• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Laguna Segara Anakan merupakan kawasan estuari yang potensial dan mejadi habitat penting serta sumber kehidupan masyarakat didalamnya. Meskipun telah terjadi laju sedimentasi yang cukup tinggi di kawasan ini dimana dalam 13 tahun terakhir ini tiap tahunnya terdapat penurunan luasan rata-rata 12 ha, dimana masyarakat diatasnya tetap menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang ada didalamnya.

Kawasan Laguna Segara Anakan yang didalamnya terdapat badan air dan hutan mangrove, saling mendukung dan memberi nilai tinggi sumberdaya itu sendiri, merupakan tempat memijah dan berkembang biak (spawning groung), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan bagi udang dan ikan yang tertangkap nelayan, baik di dalam lagunaya itu sendiri maupun ikan dan udang yang tertangkap nelayan di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa, utamanya di sesisir selatan Cilacap.

Sistem sosial yang hidup bergantung dan kehidupannya mempengaruhi kawasan ini juga melakukan adaptasi. Adaptasi yang masyarakat ini lakukan antara lain adalah dengan sedikit demi sedikit mempelajari kehidupan masyarakat agraris. Hal ini terlihat dari beberapa anggota masyarakat melakukan kegiatan bercocok tanam dan melakukan kegiatan lain seperti halnya membatik dan mendaptasikan peralatan tangkap mereka untuk tetap bisa mendapatkan hasil sumberdaya perairan dari laguna yang mereka jadikan sandaran hidup selama ini.

Sedimentasi telah menjadi masalah besar dalam kawasan ini. Sedimentasi apabila tidak terkendali dan adaptasi yang dilakukan secara tidak terarah oleh masyarakat di kawasan ini akan mengakibatkan kerusakan ekologis di kawasan ini. Oleh karenanya, perlu adanya pemikiran untuk memahami perubahan pola masyarakat ini serta mengetahui apasaja yang telah dikorbankan serta hasil dan manfaat yang kita peroleh dengan melihat dari sisi nilai ekonomi total kawasan ini. Sistem Sosial-Ekologis Kawasan Laguna Segara Anakan

Laguna Segara Anakan merupakan muara dari 8 sungai besar dan 17 sungai kecil, antara lain Sungai Citanduy, Sungai Cibereum, Sungai Cimeneng, Sungai Palindukan, Sungai Kayu Mati dan Sungai Cikujang di zona barat. Pada zona tengah terdapat Sungai Panikel, Sungai Cigintung, Sungai Ujung Alang, Sungai Dangal, Sungai Sapuregel dan Sungai Kembang Kuning. Zona timur mengalir Sungai Cigintung dan Sungai Donan. Hampir semua sungai tersebut membawa lumpur dan pasir yang kemudian mengendap di perairan laguna dengan volume yang beragam. Sungai Citanduy merupakan pemasok terbesar badan air ini, sekitar 80%. Tekstur sedimen Laguna Segara Anakan didominasi pasir kemudian lempung dan komposisi paling sedikit adalah debu atau lanau untuk semua stasiun pengamatan. Adanya fraksi debu menunjukkan adanya hasil erosi dari bagian DAS yang bermuara di laguna ini. Beberapa lokasi pengamatan menunjukkan bahwa perairan ini terdiri dari perairan yang berarus kuat karena didominasi sedimen yang berpasir, utamanya pada daerah yang berhadapan dengan Pulau Nusakambangan.

Adanya pengaruh sistem sosial peda ekologi terlihat dari adanya konversi hutan mangrove menjadi lahan sawah pada seluruh periode banyak terjadi di Desa Ujung Gagak, Panikel, dan Ujung Alang. Desa Klaces sendiri menurut penuturan

penduduk dahulunya merupakan daerah perairan yang lama-kelamaan terdapat endapan sehingga memungkinkan masyarakat membangun rumah tanah.

Adaptasi pemukiman juga dilakukan masyarakat Kampung Laut. Masyarakat yang dahulunya tinggal di rumah panggung, sekarang tidak terlihat lagi keberadaannya. Rumah permanen sudah banyak menghiasi kawasan ini.

Demikian juga dengan mata pencaharian penduduk, yang dahulunya mengandalkan hasil tangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya, saat ini masyarakat tersebut juga melakukan kegiatan agraris seperti bersawah dan berkebun, walaupun hasilnya tidak sebaik petani di daratan tinggi karena sistem sawah tadah hujan.

Bahkan dalam beberapa bulan terakhir beberapa kelompok masyarakat melakukan kegiatan membatik di sela – sela kegitannya. Bahkan ditemui salah seorang pembatik yang memang khusus meninggalkan pekerjaannya di kota untuk kembali ke kampung halaman dengan bekerja sebagai pengrajin batik.

Kawasan Laguna Segara Anakan didominasi oleh hutan mangrove, dimana merupakan kawasan hutan mangrove terluas di Pulau Jawa. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Nurfiarini (2015) dimana di wilayah ini terdapat 27 jenis mangrove yang menyusun populasi hutan mangrove di kawasan ini, yang terdiri dari 17 jenis pohon, 2 jenis semak, 2 jenis liana atau jenis pemanjat, 3 jenis pakuan atau alma, dan 3 jenis herba tanah. Ke 27 jenis ini, menurut Nurfiarini tidak berbeda jauh dengan jenis yang ditemukan oleh Setyawan pada 2002 dan 30 jenis yang ditemukan LPP Mangrove pada 1998 dan 21 jenis pada pengamatan yang dilakukan oleh Nurdlous et al. (2009).

Nilai INP yang besar menunjukkan bahwa jenis Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simbala (2007) bahwa jenis yang memiliki nilai frekuensi dan nilai kerapatan tertinggi merupakan kategori jenis yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.

Substrat kawasan Laguna Segara Anakan memiliki kecenderungan didominasi pasir berlumpur, Avicennia marina memiliki kemampuan adaptasi terbaik dalam kawasan ini. Ini ditunjukkan dengan ditemukannya Avicennia marina pada 4 stasiun dan nilai dominasi tertinggi pada tiap stasiun tempat ditemukannya jenis ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Onrizal et al. (2009) yang menyatakan bahwa Avicennia marina dapat tumbuh dengan baik pada substrat pasir berlumpur.

Walaupun secara keseluruhan, menurut Ardli et al (2011), ekosistem mangrove Segara Anakan telah mengalami kerusakan yang serius, hal ini terlihat dari hasil penelitian bahwa kondisi seluruh mangrove antara rusak sedang hingga rusak berat, dan tidak ada daerah yang dalam kondisi baik

Kondisi mangrove yang rusak berat dijumpai di wilayah utara laguna (daerah Muara Dua), kondisi vegetasi di lokasi tersebut sudah didominasi oleh jenis Acanthus ilicifolius dan Derris trifoliata dengan tutupan hingga mencapai 80%. Acanthus ilicifolius merupakan herba yang tumbuh rendah dan kuat, bergerombol dan terangkai di permukaan tanah dan tingginya dapat mencapai 2 m. Acanthus ilicifolius memiliki kemampuan untuk menyebar secara vegetatif dan terdapat akar udara tumbuh di permukaan bawah batang horizontal. Bunga Achanthus ini mengalami penyerbukan dibantu oleh burung dan serangga sehingga menyebabkan tingkat produktivitas yang relatif cepat dibanding vegetasi

lainnya. Oleh karena itu, apabila suatu daerah didominasi oleh species ini maka spesies semak atau anakan mangrove sejati akan sulit berkompetisi karena reproduksi Acanthus yang cepat. Kondisi mangrove yang rusak, sebagian besar terdapat di wilayah barat dan tengah, dimana sudah jarang ditemukan vegetasi mangrove untuk kategori pohon dan pancang dan vegetasi bawah telah didominasi oleh jenis Acanthus ilicifolius.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hilmi et al. (2015) bahwa zonasi mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti tekstur tanah, salinitas dan pasang surut. Pada daerah dengan tanah berlumpur dalam, Rhizopora mucronata merupakan vegetasi yang dominan, sedangkan di daerah berlumpur dangkal didominasi oleh Rhizopora apiculata. Pengaruh salinitas menunjukkan bahwa banyaknya air tawar akan mengakibatkan Rhizopora spp akan merana dan permudaannya digantikan oleh jenis yang kurang peka terhadap perubahan salinitas, semisal Lumnitzera spp. Dalam hal ini pasang surut memberikan kontribusi bagi perubahan massa air tawar dan air asin, yang akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap perubahan dan penyebaran jenis-jenis mangrove.

Kecamatan Kampung Laut menurut cerita rakyat yang dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat, penduduk asli Kampung Laut adalah adalah anak keturunan dari Prajurit Mataram (Hartono 2016). Hal ini tampak pada pelaksanaan penghormatan pada leluhur yang merupakan warisan budaya Mataram dengan dilakukannya Sedekah Laut dan Pementasan Wayang Kulit pada saat memasuki Tahun Baru Jawa. Para prajurit Mataram pada saat itu datang ke Kampung Laut untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak laut dari Portugis.

Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomer 24 tahun 2003 tanggal 1 Agustus 2003 menetapkan Desa Persiapan Klaces Kecamatan Pembantu Kampung Laut sebagai Desa dalam wilayah Kabupaten Cilacap. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomer 54 Tahun 2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Pembentukan Kecamatan Kampung Laut maka Kampung Laut telah resmi menjadi kecamatan dengan bagian wilayah desanya terdiri atas:

1. Desa Klaces sebagai Ibukota Kecamatan Kampung Laut 2. Desa Ujung Alang

3. Desa Ujung Gagak 4. Desa Panikel.

Jasa Ekosistem Laguna Segara Anakan

Keberadaan jasa ekosistem laguna berupa hutan mangrove dan perairan laguna yang dimiliki kawasan ini sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup berinteraksi didalamnya dimana sebagian besar penduduk Kecamatan Kampung Laut bermata pencaharian sebagai nelayan yang merupakan mata pencaharian turun–temurun.Kegiatan ekonomi perikanan tersebut mendorong masyarakat meningkatkan kemampuan memperoleh tangkapan dengan memperbesar armada tangkapnya yang saat ini berjumlah 2.185 armada.

Status ketersediaan jasa ekosistem Laguna Segara Anakan menunjukkan dinamika ketersediaan dalam laguna tersebut. Beberapa jenis jasa ekosistem menunjukkan permintaan yang masih berada di bawah kapasitas sehingga berada dalam kelebihan ketersediaan, seperti rekreasi dan nilai keindahan serta nilai instrinsik keragaman hayati, hutan mangrove, pantai, kebun dan tambak.

Kondisi natural capital asset di Laguna Segara Anakan ini secara umum masih memungkinkan untuk dikembangkan untuk ketersediaan jasa ekosistem untuk mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya dan menunjang pendidikan.

Kondisi Oseanografi Laguna Segara Anakan

Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) tertinggi rata-rata didapat pada daerah dasar. Hal ini dimungkinkan karena adanya pasokan arus dari daerah atas yang mempengaruhi lapisan atas dan adanya energi pasang yang mengaduk dasar perairan dikarenakan salinitas dan berat jenis air laut yang lebih besar dan berada di dasar perairan serta labilnya dasar perairan yang terdisi dari lumpur.

Laju sedimentasi tinggi saat musim hujan dikarenakan banyaknya tanah yang terbawa aliran sungai akibat adanya erosi di bagian hulu. Laju sedimentasi tinggi pada pengamtan didapat saat bulan April 2014 dimana merupakan puncak musim hujan dan hujan terjadi terus menerus di daerah atas sehingga membawa material tanah yang semakin hari makin mudah terkikis akibat adanya hujan yang berlangsung lama.

Debit air meningkat pada musim hujan. Demikian juga dengan rata-rata kecepatan arusnya. Debit rata-rata saat musim penghujan sangat besar mencapai 1.083,3 meter kubik per detik dibandingkan saat kemarau 273,43 meter kubik per detik. Fluks sedimen saat musim hujan adalah 257,7 gram per meter persegi per detik dan saat musim kemarau 6,8 gram per meter persegi per detik.

Konektifitas Sistem Sosial Ekologi Laguna Segara Anakan akibat adanya Sedimentasi

Diagram (Gambar 43) dibawah ini memberi gambaran bagaimana adanya sedimentasi berperan dalam kelangsungan sebuah perairan laguna.

Gambar 43 Sedimentasi dan dampaknya terhadap sistem sosial-ekologis Laguna Segara Anakan

Luasan mangrove berkurang seiring dengan pertambahan populasi penduduk yang membutuhkan lahan pemukiman. Luasan tegalan dan sawah juga mengkonversi luasan mangrove. Luasan mangrove yang makin bertambah

dikarenakan adanya jebakan sedimen yang dilakukan oleh akar mangrove akan menambah nilai sumberdaya perikanan. Fenomena ini berubah dari waktu ke waktu dengan kecenderungan luas lahan mangrove berkurang. Luas mangrove pada 1998 meliputi 37,4 % dari luas kawasan saat ini pada 2016 hanya tinggal 12,08 % saja. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan dan perlu kita pikirkan bersama (Lampiran 17).

Nilai Ekonomi Total Kawasan

Nilai ekonomi total kawasan berubah seiring dengan berubahnya penggunaan lahan. Nilai ekonomi total kawasan Laguna Segara Anakan saat ini dengan luasan area 14.807,5 ha yang meliputi Kecamatan Kampung Laut yang terdiri dari 4 desa ini memiliki nilai ekonomi total Rp 153.873.795.181,50 atau Rp 86.025.491,68 dari tiap ha hutan mangrove di wilayah ini seluas 1.788,7 ha.

Menyadari fenomena diatas, maka perlu adanya arahan dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan ini. Arahan dan kebijakan ini dirangkum dalam dimensi ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan. Tabel 27 mengenai arahan dan kebijakan yang diusulkan untuk pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan agar tetap memberikan hasil maksimal yang mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Tabel 27 Arahan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan

Dimensi Arahan Prioritas Kebijakan

Ekologi 1. Menekan laju sedimentasi

2. Pelarangan aksi perusakan kawasan

mangrove

3. Pelarangan alat tangkap yang bersifat

merusak ekosistem

4. Pemulihan atau perbaikan kondisi

ekosistem mangrove

1. Rehabilitasi lahan atas dan sempadan DAS

2. Pelaksanaan reboisasi di lahan

atas

3. Rehabilitasi ekosistem

mangrove

4. Adanya daerah yang digunakan

sebagai kawasan atau zona inti untuk memastikan

keberlanjutan sumberdaya

5. Rancangan aturan pengelolaan

mangrove

Ekonomi 1. Peningkatan kesejahteran masyarakat

dengan meningkatkan PAD

2. Memberikan fasilitas dasar kepada

masyarakat sehingga kehiduannya

sejahtera untuk menghindarkan

tindakan anarkis masyarakat terhada alam

3. Meningkatkan ketrampilan dan daya

juang masyarakat pesisir dan

meningkatkan pendidikan agar

tercipta pola pikir yang memelihara alam

1. Perancangan mata pencaharian

alternatif

2. Pemberian ketrampilan baru

sehingga membuka wawasan masyarakat akan pentingnya

menjaga alam, termasuk

didalamnya adalah ekowisata

3. Membina masyarakat dengan

membentuk kelompok usaha mandiri serta memberi fasilitas masyarakat dalam berusaha

Sosial Kelembagaan

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam mengelola dan mencintai alam

2. Pembentukan kelembagaan formal

3. Pembentukan kelembagaan non

formal yang bertujuan menjaga sumberdaya alam

1. Kegiatan pendampingan

2. Pembuatan peraturan di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa

yang bertujuan memelihara

sumberdaya alam

3. Mesosialisaikan peraturan yang