Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang,
Jawa Barat
SADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SADI. KAJIAN FINANSIAL USAHA TANI TAMBAK TUMPANGSARI SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. dibimbing oleh Cecep Kusmana. dan Bahruni.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Hutan mangrove memiliki fungsi biologis, ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan (spawning grounds) dan asuhan (nurs ery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu bakar, obat-obatan, alat penangkapan ikan. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem pen yangga kehidupan. Mangrove juga dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain .
Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari pola empang parit merupakan alternatif pelestarian ekosistem mangrove untuk tetap mempertahankan fungsi biologis dan fungsi ekologisnya tetapi tetap memiliki nilai ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan dari 4 kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki 8 desa dan 5 desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah pantai dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak wilayah seperti itu maka Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu Kecamatan yang mampu memasok kebutuhan ikan bagi masyarakat Subang maupun daerah sekitarnya. Pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah pada awal tahun 1990 -an tentang Tambak Inti Rakyak (TIR). Konversi hutan mangrove menjadi tambak terjadi secara besar-besaran akibat dari kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat pada saat ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sisi finansial pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari sistem empang parit d i Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis usahatani berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang diperoleh bahwa pola 80:20, memberikan nilai finansial tertinggi berdasarkan analisis usahatani dengan menggunakan parameter penghitung an nilai Return Cost Ratio (R /C), Kecepatan Pengembalian Modal, Laju Keuntungan Bersih dan Break Event Point (BEP )
area,and has ecological functions as nutrient supplier for its biota, place for spawning and nursery ground, coastal abrasion buffer, protect from hurricane and tsunami, waste absorber, salt water intrusion defender and others. Besides, mangrove forest has high economic values like as wood and herbal produc tions, fisheries catchments etc. Farther, mangrove forest as habitats for various bird, reptile, mammals other and wildlife, it provides a rich biodiversity and genetic pool this supporting life system. Mangrove protects water quality, absorb CO2 and
produce O2 higher than other type of forest. Mangrove has high ecological
function and economic value that give benefit for local community requirement. To increase and preserve biological and ecological function of mangrove forest need rational approach. Empang parit system provide application alternative of
sylvofishery estimaties of economic value needed for managing mangrove forest to give sustainable benefits for its community. Base on calculation and analysis
of its which pattern 80% forest and 20% fishpond in Kecamatan Logonkulon,
Kabupaten Subang give highest economic result. Its parameter use Return Cost Ratio analysis (R/C), Return of investment, profit and Break Even Point (BEP) Keyword : Mangrove forest, empang parit , analysis of finansial, usahatani,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 1 Juli 1961, dari ayah Soero
Wardi dan ibu Sampi. Penulis merupakan putra ke lima dari tujuh bersaudara.
Tahun 1981 penulis lulus SMA III BOPKRI Yogyakarta, tahun yang sama
penulis masuk IKIP Yogyakarta Program D2. Tahun 1985 penulis melanjutkan
pendidikan di STIPER Yogyakarta jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan lulus
sarjana tahun 1990. Pada bulan September 2004 penulis di terima sebagai
mahasiswa S2 Profesi, Program Studi Konservasi Biodiversitas, Departemen
Konservasi Sunberdaya Hutan, IPB.
Penulis bekerja sebagai guru SMP Negeri Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, Kalimantan Timur tahun 1983 – 1985, tahun 1991 menjadi pegawai di
Dinas Perkebunan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tahun 1992 – 2005 menjadi
guru di SMK Negeri 2 Subang, Jawa Barat dan pada tahun 2005 sampai sekarang
menjadi kepala SMK Negeri 1 Cipunagara, Kabupaten Subang.
Nama : SADI
NRP : E 051040305
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi: Konservasi Biodiversitas
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Ir. Bahruni, MS.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dede Hermawan, MScF. Prof. Dr. Ir. Safrida Manuwoto , MSc.
KAJIAN FINANSIAL
USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI
SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE:
Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang,
Jawa Barat
SADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
kekuatan, perlindungan dan petunjuk kepada kami sehingga kami dapat
melakukan penelitian yang berjudul ” Kajian Finansial Usahatani Tambak
Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove”, yang merupakan studi kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat dan
selanjutnya dapat menyajikan hasil penelitian dalam bentuk tesis. Pengangkatan
judul ini dimaksudkan oleh penulis untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang
langsung dirasakan oleh petani tambak dalam pengelolaan tambak di hutan
mangrove dengan berbagai pola (ukuran parit). Dengan hasil penelitian ini
penulis mengharapkan dapat memberikan gambaran yang rasional kepada
pengelola hutan (Perum Perhutani dan petani tambak) agar dapat memanfaatkan
hutan sebagai tambak dengan tetap berwawasan pada kelestarian lingkungan.
Penelitian ini hanya mengukur beberapa parameter yang dirasakan oleh
masyarakat pengelola hutan (petani tambak tumpangsari), yaitu berupa manfaat
ekonomi dari pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari. Manfaat
lain dari hutan mangrove yaitu manfaat ekologi tidak menjadi parameter
pengukuran karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya. Diharapkan ada
penelitian lanjutan dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak empang
parit dalam tinjauan manfaat ekologinya oleh peneliti yang akan datang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola empang parit yang
memberi manfaat terbesar yang dirasakan oleh petani tambak dalam
memanfaatkan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem
empang parit. Dengan mengetahui dan merasakan manfaat tersebut diharapkan
petani tambak yang memanfaatkan hutan mangrove dapat ikut serta dalam
menjaga dan melestarikan sampai batas yang menguntungkan.
Dalam melakukan penelitian ini, banyak pihak yang terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan dalam
membuat perencanaan penelitian sampai penulisan tesis ini.
2. Bapak Ir. Bahruni, MS. sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak
membantu, mengarahkan dan membimbing penulis secara intensif mulai
pembuatan proposal penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF. Ketua Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, IPB, yang telah memberikan
bantuan berupa fasilitas teknis maupun pelayanan non teknis dari
pelaksanaan perkuliahan sampai tugas akhir penulisan tesis ini.
4. Bapah Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. sebagai ketua Program S2 Profesi,
beserta staf.
5. Bapak Ir. H. Asep Supriyatna, Ketua KUD Karya Laksana yang telah
membantu penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian.
6. Bapak Drs. Eep Hidayat, Bupati Subang beserta stafnya yang telah banyak
memberikan bantuan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
7. Kepala Perum Perhutani Wilayah III Purwakarta, BKPH Ciasem dan
Pamanukan, beserta staf yang telah memberikan ijin lokasi dan fasilitas
lain di lapangan .
8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian sampai
pelaporan hasilnya.
Tesis ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal kelengkapan maupun
penyajiannya karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya, tapi penulis
berharap tesis ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan hutan mangrove
khususnya di Kabupaten Subang.
Bogor, Februari 2006
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...
Perumusan Masalah ...
Tujuan Penelitian ...
Manfaat Penelitian ...
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Hutan Mangrove ……...
Manfaat Hutan Mangrove ……...
Kondisi Hutan Mangrove ...
Upaya Konservasi Hutan Mangrove ...
Tambak Tumpangsari ...
Analisis Usahatani Tambak Tumpang Sari Sistem
Empang Parit ...
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ...
Bahan dan Alat ...
Metode Penelitian ...
Jenis dan Sumber Data ...
Analisis Data ...
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...
Luas Wilayah dan Keadaan Penduduk ...
Karakteristik Fisik Perairan Pantai ...
Kondisi dan Penyebaran Hutan Mangrove
di Kecamatan Legonkulon ...
Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Tambak
Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove ...
HASIL DAN PENBAHASAN
Biaya ...
Pendapatan ...
Analisis Usahatani ...
Pengaruh Keberadaan Hutan Mangrove Terhadap
Pengelolaan Tambak ...
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...
Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ... ...
LAMPIRAN ...
38
41
47
60
63
68
69
70
Halaman
1 Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon ... 24
2 Penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon ... 34
3 Alo kasi tambak di Kecamatan Legonkulon ... 36
4 Biaya pencetakan tambank tumpangsari sistem empang parit ... 42
5 Biaya tetap yang digunakan untuk usaha tambak empang parit ... 43
6 Biaya tidak tetap dalam pengelolaan tambak berbagai pola ... 44
7 Biaya produksi pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola ... 45
8 Analisis regresi hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap biaya produksi pengelolaan tambak sistem empang parit ... 47
9 Hasil tangkapan harian dari tambak tumpangsari sistem empang aprit berbagai pola ... 49
10 Hasil analisis uji LSD hasil tangkapan harian berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit ... 51
11 Hasil analisis uji LSD hasil budidaya bandeng berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit ... 55
12 Has il analisis uji LSD hasil udang windu berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit ... 56
13 Hasil analisis uji LSD ikan mujaer dan udang putih berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang partit ... 59
14 Total pendapatan petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola dalam hutan mangrove ... 60
15 Hasil analisis usaha tani pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola di Kecamatan Legonkulon ... 61
16 Pengaruh keberadaan hutan mangrove terhadap biaya dan hasil pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit ... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran ... 9
2 Formasi hutan mangrove secara alami ... 12
3 Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang baik bagi biota laut ... 15
4 Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang ... 30
5 Peta Bathimetri di perairan Kabupaten Subang ... 32
6 Arah aliran gelombang dari Timur Laut di Perairan Subang ... 33
7 Bentuk pemukiman penduduk di dalam hutan mangrove ... 35
8 Berbagai pola tambak sitem empang parit yang dikembangkan Perum Perhutani ... 37
9 Berbagai bentuk aktivitas yang menurunkan kualitas ekosistem mangrove ... 39
10 Berbagai aktivitas masyarakan yang menurunkan kuantitas ekosistem mangrove ... 39
11 Berbagai upaya konservasi hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon ... 40
12 Grafik hubungan antara pola tambak dengan biaya produksi pengelolaan tambak ... 46
13 Bubu, alat untuk mendapatkan hasil harian dari tambak 48 14 Beberapa jenis hasil tangkapan harian ... 49
15 Aktivitas petani pada saat panen ... ... 52
16 Grafik hasil budidaya tambak ... ... 54
17 Keadaan saluran utama tambak yang berbatasan dengan pemukiman dan sawah ... 56
18 Diagram pegaruh proporsi hutan mangrove terhadap berbagai hasil tambak ... 65
1 Lampiran 1a: Hasil harian tambak pola 80:20 ... 72
10 Lampiran 2e: Hasil budidaya bandeng pola tanpa hutan ... 81
11 Lampiran 3a: Hasil budidaya udang windu 80:20 ... 82
12 Lampiran 3b: Hasil budidaya udang windu pola 70:30 ... 83
13 Lampiran 3c: Hasil budidaya udang windu pola 60:40 ... 84
14 Lampiran 3d: Hasil budidaya udang windu pola 50:50 ... 85
15 Lampiran 3e: Hasil budidaya udang windu pola tanpa hutan ………… 86
16 Lampiran 4a: Hasil samping budidaya pola 80:20 ... 87
17 Lampiran 4b: Hasil samping udang pola 70:30 ... 88
18 Lampiran 4c: Hasil samping budidaya pola 60:40 ... 89
19 Lampiran 4d: Hasil samping budidaya pola 50:50 ... 90
20 Lampiran 4e: Hasil samping budidaya pola tanpa hutan ... 91
21 Lampiran 5a: Hasil samping bibit bakau pola 80:20 ... 92
22 Lampiran 5b: Hasil samping bibit bakau pola 70:30 ... 93
23 Lampiran 5c: Hasil samping bibit bakau pola 60:40 ... 94
24 Lampiran 5d:Hasil samping bibit bakau pola 50:50 ... 95
25 Lampiran 5e: Hasil samping bibit bakau pola tanpa hutan ... 96
26 Lampiran 6a: Hasil analisis usahatani pola 80:20 ... 97
27 Lampiran 6b: Hasil analisis usahatani pola 70:30 ... 98
28 Lamp iran 6c: Hasil analisis usahatani pola 60:40 ... 99
30 Lampiran 6e: Hasil analisis usaha tani pola tanpa hutan ... 101
31 Lampiran 7: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil tangkapan
harian ... 102
32 Lampiran 8: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya
bandeng ... 104
33 Lampiran 9: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya
udang windu ... 106
34 Lampiran 10: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil samping budidaya ...
108
35 Lampiran 11: Analisis regresi ... 110
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai dengan tanah berlumpur. Umumnya
hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat, air bersalinitas payau (kadar garam 2 –
22 permil) sampai air asin (kadar garam 38 permil), Bengen (2000). Menurut
FAO (1994) hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Pertumbuhan mangrove
tergantung pada air laut yang diperoleh saat pasang dan air tawar yang banyak
mengandung bahan organik dan kaya mineral sebagai sumber makanannya serta
endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya,
maka bentuk hutan mangrove dan keberadaannya sangat tergantung oleh pengaruh
darat dan laut. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove, Kusmana (1996).
Tumbuhan mangrove juga memiliki bentuk perakaran yang khas. Bentuk
perakaran ini memungkinkan tumbuhan mangrove memiliki adaptasi yang
bervariasi terutama adaptasi terhadap kadar garam dan kadar oksigen. Dari
bentuk dan sistem perakaran ini, tumbuhan mengrove membentuk formasi yan g
unik dari daerah dengan kadar garam tinggi dan kadar oksigen rendah sampai
pada daerah kadar garam rendah dengan kadar oksigen tinggi.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 202 jenis yang terdiri dari jenis pohon,
jenis palem, jenis liana, epifit dan hanya satu jenis sikas. Beberapa jenis pohon
yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau
2
(Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan, buta-buta
(Exoecaria spp).
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Luasan
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan
bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu
hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan
tambak, penebangan liar dan sebagainya.
Hutan mangrove memiliki berbagai macam manfaat baik manfaat
ekonomis maupun manfaat ekologis. Secara ekonomis mangrove berperan
menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia seperti penyedia kayu bakar,
bahan bangunan, penghasil tanin (penyamak kulit) alat penangkap ikan, peralatan
rumah tangga serta manfaat non fisik seperti olah raga dan rekreasi dan lainnya.
Hutan mangrove memiliki manfaat ekologis sebagai perlindungan bagi
lingkungan ekosistem daratan dan lautan. Secara ekologis, hutan mangrove
berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran
(nursery grounds) berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies
lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa
lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut. Selain itu,
hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia,
mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove
menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool)
yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Ekosistem
mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis
tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna
Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup
tinggi, yakni biomassa (62,9 – 398,8 ton/ha/th), guguran serasah (5,8 – 25,8
ton/ha/th), dan riap volume 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun.
Besarnya nilai produksi primer bersih tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai
makanan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat
pesisir.
Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan
mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang,
tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut. Hasil
penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur,
menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340 meter, dan perubahan energi gelombang (E) sebesar
19.635,26 joule, Pratikto (2002). Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit
malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan
penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain, Kusmana (2002).
Secara tidak langsung, manfaat ekologi mangrove sangat berpengaruh
terhadap nilai ekonomi. Sumberdaya laut berupa berbagai jenis ikan udang,
kerang-kerangan dan spesies lainnya yang kehidupannya sangat tergantung pada
hutan mangrove tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat
berpengaru h dalam menentukan kehidupan manusia terutama yang bermukim di
daerah pesisir. Tingginya nilai ekonomi berbagai komoditas laut tersebut
menggerakkan manusia untuk melakukan budidaya secara intensif. Udang dan
bandeng misalnya, pernah menjadi komoditas andalan Indonesia pada dekade
1980-an sampai awal dekade 1990 an. Pada masa itu terjadilah alih fungsi atau
konversi besar-besaran daerah pesisir menjadi tambak yang sebagian besar
dikelola oleh pengus aha besar. Pola konversi yang memberikan hasil sangat
besar tersebut ternyata memberikan dampak pada pola pikir masyarakat pesisir
dalam memanfaatkan lingkungannya terutama hutan mangrove. Maka pada
waktu yang relatif singkat, terjadi perubahan lingkungan pesisir dari wilayah
4
masih dirasakan oleh masyarakat itu sendiri hingga saat ini, antara lain
meningkatnya suhu udara, terjadinya perubahan kadar garam pada air tanah di
daerah pemukiman, timbulnya penyakit yang disebabkan oleh serangga misalnya
penyakit malaria.
Akibat pola pemanfaatan yang berlebihan, saat ini luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan
bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu
hektar/tahun. Untuk menekan kerusakan yang terjadi, Departemen Kelautan dan
Perikanan serta Departemen Kehutanan secara bersama-sama terus memfasilitasi
tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada setiap kabupaten sebagai dasar
perencanaan pengelolaan pesisir serta sebagai sarana implementasi pengelolaan
ekosistem mangrove secara lestari, Dahuri (2002).
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak,
kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis
atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan
konservasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat terbatas pada pola
umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah,
terutama Pemerintah Kabup aten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis
ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam
pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan
Penerapan sistem tumpangsari/ mina hutan di ekosistem hutan mangrove
merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan
mangrove secara lestari. Penerapan mina hutan di kawasan ekosistem hutan
mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di
sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan
bagi masyarakat.
Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi
dari sistem tumpangsari/ mina hutan (sylvofishery). Sistem empang parit adalah
sistem tumpangsari/mina hutan, dengan hutan bakau berada di tengah dan kolam
berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem
tumpangsari/mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam .
Keberhasilan dari pelaksanaan sistem empang parit perlu dilakukan pengkajian
dan perlu valuasi agar dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dimasa
yang akan datang. Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan informasi
yang benar tentang fungsi mangrove bagi kehidupanya baik sekarang maupun
yang akan datang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999).
Perumusan Masalah
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berpijah dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia
kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia
dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan
keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta
berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan
6
daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan
gaya-gaya dari laut lainnya, Bengen (2000).
Manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya adalah
kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kayu bakar, membuat arang,
pulp dan lain-lain. Selain itu hutan mangrove juga merupakan penghasil bahan
organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota perairan . Hasil tambak
secara langsung sangat dipemgaruhi oleh kelestarian biota perairan, sedangkan
biota akuatik kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove.
Seberapa besar pengaruh keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan biota
perairan dapat dilihat dari pengaruh hutan mangrove terhadap hasil perikanan
yang langsung dinikmati oleh masyarakat pesisir setiap hari.
Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan.
Pada saat usaha tambak memiliki nilai keuntungan secara ekonomi yang sangat
besar, maka konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak terkendali,
masyarakat tidak pernah berp ikir bahwa tingginya produktivitas tambak tersebut
disebabkan karena pasokan pakan dari alam untuk udang dan bandeng masih
sangat besar. Petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pakan
udang dan bandeng, penyakit yang timbul juga sangat jarang karena lingkungan
masih bersih dan belum tercemar. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang
berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan
yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor
untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan
berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya
pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mencegah timbulnya wabah
penyakit yang ditimbulkan. Akan tetapi sebaliknya, apabila kondisi ekosistem
mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga keseimbangan
habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria
Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang
memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya
perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang
menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila
dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya
perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah yang hutan
mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat
kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain
diakibatkan oleh besarnya biaya yang haru s ditanggung petani untuk pengendalian
hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan, Ditjen RLPS
(2002).
Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda
dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan
nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis
dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan
dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai
salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat
yang besar bagi umat manusia, olehkarena itu harus dijaga kelestariannya.
Tumpangsari/Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup
baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan
dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian
hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa
merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela
sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang
kritis, Perhutani (1993 ). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling
8
petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem
empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan.
Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya
dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan lebar parit
yang bervarias i antara 3 meter sampai lebih dari 5 meter bahkan lebih. Besarnya
nilai ekonomi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan
dipengaruhi langsung oleh kondisi dan komposisi tambak dalam pengelolaan
hutan.
Di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat, terdapat lima
desa yang terlibat dalam kegiatan tambak sis tem empang parit yaitu Desa
Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan desa Tegalurung.
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu dari empat kecamatan di wilayah
pesisir Kabupaten Subang yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi yang
masih baik. Usaha konservasi merupakan langkah penyelamatan hutan mangrove
yang memiliki arti sangat besar khususnya bagi masyarakat pesisir dan
lingkungan pada umumnya. Pemanfaatan hutan mangrove dengan
memperhatikan faktor keseimbangan antara manfaat ekologi dan manfaat
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mendapatkan nilai manfaat ekonomi terbaik dari usaha tani pengelolaan
hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit
berbagai pola di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.
2. Untuk mencari hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap pendapatan
petani tambak dari pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpang sari
dengan sitem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.
Hutan Mangrove
Konservasi Total Eksplorasi Total
10
Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pengelo la dan pembina program tambak tumpangsari khususnya pengembangan
sistem empang parit yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang yang
membina petani tambak di areal tanah milik petani, Dinas Perkebunan dan
Kehutanan serta Perum Perhutani yang membina tambak di areal tanah Perum
Perhutani.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengumpulkan permasalahan
petani sekitar pengelolaan tambak yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan
produksi serta dapat memberikan gambaran kepada petani tambak tentang
pengelolaan usaha tambak yang berwawasan lingkungan.
Dengan hasil yang diperoleh akan dapat mempengaruhi pola pikir petani pada
umumnya bahwa tambak yang luas akan mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi
Hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air
laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt)
dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi
makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan
rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan
keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO 1994).
Bengen (2000) menyatakan bahwa karakteristik hutan mangrove dapat
dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah
hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat
hutan mangrove digambarkan sebagai berikut: Umumnya tumbuh pada daerah
intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya
tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang
pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi
hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2
-22 permil) hingga asin (38 permil).
Hutan mangrove secara alami membentuk zonasi yang merupakan tipe
khas dari daerah tempat hutan tersebut berada. Zonasi hutan mangrove ini sangat
ditentukan oleh bentuk perakaran yang khas. Pada tiap zonasi ini didominasi oleh
jenis tumbuhan mangrove tertentu Bengen, (2000). Selain pembentukan zonasi,
sistem perakaran pada tumbuhan mangrove merupakan alat untuk melakukan
adaptasi dengan lingkungan. Dengan sitem perakaranya mangrove dapat
menyesuaikan terhadap kadar garam dan kadar oksigen tempat tumbuhnya.
Dengan demikian secara alami formasi hutan mangrove memiliki ciri yang khas,
pada zona tertentu dalam formasi tersebut akan didominasi oleh jenis tumbuhan
12
Gambar 2 Formasi hutan mangrove secara alami (Bengen , 2000).
Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat
peka terhadap perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open
akses sehingga meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia
akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Sementara itu, ekosistem hutan
mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil
dan ikan -ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis seperti kakap, bandeng,
belanak dan udang. Lebih dari itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung
perikanan artisanal. Meskipun merupakan usaha perikanan skala kecil dan
tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang cukup penting.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tertinggi di dunia, tercatat ada 200 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5
jenis palem, 19 jenis liana , 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. (Bengen 2000).
Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah
Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.),
Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan,
Buta-buta (Exoecaria spp.) (Nontji 1987).
Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan
berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting
artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia.
darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan
ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove
memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat
manusia.
Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berpijah
(spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan
dan udang, berbagai jenis kerang dan spesies lainnya. Selain itu, serasah
mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan
menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan
produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove
juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis
-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman
hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi
sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang
rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari
gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya
dari laut lainnya (Dahuri 2002).
Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak
berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah
yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis
fauna laut, dan berbagai jenis faun a darat. Selain itu mangrove dapat mengontrol
penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2,
dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain (Kusmana 2002)
Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua
kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati
bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung.
Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan
mangrove, kar ena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan
air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan
14
perairan/aq uatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolam air,
terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras
(akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting,
kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari
bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi,
Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi
reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang
sebesar (E) = 19.635,26 joule. Dari segi ekonomi, di sekitar lokasi hutan
mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya air payau. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 1.211.309 hektare lahan yang bisa dijadikan
sebagai lahan tambak. Industri perikanan tambak udang merupakan salah satu
industri yang menggiurkan sebelum terjadi krisis moneter. Tetapi, kemudian
setelah terjadi krisis ekonomi, pembukaan hutan mangrove semakin tidak
terkendali guna mempertahankan pendapatan mereka (Pratikto 2002)
Fakta menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang hutan
mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat
kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain
diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian
hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS
2002). Berbagai jenis manfaat dari hutan mangrove tersebut akan bermuara pada
nilai ekonomi yang berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat pesisir.
Kondisi Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena
merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat
mangrove berperan penting sebagai tempat berpijahnya berbagai jenis ikan, udang
dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan
reptil. Dengan sistem perakarannya memungkinkan berbagai jenis ikan dan biota
Gambar 3 Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang baik bagi biota laut (a) bentuk akar tongkat, (b) bentuk akar cakar ayam (Bengen 2000).
Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah
karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap
pelestarian kawasan hutan mangrove dari berbagai pihak menjadikan pembukaan
lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat.
Sebagai contoh kerusakan kawasan hutan mangrove di sekitar delta Mahakam,
Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu terjadi
pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun 1997. Namun,
dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000
hingga 80.000 hektar, dan sisanya pun rusak cukup parah (Santoso 2002). Di
wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun
1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara
Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi
menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan
kayu-kayu untuk memasak nira kelapa. Kayu bakar yang digunakan untuk
mengolah gula kelapa tersebut dimbil dari hutan mangrove terdekat, sehingga
terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari (Pratikto 2002).
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai,
mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya
alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis
dan rusak di selu ruh daerah tropis. Permasalahan utama tentang pengaruh atau
16
mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan,
kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga,
meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi
berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak
-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi
pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya
menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mang rove di dunia. Kekhasan
ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di
dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan
dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan
oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, peneban gan liar dan sebagainya
(Dahuri 2002).
Upaya Konservasi Hutan Mangrove
Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman
kehidupan . Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap
zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal
sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang
sangat berharga. Untuk itulah langkah dan upaya konservasi harus segera
dilakukan untuk upaya pelestarian hutan mangrove yang merupaka kekayaan kita.
Upaya pencegahan, penanaman kembali dan perbaikan tempat tumbuh mangrove
menjadi tanggungjawab semua pihak.
Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan
(renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda
atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, pulp dan lain -lain)
serta hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis,
yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem
daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : sebagai
proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang , pengendali intrusi air
laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan
berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses
sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi
polutan, pencemar air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi
disbanding tipe hutan lain.
Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup
tinggi, yakni: biomassa (62,9 – 398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 – 25,8
ton/ha/th), dan riap volume (20 cal/ha/th atau 9 m3/ha/th ) pada hutan tanaman
bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi
penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir
dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan sumber
plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157
jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berb agai jenis
fauna darat (Kusmana 2002).
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan modal dasar
sebagai basis untuk usaha budidaya air payau. Sampai dengan tahun 1997, luas
tambak yang ada sekitar 421.510 ha atau tingkat pemanfaatan potensial lahannya
baru sekitar 39,78%. Berdasarkan perkiraan Ditjen Perikanan (1998) potensi
hutan mangrove yang akan dibangun tambak sekitar 1.211.309 ha. Kenaikan
rata-rata pertambahan luas tambak di Indonesia sekitar 3,67% per tahun.
Saat ini potensi lahan pertambakan diperkirakan mencapai 866.550 ha.
Bahkan dengan kemajuan teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi
angka tersebut, karena lahan intertidal dan marjinal yang berpasir sekalipun telah
terbukti dapat dimanfaatkan untuk usaha pertambakan dengan hasil yang cukup
baik. Perkiraan ini didasarkan pada data Ditjen Perikanan (1998), luas tambak
sekitar 344.759 ha atau perkiraan luas tambak tahun 2000 sebesar 360.000 ha.
18
diperkirakan lebih dari itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan
kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta
Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan luas konversi hutan
mangrove untuk dijadikan tambak tahun 1992 sebesar 15.000 ha, tahun 1998
sebesar 40.000 ha dan tahun 1999 sebesar 85.000 ha (Santoso 2002).
Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi
mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya
hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak serta tidak
berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang produktif.
Meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya
akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pan tai dan
bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi
kembali fungsi alami hutan mangrove (Ditjen RLPS 2002).
Tambak Tumpangsari
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan
(nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin
taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dll., hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia
kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.
Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial
merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat disepanjang jalur pantai
dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat
membantu perhutani dalam menjaga kualitas hutan mangrove sebagai sistem
multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi, 1994). Saat ini
sedang dikembangkan pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya tambak dan
peternakan. Sudah dicobakan di Desa Tegalurung Kecamatan Legonkulon
Kabupaten Subang, Jawa Barat yaitu menyiapkan bakau di pematang tambak dan
adanya pemasokan bahan organik dari kotoran kambing dan pertumbuhan bakau
cukup cepat.
Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan
mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2) Pemanfaatan
ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada
prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem alami, biasanya
untuk suatu pemanfaatan tertentu. Dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi
dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternatif
pengelolaan mangrove (Dahuri 1996).
Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang
terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan
mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa
merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela
sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang
kritis (Perhutani 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling
menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai
petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem
empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan.
Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya
dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan luas parit
20% :mangrove 80% atau parit 40% : mangrove 60% dari luas anak petak, makin
besar proporsi hutan mangrove akan memberikan nilai ekologi yang semakin
besar bagi lingkungan, tetapi sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil
tambak. Luas anak petak berkisar antara 0,3 – 3 ha. Sistem ini secara
konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968, tetapi baru dikembangkan secara
semi konvensional sejak tahun 1986 (Departemen Kehutanan dan Perkebunan
20
Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove
dan periode pertumbuhannya. Jenis utama dalam budidaya perikanan yang
diusahakan di tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil
tambahan lain seperti udang dan kepiting yang dapat dipanen setiap hari
(Sukardjo 1989). Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau (Rhizoppora
mucronata) dan Api-api (Avecennia marina) dengan jarak tanam yang dianjurkan
adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani masih memberikan
kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter.
Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial
dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah (1) meningkatkan
persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80% dengan jenis ikan yang
diusahakan adalah bandeng, udang dan kepiting; (2) terbinanya petani penggarap
empang dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas
Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perum Perhutani;
(3) meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama yang tergabung dalam KTH;
(4) gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; (5) adanya
pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan
sosial payau (Perum Perhutani 1993).
Analisis Usahatani Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit
Analisis usahatani tambak tumpangsari sistem empang parit dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan hutan mangrove
sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit. Menurut Soekartawi
(1995), suatu usahatani dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan
sumberdaya yang dimiliki sebaik -baiknya, sedang yang dimaksud efisien adalah
jika pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat memperoleh hasil yang lebih besar.
Efisiensi usahatani dapat diukur dengan cara menghitung efisiensi teknis, harga
dan efisiensi ekonomis.
Kelayakan pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari
Kecepatan Pengembalian Modal, Laju Keuntungan Bersih dan Break Event
Point ( Sutadi dan Dedi Heryadi 1992).
1. Return Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan
dengan biaya yang dikeluarkan . Biaya yang diperlukan dalam usaha
pengelolaan tambak terdiri dari biaya tetap, yaitu biaya yang dikeluarkan
dalam usahatani dan nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan,
misalnya sewa lahan dan penyusutan investasi dan biaya tidak tetap, yaitu
biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada
penerimaan, misalnya; sarana produksi, tenaga kerja (Soekartawi 1995).
Secara teoritis jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak untung
dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usaha tani sering terjadi kesulitan dalam
menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam
menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal
1,5 atau 2, untuk menyatakan bahwa usaha tani tersebut layak dilakukan.
2. Kecepatan Pengembalian Modal merupakan nilai yang menunjukkan tingkat
kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang
ditanamnya. Kecepatan Pengembalian Modal ini merupakan perbandingan
antara:
Nilai bersih hasil usaha + penyusutan investasi
Total Investasi
Nilai bersih hasil usaha merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan
pajak, sedangkan penyusutan investasi dilakukan secara tetap tiap tahun
selama umur ekonomi barang investasi.
3. Laju Keuntungan Bersih menggambarkan besarnya keuntungan bersih dalam
satu periode waktu usaha berdasarkan modal operasional yang dikeluarkan.
Laju Keuntungan Bersih merupakan perbandingan antara nilai bersih dari
suatu usaha di bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha
tersebut (biaya tetap dan biaya tidak tetap).
4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan
produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu
22
menunjukan pendapatan minimum pertahun yang harus diperoleh oleh petani
sehingga petani dapat mengembalikan modal produksinya.
5. Untuk mencari pengaruh keberadaan hutan mangrove dengan pendapatan
petani tambak akan dianalisis dengan analisis regresi sederhana, sehingga
nampak ada dan tidaknya pengaruh luasan hutan mangrove dalam tambak
sistem empang parit terhadap hasil tambak yang diperoleh petani. Hal ini
sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat yang selama ini mencari
nafkah dan masa depannya dari tambak sistem empang parit. Untuk
mengetahui pola mana yang memberikan hasil beda secara statistik, digunakan
uji beda dan dilanjutkan den gan uji LSD (Leas Significant Difference) dengan
Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Kecamatan Lagonkulon,
Kabupat en Subang, Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kecamatan Legonkulon
karena Kecamatan Legonkulon merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten
Subang, Jawa Barat yang memiliki areal hutan mangrove terluas dan terbaik.
Hutan mangrove yang berada di Kecamatan Legonkulon ini merupakan wilayah
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem dan Pamanukan, Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat,
yang terdiri dari lima desa yaitu : Desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari,
Legon Wetan dan Desa Tegalurung.
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2005
sampai bulan Januari 2006 yang terbagi dalam beberapa tahap kegiatan yaitu:
observasi wilayah, pengambilan data primer, pengambilan data sekunder,
pengolahan data dan pelaporan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan peta
wilayah dari BKPH serta data pendukung dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Subang. Sedang alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera,
meteran dan tali.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus, yaitu meneliti tentang suatu obyek
yang berkenaan dengan fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.
Satuan kasusnya adalah hutan mangrove serta individu yang berada di dalamnya
di Kecamatan Legonkulo n yang terdiri dari lima desa. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh tambak tumpangsari di Kecamatan Legonkulan. Sedangkan
24
Kecamatan Legonkulo n sebanyak tiga desa dan obyeknya adalah tambak
tumpangsari sistem empang parit dengan pola 80:20, 70:40, 60:40, 50:50 dan
tambak tanpa hutan mangrove.
Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive, dengan tahapan:
1. Pengamatan seluruh hutan mangrove yang ada di Kecamatan Legonkulon,
yang terdiri dari lima desa yaitu: desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari,
Legon Wetan dan desa Tegalurung. Dari pengamatan dan pendataan di Perum
Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem dan
Pamanukan diperoleh data kondisi hutan mangrove seperti pada T abel 1.
Tabel 1 Kondisi Hutan Mangrove di Kecamatan Legonkulon
(DKP, Subang, 2003 ).
2. Pemilihan lokasi penelitian yaitu diambil tiga desa dengan kondisi hutan
kurang, sedang dan baik yang masing-masing diwakili oleh: Desa
Pangarengan (kondisi hutanya kurang baik), Desa Anggasari (dengan kondisi
hutan sedang) dan Desa Tegalurung dengan kondisi hutan yang baik.
3. Dari tiga desa yang terpilih tersebut, diambil sampel dari berbagai pola yang
akan diteliti yang selanjutnya diberi tanda dan kode, dari kegiatan ini dipilih
berdasarkan kemudahan dalam mengambil data (informasi dari ketua KUD),
• tambak yang memiliki lebar parit 3 m dengan kondisi hutan yang baik sesuai standart Perum Perhutani yaitu jarak antar tanaman pokok
maksimal 5x5 meter, selanjutnya dianggap sebagai pola 80:20,
• 15 tambak yang memiliki lebar parit 4 m dengan kondisi hutan yang baik, selanjutnya dianggap sebagai pola 70:30,
• 15 tambak yang memiliki lebar parit 5 m dengan kondisi hutan yang baik,
selanjutnya dianggap sebagai pola 60:40,
• 15 tambak yang memiliki lebar parit lebih dari 5 m dengan kondisi hutan yang tidak baik/tidak teratur, selanjutnya dianggap sebagai pola 50:50,
• 15 tambak yang tidak memiliki hutan mangrove, yang merupakan milik
petani (tanah milik), selanjutnya disebut tambak dengan pola tanpa hutan.
4. Setelah didapat pengelompokan tersebut, maka didata nama-nama pemilik
tambak dan selanjutnya dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini.
5. Dengan menggunakan kuisioner, sumber dari KUD maupun dari Tempat
Pelelangan Ikan, maka d iperoleh data yang diharapkan, yaitu hasil yang
diperoleh dari pengusahaan tambak sistem empang parit dan biaya yang
dikeluarkan dalam pengusahaan tambak tersebut.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, kunjungan dan wawancara
terhadap responden menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah
dirancang dan dipersiapkan. Sedangkan data sekunder dipero leh dari instansi atau
lembaga yang terkait.
a. Data primer berupa :
1. Hasil tangkapan harian yaitu hasil yang diperoleh setiap hari oleh petani
tambak dari berbagai pola. Hasil tangkapan harian ini pada umumnya berupa
udang api atau udang windu yang ukurannya sudah menguntungkan menurut
perkiraan petani. Hasil tangkapan harian ini diperoleh petani dengan cara
memasang bubu pada pintu air dari saluran ke areal tambak. Pemasangan
26
hari. Jika dalam bubu terdapat udang atau ikan yang belum dikehendaki,
maka dikembalikan lagi ke tambak. Ikan yang masuk kedalam bubu adalah
ikan yang berasal dari tambak pada saat air laut surut. Data ini diperoleh dari
petani langsung maupun dari Tempat Pelelangan Ikan setempat. Hasil
tangkapan harian ini dinyatakan dalam bentuk nilai uang (rupiah). Petambak
menerima uang dalam jumlah tertentu dan ditulis dalam bentuk kitir. Kitir ini
sebagai bukti pendapatan petani dan dibukukan oleh petugas pelelangan.
2. Hasil pokok budidaya yang dilakukan dalam tambak yaitu udang windu dan
bandeng. Hasil budidaya ini diperoleh petani setelah waktu panen (5 -6 bulan).
Cara panen hasil budidaya ini dengan menguras air pada empang dengan
menggunakan mesin pompa. Hasilnya dinyatakan dalam volume dan nilai
rupiah berdasar hasil pengisian dalam kuisioner.
3. Hasil sampingan budidaya berupa udang putih dan ikan mujaer. Hasil
sampingan ini diperoleh bersama-sama pada saat panen bandeng dan udang
yang dibudidayakan. Dikatakan hasil samping an karena petani tambak tidak
pernah menebar benih ikan mujaer maupun udang putih. Kedua jenis
komoditas ini masuk pada saat air pasang, selanjutnya tumbuh dan
berkembang di dalam tambak. Hasil samping ini dipanen bersamaan dengan
panen udang dan bandeng. Hasil samping an ini juga dapat dinyatakan dalam
bentuk volume dan nilai uang (rupiah).
4. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak, yang terdiri dari biaya investasi
(pembuatan tambak) dan peralatan lain, biaya tetap dan biaya tidak tetap atau
biaya variabel. Data tentang besarnya biaya yang dikeluarkan dalam
pengelolaan tambak ini dipeorleh dari petani langsung melalui wawancara,
wawancara dengan ketua KUD dan sebagian diambil dari data Perum
Perhutani BKPH Ciasem dan Pamanukan .
b. Data sekunder berupa :
1. Keadaan wilayah secara umum (dari Perum Perhutani, Pemerintah Kecamatan
2. Karakteristik petani tambak secara umum dari Pemerintah Desa, dari Perum
Perhutani.
3. Potensi wilayah perairan tempat penelitian serta keadaan khusus wilayah
perairan diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang.
4. Peta lokasi/daerah penelitian diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Subang.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Usahatani dengan
menghitung: Return Cost Ratio , Kecepatan Pengembalian Modal, Laju
Keuntungan Bersih dan Break Event Point ( Sutadi dan Dedi Heryadi 1992).
1. Return Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan
dengan biaya yang dikeluarkan. Secara matematis nilai R/C dapat dihitung
dengan rumus:
Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya
tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan
penyusutan investasi. Sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan,
misalnya; sarana produksi, tenaga kerja (Soekartawi, 1995). Secara teoritis
jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak untung dan tidak rugi.
Tetapi karena dalam usaha tani sering terjadi kesulitan dalam menghitung
tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam menentukan
tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1,5 atau 2,
untuk menyatakan bahwa usaha tani tersebut layak dilakukan.
2. Kecepatan Pengembalian Modal merupakan nilai yang menunjukkan tingkat
kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang
28
Kecepatan Pengembalian Modal ini secara matematis dapat dihitung dengan
rumus:
Nilai bersih hasil usaha + penyusutan investasi
Total Investasi
Nilai bersih hasil usaha merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan
pajak, sedangkan penyusutan investasi dilakukan secara tetap tiap tahun
selama umur ekonomi barang investasi.
3. Laju Keuntungan =
menggambarkan besarnya keuntungan bersih setiap waktu berdasarkan modal
operasional yang dikeluarkan.
NI = Nilai bersih hasil usaha, merupakan nilai usaha yang sudah dikurangi dengan pajak merupakan nilai.
FC (fixed cost) = biaya tetap dan VC (variable cost) = biaya tidak tetap
4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan
produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pad a saat itu
pengusaha mengalami titik impas. Dalam usaha tani tambak ini nilai BEP
menunjukan pendapatan minimum pertahun yang harus diperoleh oleh petani
sehingga petani dapat mengembalikan modal produksinya. Secara matematis
nilai BEP dapat dihitung dengan rumus:
BEP=
adalah pendapatan kotor sebelum dipotong pajak.
5. Uji Beda
Uji beda yang digunakan dalam analisis data adalah analisis varians yaitu
untuk menguji variasi atau ragam data yang diperoleh dari berbagai pola
tambak. Dari analisis varians ini akan dapat disimpulkan bahwa antar pola
ada yang berbeda nyata jika nilai F hitung > F tabel, dan sebaliknya semua
pola tidak berbeda nyata atau tidak memberikan keragaman artinya semua
nyata, maka untuk mengetahui pola mana yang berbeda nyata diuji dengan uji
LSD (Leas Significant Difference) dengan α 5%, Sudjana (2002).
6. Analisis Regresi
Analisis regresi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mencari hubungan
fungsional antara berbagai pola tambak (X) dengan biaya (Y) yang
dikeluarkan untuk usaha, serta untuk mengetahui hubungan fungsional antara
berbagai pola tambak (X) dengan pendapatan yang diperoleh petani tambak
(Y). Menurut Sudjana (2002), hubungan fungsional tersebut dinyatakan dalam
bentuk persamaan matematis:
Y = a + bX, untuk hubungan fungsional yang linier dan
Y = a + bX + cX2, untuk menyatakan hubungan fungsional nonlinier.
Y adalah variabel tidak bebas dan X adalah variabel bebas, sedangkan a, b, c
adalah koefisien persamaan regresi yang dihitung dengan rumus:
? Yi = na + b? Xi + c? X 2
i
? XiYi = a? X i + b ? X2i + c? X3i
? X2iYi = a? X2i + b? X3i + c? X4i
Hasil perhitungan dari analisis regresi ini disajikan dalam bentuk grafik yang
menyatakan hubungan fungsional antara pola tambak dengan biaya maupun
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak
± 50 km, secara geografis terletak pada 107o44’ BT sampai 107o51’ BT dan 6o 13’
LS sampai 6o 27’LS. Topografi wilayah , landai/dataran rendah dengan ketinggian
antara 0- 4 m diatas permukaan air laut, secara administratif dibatasi oleh :
- Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Pamanukan
- Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Blanakan
- Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Pusakanagara dan
- Sebelah Utara : Laut Jawa
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari dua puluh
dua kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan
dari empat kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki
delapan desa dan lima desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah
pantai dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak
wilayah seperti itu maka Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu
Kecamatan yang mampu memasok kebutuahn ikan bagi masyarakat Subang
maupun daerah lain sekitarnya.
Gambar 4 Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten