• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Konektivitas Sedimentasi Dan Dampaknya Terhadap Sistem Sosial Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Konektivitas Sedimentasi Dan Dampaknya Terhadap Sistem Sosial Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan)"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KONEKTIVITAS SEDIMENTASI DAN DAMPAKNYA

TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS LAGUNA

(STUDI KASUS LAGUNA SEGARA ANAKAN)

LILIK KARTIKA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

LILIK KARTIKA SARI. Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, KADARWAN SOEWARDI, AGUS SALEH ATMADIPOERA dan ENDANG HILMI.

Laguna Segaran Anakan (LSA) memiliki potensi ekonomi yang besar sebagai penyumbang produksi perikanan tangkap, utamanya udang dengan nilai lebih dari atau US$ 11,7 juta atau Rp. 154 Milyar pertahun. Besarnya manfaat ini dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di dalamnya yang menunjang serta mendukung siklus kehidupan ikan, kepiting, kerang, udang serta fauna lainnya. Selain potensi ekonomi yang dirasakan masyarakat, LSA juga berfungsi secara ekologis sebagai tempat berkembang biak (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber nutrisi (feeding ground) bagi biota perairan serta mendukung lestarinya ketersediaan plasma nutfah serta keanekaragaman hayati. Perkembangan dan pertumbuhan daratan pada kawasan LSA berkembang begitu cepat. Pada tahun 1990an Segara Anakan masih dinyatakan sebagai daerah nelayan dan perikanan darat yang potensial. Dewasa ini, kawasan LSA makin menyempit karena proses sedimentasi yang sangat intensif.

Menurunnya luasan mangrove ini mengakibatkan fungsi ekosistem mangrove sebagai tempat berkembang biak, pengasuhan dan area mencari makan ikan berkurang. Tingginya sedimentasi di kawasan tersebut mengakibatkan makin kecilnya badan air serta menurunnya kualitas perairan sebagai tempat hidup ikan. Kedua hal diatas mengakibatkan kemampuan menunjang kehidupan (carrying capacity) LSA menurun sehingga kesempatan ikan untuk hidup dan berkembang biak juga semakin terbatas. Akibat dari terbatasnya kesempatan hidup ikan tersebut mengakibatkan sumberdaya ikan di kawasan ini mengalami penurunan. Adanya penurunan hasil tangkapan menyebabkan masyarakat atau sistem sosial yang hidup di kawasan ini melakukan adaptasi agar tetap dapat hidup di kawasan ini. Adaptasi dan konektivitas sistem sosial-ekologis LSA ini menghasilkan dinamika perubahan kawasan, ekologi dan sosial. Dinamika perubahan ini akan mempengaruhi proses ekologi sehingga akan mengakibatkan berubahnya fungsi lingkungan. Perubahan fungsi lingkungan ini mempengaruhi ketersediaan barang dan jasa yang nantinya akan masuk dalam sistem sosial (human system) yang akan mempengaruhi manfaat serta biaya yang ditimbulkan akibat adanya permasalahan pada sistem ekologi sehingga akan mempengaruhi nilai bersih (net value) suatu sumberdaya.

(5)

Hasil pengukuran menunjukkan laju sedimentasi pada musim hujan sangat besar dimungkinkan karena adanya sedimen yang dipasok oleh DAS Citanduy. Laju sedimentasi dari Sungai Citanduy ini sebesar 7,4 juta ton per tahun dan yang mengendap di LSA 0,8 juta ton per tahun. Kecepatan rata-rata arus Sungai Citaduy pada musim hujan adalah 0,20 meter per detik dan 0,05 meter per detik pada musim kemarau. Debit rata-rata musim hujan adalah 1.083,3 meter kubik per detik, debit rata-rata musim kemarau 273,43 meter kubik per detik, dengan fluks sedimen sebesar 257,7 gram per meter persegi per detik saat musim hujan dan 6,8 gram per meter persegi per detik saat musim kemarau. Berdasarkan analisa perubahan luas laguna pada tahun 2003 dan 2016 pada citra OLI 7 dan 8 yang digunakan dalam penelitian ini, terjadi perubahan luas laguna dari 1.199 ha menjadi 1.043 ha, sehingga terjadi perbedaan luasan sebesar 156 ha selama 13 tahun atau laju penambahan area daratan pada laguna tersebut sebesar 12 ha per tahun pada 13 tahun terakhir.

Penelitian nilai ekonomi kawasan LSA dilaksanakan dengan melakukan pengambilan contoh populasi yang turut serta dalam penelitian ini adalah masyarakat beserta lembaga terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan kawasan Laguna Segara Anakan, dalam semua ragam penggunaan lahan. Jumlah responden ditetapkan berdasarkan azas keterwakilan serta berdasar jenis kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya di kawasan ini pada empat desa yang termasuk dalam Kecamatan Kampung Laut. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi total kawasan LSA dengan luasan area 14.807 ha yang meliputi Kecamatan Kampung Laut yang terdiri dari 4 desa ini memiliki nilai ekonomi total Rp 153.873.795.181,50 atau Rp 86.025.491,68 dari tiap ha hutan mangrove. Dampak perubahan kawasan Laguna Segara Anakan terhadap sosial ekonomi masyarakat dikethui dengan melakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara masyarakat mengenai persepsi masyarakat terhadap jasa lingkungan dengan dilakukan terhadap masyarakat yang terkait dengan manfaat LSA yang terdiri dari nelayan, petani, petambak, pembuat gula merah dan pengrajin ikan asin, ebi serta petis. Hasil penelitian menunjukkan perubahan bentang alam yang terjadi di Laguna Segara Anakan mendorong penduduk setempat mengembangkan mata pencaharian lain yang sesuai dengan perubahan alam yang terjadi. Penduduk beradaptasi untuk melakukan kegiatan yang bertumpu pada keberadaan tanah timbul tersebut. Adanya pengaruh dari pendatang yang sebagian besar adalah petani memberi wawasan kepada penduduk asli untuk melakukan kegiatan selain kegiatan kenelayanan. Mata pencaharian beragam, masyarakat melakukan adaptasi terhadap perubahan alam dan untuk mempertahankan kehidupannya. Jasa ekosistem kawasan LSA n masih memungkinkan untuk mendukung sistem sosial-ekologis. Natural capital asset di kawasan laguna ini dalam kondisi mampu menyediakan sejumlah barang dan jasa ekosistem berupa kondisi perairan laguna dan hutan mangrove yang mampu menjalankan fungsinya sebagai penyedia jasa regulasi, penyedia jasa penunjang dan penyedia jasa budaya.

(6)

SUMMARY

LILIK KARTIKA SARI. Study of Connectivity Sedimentation and Its Impact on Social-Ecological System of Lagoon (Case Study on Segara Anakan Lagoon). Supervised byLUKY ADRIANTO, KADARWAN SOEWARDI, AGUS SALEH ATMADIPOERA and ENDANG HILMI.

Segara Anakan Lagoon (SAL) has a great economic potential as a contributor to the production of capture fisheries, mainly shrimp with a value greater than or USD 8.3 million or IDR 96 billion per year. The amount of benefit is influenced by the presence of mangroves in it that support the life cycle of fish, crabs, shrimp and other fauna. In addition to the economic potential that is felt by a social system that live in it, the SAL also functions ecologically as a spawning ground, nursery ground, and feeding ground for marine life. It strongly supports the conservation of germ-plasm and biodiversity. Development and growth of the mainland in the region SAL growing so fast. In the 1990s Segara Anakan still declared as an area of fisheries and freshwater aquaculture potential. Nowadays, the area of SAL have narrowed due to sedimentation process whichvery intensive.

Decline covering of mangrove resulted mangrove ecosystem function as a spawning ground, nursery ground, and feeding ground to be reduced. The high sedimentation in this region resulted in increasingly smaller water bodies as fish habitats. Sedimentation in addition to filling the water body is also causes turbidity of the water body. Both of the condition resulted in decreased ability SAL carrying capacity so that the chance of fish to live and breed is getting limited. As a result of limited opportunities resulted in the fish habitats fish resources in this region decreases both of population and of size. A decrease in catches led to community or social system that live in the region to adapt in order to continue living in this region. Adaptation and connectivity socio-ecological system in this SAL produces the changing dynamics of the area. The dynamics of these changes will affect ecological processes that will result in changes in the function of the environment. This function changes the environment affects the availability of goods and services that will be included in the human system that will affect benefits and costs incurred as a result of problems in the ecological system so that it will affect the net value of a resource.

(7)

area of 1,199 ha to 1,043 ha, which results in different area of 156 ha for 13 years or the rate of increase in land area in the lagoon of 12 ha per year in the last 13 years.

Research co-evolution of social-ecological systems in the SAL conducted by collecting primary and secondary data. Primary data were obtained by interview people about the public perception of environmental services with committed against people associated with the benefit Segara Anakan consisting of fishermen, farmers, shrimp farmers, craftspeople maker brown sugar and salted fish, dried shrimp and shrimp paste. The results showed changes that occurred in the landscape Segara Anakan encourage local people to develop other livelihood according to the natural changes that occur. Residents adapted to engage in activities that based on the the presence of the raised ground. The influence of entrants who are mostly farmers give insight to the natives to carry out activities other than fishing activities. Livelihood increasingly diverse. Peoples adapt to natural changes and to preserve life. Ecosystem services Region Segara Anakan show is still possible to support the socio-ecological systems on top of society. Natural capital assets in the area of the lagoon is in condition to be able to provide a number of ecosystem goods and services such as water conditions lagoons and mangrove forests are able to function as a regulation services provider, supporting service providers and providers of cultural services.

Regional economic value SAL study carried out by sampling the population that participated in this study is the community, along with related parties, directly or indirectly in the area use Segara Anakan Lagoon, in all manner of land use. The number of respondents is determined based on the principle of representation as well as by type of activities that the resources in this area in four villages in Kampung Laut subdistrict. The results showed the total economic value Segara Anakan region with an area of 14,807 ha area, which includes subdistrict Kampung Laut consisting of 4 villages have a total economic value of IDR 153,873,795,181.50 or IDR 86,025,491.68 from each ha of mangrove forest. Keywords: hydro-oceanographic dynamics, sedimentation, Segara Anakan

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

KAJIAN KONEKTIVITAS SEDIMENTASI DAN DAMPAKNYA

TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS LAGUNA

(STUDI KASUS LAGUNA SEGARA ANAKAN)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup dan Sidang Promosi :

1 Prof. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Guru Besar Eko-Biologi,

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

2 Dr Agung Dhamar Syakti, DEA

Kepala Pusat Studi Biosains Maritim – LPPM Universitas Jenderal Soedirman

(11)

Judul Disertasi : Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya Terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan)

Nama : Lilik Kartika Sari

NIM : C262100021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi,MS Anggota

Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS Anggota

Dr. Endang Hilmi, S Hut., M.Si. Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian Tertutup : 20 Juli 2016 Tanggal Sidang Promosi : 29 Agustus 2016

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala berkat dan rakhmat-Nya sehingga disertasi dengan judul: Kajian Konektivitas Sedimentasi dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial-Ekologis Laguna (Studi Kasus Laguna Segara Anakan) dapat terselesaikan. Disertasi ini disusun atas serangkaian penelitian di Kawasan Laguna Segara Anakan guna menyelesaikan pendidikan Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Komisi Pembimbing; Dr Ir Luky Adrianto, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi, MS, Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS dan Dr Endang Hilmi, SHut M.Si masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing serta Penguji; Prof Dr Ir Sulistiono, MSc dan Dr Agung Dhamar Syakti, DEA yang telah memberikan waktu serta sumbangan pikirannya yang sangat berharga serta kesabarannya dalam mengarahkan penulis untuk penyelesaian penulisan disertasi ini,

2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan serta Kemetrian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian berupa Hibah Program Doktor yang diberikan sehingga membantu kelancaran disertasi ini, 3. Ketua, Sekretaris dan Staf Pendidik Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu yang telah diberikan,

4. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB beserta jajarannya atas segala fasilitas dan bantuannya,

5. Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman beserta jajarannya atas segala fasilitas, bantuan serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan tertinggi,

6. Keluarga tercinta, suami tersayang Wahyu Widiatmoko, ST dan ananda-ananda tercinta, Wijdaan Dzaki Mulya Ardi, Aida Atsiyl Saraswati dan Arfa Aryasatya Wistara atas segala pengorbanan, pengertian dan kasih sayang serta semangatnya,

7. Teman seperjuangan, Pak Zairion, Mbak Dewi Susiloningtyas, Mas Paryono dan Mbak Selvi Tebay, serta Mbak Yuli Purwandari Kristianingrum, Ibu Nurul Dhewani Mirah Sjafrie, serta Nunung Nur Azizah, Arbi Mei Gitarama, Erik Munandar, Bang Iqbal, Bp. Yudi Wahyudin, Yulma, Ferdi Gustian Utama, Mas Agus Supriyanto (Ujung Gagak), Mas Tri Nur Cahyo, Agus Alim Hakim, alm. Bp Yayat, Bp. Muhajir, Bp. Edi Kusmanto, Bp. Gentio Harsono, teman-teman HILMI.com, teman-teman Perikanan Undip

‟90, dan Alste ‟90, terimakasih atas dorongan semangat, doa dan bantuannya.

(14)

9. semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan dalam penyelesaian studi ini.

Semoga jasa Bapak, Ibu, Saudara serta suami dan anak-anakku mendapat imbalan baik dan berlipat dari Allah SWT. Semoga karya tulis ini berguna bagi semua. Aamiin.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 10

Kebaruan 18

Ruang Lingkup Penelitian 18

2 DINAMIKA HIDRO-OSEANOGRAFI KAWASAN LAGUNA SEGARA

ANAKAN 19

Pendahuluan 19

Tujuan 19

Metode Penelitian 20

Hasil dan Pembahasan 23

Simpulan 40

3 KO-EVOLUSI SISTEM SOSIAL – EKOLOGIS LAGUNA SEGARA

ANAKAN 41

Pendahuluan 41

Tujuan 42

Metode Penelitian 42

Hasil dan Pembahasan 45

Simpulan 74

4 NILAI EKONOMI KAWASAN LAGUNA SEGARA ANAKAN 75

Pendahuluan 75

Tujuan 76

Metode Penelitian 76

Hasil dan Pembahasan 80

Simpulan 90

5 DAMPAK SEDIMENTASI TERHADAP SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS

LAGUNA SEGARA ANAKAN 91

Pendahuluan 91

Tujuan 92

Metode Penelitian 92

Hasil dan Pembahasan 92

Simpulan 98

(16)

7 SIMPULAN DAN SARAN 104

DAFTAR PUSTAKA 105

LAMPIRAN 114

(17)

DAFTAR TABEL

1 Luas hutan mangrove di Laguna Segara Anakan 5

2 Hidrologi Sungai dan Anak Sungai yang menuju LSA 5 3 Publikasi yang berkaitan dengan konektivitas, sedimentasi dan sistem

sosial-ekologis laguna 11

4 Lokasi pengamatan CTD 22

5 Suhu, curah hujan dan banyaknya hari hujan pada 2011 s.d 2014 46 6 Perubahan Komposisi Lahan Kawasan Laguna Segara Anakan 49 7 Jumlah individu dan luas penampang pohon dan pancang mangrove 49 8 Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove pada Kawasan Laguna Segara

Anakan 50

9 Produksi mutiara Segara Anakan 55

10 Dinamika Sistem Sosial-Ekologis Laguna Segara Anakan 56 11 Keberadaan sarana pendidikan formal di Kampung Laut 60 12 Ragam Pendukung Kegiatan Penduduk Desa Ujung Gagak 65

13 Sarana Kesehatan Kecamatan Kampung Laut 67

14 Suplai Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan 69

15 Kebutuhan Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan 70 16 Ketersediaan Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan 71

17 Hasil tangkapan nelayan dahulu dan saat ini 72

18 Klasifikasi Fungsi dan Manfaat Kawasan Laguna Segara Anakan 76 19 Nilai Ekonomi Manfaat Langsung Kawasan Laguna Segara Anakan 87 20 Perkembangan Produksi Udang (H), Upaya Tangkap (E) dan Luas

Mangrove 88

21 Nilai Ekonomi Total Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan

Laguna Segara Anakan 90

22 Pasokan Sedimen dari Sungai Citanduy ke Laguna Segara Anakan 93 23 Kandungan Oksigen Terlarut Perairan Laguna Segara Anakan 93

24 Dinamika Nilai Karbon Laguna Segara Anakan 95

25 Mata Pencaharian Penduduk Kampung Laut dari Masa ke Masa 96

26 Rumah Tangga Perikanan Laguna Segara Anakan 98

27 Arahan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan 103

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus kerusakan lingkungan di Segara Anakan (Al Amin 2002) 4 2 Saling keterkaitan antara permasalahan yang terjadidi hulu dari

sungai-sungai yang bermuara di LSA dengan model DPSIR

(Driving-Force-Pressure-State-Impact-Respon) 9

3 Kerangka pemikiran dinamika Dinamika Sistem Sosial-Ekologis

Laguna Segara Anakan 10

4 Perangkap Sedimen (Sediment Trap) 21

5 Stasiun Letak Perangkap Sedimen 21

6 Kondisi Pasang Surut saat Pengamatan 24

7 Variasi Temporal Temperatur Muara Sungai Citanduy dalam Satu

(18)

