikasikan oleh beberapa peneliti. Cabaco et al. (2008) meneliti pengaruh limbah domestik terhadap padang lamun Zostera noltii di Ria Formosa, bagian selatan Portugis. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa konsentrasi amonium sebesar 158.3 – 663.4 µM akan mengurangi biomasa dari Z noltii. Selanjutnya Taylor dan Raheed (2011) meneliti pengaruh tumpahan minyak terhadap padang lamun di Gladstone Australia. Mereka melakukan perbandingan biomasa di lokasi yang terkena tumpahan minyak dan lokasi kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 bulan pasca tumpahan terjadi penurunan biomasa di kedua lokasi. Delapan bulan kemudian terjadi kenaikan biomasa lamun. Dikatakan bahwa penurunan biomasa kemungkinan disebabkan oleh variasi musim alami dan dampak antropogenik.

(35)

aktifitas penangkapan dan pelabuhan kelimpahan dan biomasa lima kali lebih besar daripada lokasi dengan aktifitas.Selanjutnya Roca et al. (2014) mendeteksi dampak pembangunan pelabuhan pada habitat lamun dan pemulihannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan karbohidrat, kenaikan zat besi (Fe) dan kepadatan tegakan lamun setelah pembangunan tersebut selesai.

Tabel 2.1. Beberapa dampak antropogenik terhadap ekosistem lamun

Kegiatan/Ancaman Akibat

Pengembangan Pantai Merusak lamun

Konstruksi dan pembangunan infrastruktur merusak lamun, meningkatkan sedimentasi, polusi, yang berakibat pada kondisi lamun dan perikanan

Buangan minyak dari perahu menghambat pertumbuhan lamun Reklamasi Menghilangkan mangrove dan tumbuhan

pantai yang berfungsi sebagai penyaring sediment Sedimen yang berlebihan akan

menyebabkan kekeruhan dan menghambat pertumbuhan lamun

Penggunaan alat tangkap yang merusak

Menyebabkan kerusakan fisik dari lamun Mengganggu komunitas biota yang ada di lamun Jika lamun hilang makaikan dan invertebrata juga menghilang

Budidaya Limbah organik dan kimia mengganggu pertumbuhan lamun

Menimbulkan penyakit bagi organism yang ada di lamun Buangan/limbah Menimbulkan blomming algae akibat

eutrofikasi dan menyebabkan kondisi kurang cahaya dan oksigen

Run-off Berasal dari penebangan hutan, tambang dan pertanian

Meningkatkan jumlah polutan ke badan air yang berbahaya untuk kehidupan lamun

Meningkatkan sedimentasi

Limbah Menutupi tumbuhan dan hewan yang hidup pada lamun Kesadaran tentang

lamun rendah

Pada level masyarakat, manager, aparat pemerintah, sehingga sulit untuk membuat aturan baru dan

mentaati aturan lama Kurangnya alat dan

informasi

Manager dan pengambil keputusan memerlukan alat dan informasi untuk menjalankan konservasi Sumber: Cullen-Unsworth dan Unsworth (2013)

2.1.3. Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan

Di Indonesia, lamun menyebar hampir di seluruh perairan pesisir, tersebar hampir diseluruh rataan terumbu sampai kedalaman 40 meter. Tumbuh di dasar perairan dengan substrat dasar pasir, pasir berlumpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup di dasar batu karang. Lamun dijumpai dapat tumbuh diantara karang hidup, dan dibawah naungan mangrove. . Luas lamun di Indonesia yang dihitung dari 23 lokasi adalah 22 094.95 ha (P2O LIPI 2016).

(36)

Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila decipiens, H. ovalis, H. minor, H. spinulosa, Haludole pinifolia, Hd. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii merupakan jenis lamun baru yang ditemukan endemik di Sulawesi Selatan (Kuo 2007). Sementara itu, Halophila becarii yang ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih-Jawa Timur. Jumlah jenis lamun di bagian Barat Indonesia rata-rata 6 spesies, bagian Tengah 8 spesies dan bagian Timur Indonesia 9 spesies (P2O LIPI 2016).

Ekosistem lamun di pesisir Bintan Timur memiliki luas 2500 ha dengan keanekaragaman jenis lamun yang tinggi. Di Desa Pengudang, Berakit, Malang Rapat dan Teluk Bakau tercatat 10 spesies lamun dari 15 spesies lamun yang ada di Indonesia. Sebagian besar lokasi memiliki persentasi tutupan lamun yang tinggi (Gambar 2.2.) dengan biomasasa yang tinggi pula.

:

(37)

Padang lamun di pesisir Bintan Timur berada dalam kondisi yang baik. Kondisi lamun yang baik tersebut memberikan kontribusi produksi dan jasa lingkungan yang nyata, terutama pada sektor perikanan dan pariwisata (Anonim 2009a). Di Desa Malang Rapat dan Teluk Bakau kondisi lamun relatif baik, namun dilokasi ini terdapat banyak tempat-tempat wisata seperti hotel, resort, pondok wisata dan restoran. Oleh karenanya, ke depan lamun lokasi-lokasi tersebut akan menghadapi ancaman, seperti proses eutrofikasi yang dapat merusak ekosistim lamun dan bahkan menghilangkannya biota tertentu jika tidak dikelola dengan baik. Di Desa Pengudang dan Berakit juga memiliki lamun dalam kondisi baik, karena tidak ada ganguan dari kegiatan wisata dan kegiatan merusak lainnya.

Ekosistem lamun di Kabupaten Bintan dihuni oleh berbagai biota laut. Hasil penelitian Anonim (2009a) menyebutkan jenis biota yang ada di ekosistem lamun Kabupaten Bintan yang dirangkum dalam Tabel 2.2. Selain itu, ekosistem lamun di lokasi ini memiliki nilai ekologis penting dengan dijumpainya hewan-hewan yang dilindungi, diantaranya dugong (Dugong dugon); kuda laut (Hippocampus sp.), kima (Tridacna squamosa); lola (Trochus niloticus) dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Ekosistem lamun di Desa Teluk Bakau, Malang Rapat, Berakit dan Pengudang merupakan daerah percontohan pengelolaan padang lamun yang digagas oleh P2O LIPI pada tahun 2007. Lokasi percontohan tersebut dikenal sebagai Trismades (Trikora Seagrass Management Demonstration Site), yang dilaksanakan pada tahun 2007-2010. Trismades merupakan program pengelolaan lamun berbasis masyarakat pertama di Indonesia. Selanjutnya setelah Trismades berakhir pada tahun 2010, daerah percontohan tadi ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Padang Lamun melalui SK Bupati No 267/VI/2010.

Tabel 2.2. Beberapa biota yang dijumpai di ekosistem lamun Kabupaten Bintan

Ikan Molusca Echinodermata

Leiognathus splendens Bivalvia Holothuria scabra Lutjanus fulviflamma Anadara cornea Stichopus variegatus Lutjanus johni Cyclotellina remies Actinopyga miliaris Lethrinus harak Exotica clathrata Thelenota ananas Lethrinus lentjan Mactra maculate Crustacea : Lethrinus omatus Pinna muricata Portunus pelagicus Upeneus tragula Tridacna squamosa Reptilia

Upeneus vittatus Gastropoda Chelonia mydas

Siganus canaliculatus Cerithium spp. Eretmochelys imbricata Siganus guttatus Euchelus atratus Mamalia

Siganus stellatus Lambis lambis Dugong dugon Siganus virgatus Mitra gracilis

Psammoperca waigiensis Strombus luhuanus Pardachirus pavoninus Trochus niloticus

Phyllichthys punctatus

(38)

2.2. Jasa Ekosistem Lamun

Jasa ekosistem adalah jasa yang bermanfaat untuk manusia (Costanza et al. 1997; Millenium Ecosystem Assessment 2005; Fisher et al. 2009; Burkhard et al. 2012). Tanpa ada manusia sebagai penerima manfaat, fungsi dan proses ekosistem bukanlah jasa. Dengan kata lain, harus ada permintaan tertentu oleh orang-orang untuk menggunakan jasa ekosistem tertentu (Burkhard et al. 2012).

Pada kurun waktu tahun 2001-2005 Millennium Ecosystem Assessment (MEA) melakukan penilaian atas perubahan ekosistem yang disebabkan oleh pemanfaatan manusia terhadap alam. Selain itu juga dibangun dasar ilmiah upaya konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan akibat pemanfaatan tersebut. Penilaian MEA tersebut merupakan respon hasil empat konvensi internasional yaitu: The Convension of Biological Diversity (CBD), The United Nations Convention to Combat Desertification, The Ramsar Convention on Wetland dan The Convention of Migratory Species dan juga dirancang untuk memenuhi kebutuhan dari para pemangku kepentingan lainnya, termasuk dunia usaha, sektor kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Dalam kerangka konsepual MEA manusia merupakan bagian dari ekosistem yang berinteraksi secara dinamis. Aktivitas manusia akan menyebabkan perubahan pada ekosistem yang didalamnya terkandung keanekaragaman hayati dan kemudian akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri, terutama dari aspek kesejahteraan. Akan tetapi bukan hanya aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan ekosistem, faktor sosial, ekonomi dan budaya juga ikut berperan dan keadaan ini dapat terjadi dalam skala lokal, regional dan global (Gambar 2.3). Pada Gambar 2.3. terlihat bahwa kehidupan masyarakat

(39)

dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi demografi, ekonomi, sosial, teknologi serta budaya dan agama dan sebaliknya. Pengaruh tidak langsung tadi akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap masyarakat, misalnya penggunaan lahan, pupuk, hasil panen dan sebagainya. Selanjutnya pengaruh langsung tadi akan mempengaruhi kehidupan manusia sekaligus mempengaruhi jasa ekosistem.

Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan-perubahan dari konsep yang telah ditetapkan oleh MEA. The Economics of Ecology and Biodiversity/TEEB (2010) lebih merinci konsep MEA (Gambar 2.4). Dalam konsep TEEB dikatakan bahwa: 1) Ekosistem dan keanekaragaman (biodiversity) selain memiliki struktur dan proses juga ada fungsi didalamnya; 2) Jasa ekosistem menurut MEA (2005) dibedakan menjadi empat komponen, yaitu jasa pendukung (supporting services), jasa penyedia (provisioning services) jasa pengaturan (regulating services) dan jasa budaya (cultural services), sedangkan TEEB (2010) meniadakan supporting services dan menggantinya menjadi habitat services dengan alasan untuk mencegah penghitungan ganda dalam menilai ekosistem; 3) TEEB mengelompokkan perubahan iklim kedalam external driver yang akan mempengaruhi ekosistem. Perkembangan selanjutnya Burkhard et al. (2012) menggunakan istilah ecological integrity untuk komponen supporting services.

Gambar. 2.4. Kerangka konseptual untuk menghubungkan antara ekosistem dan kesejahteraan manusia (TEEB, 2010)

(40)

diperoleh dari proses regulasi ekosistem, misalnya penyerapan karbon, dekomposisi limbah, penstabil sedimen, penahan arus. Jasa budaya adalah manfaat nonmaterial yang diperoleh manusia dari ekosistem misalnya rekreasi.

Sebagai salah satu dari pemberi jasa ekosistem, manfaat lamun dapat dilihat sebagai integritas ekologi, jasa pengaturan, jasa persediaan dan jasa budaya (Burkhard et al. 2012). Dari aspek ekonomi diperkirakan bahwa setiap hektar padang lamun memiliki nilai ekonomi sekitar $ 20,500 per tahun. Sebagai pemasok nutrisi, satu hektar padang lamun yang sehat dapat mendukung sebanyak 40.000 juvenile ikan, dan 50 juta juvenile kerang. Diperkirakan bahwa antara 70-90 % ikan komersial menghabiskan sebagian waktu hidupnya di habitat padang lamun. Selain itu, satu hektar padang lamun yang sehat dapat menghasilkan lebih dari 10 ton daun per tahun, menyediakan makanan, habitat dan nursery ground untuk ikan, kerang, kura-kura dan dugong. Ekosistem lamun memiliki arti penting karena habitat lamun menempati tempat ketiga dari jasa ekosistem dan sumberdaya alam dunia (Cullen-Unsworth et al. 2013). Untuk itu pengelolaan ekosistem lamun menjadi sangat diperlukan.

Gambar 2.5. Jasa Ekosistem Lamun (diadopsi dari Costanza et al. 1997; MEA 2005; Burkhard et al. 2012)

(41)

2.3. Sistem Sosial-Ekologis/SSE (Social Ecological System)

Menurut Anderies et al. (2004), Social-Ecological System (SES) didefinisikan sebagai: “a ... system of biological unit/ecosystem unit linked with and affected by one or more social systems”. Dengan demikian, SES membicarakan unit ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangroves, danau, terumbu karang, pantai, sistem upwelling yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial.

Sistem sosial dan ekologi merupakan dua sistem yang memiliki konektivitas berupa hubungan saling ketergantungan. Keduanya berinteraksi secara dinamis dan merupakan unsur yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem pesisir dan laut, termasuk di dalamnya pengelolaan ekosistem lamun. Perubahan sistem sosial akan mengakibatkan perubahan pada sistem ekologi dan sebaliknya. Kenyataan yang terjadi di alam suatu sistem dapat berupa sistem ekologi sepenuhnya, sistem sosial sepenuhnya ataupun percampuran antara keduanya. Aktivitas manusia dapat menciptakan jaringan sosial ekologis sehingga sistem ekologi yang bebas menjadi terhubung dengan sistem sosial. Sistem sosial ekologis merupakan sistem yang kompleks, khususnya ketika kedua sistem tersebut saling berhubungan. Kompleksitas sistem sosial ekologi digambarkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Sistem Sosial-ekologi (Anderies et al 2004)

(42)

SSE. Komponen D adalah infrastuktur publik, merupakan dua bentuk dari model buatan manusia (human made capital) berupa modal fisik dan modal sosial. Modal fisik dapat berupa segala sesuatu yang dibuat oleh manusia untuk mendukung pengaturan dan pengelolaan SSE, sedangkan modal sosial dapat berupa aturan legal (perda, perdes), non legal (kesepakatan masyarakat) atau kearifan lokal.

Gangguan yang mungkin terjadi dalam sistem dapat berupa gangguan internal dan eksternal. Gangguan eksternal dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) gangguan biofisik (panah 7) seperti tsunami, gempa bumi, banjir yang akan mempengaruhi sumber daya (A) dan infrastruktur publik (D); 2) gangguan sosial-ekonomi seperti: pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi, inflasi, perubahan kebijakan yang akan mempengaruhi pengguna sumber daya (B) dan penyedia infrastruktur publik (C). Gangguan internal disebabkan oleh perubahan dalam kedua subsistem SSE.

Pendekatan sosiol-ekologis didasarkan atas gagasan bahwa masyarakat memperbanyak diri tidak hanya secara budaya tetapi juga secara fisik melalui pertukaran materi dan energi secara konstan dengan lingkungannya. Dalam penelitiannya Sigh et.al. (2001) menggunakan tiga variable sosial-ekologi, yaitu: 1) socio-economic metabolism; 2) colonizing natural process dan 3) energi, tenaga kerja dan waktu. Masing-masing variabel dikaji dengan pendekatan yang berbeda-beda (Gambar 2.7). Mereka juga mengatakan bahwa konsep socio-metabolism dapat menunjukkan dinamika sosial dan transformasi lingkungan di tingkat lokal yang mungkin dapat untuk melihat keberlanjutan.

(43)

Pendekatan yang sering digunakan untuk melihat keberlanjutan adalah daya dukung yang dihitung dengan pendekatan ecological foot print. Konsep ecological footprint diperkenalkan oleh Dr. Mathias Wackernagel pada tahun 1980-an yang didasarkan pada pemahaman bahwa bumi dan segenap isinya merupakan sistem yang dinamik namun tetap memiliki keterbatasan dalam memenuhi segenap kebutuhan manusia. Perbandingan kebutuhan manusia dan sumberdaya yang menjadi input bagi pemenuhan kebutuhan tersebut digambarkan sebagai jejak kaki (foot print). Apabila jejak kaki semakin besar, maka keberlanjutan sistem akan semakin rentan (Wackernegel et al. 1998).

Pendekatan lain yang digunakan untuk melihat dominansi manusia terhadap alam adalah Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP), yang diperkenalkan oleh Visoutek et al. (1986). HANPP mencerminkan jumlah area yang digunakan oleh manusia dan intensitas penggunaan lahan (Haberl et al. 2007a ) . HANPP mengukur luas konversi lahan dan panen biomasa dalam bentuk energi dalam ekosistem. Hal ini merupakan pengukuran dari aktifitas manusia dibandingkan dengan proses alami yang terjadi, dengan kata lain merupakan ukuran ekonomi secara fisik dibandingkan relatif terhadap sumberdaya yang ada. Keadaan ini juga dapat menunjukkan tekanan terhadap keanekaragaman hayati (Haberl et al. 2004b)

Ecological Footprint (EF) dan Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) adalah dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam (Haberl et al. 2004a) Kedua pendekatan tersebut memiliki perbedaan yang disarikan dalam Tabel 2.3. Secara umum, keduanya berhubungan dengan metabolisme sosio-ekonomi untuk penggunaan lahan dan dirancang untuk memberikan wawasan tentang keberlanjutan interaksi antara masyarakat dengan alam.

Tabel 2.3. Perbedaan ecological footprint dengan HANPP.

Ecological foot print HANPP

Pertanyaan penelitian

Seberapa besar area bioproduktif dapat menunjang socio-economic metabolism dari populasi manusia dengan teknologi yang ada

Bagaimana proporsi NPP sisa dalam ekosistem, pola tutupan lahan dan lahan yang digunakan

Unit Global hektar Joules, kg berat kering, kg C Yang

mendasari asumsi

Manusia tergantung pada kemampuan bioproduktif area: penggunaan yang berlebihan akan menghabiskan SDA (overshoot)

Persentasi penggunaan NPP oleh manusia dapat memberikan gambaran tentang dominansi manusia terhadap alam. HANPP yang tinggi beresiko tinggi tehadap keanekaragaman hayati Relevansi

dengan keberlanjutan

Dapat langsung menjelaskan keberlanjutan secara jelas: keadaan yang overshoot atau undershoot

Dapat menggambarkan distribusi konflik

Tidak dapat mengidentifikasi batas ambang keberlanjutan secara jelas, namun menjelaskan dominansi manusia terhadap alam

Lebih kepada sumberdaya alam Yang diukur Penggunaan secara

Eksklusif

Gambar

Tabel 1.1. Cakupan analisis penelitian
Gambar 1.3. Keterkaitan antara Bab
Gambar 2.1. Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes, 1990)
Tabel 2.1.  Beberapa dampak antropogenik terhadap ekosistem lamun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Artikel : Konektivitas Sistem1 Sosial·EkolO<lI Lamun dan Perikanan Skala Kecil di Desa Malang rapat dan Desa Serakit, Kabupaten Sintan Kepulauan Riaua. Penulis

Disamping itu terdapat keunikan dari perubahan sosial ekonomi masyarakat desa Bangorejo adalah hampir semua warga setempat mempunyai investasi lahan pertanian

Penelitian mengenai nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Teluk Banten penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun di Perairan

Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi ekologis dan potensi ekosistem padang lamun perairan Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah. Metode

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ekosistem padang lamun di Taman Nasional Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, ditemukan sedikitnya 27 spesies juvenile ikan dari

Bivalvia pada ekosistem padang lamun Pantai Pandaratan saat ini belum ada data mengenai informasi jenis-jenis bivalvia dan keanekaragaman bivalvia, sehingga

keberadaan ekosistem lamun di Perairan Barat Kabupaten Rote Ndao telah terbukti dapat memberikan jasa penyediaan berupa sumberdaya ikan dan biota lainnya yang berasosiasi

Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai struktur komunitas Echinodermata pada ekosistem lamun di Pantai Pandaratan Kecamatan Sarudik, Kabupaten Tapanuli