• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangunan Bekas Hotel Pasar Baroe

V. IDENTIFIKASI LANSKAP PECINAN

5.4 Elemen Lanskap Sejarah

5.4.4 Bangunan Bekas Hotel Pasar Baroe

Bangunan ini terletak di Jalan Klenteng No. 88, RT 02 / RW 07, Kelurahan Babakan Pasar. Posisinya sangat tersembunyi di belakang Pasar Bogor dan dekat dengan tempat pembakaran sampah.

5.4.4.1 Sejarah Singkat

Hotel Pasar Baroe dibangun bersamaan dengan hotel Aryana dan hotel Salak pada tahun 1873 oleh seorang keturunan Cina bernama Tan Kwan Hong dan saat itu merupakan hotel megah berlantai dua yang berdiri di atas lahan 1,20 hektar. Hotel berarsitektur perpaduan antara Eropa dan Cina ini, menjadi primadona bagi para pelancong yang mayoritas terdiri dari warga Cina, Arab dan Bumiputra, karena Hotel Bellevue dan Hotel Salak terlalu mewah yang hanya bisa dinikmati oleh warga Belanda dan Eropa lainnya.

Hotel Pasar Baroe pada masa itu terletak dikawasan pertemuan antara

Kelentengweg (Jl. Kelenteng) dan Pasarweg (Jl. Pasar). Sesudah masa kemerdekaan, hotel kemudian dihuni sejumlah keluarga dari Angkatan Udara RI hingga berakhirnya peristiwa pemberontakan PKI pada 1966.

Kepemilikan hotel berpindah tangan dari keluarga Tan Kwan Hong yang sekarang tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan (Jl. Merdeka), kemudian hotel itu dijual kepada keluarga Lim dan Lie, mereka adalah Lim Siang Yang, Lim Siang

Yin, Lie Bun Kian dan Lie Bun Kwat. Ketiga orang yang disebut terakhir sudah meninggal dunia sehingga saat ini Hotel Pasar Baroe diurus oleh Lim Siang Yang

dan anaknya.

5.4.4.2 Kondisi Fisik

Hotel Pasar Baroe adalah salah satu bangunan yang memiliki ciri-ciri arsitektur Indis dengan atap yang curam, jendela dan pintu yang tinggi dan lebar, besi penyangga, pilar-pilar besar serta pintu yang terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan.

Saat ini, kondisi bangunan bersejarah itu sangat mengkhawatirkan. Kayu- kayu yang mendominasi seluruh bangunan terlihat sudah banyak yang lapuk dan beberapa bagian bangunan tampak rusak. Material kayu yang mendominasi bangunan sebagian terlihat keropos dan bilik atap sudah mulai terkelupas. Di serambi depan banyak digunakan oleh beberapa orang sekitar pasar untuk beristirahat, walaupun sudah dipagar kawat (Gambar 22).

Gambar 22. Kondisi Bangunan Bekas Hotel Pasar Baroe

5.4.4.3 Pengelolaan Pelestarian

Bangunan yang sudah lapuk dan rusak ini tidak lagi diperbaiki oleh pemiliknya karena biaya perbaikannya mahal. Upaya pemerintah ditunjukkan dengan menyatakan Hotel Pasar Baroe sebagai bangunan cagar budaya sesuai Perda No. 5 tahun 2005, sejak awal tahun 2007, namun belum dirasakan tindakan dari pemerintah untuk menindaklanjuti perda tersebut.

5.4.4.4 Lingkungan

Keberadaan pasar di sekitar hotel membuat daerah sekitar menjadi becek dan bau. Bau juga disebabkan tempat pemotongan hewan yang tepat berada di depannya dan sampah yang dibuang oleh warga dekat bangunan. Sekarang bangunan ini sudah dijual oleh pemiliknya, tapi sampai saat ini belum ada yang berminat untuk membelinya, mungkin karena letaknya terpencil dan suasananya yang tidak kondusif (Gambar 23).

Gambar 23. Suasana Sekitar Hotel

5.4.5 Jalan Suryakencana

Jalan Suryakencana adalah jalan utama pada kawasan Pecinan. Pada jalan ini masih terdapat ruko-ruko khas Tionghoa yang berdempetan dan trotoar di kanan kiri jalan. Sejak dulu Jalan Suryakencana ini adalah salah satu jalur yang dilewati saat perayaan/arak-arakan Cap Go Meh.

5.4.5.1 Sejarah Singkat

Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels membangun jalan yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Jalan ini melintasi Bogor dan dinamakan Jalan Raya Pos (Groote Post Weg). Jalan ini melintas Jalan Ahmad Yani, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Suryakencana, Jalan Sukasari, Tajur hingga Gadog. Pada saat itu Jalan Suryakencana bernama Handelstraat atau Jalan Perniagaan (handel = niaga,

peraturan Wijkenstelsel, Jalan Suryakencana dijadikan sebagai pusat perkampungan masyarakat Tionghoa di Buitenzorg.

Bangunan ruko yang ada di jalan ini diperkirakan didirikan sekitar tahun 1800-an hingga abad ke-19. karena sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pedagang. Ruko tidak hanya berfungsi sebagai tempat berdagang tapi juga memiliki arti penting sebagai simbol status keluarga yang terus dipelihara dan diturunkan ke generasi berikutnya, seperti pada pengelolaan toko Ngesti yang saat ini sudah beralih ke generasi ketiga dan memiliki 3 toko yang masing-masing dikelola oleh tiga anak lelaki Nyonya Ngesti.

5.4.5.2 Kondisi Fisik

Kondisi Jalan Suryakencana sudah agak rusak di beberapa bagiannya. Bila hujan turun, air akan tergenang pada bagian jalan yang berlubang dan kadang menimbulkan banjir karena drainase yang kurang baik. Pada trotoar juga terdapat lubang-lubang selokan yang tak ditutup yang dapat membahayakan pejalan kaki.

Ruko-ruko di kawasan ini berdempetan rapat dan hampir tidak menyisakan lahan terbuka, memiliki muka yang sempit, sekitar empat sampai lima meter saja, namun panjangnya bisa mencapai 30 meter lebih. Dahulu bentuk muka dan bukaan (jendela dan pintu) sangat unik dan berbeda-beda karena dipengaruhi oleh status/peran sosial penghuninya, tapi saat ini bentuk muka ruko umumnya berupa

rolling door. Bangunan ruko pun banyak menjadi sarang burung walet, akibatnya bangunan menjadi rusak dan tak terurus.

5.4.5.3 Pengelolaan Pelestarian

Perbaikan dan pembangunan jalan dan trotoar berada di bawah pengawasan Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor. Sayangnya masih jarang dilakukan perbaikan terhadap jalan dan trotoar yang sudah mulai rusak. Beberapa bangunan di Jalan Suryakencana ini sudah termasuk ke dalam benda cagar budaya terkait dengan pengelolaan dan pelestarian bangunan tersebut. Akan tetapi kenyataanya aplikasi di lapang belum terlihat nyata. Pengelolaan dilakukan seadanya sebatas dengan kemampuan dana sang pemilik.

5.4.5.4 Lingkungan

Jalan Suryakencana terletak tegak lurus dengan Kebun Raya Bogor, dan bersimpangan dengan Jalan Otto Iskandardinata dan Jalan Ir. H. Juanda. Jalan Suryakencana adalah salah satu pusat keramaian di Kota Bogor, terutama pada akhir pekan. Bukan hanya karena di sepanjang jalan itu terdapat pemukiman dan toko warga Tionghoa sejak dulu, tetapi juga karena jalan itu merupakan akses termudah mencapai Bandung dari Jakarta melalui Puncak sebelum ada Jalan Tol Jagorawi. Gambar 24 menunjukkan Jalan Suryakencana tahun 1880 sementara Gambar 25 menunjukkan Jalan Suryakencana tahun 2008.

Gambar 24. Jalan Suryakencana tahun Gambar 25. Jalan Suryakencana 1880 (Sumber : www.kitlv.nl) tahun 2008

Dokumen terkait