8 Variasi Temporal Salinitas Muara Sungai Citanduy dalam Satu Siklus

Pasang-surut 30

9 Arus Rata-rata Muara Sungai Citanduy pada Musim Hujan dan Musim

Kemarau 34

10 MPT pada Musim Hujan (2 Maret 2014) dan Musim Kemarau (25

Agustus 2014) 36

11 Laju sedimentasi selama satu tahun pada Perairan Laguna Segara

Anakan 38

12 Komposisi sedimen Kawasan Laguna Segara Anakan 39 13 Perubahan luas lahan badan air Laguna Segara Anakan 2003 – 2016 39

14 Lokasi Penelitian 43

15 Letak stasiun pengamatan kualitas air 47

16 Tren perubahan luas laguna 47

17 Perubahan luas laguna 1978 - 2016 48

18 (a) Distribusi tingkat kerusakan mangrove di Segara Anakan dan (b) Distribusi kerapatan (ind/m2) spesies Acanthus ilicifolius 51

19 Peta Kecamatan Kampung Laut 53

20 (a) Perkampungan perikanan di Segara Anakan yang merupakan cikal bakal Kampung Laut Cilacap pada sekitar tahun 1900 (Sumber: Koleksi KITLV, Leiden, The Netherlands dalam Manez 2010) dan (b) Desa

Ujung Gagak, Kecamatan Kampung Laut saat ini 54

21 Keragaman Dinding Rumah Kecamatan Kampung Laut 55

22 Dinamika penduduk Kecamatan Kampung Laut 57

23 Jumlah penduduk dari tiap desa dan luas wilayah di Kecamatan

Kampung Laut 57

24 Penduduk Kampung Laut berdasar kelompok umur 58

25 Ragam mata pencaharian penduduk tiap desa di Kecamatan Kampung

Laut 59

26 Komposisi Penduduk Asli dan Penduduk Pendatang di Kecamatan

Kampung Laut 60

27 Komposisi penduduk tamat pendidikan Tahun 2014 61 28 Jenis alat tangkap yang beroperasi di Laguna Segara Anakan 63 29 Jaring apong dalam sketsa (1) dan keyataan di lapangan (2) 64 30 Ragam mata pencaharian penduduk Desa Ujung Gagak 64 31 Keragaman agama penduduk Kecamatan Kampung Laut 66 32 Tahap Penilaian Nilai Ekonomi Total Kawasan Laguna Segara Anakan 77 33 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting 83

34 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kerang 84

35 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Udang 85

36 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Ikan 86

37 Perubahan Luas Laguna 1978 s.d 2016 (Data Primer diolah dari Citra

Landsat OLI 7 dan 8) 92

38 Laju Perubahan Kedalaman Perairan Laguna Segara Anakan 93 39 Dinamika Total Produksi Laguna Segara Anakan 1978-2001 (Sumber:

Boesono 2003) 94

40 Dinamika CPUE (Catch per Unit Effort) Udang Segara Anakan

(19)

41 Dinamika Kerang Totok di Kawasan Segara Anakan (Sumber:

Listyaningsih 2013) 95

42 Dinamika Pendapatan Masyarakat Kampung Laut 1980-2011 (diolah dari Prayitno (2001) dalam Ramadhan dan Hafasaridewi 2012, dengan asumsi nilai tukar rupiah tahun 2011, 1 US Dollar = Rp 8.500,00) 97 43 Dampak Sedimentasi dan Sistem Sosial terhadap Perairan Laguna 102

DAFTAR LAMPIRAN

1 Variasi Temporal Arus Maret dan Agustus 2014 115

2 Nilai MPT Maret dan Agustu 2014 117

3 Perhitungan Fluks Sedimen 118

4 Laju sedimentasi pada tiap tanggal pengamatan 123 5 Nilai Ekonomi Kayu Bakar Mangrove pada Kawasan Laguna Segara

Anakan 124

6 Nilai Ekonomi Nipah pada Kawasan Laguna Segara Anakan 125 7 Nilai Ekonomi Satwa pada Kawasan Laguna Segara Anakan 126 8 Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Kepiting 127

9 Model Ekonomi Sumberdaya Kepiting 128

10 Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Kerang 130

11 Model Ekonomi Sumberdaya Kerang 131

12 Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Udang 133

13 Model Ekonomi Sumberdaya Udang 134

14 Hasil Analisis Regresi Berganda Tangkapan Ikan 136

15 Model Ekonomi Sumberdaya Ikan 137

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan pesisir terpadu (ICM-Integrated Coastal Management) menurut Thia-Eng (2006) memiliki tiga prinsip dasar, yaitu pengelolaan yang adaptiv (adaptive management), integrasi dan inter-relationship, serta pengelolaan berbasis ekosistem (Ecosystem-Based Management, EBM). Adapun prinsip integrasi dan interelationship memastikan konsistensi internal antara kebijakan dan tindakan pengelolaan, meliputi integrasi sistem, integrasi fungsional, serta integrasi kebijakan. Integrasi sistem terkait dengan konektivitas yang merupakan instrumen atau alat dari sistem sosial-ekologis, dimana didalamnya terdapat ko-evolusi. Ilmu tentang konektivitas ini dalam prespektif perencanaan spasial, prespektif konflik dan prespektif fisik. Prespektif fisik disini adalah sedimentasi, oleh karenanya perlu adanya penelitian tentang konektifitas sedimentasi dan dampaknya yang terjadi pada Laguna Segara Anakan.

Laguna Segara Anakan (LSA) yang terletak diantara 7o35‟ – 7o46‟ S dan

108o45‟ – 109o01‟ E berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi

Jawa Tengah. Luas keseluruhan kawasan sekitar 24.000 ha dan merupakan kawasan estuari yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat. Ekosistem Segara Anakan mencakup wilayah perairan terbuka, tanah timbul, rawa air asin dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan habitat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna. LSA yang berada di daerah pesisir selatan Jawa merupakan sistem ekologi yang terkait dengan peristiwa sedimentasi akibat kegiatan Daerah Aliran Sungai diatasnya serta sistem perikanan yang terkait dengan pelaku, struktur dan proses sosial didalamnya.

LSA memiliki potensi ekonomi yang besar yaitu sebagai penyumbang produksi perikanan tangkap (utamanya udang dengan nilai lebih dari atau US$ 8,3 juta atau Rp. 96 Milyar pertahun). Besarnya manfaat ini dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di dalamnya yang menunjang serta mendukung siklus kehidupan ikan, kepiting, udang serta fauna lainnya. Hasil riset yang pernah dilakukan menyatakan bahwa setiap hektar mangrove di LSA dengan biota laut yang menumpangnya memiliki nilai ekonomis hingga US$ 1.400 atau Rp. 16 Juta (Sukardi, 2010).

Selain potensi ekonomi yang bermanfaat bagi sistem sosial yang hidup didalamnya, LSA berfungsi secara ekologis sebagai tempat berkembang biak (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber nutrisi (feeding ground) bagi biota perairan. Hal tersebut sangat mendukung lestarinya ketersediaan plasma nutfah serta keanekaragaman hayati.

Perkembangan dan pertumbuhan daratan pada kawasan LSA berkembang cepat. Pada tahun 1990an Segara Anakan masih dinyatakan sebagai daerah nelayan dan perikanan darat yang potensial. Saat ini, kawasan LSA makin menyempit karena proses sedimentasi yang sangat intensif. Beberapa lokasi yang sebelumnya dinyatakan sebagai gosong pasir, sekarang telah menyatu dengan daratan Cilacap (Usman et al, 2005).

(22)

j.o. Peraturan Presiden No 28 Tahun 2012 kawasan Pangandaran, Kali Pucang, Segara Anakan dan Nusa Kambangan (Pacangsanak) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional khususnya terkait dengan konservasi wilayah dan sumberdaya alam.

Lebih lanjut Máñez (2010) menyatakan bahwa kawasan laguna Segara Anakan saat ini hanya tinggal 2.200 ha. Berdasar analisa peta sejarah, foto udara dan citra satelit menunjukkan bahwa sekitar 6.300 ha atau lebih dari dua per tiga dari daerah perairan telah berubah menjadi lahan baru sejak 1850. Letusan gunung berapi juga kemungkinan telah memainkan peranan penting, seperti letusan Gunung Galunggung tahun 1822, 1983 dan 1984.

Sedimentasi yang tinggi memperparah kerusakan LSA karena adanya beban materi yang tinggi yang masuk ke badan perairan. Zuardi (2002) memperkirakan pada tahun 2040 Segara Anakan akan tertutup sedimentasi dengan perkiraan sedimen yang masuk ke LSA dari Sungai Citanduy sebesar 8,05 juta ton per tahun, Sungai Cimeneng sebesar 0,87 juta ton per tahun, serta Sungai Cikonde 0,22 juta ton per tahun, sehingga total pasokan sedimen 9,14 juta ton per tahun. Dari 9,14 juta ton tersebut, 0,66 juta ton sedimen mengendap di LSA, dan 8,5 juta ton sedimen menuju ke laut. Hal tersebut mengakibatkan penurunan luas LSA dari 6.898 ha pada tahun 1890 menjadi hanya 800 ha pada tahun 2007 (Departemen Kimpraswil dalam Suryawati, 2011). Berkurangnya luas LSA juga diperkirakan tinggal 673 ha pada 2011 (Ramadhan dan Hafsaridewi, 2012), dan 400 ha saat ini (Kompas, 2013). LSA memiliki catchment area DAS Cimeneng 76.536 ha, DAS Citanduy 350.109 ha dan Sub DAS Cikawung 72.250 ha dengan total 498.894 ha (DPU, 2013).

Keberlanjutan LSA saat ini semakin terancam dengan adanya pembabatan hutan mangrove yang dipicu oleh pemanfaatan mangrove sebagai bahan bangunan, bahan baku arang, kayu bakar serta kebutuhan rumah tangga lainnya. BPKSA (2008) melaporkan terjadinya perubahan luasan mangrove di kawasan LSA dari 15.551 ha (pada tahun 1974) menjadi 8.359 ha (pada tahun 2003). Perubahan ini disebabkan oleh adanya konversi areal mangrove menjadi areal persawahan, pertambakan, pemukiman, serta pemanfaatan kayu sebagai material bahan bangunan, serta bahan baku arang untuk keperluan industri.

Menurunnya luasan mangrove mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan setempat dari waktu ke waktu. Hal tersebut dituliskan oleh Máñez (2010) bahwa hasil tangkapan menurun, dengan adanya laporan ketiadaan beberapa jenis ikan, moluska dan spesies mamalia yang sebelumnya terdapat di Segara Anakan. Dinamika perubahan hasil tangkapan tersebut, antara lain disebabkan karena fungsi mangrove secara ekologis berkurang sehingga makin sedikit kesempatan ikan untuk melewatkan hidupnya di mangrove. Selain hasil tangkapan yang makin sedikit, biaya atau usaha yang dilakukan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan juga makin besar. Hal tersebut terlihat dari makin sedikit dan makin kecilnya ukuran ikan hasil tangkapan juga makin lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil tangkapan. Dinamika atau perubahan luas mangrove serta badan air LSA ini berkaitan dengan besarnya manfaat yang diperoleh serta usaha atau biaya yang dikorbankan untuk mendapatkan hasil tangkapan.

(23)

ekonomi masyarakat menghasilkan keragaman profesi masyarakat itu sendiri, seperti nelayan, petani, petambak, pedagang dan penyedia jasa lainnya. Dilain pihak, keberadaan LSA ini juga dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat yang beraktifitas di dalamnya. Pendekatan dengan peran masyarakat serta aktifitas di dalamnya dalam suatu lingkup ekologi merupakan pendekatan dengan menggunakan sistem sosial ekologis, atau yang dikenal dengan Social Ecological System (SES) yang merupakan keterpaduan dan hubungan timbal balik alam dan manusia yang hidup didalamnya. Anderies et al (2004) menyatakan bahwa sistem sosial ekologis merupakan sistem dari unit biologi atau ekosistem yang dihubungkan serta dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial.

Sistem Sosial-Ekologis (SSE) LSA sangat dipengaruhi oleh faktor internal (ecological changes) dan faktor eksternal (human behavior changes; anthropogenic) termasuk dalam hal ini persoalan kebijakan, ekonomi politik kawasan dan lain sebagainya. Adanya sistem sosial di kawasan tersebut beserta aktifitas masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai penopang kehidupan mereka mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Semakin besar hubungan antara kehidupan manusia dan sumber daya alam (dalam hal baik spasial dan temporal), para pengguna sumberdaya semakin gencar dan pembuat kebijakan diharapkan memiliki kemampuan untuk menjaga integritas dan produktivitas ekosistem (Salafsky et al, 2008).

Nelayan di bagian utara LSA kehilangan sumber penghidupan sebagai nelayan akibat meluasnya tanah timbul yang umumnya kemudian beralih menjadi lahan pertanian dan pertambakan. Kondisi internal masyarakat LSA diperparah dengan dengan adanya faktor luar yang ikut mempengaruhinya. Banyak petambak yang berasal dari luar kawasan LSA memulai usaha budidaya di kawasan LSA. Sebagian masyarakat lokal mendapat kesempatan untuk mempelajari teknologi dari luar tersebut dan kemudian terdorong untuk membuka lahan mangrove dan mengkonversinya menjadi areal-areal pertambakan. Seperti halnya di Desa Ujungalang, pada tahun 1997 luas lahan yang dibuka untuk tambak adalah 187 ha. Perambahan hutan mangrove juga dilakukan oleh petani guna mencukupi kebutuhan mereka akan lahan pertanian. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1997-1998, terdapat sebuah proyek perkebunan pisang cavendish yang dilakukan di kawasan LSA dan Nusakambangan. Berhektar-hektar lahan di tanah timbul dari Pesuruhan hingga Klaces dibuka dengan menggunakan buldoser dan mendatangkan tenaga kerja dari luar Kampung Laut. Kegiatan ini berakhir dengan pengusiran para pendatang tersebut oleh penduduk asli Kampung Laut dengan dukungan pemerintah dan tentara pada tahun 1999. Sebagian besar pulang ke daerah asal di Jawa Barat dan sebagian menetap di Lempong Pucung dan Klaces sebagai buruh tani (Sonjaya, 2007).

(24)

maupun dari ukuran. Adanya penurunan hasil tangkapan menyebabkan masyarakat atau sistem sosial yang hidup di kawasan ini melakukan adaptasi agar tetap dapat hidup di kawasan ini. Adaptasi dan konektivitas sistem sosial ekologi di LSA ini menghasilkan dinamika perubahan kawasan. Konektivitas atau keterkaitan antara dinamika perubahan kawasan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat yang hidup dalam kawaan tersebut sehingga melakukan adaptasi untuk dapat tetap hidup dan memanfaatkan sumberdaya kawasan tersebut. Dinamika perubahan ini akan mempengaruhi proses ekologi sehingga akan mengakibatkan berubahnya fungsi lingkungan. Perubahan fungsi lingkungan ini mempengaruhi ketersediaan barang dan jasa yang nantinya akan masuk dalam sistem sosial (human system) yang akan mempengaruhi manfaat serta biaya yang ditimbulkan akibat adanya permasalahan pada sistem ekologi sehingga akan mempengaruhi nilai bersih (net value) suatu sumberdaya.

Permasalahan diatas akan berdampak pada ancaman ekologi yang lebih besar. Hutan mangrove di kawasan LSA merupakan habitat penting bagi kelangsungan jaringan makanan (food web) di perairan selatan Pulau Jawa. Kerusakan dalam siklus ini yang terjadi secara interaktif antara aspek sosial dan aspek ekologis dan akan terus berlangsung kecuali dilakukan tindakan yang tepat dan cepat dalam mengatasinya. Seperti halnya ilustrasi yang diberikan oleh Al Amin (2002) pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus kerusakan lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002) Degradasi lingkungan di LSA berdampak pada kehidupan masyarakat yang kesehariannya bergantung pada sumberdaya hutan mangrove dan perairan. Luas perairan LSA berkurang sedangkan penduduk makin bertambah. Perairan LSA yang luasnya tinggal 400 ha (Sonjaya, 2007), bisa menghidupi 15.278 jiwa yang sebagian besar hidupnya tergantung pada kegiatan nelayan padahal jumlah ideal penduduk yang diharapkan berdiam di kawasan LSA hanyalah sekitar 8.000 jiwa agar daya dukung lingkungan tidak mendapat tekanan yang terlalu berat (Monografi Kampung Laut, 2008 dalam Mumpuni, 2012).

(25)

dirancang untuk mengetahui laju sedimentasi, memetakan jasa ekosistem, serta mengetahui nilai ekonomi kawasan dan memberikan arahan dan sumbang saran kebijakan agar kawasan laguna Segara Anakan ini tetap lestari.

Perumusan Masalah

Peranan ekosistem di Laguna Segara Anakan (LSA) mendukung kestabilan ekologis wilayah pesisir Pantai Selatan Jawa, karena menyimpan beragam fungsi ekologis, diantaranya spawning ground, nursery ground, dan feeding ground. Fungsi ini sering diterjemahkan sebagai konversi dan penyuplai nutrien, penyerap dan peredam gelombang, serta tempat mencari makan bagi biota pesisir. LSA juga memainkan peranan yang sangat penting dalam menopang kehidupan masyarakat setempat melalui hasil tangkapan ikan dan produksi hutan mangrove.

Pentingnya laguna sebagai kawasan pembibitan menunjukkan pilihan untuk pengelolaan yang bekerjasama antara pemerintah dan nelayan LSA. Menurut Dudley (2000) sebagai sebuah kawasan LSA yang sehat mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi nelayan sehingga dalam setiap tahunnya nelayan dapat memanen sekitar US $ 6 juta atau lebih dari Rp. 69 Milyar nilai produk perikanan (didominasi udang). Setiap hektar kawasan LSA menghasilkan lebih dari US $ 1.500 atau Rp. 17 Juta tiap tahunnya. Lebih lanjut Purnamaji (2006) menyatakan bahwa LSA dan kawasan di sekitarnya telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari Rp. 62 Milyar dan nilai hutan mangrove mencapai Rp 125 Juta per haer tahun dan akan semakin meningkat seiring dengan makin berfungsinya ekosistem LSA.

Sumberdaya ikan di LSA merupakan sumber makanan dan mata pencaharian utama masyarakat yang tinggal di sekitarnya, terutama penduduk Kampung Laut. Makin berkembangnya penduduk di kawasan LSA, maka kebutuhan terhadap sumber pangan juga meningkat. Kebutuhan masyarakat yang sebelumnya tercukupi dari hasil perikanan tangkap ternyata sudah tidak tercukupi lagi sejalan dengan berkurangnya volume badan perairan tempat berkembang biaknya ikan. Peningkatan kekeruhan, berkurangnya badan air, berkurangnya luasan mangrove, serta peningkatan intensitas penangkapan telah mengakibatkan penurunan hasil tangkapan. Kerusakan dan berkurangnya lahan mangrove berakibat menurunnya hasil tangkapan, karena siklus hidup dari ikan-ikan tersebut terganggu akibat tidak adanya kawasan yang menunjang dalam siklus hidup mereka. Berikut Tabel 1 merupakan laju perubahan luasan hutan mangrove di LSA.

Tabel 1 Luas hutan mangrove di Laguna Segara Anakan

Tahun Luas Hutan Mangrove

1974 15.551 ha

1978 10.975 ha

1994 8.975 ha

1998 8.892 ha

2001 8.482 ha

2003 8.359 ha

2007 6.823 ha

(26)

Penyempitan dan pendangkalan perairan LSA serta berkurangnya luasan mangrove sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil ikan potensial dan udang pada khususnya. Produksi sumberdaya ikan potensial yaitu produksi tangkapan menurun dari 5.250 ton (pada tahun 1979) menjadi 2.000 – 3.000 ton per tahun (pada tahun 2011) dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar 1,5 – 3 kg per trip (Tjahjo dan Riswanto, 2011). Hal ini makin memperparah keadaan Segara Anakan sebagai sumber plasma nutfah seperti yang dinyatakan Saputra (2010) bahwa pemanfaatan Udang Jahe atau Dogol Biru atau Udang Jari (Metapenaeus elegans) di kawasan LSA sudah berada dalam kondisi over exploited; tingkat pemanfaatan sudah mencapai 154% dari nilai Emsy dimana

spesies tersebut yang tertangkap berukuran antara 8,4 s.d. 11,8 cm dan umumnya ditangkap dengan jebakan (traps), push nets, set nets dan peralatan perikanan artisanal.

Dudley (2000) menyatakan kekayaan sumberdaya perikanan LSA dicirikan dengan melimpahnya biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis udang alam yang didominasi Udang Jerbung (Penaeus marguiensis), Udang Peci (Penaeus indiscus) dan Udang Jari (Metapenaeus elegans), dua jenis kepiting ekonomis penting; rajungan dan kepiting bakau yang didominasi jenis Scylla olivacea dan Scylla serrata. Terdapat 3 jenis kepiting bakau dalam kawasan ini, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica dan Scylla olivacea (Nazar et al, 2007) Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total udang yang tertangkap nelayan, menetas dan dibesarkan di kawasan LSA. Hal ini menandakan LSA memiliki peran yang penting dalam pengelolaan pesisir dimana beberapa jenis udang menggunakan laguna ini sebagai daerah asuhan. Beberapa jenis udang tersebut ditemukan di LSA pada stadia juvenil sampai ukuran sedang, dan selanjutnya ketika telah mencapai ukuran yang lebih besar keluar dari LSA menuju area pesisir.

Tjahjo dan Riswanto (2011) menyatakan bahwa dengan tingkat tingkat penutupan vegetasi mangrove saat ini dapat memberikan kecukupan hidup bagi kelimpahan rata-rata telur 45 – 1.363 butir per 1.000 m2, larva ikan 284 – 1.181 individu per 1.000 m2 dan larva udang 2.400 – 22.265 individu per 1.000 m2. Hal ini tergantung dari besar kecilnya tingkat penutupan vegetasi mangrove. Tingkat penutupan vegetasi mangrove yang tinggi mampu memberikan nutrisi dan perlindungan yang cukup bagi populasi juvenil ikan, udang dan biota lain sehingga kawasan LSA mampu berperan sebagai daerah asuhan bagi ikan dan udang.

PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Ekosistem Laguna Segara Anakan merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional yang

perlu mendapat perhatian khusus” dari pemerintah dan pemerintah daerah, serta

adanya Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 6 Tahun 2001 Tentang Rencana Tata Ruang Segara Anakan yang bertujuan mengendalikan tingkat kerusakan ekosistem LSA dari berbagai macam praktek pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya oleh penduduk lokal ternyata belum berjalan sesuai harapan, bahkan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di sekitar kawasan LSA tekanan terhadap ekosistem LSA semakin besar.

(27)

oleh orang-orang yang berada di luar kawasan LSA. Namun demikian, sistem pegendalian terhadap aktivitas illegal logging lebih banyak diserahkan kepada pemerintah saja, dalam hal ini BPKSA dan aparat hukum. Tindakan masyarakat terhadap aktivitas penebangan liar tersebut hampir tidak ada. Masyarakat beranggapan bahwa pengawasan hukum terhadap penebangan liar adalah tugas dan kewajiban pemerintah. Selain pendekatan penegakan hukum yang bersifat top down, masyarakat juga tidak memiliki budaya lokal yang mengajarkan tentang mekanisme menjaga lingkungan dan melestarikannya. Dampak dari lemahnya pengawasan oleh masyarakat adalah berbagai kegiatan yang merusak hutan bakau tidak mendapat tindakan berarti dari masyarakat sekitar. Sementara keberadaan aparat hukum di lokasi kejadian juga tidak dapat diandalkan.

Setyoko dan Rosidi (2009) menyatakan, upaya untuk merehabilitasi hutan mangrove pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan, namun demikian upaya tersebut tidak melibatkan masyarakat. Menurut seorang tokoh nelayan diungkapkan bahwa sejak awal khususnya tahap perencanaan masyarakat tidak pernah dilibatkan. Apabila ada beberapa anggota masyarakat yang terlibat sebenarnya mereka hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaannya saja. Akibatnya, kerusakan hutan bakau akibat penebangan liar tidak efektif dikendalikan, karena masyarakat memandang tanggung jawab pengendalian berada di bawah kendali pemerintah daerah dan aparat keamanan. Diungkapkan pula dalam studi di LSA yang dilakukan Reichel et al (2009) mengidentifikasikan paling tidak empat jenis konflik, yaitu konflik antara nelayan dan petani, konflik antar nelayan, konflik antara nelayan dan industri, dan konflik antara pemerintah (negara) dan masyarakat lokal. Koran Tempo (2012) bahkan menyatakan hutan mangrove di LSA diusulkan masuk skema Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD plus) dikarenakan mangrove di LSA sudah sangat rusak. Selain penebangan liar, sedimentasi dan banyaknya industri besar memperburuk keadaan LSA sehingga diharapkan dengan masuknya LSA dalam program REDD plus mangrove di kawasan ini terselamatkan.

Karaktersitik LSA yang merupakan pertemuan pertemuan dari beberapa sungai seperti Citanduy, Cimeneng, Cibereum, Cikonde dan beberapa sungai lainnya semakin mendorong tingginya sedimentasi tiap tahun. Penelitian Ludwig (1985) dalam CRMP (1992) menyatakan estimasi lumpur yang masuk ke LSA mencapai 5,24 juta m3 per tahun (Tabel 2).

Tabel 2 Hidrologi Sungai dan Anak Sungai yang menuju Laguna Segara Anakan

Sungai Rata-rata Aliran (juta m3 / hari) Estimasi lumpur yang masuk ke LSA (juta m3/ tahun) Musim

Hujan

Musim Kemarau

Rata-rata per tahun

Citanduy 24,45 14,77 19,61 3,04

Cibereum 0,17 0,05 0,11 0,01

Cikonde 1,50 0,08 0,79 2,19

Total 26,12 14,90 20,51 5,24

Sumber : Ludwig (1985) dalam CRMP (1992)

(28)

populasi larva dan juvenil ikan potensial dan udang pada khususnya. Hal tersebut terbukti bahwa produksi sumberdaya ikan potensial antara lain produksi tangkapan udang menurun dari 5.250 ton pada tahun 1979 dan pada tahun 2011 menjadi 2.000-3.000 ton/tahun dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar antara 1,5-3 kg/trip. Sebagai perbandingan pula, Zarohman (2000) dalam Purnamaji (2003) mengungkapkan laju tangkapan jaring apong menurun menjadi kurang dari setengahnya, yaitu 15,1 kg per trip pada tahun 1987-1988 menjadi 6,5 kg per trip (pada 1999-2000), serta total tangkapan udang pada tahun 1987-1988 tercatat antara 700-800 ton menjadi hanya 150-250 ton pada 1999-2000. Demikian juga sumberdaya ikan yang pada awalnya berjumlah lebih dari 60 spesies (10 famili) dengan dominasi spesies potensial dari kelompok Anguillidae seperti sidat (Anguilla sp) dan Scatophagidae, saat ini hanya tinggal 45 jenis tanpa ada dominansi spesies (Dudley, 2000).

Lebih lanjut Suryawati (2012) menyatakan bahwa intervensi kebijakan dengan cakupan spasial yang rendah, seperti pengerukan muara sungai, belum mampu menurunkan tingkat permasalahan sosial ekonomi di LSA secara nyata. Pengerukan reguler muara sungai oleh sebagian pengamat diperkirakan berpotensi memunculkan konflik ketidakadilan distribusi. Hal tersebut positif bagi petani, akan tetapi nelayan memandangnya sebagai sesuatu yang negatif karena menyebabkan penurunan sumberdaya ikan.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Reichel et al (2009) adanya hubungan yang tidak harmonis antara petani Sunda imigran dan para nelayan Jawa tradisional lokal. Sementara petani biasanya bisa membangun sedikit dari eksistensi yang layak, nelayan malah menjadi semakin miskin. Berbeda dengan nelayan, yang mengungkapkan minat dalam melestarikan permukaan air laguna, para petani biasanya melihat proses peningkatan pendangkalan sebagai sesuatu yang positif karena akan menghasilkan tanah yang bisa diolah, dan di sisi lain, sebagian besar petani menganggap hutan mangrove sebagai „wasteland’ yang dapat diatasi dengan dikonversi menjadi lahan untuk pertanian.

Secara umum, permasalahan yang terjadi di LSA adalah penurunan fungsi ekologis yang disebabkan oleh sedimentasi, kerusakan lahan mangrove akibat pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan, serta permasalahan sosial ekonomi yang antara lain disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan akan arti penting mangrove, konflik pemanfaatan tanah timbul, kemiskinan, mata pencaharian alternatif serta pengawasan pengelolaan. Pengelolaan DAS yang bermuara di LSA serta perlunya rehabilitasi lahan dari hulu hingga hilir menjadi pemikiran penting untuk segera dilaksanakan sehingga sedimentasi dapat terkendali. Perlu adanya pengelolaan terbaik bagi LSA sehingga mendukung sistem ekologi sosial demi meningkatnya kualitas LSA sehingga dapat mendukung kelestarian serta keselarasan kehidupan diatasnya.

(29)

Gambar 2 Saling keterkaitan antara permasalahan yang terjadi di hulu dari sungai-sungai yang bermuara di LSA dengan model DPSIR (Driving-Force-Pressure-State-Impact-Response).

Berdasarkan uraian permasalahan pokok tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana laju sedimentasi dan perubahan lahan di kawasan Laguna Segara Anakan ?

2. Bagaimana jasa ekosistem kawasan Laguna Segara Anakan akibat sedimentasi dan perubahan lahan serta bagaimana ko-evolusi sistem sosial-ekologis kawasan laguna Segara Anakan?

3. Berapa nilai ekonomi total kawasan ini ?

4. Bagaimana dampak sedimentasi terhadap sistem sosial-ekologis kawasan Laguna Segara Anakan?

Tujuan Penelitian

Seiring dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui dinamika perubahan lahan yang diakibatkan sedimentasi pada kawasan Laguna Segara Anakan sehingga dapat memberikan opsi pengelolaan LSA sebagai Kawasan Konservasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Nasional.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Memprediksi laju sedimentasi dan perubahan lahan kawasan Laguna Segara Anakan.

2. Memetakan jasa ekosistem dan ko-evolusi sosial-ekologis kawasan Laguna Segara Anakan akibat adanya sedimentasi dan perubahan lahan.

3. Mengetahui Nilai Ekonomi Total kawasan Laguna Segara Anakan, dan

(30)

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan fakta dan informasi ilmiah tentang dinamika keterkaitan dan konektivitas perubahan kawasan perairan Laguna Segara Anakan menjadi kawasan terestrial.

2. Memberikan masukan bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlanjutan pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN).

3. Memberikan gambaran manfaat dan biaya dari suatu perubahan lingkungan yang sebenarnya dapat dikendalikan oleh manusia yang hidup diatasnya. Pengelolaan suatu sumberdaya yang tepat dan cermat akan memberikan hasil yang bermanfaat bagi generasi masa kini maupun generasi masa mendatang.

Kerangka Penelitian

Dalam pembangunan wilayah pesisir, adanya karakteristik dan dinamika masyarakat pesisir serta faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya dan ekologi yang ada didalamnya perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Interaksi dalam masyarakat pesisir dan alamnya ini terangkum dalam sistem sosial ekologi atau sosial ecological system (SES).

[image:30.595.136.427.454.715.2]

Dinamika dan interaksi masyarakat pesisir dan alamnya terangkum dalam sistem sosial ekologi LSA (Gambar 3). Ekologi LSA yang dipengaruhi oleh laju sedimentasi akan mempengaruhi keberadaan sistem sosial laguna, keberadaan ekosistem mangrove serta sumberdaya ikan. Dinamika tersebut akan berimbas pada status konektifitas sistem sosial-ekologis dan adaptasi sistem sosial ekologi laguna.

(31)

Dinamika perubahan LSA akan mempengaruhi sistem ekologi laguna yang akan memberikan masalah akibat adanya pemanfaatan barang dan jasa yang melebihi kapasitas dan menurunkan fungsi lingkungan dan mempengaruhi proses ekologi LSA. Disamping itu pada sistem sosial manusianya akan berpengaruh juga terhadap manfaat dan atau biaya yang harusnya dihindari serta biaya yang harus dikeluarkan yang nantinya bersama-sama dengan masalah lingkungan akan menentukan net value dari LSA itu sendiri.

Dari gambaran, kajian dan penelitian dari proses diatas, dapatlah diambil suatu kebijakan untuk dapat diterapkan untuk mengelola LSA guna merealisasikan pembangunan berkelanjutan yang berdampak positif pada terjaganya kelestarian LSA.

Publikasi yang Terkait dengan Penelitian

Penelitian ini mengambil topik kajian konektivitas sedimentasi dan dampaknya terhadap sistem sosial-ekologis laguna di kawasan Laguna Segara Anakan Cilacap. Kajian yang dilakukan meliputi laju sedimentasi, jasa ekosistem, ko-evolusi sistem sosial-ekologis kawasan laguna, nilai ekonomi total kawasan dan dampaknya. Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan sedimentasi, sistem sosial-ekologis serta konektivitas terangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3 Publikasi yang berkaitan dengan konektivitas, sedimentasi dan sistem sosial-ekologis laguna

No Acuan Tahun Judul Bahasan

1 White AT,

Martosubroto P, Sadorra MSM. ICLARM

(International Center for Living Aquatic Resources

Management)

1989 The Coastal

Environmetal Profile of Segara Anakan Cilacap, South Java, Indonesia

Mengkaji profil Kawasan LSA serta kaitannya antara masalah dan konflik penggunaan sumberdaya akibat adanya sedimentasi dan berkurangnya luasan hutan mangrove, overfishing, serta cara

penangkapan yang merusak dan polusi akibat tumpahan minyak dan pencemaran lingkungan.

2 Takashima F,

Soewardi K. Tokyo International Program

1994 Ecological Assessment

for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java

Pengukuran kondisi ekologi untuk perencanaan pengelolaan, meliputi proses hidrologi, produktifitas sumberdaya (mangrove, lepas pantai dan laguna), proses fisiografi yang berperan dalam keseimbangan dinamika habitat saat itu, suksesi pada tanah akibat proses

fisiografi, mewakili hubungan antara proses fisika dan biologi dan komponen sosial ekonomi.

3 Olive CA. Thesis.

The University of Waterloo, Ontario, Canada

1997 Land Use Change and

Sustainable Development in Segara Anakan, Java, Indonesia: Interactions

[image:31.595.116.517.397.758.2]
(32)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

Among Society, Environmet and Development.

tantangan untuk perencanaan dan pembangunan berkelanjutan berdasar perubahan tersebut dan analisa muliti-temporaldari data satelit dan pemetaan kelompok dari aktivitas penggunaan lahan.

4 Paryono TJ. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

1999 Kajian Ekonomi

Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisa ekonomi pengelolaan secara terpadu antara hutan mangrove dan tambak.

5 Yahya RP. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

1999 Zonasi Pengembangan

Ekoturisme Kawasan Mangrove yang Berkelanjutan di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah

Pengumpulan data dan informasi potensi ekoturisme yang dapat dikembangkan di kawasan mangrove Segara Anakan serta menyusun zonasi bagi

pengembangan ekoturisme mangrove berkelanjutan di Laguna Segara Anakan

6 Al Amin MA. Tesis.

Program

Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor.

2002 Partisipasi Masyarakat

Lokal dalam Program Konservasi dan Pengelolaan Kawasan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah

Menelaah praktek konservasi yang dilakukan masyarakat sebagai cerminan partispasi terhadap program konservasi dan pengelolan kawasan Segara Anakan, mengetahui faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam program tersebut serta menelaah disain dan performa kelembagaan SACDP terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat Kampung Laut dan merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya alam Segara Anakan di masa mendatang yang dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat.

Menggunakan metode deskriptif korelasional, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan atau mendiskripsikan secara tepat fakta-fakta serta hubungan antara fenomena-fenomena yang diteliti.

7 Sasmita S. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2002 Pengaruh Perikanan

Apong terhadap Keberadaan Udan (Penaeid) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap

(33)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

8 Zuardi I. Tesis

Magister. Institut Teknologi Bandung

2002 Penyelamatan Segara

Anakan dengan Sudetan Citanduy

Rencana penanggulangan sedimentasi di Laguna Segara Anakan dengan penyudetan Sungai Citanduy serta

penghitungan muatan sedimen

berdasarkan USLE(Universal

Soil Loss Equation), pemantauan dan model matematika

9 Winarno K,

Setyawan AD. Biodiversitas Vol. 4 No. 1: 63-72

2003 Penyudetan Citanduy,

Buah Simalakama Konservasi Ekositem Mangrove Segara Anakan

Review tentang keanekaragaman hayati ekosistem mangrove Segara Anakan,kerusakan ekosistem mangrove Segara Anakan dan penyudetan Sungai Citanduy

10 Ridwan I. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2004 Pengelolaan Laguna

Berbasis Masyarakat: Suatu Telaah Perubahan Perilaku Komunitas Kampung LautPasca Proyek Pengelolaan Laguna Segara Anakan Cilacap

Deskripsi perilaku komunitas Kampung Laut (KL) terhadap perubahan sumberdaya alam, kaitannya dengan tingkat penerimaan terhadap berbagai proyek pengelolaan laguna, dan alternatif pendekatan baru pada proyek pengelolaan laguna dalam mengarahkan perilaku komunitas KL dikaitkan dengan tekanan ekologi dan ekonomi.

11 Asian Development

Bank

2006 Indonesia: Segara

Anakan Conservation and Development Project

Pengelolaan sumberdaya air dan pengendalian sedimen,

rehabilitasi dan pengelolaan mangrove, pengembangan budidaya perairan, penentuan infrastruktur dasar desa,

perbaikan sungai dan pencegahan banjir, konservasi tanah dan pengendalian erosi.

12 Yulianto S. Skripsi

Institut Pertanian Bogor

2006 Analisis Kesesuaian

Kawasan Ekowisata di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap

Delineasi dan pemetaan kawasan mangrove Segara Anakan yang sesuai bagi kegiatan ekowisata

13 Nazar F, Kaswadji

RF, Sulistiono, Sugiri N. Prosiding Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia I

2007 Distribusi dan

Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla olivacea, S. Transquebarica, S. Serrata) di Segara Anakan, Cilacap

Distribusi dan kelimpahan tiga jenis kepiting bakau di Segara Anakan

14 Ardli ER.

Dissertation Faculty of Biology and Chemistry University of Bremen

2008 A thropic flow model

of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Indonesia

Penelitian tentang perubahan lahan di Segara Anakan

(34)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

15 Herawati VE. Tesis

Universitas Diponegoro

2008 Analisis Kesesuaian

Perairan Segara AnakanKAbupaten Cilacapsebagai Lahan Budidaya Kerang Totok Ditinjau dari Aspek Produktifitas Primer menggunakan Penginderaan Jauh

Pengkajian tingkat kesesuaian wilayah perairan di Laguna Segara Anakan sebagai tempat pengembangan lahan budidaya dalam usaha melestarikan sumberdaya perairan berdsar faktor fisika, kimia dan biologi .

16 A‟in C. Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro

2009 Alternatif

Pemanfaatan Ex Disposal Area untuk Kegiatan Perikanan dan Pertanian di Kawasan Segara Anakan berdasarkan Sistem Informasi Geografis.

Mengetahui lokasi dan luas wilayah yang potensial dan menyusun alternatif pemanfaatan EDA berdasarkan kesesuaian lahan.

17 Holtermann P,

Burchard H, Jennerjahn T. Regional Environmental Change

2009 Hydrodynamics of The

Segara Anakan Lagoon

Kajian lapangan hidrodinamika Segara Anakan yang

dikombinasikan dengan perekaman data menggunakan model numerik tiga dimensi yang menunjang proses terjadinya hidrodinamika dari laguna dan mengetahui bathimetri, penghitungan fluks volume air dengan menggunakan ADCP, perekaman tinggi air laut, pengukuran salinitas,

ketersediaan air dan hasil model numerik selama periode kajian.

18 Ostrom E. Science

325: 419-422

2009 A General Framework

for Analysing Sustanaibility of Social-Ecological Systems

Memaparkan perlu adanya peran dan campur tangan pemerintah dalam sistem sosial-ekologi. Metoda yang digunakan adalah deskriptif

19 Santoso AB,

Jennerjahn, Holtermann P. Seminar Nasional Limnology V

2010 Total Suspended

Material Dynamics in Segara Anakan Lagoon, Central Java

Memberikan gambaran dinamika Material Padatan Tersuspensi (MPT) di Laguna Segara Anakan.Pengambilan sampel air saat musim hujan dan musim kemarau dengan penyaringan dan dibakar (combusted) selama 4

jam dengan suhu 450oC

20 Saputra SW,

Wijayanti D, Solichin A. Pena Akuatika Vol. 2 No. 1 September 2010

2010 Produktivitas dan

Prospek Usaha Perikanan Trammel Net di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah

(35)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

21 Parwati E, Soewardi

K, Kusumastanto T, Kartasasmita M, Nurjaya IW. Jurnal Pendidikan Biologi Vol. 3 No.1.Biologi Edukasi. FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh..

2011 Dinamika Perubahan

Mangrove menjadi Tambak dan Total Suspended Solid (TSS) di Sepanjang Muara Berau

Mengkaji dinamika perubahan mangrove menjadi tambak sepanjang DAS Berau dan mengkaji dinamika perubahan TSS sepanjang DAS Berau

22 Riswanto, Thahjo

DWH. Prosiding Forum Pemacuan Sumber Daya Ikan III, 18 Oktober 2011

2011 Pengaruh

Perkembangan Alat Tangkap terhadap Rekruitmendi Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap

Penurunan produksi perikanan berkaitan dengan penggunaan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapanyang banyak tanpa melihat ukuran ikan yang tertangkap sehingga hal tersebut akan mengganggu siklus hidup beberapa jenis ikan dan udang yang memanfaatkan perairan Segara Anakan sebagai tempat memijah, mencari makan dan sebagai daerah asuhan.

23 Tumisem dan

Puspaningtyas E. J Manusia dan Lingkungan, Volume 18 Nomor 2 Juli 2011.

2011 Analisis Kadar Logam

dan Cara Mudah Mengenali Udang yang Terakumulasi Logam : Studi Kasus tentang Udang di Sungai Donan Cilacap, Jawa Tengah

Mengetahui dampak pencemaran akibat menurunnya kualitas lingkungan di Segara Anakan dan sungai –sungai yang

berhubungan dengan laguna. Dengan enggunakan

Spektrofotometrik Serapan Atom (SSA)

24 Burkhard B, Kroll F,

Nedkov S, Müller F. Ecological

Indicators 21, 17– 29.

2012 Mapping ecosystem

service supply, demand and budgets.

Penyajian konsep yang jelas serta mudah diterapkan yang

digunakan dalam pemetaan jasa ekosistem (supply dan demand). Makalah ini mengemukakan metode matriks jasa ekosistem

25 Cahyo TN. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Isntitut Pertanian Bogor

2012 Hidrodinamika

Sebaran Materi Padatan Tersuspensi di Perairan Plawangan Barat, Segara Anakan Cilcap

Dinamika arus dan sebaran Muatan Padatan Tersuspensi di Perairan Plawangan Barat dengan pendekatan observasi dan model serta mengetahui beban Muatan Padatan Tersuspensi yang keluar dari perairan Plawangan Barat

26 Erb KH. Ecological

Economics 76: 8-14

2012 How a

socio-ecological metabolism approach can help to advance our

understanding of changes in land-use intensity

Pengembangan konsep s

(36)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

27 Wulansari N.

Skripsi Institut Pertanian Bogor

2012 Konektivitas

Komunitas Makrozoobenthos antara Habitat

Mangrove, Lamun dan Terumbu Karangdi Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta

Struktur komunitas

makrozoobenthos yang beraosiasi dengan habitat penting secara temporal dan konektivitas ekologis antara habitat mangrove, lamun dan terumbu karang dengan komunitas

makrozoobenthos di Pulau Pramuka

28 Yulianti RA,

Ariastita PG. Jurnal Teknik ITS Vol. 1, No.1

2012 Arahan Pengendalian

Konversi Hutan Mangrove menjadi Lahan Budidaya di Kawasan Segara Anakan

Mengetahui pengaruh konversi hutan mangrove dan penggunaan lahan budidaya terhadap proses sedimentasi di Segara Anakan sehingga dapat direncanakan penataan lahan yang sesuai melalui arahan pengendalian konversi hutan magrove

29 Sukamto,

Purnamaningtyas DP. Buletin Teknik Litkayasa Vol. 11 No. 1. Juni 2013

2013 Pengoperasian Alat

Tangkap Jaring Apong di Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah)

Cara pengoperasian,daerah penangkapan, dan komposisi hasil tangkapan jaring apong, yang dioperasikan di perairan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.

30 Lestari F. Disertasi

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2014 Model Dinamika Fluks

Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau-pulau Kecil (Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan

kepulauan Riau)

Mengidentifikasi sumber-sumber nitrogen dari kegiatan

antropogenik di daratan yang berpotensi masuk ke perairan pesisir Tanjungpinang serta menentukan dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut, beban limbah dan kapasitas asimilasi di perairan pesisir Tanjungpinang dan menentukan pula potensi penyerapan

mangrove terhadap beban limbah nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir Tanjungpinang serta erumuskan model pengelolaan fluks nitrogen organik dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di pesisir pulau-pulau kecil

31 Lukas MC.

Cartographic Prespectives, Number 78, 2014.

Cartographic Reconstruction of Historical

Environmental Change

Analisa perubahan lingkungan dengan menggunakan peta sejarah.

32 Hayati TSM. Tesis

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2014 Manfaat Kawasan

Konservasi Mangrove Segara Anakan bagi Sumberdaya Udang di Perairan Pesisir Kabupaten Cilacap

(37)

No Acuan Tahun Judul Bahasan

berdasarkan sumberdaya udang di perairan pesisir Cilacap dan menyusun strategi pengelolaan mangrove yang optimal dan

berkelanjutan

33 Winarso G,

Purwanto AD. Prosiding Seminar Nasional

Penginderaan Jauh

2014 Pendekatan Indeks

Kerusakan Mangrove Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Pengusulan penggunaan indeks kerusakan mangrove yang baru yang dapat menggambarkan kerapatan mengrove sejati saja dan tidak terpengaruh oleh vegetasi dari mangrove ikutan. Indeks mangrove ini merupakan alternatif indikator kualitas mangrove pada kawasan yang mulai rusak dimana kerapatan berdasar Nilai Indeks Vegetasi (NDVI – Normalized Difference Vegetation Index) sudah tidak sesuai lagi.

34 Nurfiarini A.

Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2015 Rancangan

Pengembangan Suaka Perikanan (Fish Sanctuary) Estuari Berbasis Sistem Sosial-Ekologi di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap

Mengevaluasi status pemanfaatan sumberdaya ekosistem Estuari Segara Anakan melalui pemetaan sistem sosial ekologi serta menghitung nilai ekonomi ekosistem terkait pengembangan fish sanctuary melalui

pendekatan jasa ekosistem, dan menganalisa kesesuaian habitat

untuk pengembangan fish

sanctuary di Estuari Segara Anakan

35 Putra DP. Disertasi

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

2015 Pengelolaan Perikanan

Udang Skala Kecil dengan Penerapan Ko-manajemen di Kabupaten Cilacap

Disertasi ini mengidentifikasi kondisi umum perikanan udang skala kecil dan program-program pengelolaan sumberdaya udang di Kabupaten Cilacap dan menganalisa kinerja dan jenis teknologi atau alat tangkap yang tepat untuk mendukung

(38)

Kebaruan

Kebaruan penelitian ini adalah pendekatan baru tentang konektivitas sistem sosial-ekologis perairan kawasan laguna dari prespektif laju sedimentasi dan dampaknya serta sistem adaptasi pengelolaannya.

Ruang Lingkup Penelitian

(39)

2

DINAMIKA HIDRO-OSEANOGRAFI DI KAWASAN

LAGUNA SEGARA ANAKAN

Pendahuluan

Kondisi oseanografi kawasan Laguna Segara Anakan sangat erat hubungannya dengan dinamika kawasan ini. Untuk mengetahui laju sedimentasi pada kawasan ini perlu diketahui kondisi oseanografinya. Pasang surut beserta debit Sungai Citanduy menentukan proses percampuran air yang membawa muatan sedimen tersebut. Sungai yang mengalir masuk ke Laguna Segara Anakan bagian barat terdiri dari Sungai Citanduy, Sungai Cibereum dan Sungai Cikonde. Debit sungai Citanduy berperan sangat penting bagi hidrodinamika di bagian barat laguna karena daerah tangkapan airnya yang luas.

Pergerakan air di Laguna Segara Anakan dipengaruhi oleh aliran air sungai dan pasang surut yang berasal dari Samudera Hindia. Pengaruh pasang surut dari Samudera Hindia merambat melalui Nusa Were dan masuk ke laguna. Menurut Purba dan Sujastani (1989) perubahan kedalaman dari 40 m pada tahun 1817 menjadi 10 m pada 1987 di daerah Pelawangan Barat dipengaruhi oleh deposisi sedimen sehingga mengurangi aliran pasang surut dan mengembalikan akresi sedimen ke laguna. Ji (2008) menyatakan bahwa daerah pantai dan estuari sangat dipengaruhi dinamika pasang surut, dimana perbedaan tekanan hidrostatis saat pasang dan surut menyebabkan pergerakan air yang disebut arus pasang surut. Arus pasang surut mengalami saat berbalik arah dengan periode pendek dengan besaran arus kecil bahkan nol yang dinamakan slack water atau air berhenti. Hal tersebut terjadi pada saat pergatian pasang menuju surut dan sebaliknya. Arus bervariasi dari nol sewaktu air berhenti (slack water) sampai maksimum. Arus pasang berada di atas slack water dan arus surut berada di bawah slack water (Open University Course Team 1989).

Kondisi oseanografi suatu kawasan juga mempengaruhi laju sedimentasi dari daerah tersebut. Sedimen merupakan partikel–partikel yang berasal dari materi batuan dan komponen biologis. Sedimen dapat tersuspensi di kolom air atau terendapkan dan terakumulasi di dasar perairan. Sifat-sifat sedimen berupa ukuran pertikel distribusi sedimen, rapat massa, bentuk, kecepatan endap dan tahanan terhadap resuspensi yang merupakan sifat yang sangat penting diketahui dalam mempelajari proses sedimentasi. Ji (2008) telah mengelompokkan sedimen berdasarkan ukuran partikel sedimen menjadi 4, yaitu gravel atau kerikil (2-20 mm), pasir (0,0063-2,0 mm), silt atau lumpur (0,0039-0,063 mm) dan clay yaitu lempung atau tanah liat (,0,0039 mm).

Tujuan

(40)

Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Laguna Segara Anakan sejak Februari 2014 sampai dengan Mei 2015. Pengamatan laju sedimentasi dilaksanakan setiap 2 minggu selama satu tahun penuh. Pengamatan arus, temperatur, salinitas serta MPT di Muara Sungai Citanduy dilaksanakan pada Maret dan Agustus 2014 yang diharapkan memberi gambaran dalam periode satu tahun, meliputi musim hujan dan musim kemarau.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkap sedimen, data pasang surut, ADCP untuk mengukur arus, CTD Sensor untuk mengetahui salinitas dan temperatur perairan, Van Dorn untuk pengambilan MPT dan sampel air untuk mengetahui kualitas kimia perairan. Untuk mengetahui perubahan luasan laguna dipergunakan Citra Satelit OLI 7 dan 8.

Analisa Data Pasang Surut

Data pasang surut kawasan ini menggunakan prediksi elevasi air laut yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut

Gambar

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Dinamika Sistem Sosial-Ekologis Laguna Segara Anakan
Tabel 3 Publikasi yang berkaitan dengan konektivitas, sedimentasi dan sistem sosial-ekologis laguna
Gambar 4 Perangkap Sedimen (sediment trap)
Gambar 7a Variasi temporal temperatur Muara Sungai Citanduy dalam satu siklus pasang-surut (Maret  2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait