• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Deskripsi Wilayah Pesisir Pekalongan

A. Banjir Pasang Air Laut

Pengertian banjir menurut Ward (1978) dalam Dewi (2007) adalah meluapnya air ke daratan dan mengakibatkan daratan tergenang atau tenggelam secara tidak normal. Marfai dan King (2008) menjelaskan bahwa banjir di wilayah pesisir dapat terjadi melalui proses naiknya pasang air laut, gelombang pasang, tingginya aliran air sungai, dan kenaikan paras muka air laut. Dalam penelitian ini, fokus kajian banjir lebih ditekankan pada kejadian banjir yang disebabkan oleh proses naiknya pasang air laut yang menggenangi daratan. Banjir menjadi bencana alam ketika genangan telah mencapai areal yang secara fungsional dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Kerentanan dalam bencana banjir

secara umum, menurut Baru (2011) dinyatakan sebagai kemungkinan terjadinya banjir dan konsekuensi yang terjadi akibat banjir.

C. Manajemen Bencana

Carter (2001) menyatakan bahwa konsep manajemen bencana (concept of disaster management) harus memiliki pendekatan yang secara komprehensif memuat seluruh siklus manajemen bencana, yaitu pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), respon (respond), pemulihan (recovery), dan pembangunan berkaitan dengan bencana (disaster-related development).

Paradigma dalam konsep manajemen bencana makin berkembang, dari pendekatan teknokratik menjadi pendekatan manajemen resiko bencana. Pendekatan ini merupakan hasil dari inter-relasi dari 3 komponen yaitu, penilaian terhadap bahaya (hazard assessment), analisis kerentanan (vulnerability analysis), dan peningkatan kapasitas pengelolaan (enhancement of management capacity). Perubahan pendekatan dalam proses manajemen bencana, juga dilakukan dengan beralihnya sistem top-down menjadi bottom-up. Masyarakat memegang peran penting dalam pengurangan risiko bencana di wilayahnya (Yodmani, 2001).

Demikian pula halnya dengan manajemen bencana banjir berkembang menjadi manajemen resiko banjir (fl ood risk management). Pendekatan tersebut menurut Messner & Meyer (2005), memuat keterkaitan antara persepsi resiko banjir (fl ood risk perception), kesiapsiagaan (preparedness), kerentanan (vulnerability), kerusakan akibat banjir (fl ood damage), dan manajemen banjir (fl ood management). Semua elemen tersebut menghasilkan desain analisis kerusakan akibat banjir (fl ood damage analysis) dan management resiko banjir (fl ood risk management).

Manajemen bencana banjir menurut Twigg (2004) terdiri dari 3 komponen, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, dan pencegahan. Ketiga komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:

(1) Mitigasi adalah hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana baik struktural (pembangunan fi sik bangunan) maupun non struktural (pendidikan dan pelatihan terkait bencana dan kebijakan penggunaan

lahan). Dalam UU No. 27 tahun 2007, mitigasi bencana di wilayah pesisir diartikan sebagai: “Upaya untuk mengurangi resiko bencana baik secara struktur atau fi sik melalui pembangunan fi sik alami dan/atau buatan maupun non struktural atau non fi sik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”

(2) Kesiapsiagaan adalah langkah-langkah yang diambil sebelum bencana terjadi seperti prakiraan, peringatan dini, dan tanggap pada bencana. (3) Pencegahan adalah aktivitas yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

bencana.

D. Persepsi terhadap Risiko (Risk Perception)

Sikap yang diambil masyarakat dalam menghadapi bencana secara umum merupakan upaya menuju penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sikap masyarakat berkaitan erat dengan persepsi masyarakat terhadap kejadian bencana. Johnson, dkk., (2004) menunjukkan beberapa hal yang perlu diidentifi kasi dalam mengkaji persepsi dan sikap masyarakat terhadap bencana yang mendorong adaptasi, yaitu: (1) persepsi masyarakat terhadap bencana dan risikonya; (2) nilai-nilai yang mempengaruhi persepsi terhadap risiko bencana dan sikap masyarakat, (3) alasan masyarakat tetap tinggal di kawasan rawan banjir (4) sikap masyarakat terhadap alam dan (5) persepsi dan sikap yang mendorong adaptasi.

Dalam identifi kasi persepsi khususnya terhadap risiko bencana, Messner dan Meyer (2005) menyatakan bahwa persepsi akan dipengaruhi oleh perbedaan informasi yang dimiliki tiap individu, perbedaan nilai dalam bersikap, dan kepentingan tiap individu. Perbedaan di atas akan melahirkan perbedaan penilaian terhadap resiko bencana. Rianto (2009) dalam Febrianti (2010) mengungkap bahwa subjektivitas persepsi terhadap risiko bencana dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai bencana, pengalaman dalam menghadapi bencana, dan kemampuan individu untuk mengatasi dampak kejadian bencana.

E. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Bencana

Hardesty (1977) mengemukakan tentang adaptasi bahwa: “adaptation is the process through which benefi cial relationships are established and maintained between an organism and its environment”, maksudnya, adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling menguntungkan antara organisme dan lingkungannya.

Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975; Harris, 1968; Moran, 1982) mendefi nisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial.

Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem merupakan keseluruhan situasi, di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifi k. Ketika suatu populasi atau masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia terus dan selalu berubah.

Smit dkk., (1999) dalam kajiannya mengenai perubahan iklim, mengartikan adaptasi sebagai penyesuaian di dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi sebagai respon terhadap kondisi ikilm dan dampaknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Smit dan Wandel (2006) juga menyatakan bahwa adaptasi manusia dalam perubahan global merupakan proses dan hasil dari sebuah sistem, untuk mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko, dan kesempatan. Dalam perubahan iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu sebagai bagian dari penilaian dampak dengan kata kunci yaitu (1) adapatasi yang dilakukan, dan (2) respon kebijakan dengan kata kunci rekomendasi adaptasi. Kerangka dalam mendefi niskan adaptasi adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan.

Gambar 2.1. Konsep Adaptasi, berdasarkan penyesuaian dari Adaptasi dalam Perubahan Iklim oleh Smit dkk., (1999)

Berdasarkan defi nisi adaptasi di atas, maka pendorong adaptasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah adaptasi terhadap bencana banjir pasang air laut. Sistem yang dikaji pada skala individu dan komunitas dalam berbagai perspektif ekologi dan sosial ekonomi yang berbeda dan adaptasi apa saja yang dilakukan?

Sunil (2011) mendefi nisikan adaptasi dalam ketidakpastian lingkungan dan bencana sebagai penanganan terhadap dampak yang tidak dapat dihindari dalam perubahan lingkungan. Adaptasi menyertakan penyesuaian diri dalam bersikap terhadap kondisi yang tidak menentu. Adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan ekologi tertentu. Di dalam perubahan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir, konsep adaptasi mengacu pada strategi: (1) perlindungan terhadap wilayah daratan dari lautan, sehingga penggunaan lahan dapat terus berlanjut; (2) akomodasi yaitu melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya; dan (3) strategi menghindar atau migrasi yaitu meninggalkan wilayah pesisir ke daerah lain yang lebih aman.

Bab III

Analisis Strategi Adaptasi

Masyarakat

A. Pengumpulan Data

Riset ini berfokus pada informasi-informasi kualitatif tentang persepsi, sikap, dan strategi masyarakat dalam menghadapi banjir pasang air laut. Pada penelitian ini, ditentukan sampel lokasi penelitian berdasarkan kriteria perbedaan sosioekologi yang dimiliki setiap desa. Konsep sosioekologi merupakan interaksi sosial manusia yang mendiami suatu wilayah dengan lingkungan fi sik di sekitarnya. Sikap manusia akan berpengaruh terhadap lingkungan fi sik, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian di desa-desa dengan ciri fi sik yang berbeda, didapatkan karakter sosial yang berbeda pula.

Daerah resiko banjir pasang surut di Pekalongan Utara, setidaknya terdapat 3 karakter sosioekologi yang berbeda, yaitu daerah permukiman padat, daerah pertanian sawah, dan daerah tambak. Oleh karena itu diambil 3 sampel desa/ kelurahan yang masing-masing mewakili 3 karakter sosiologi yang berbeda. Ketiga desa tersebut adalah:

a. Desa Degayu dengan karakter sosioekologi pertanian b. Desa Krapyak Lor dengan karakter sosioekologi tambak,

c. Desa Panjang Baru dengan karakter sosioekologi permukiman padat. Pengetahuan tentang kondisi fi sik dan sosial ekonomi lokasi penelitian didapatkan dari data primer dan sekunder yang meliputi:

a. Distribusi bentuk penggunaan lahan b. Jumlah dan kepadatan penduduk

c. Kejadian banjir pasang air laut di lokasi penelitian d. Sosial ekonomi masyarakat di lahan pertanian

Pada tahap kerja lapangan, fokus utama yang dilakukan adalah pengumpulan data primer. Data dikumpulkan berdasarkan kebutuhan data untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pertanyaan Penelitian dan Metode Pengambilan Data

Pertanyaan

Penelitian Sub Pertanyaan Penelitian

Data Yang Diperlukan Teknik Pengumpulan Bagaimana perbedaan persepsi masyarakat terhadap banjir pasang air laut?

Apa yang masyarakat •

ketahui tentang banjir pasang surut di lingkungan mereka masing-masing? Bagaimana pendapat •

masyarakat tentang fenomena banjir pasang air laut?

Bagaimana masyarakat •

menilai resiko dari banjir pasang air laut?

Data persepsi masyarakat mengenai banjir pasang air laut Indepth inteview semi terstruktur Bagaimana perbedaan sikap masyarakat terhadap bencana banjir pasang air laut?

Bagaimana sikap •

masyarakat terhadap banjir pasang air laut? Apakah nilai yang • mendasari masyarakat bersikap? Data sikap masyarakat terhadap bajir pasang air laut Indepth inteview semi terstruktur Bagaimana perbedaan strategi masyarakat menghadapi banjir pasang air laut?

Apa adaptasi yang •

dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut?

Bagaimana proses •

adaptasi yang dilakukan masyarakat? Data strategi masyarakat dalam menghadapi banjir pasang air laut Indepth inteview semi terstruktur

Wawancara mendalam dilakukan dalam pengumpulan data primer-kualitatif dan kuantitatif dimana responden menjawab seperangkat pertanyaan dari peneliti. Dengan indepth interview didapatkan informasi mendalam dari responden tentang suatu fenomena. Dalam pelaksanaan indepth interview pada penelitian ini, sangat diperhatikan dua aspek penting untuk memperoleh data yang valid ;

a. Aspek perhatikan pada topik penelitian sehingga informasi yang didapatkan terarah. Oleh karena dalam wawancara selalu mengacu pada pertanyaan penelitian yang dapat mengarahkan pembicaraan pada saat wawancara berlangsung. Disamping itu, dengan adanya acuan pertanyaan, kedalaman informasi dari setiap responden dapat dibakukan, sehingga informasi dari satu responden dengan responden lain dapat tersusun secara sistematik.

b. Aspek obyektifi tas dalam arti informasi yang diperoleh berkualitas dan seobyektif mungkin. Untuk menjaga obyektifi tas informasi, dilakukan teknik triangle check. Dalam teknik ini, dilakukan konfi rmasi informasi yang didapatkan dari satu responden dengan responden yang lain. Unit analisis penelitian adalah individu yang diwakili oleh setiap responden. Untuk mendapatkan sampel individu, dilakukan teknik purposive sampling. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan responden tertentu yang dapat memberikan informasi sesuai dengan tujuan dan konsep dari strategi adaptasi. Untuk memahami strategi adaptasi masyarakat dalam kondisi ekologi dan sosial ekonomi yang berbeda, dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggali informasi dari responden dengan variasi yang berbeda baik dari kondisi fi sik lingkungan (seperti dominasi penggunaan lahan) maupun kondisi sosial ekonomi (seperti usia, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya)

Disamping wawancara terhadap individu masyarakat, juga dilakukan wawancara dengan aparat pemerintah sebagai salah satu stakaholder dalam topik banjir pasang surut. Aparat pemerintah dipilih berdasarkan pada kompetensi kedinasannya. Dinas yang menjadi sasaran adalah: 1)Dinas pekerjaan umum, 2) Kesbangpolinmas, 3)Dinas sosial, 4)Aparat Kecamatan dan Kelurahan.

B. Analisis Data Spasial

Seusai survei lapangan dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh. Prinsip dasar analisis menggunakan konsep analisis data induktif seperti pada Gambar 3.1.

Secara teknis, analisis data menggunakan analisis tabulasi frekwensi maupun tabulasi silang. Analisis kualitatif dengan cara menginterpretasi data tabel dan gambar (foto) lapangan sesuai dengan sub-sub bahasan. Berbagai informasi data tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penarikan kesimpulan hasil penelitian, berupa beberapa pernyataan yang terdapat di lapangan.

Secara skematis pelaksaan metode penelitian dapat disajikan pada Gambar 3.2.

Bab IV

Deskripsi Wilayah Pesisir Pekalongan

A. Kondisi Fisik

Desa Degayu, Desa Panjang Baru dan Desa Krapyak Lor secara fi sik merupakan 3 desa yang berada di pesisir utara Kota Pekalongan. Secara administratif ketiga desa ini termasuk kedalam daerah Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. Luas Desa Degayu, Krapyak Lor, dan Panjang Baru berturut-turut adalah 4.102 ha, 3.193 ha dan 1.112 ha, sehingga secara keseluruhan daerah penelitian ini seluas 8.407 ha.

Ketiga desa tersebut ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sisi utara dengan ketinggian tanah antara 0-1 meter di atas permukaan air laut. Beberapa tempat di Desa Panjang Baru memiliki ketinggian yang relative sama dengan ketinggian permukaan air laut. Kondisi ini menjadi salah satu faktor terjadinya banjir pasang surut di pesisir utara Kota Pekalongan. Curah hujan rata-rata 200 mm/th dengan suhu rerata 300C, menyebabkan suhu udara wilayah ini cukup panas pada siang hari.

Ketiga desa ditinjau dari aksesibilitas memiliki lokasi yang cukup strategis. Selain memiliki pelabuhan besar berskala nasional juga dekat dengan jalur lintas Pantai Utara Jawa (Pantura) yang dikenal sebagai jalur nadi penghubung antara kota-kota besar di Pulau Jawa. Kota Pekalongan yang tumbuh dengan pesat juga menjadi faktor yang menyebabkan wilayah ini memiliki daya tarik lokasional di tengah masalah banjir pasang air laut.

Pemanfaatan lahan suatu daerah merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam kajian suatu wilayah. Penggunaan lahan menunjukkan karakter dinamika atau perubahan ekonomi dan sosial masyarakat

yang mendiami wilayah tersebut. Data Tahun 1999 masih menunjukkan penggunaan lahan yang dominan Desa Degayu dan Krapyak Lor sebagai lahan sawah irigasi, namun demikian saat ini luas lahan sawah irigasi menurun sangat drastis, karena sawah sebagian luas telah terendam permanen oleh banjir pasang surut. Di Desa Panjang Baru didominasi permukiman, fenomena yang sama dengan yang tergambarkan pada data Tahun 1999. Sawah irigasi yang terendam permanen sebagian besar dialihfungsikan untuk lahan tambak bandeng dan tambak udang.

Tiga desa ini merupakan bagian dari DAS Kupang, yang berhulu di wilayah Kecamatan Petungkriyono dan bermuara di Laut Utara Jawa. Ketiga desa ini juga merupakan bagian dari downstream atau kawasan hilir sungai. Sungai-sungai yang melalui dan bermuara di 3 desa ini di antaranya Sungai Sikenting, Sungai Sibulangan dan Sungai Loji. Sungai-sungai ini merupakan saluran yang memasok air dari darat masuk ke laut, juga menjadi jalur masuknya air dari laut ke darat pada saat pasang. Untuk mengatasi hal ini, di satu sisi Sungai Sibulangan ditanggul atau dipotong. Selama ini upaya tersebut cukup berhasil sebagai pengendali air pasang.

B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Desa Panjang Baru merupakan desa dengan jumlah dan kepadatan penduduk tertinggi di antara 3 desa yang menjadi lokasi penelitian. Dengan jumlah penduduk 8.394 jiwa dan luas daerah 111 ha, kepadatan penduduk desa ini sebesar 76 jiwa/ha. Rasio penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama, yakni 1:1,07, artinya bahwa perempuan lebih banyak daripada laki-laki maka perempuan perlu mendapatkan pengarahan dan pembinaan dalam kontribusi kesejahteraan rumah tangga.

Struktur penduduk menurut kelompok tenaga kerja, dominasi umur penduduk berada pada penduduk usia produktif (15-56 tahun). Hal ini merupakan salah satu aset dan potensi untuk pembangunan daerah, meskipun harus mempertimbangkan kualitas SDMnya. Keadaan struktur penduduk diilustrasikan pada Gambar 4.1. berikut:

Gambar 4.1. Piramida kelompok Usia Kerja (sumber: Podes, 2008)

Sektor unggulan di ketiga desa adalah sektor primer, baik pertanian maupun perikanan darat dan laut. Hal ini tampak pada besarnya jumlah penduduk bermatapencaharian pada kedua sektor tersebut. Sektor sekunder riil yakni perdagangan barang primer dan buruh. Jasa pariwisata yang berada di Desa Panjang Baru yang seharusnya menjadi sektor utama, nampaknya belum berhasil mengangkat sektor ini menjadi sector unggulan masyarakat. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan, objek pariwisata Pantai Panjang Baru dan Krapyak Lor tidak nampak menonjol, atau relative sepi pengunjung.

Fenomena mobilitas penduduk di ketiga desa, juga merupakan hal yang menarik, yakni justru faktor pendorong penduduk keluar dari daerah, karena lingkungan yang tidak nyaman, kumuh, dan rawan banjir. Namun demikian juga terdapat faktor penduduk masuk ke daerah ini, yakni karena murahnya harga lahan dan bangunan. Harga satu rumah dan tanah tipe 36 di kawasan perumahan kelas menengah di Desa Panjang Baru, hanya sekitar Rp. 30.000.000,-. Hal ini sulit menemukan harga yang sama di Kota Pekalongan. Rasio penduduk masuk dan keluar daerah dari periode pencatatan ke periode pencatatan berikutnya hampir sama yakni 1:1. Hal ini berarti banyak penduduk yang masuk, namun banyak pula penduduk yang keluar.

Jika dilihat dari pertambahan penduduk alami (dari kelahiran dan kematian), jumlah penduduk bayi lahir lebih banyak dari pada penduduk meninggal. Hal

ini berpotensi meningkatkan kepadatan penduduk di daerah ini, walaupun terlalu tidak signifi kan. Rasio penduduk mati terhadap penduduk lahir adalah 1:2, dimungkinkan karena ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan setempat.

C. Sarana Prasarana

Jalan dan jembatan sebagai sarana penghubung darat antar wilayah, utama-nya antar 3 desa (Panjangbaru, Krapyak Lor, dan Degayu) telah tersedia dengan kondisi baik. Jalan penghubung dengan pusat kota dan jalan arteri nasional juga dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat, meskipun pada beberapa bagian mengalami kerusakan karena sering terendam banjir.

Polder penampung air telah dibangun, namun hanya di Desa Panjang Baru. Polder ini berfungsi untuk menampung air banjir dari permukiman, kemudian dipompa keluar untuk dibuang ke saluran menuju laut. Polder ini dibangun oleh pemerintah dengan partisipasi dan inisiasi dari masyarakat. Saluran air dan tanggul juga telah ada, namun kondisinya sudah tidak mampu menampung desakan banjir pasang air laut. Akibatnya setiap pasang (terkadang 2 kali sehari) permukiman masih tergenang banjir.

Bab V

Persepsi, Sikap dan Adaptasi Masyarakat

Terhadap Banjir Pasang Air Laut

A. Banjir Pasang Air Laut

Kecamatan Pekalongan Utara merupakan Kecamatan yang memiliki sumberdaya biotik, abiotik dan manusia yang sangat potensial. Wilayah yang berbatasan langsung dengan laut, membawa konsekuensi sektor perikanan merupakan sektor unggulan, dan memberikan kontribusi besar pada kesejahteraan masyarakatnya. Topografi wilayah yang landai, menyebabkan sarana dan prasarana penunjang pembangunan dan aksesibilitas wilayah berkembang dengan baik, didukung pula dengan aspek ketenagakerjaan dan kelembagaan yang mapan menjadikan wilayah ini merupakan wilayah yang strategis dan potensial.

Perkembangan tersebut, perlu adanya tanggapan Pemerintah dan masyara-kat untuk melakukan upaya preventif strategis, dalam mengarahkan perkem-bangan wilayah, dan mengendalikan dampak negatif dari perkemperkem-bangan wilayah, yang sering muncul akibat lonjakan jumlah penduduk dan degradasi kualitas lingkungan.

Fakta menunjukkan bahwa berbagai masalah lingkungan telah terjadi di Pekalongan Utara. Abrasi pantai, gelombang tinggi, pencemaran limbah, sampah, dan banjir pasang air laut tercatat pernah terjadi dengan intensitas yang berbeda-beda di setiap bagian wilayah. Khusus di kawasan Kecamatan Pekalongan Utara, bencana banjir pasang surut merupakan bencana dengan intesitas kejadian cukup sering, dan menyebabkan kerugian cukup tinggi. Permasalahan ini timbul karena ketinggian tempat yang rendah, topografi dataran landai, dan sistem

drainase yang belum baik, serta kondisi wilayah kurang mampu menerima debit air buangan.

Berdasarkan pada data kejadian bencana banjir pasang surut menurut kelurahan, dan jumlah kepala keluarga yang tergenang (kejadian tanggal 5 oktober 2010), dapat ditunjukkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Kejadian Banjir Pasang Air Laut Kecamatan Pekalongan Utara

No Kelurahan Jumlah KK 1 Panjang Baru 1881 2 Krapyak Lor 1484 3 Panjang Wetan 675 4 Kandang Panjang 1122 5 Bandengan 475 6 Pabean 1085

Kecamatan Pekalongan Utara 6722

Sumber: Kesbangpolinmas Kota Pekalongan, 2010

Kelurahan Degayu, Krapyak Lor dan Panjang Baru merupakan 3 kelurahan yang turut tergenang banjir pasang surut dengan intensitas cukup tinggi. Dari beberapa laporan kejadian bencana, kelurahan ini merupakan 3 kelurahan dengan tingkat ketinggian banjir tertinggi (bervariasi antara 20 cm hingga 60cm).

Kelurahan Panjang Baru merupakan kelurahan dengan dominasi penggunaan lahan untuk permukiman. Di antara 3 sampel kelurahan lain pada penelitian ini, Kelurahan Panjang Baru memiliki jumlah penduduk tertinggi. Di samping itu, di kelurahan ini terdapat Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan yang menjadikan wilayah ini semakin padat, akibat sebagian mahasiswa dan pedagang

Selain STAIN juga terdapat beberapa perumahan kelas ekonomi menengah. Kompleks perumahan dibangun pada tahun 1995, sebelum kejadian banjir pasang surut menimbulkan kerugian dan merusak banyak infrastruktur. Saat ini di perumahan tersebut sebagian besar bangunan rumah kosong, karena ditinggal penghuninya yang memilih pindah untuk menghidari banjir pasang surut, yang selalu terjadi pada musim-musim tertentu.

Data kejadian genangan banjir pasang surut di Kelurahan Panjang Baru, yang terjadi pada bulan Juni Tahun 2010 dapat disajikan pada Tabel 5.2. sebagai salah satu fakta peristiwa banjir di kelurahan ini.

Selain menggenangi kawasan permukiman, banjir pasang air laut juga menggenangi dan bahkan menimbulkan kerusakan kawasan tambak di Kelurahan Krapyak Lor. Di kelurahan ini mayoritas penduduk bekerja di sektor tambak. Tambak di desa yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa ini, pernah mengalami banjir pasang surut, khususnya pada tambak yang berbatasan langsung dengan saluran air. Akibat seringnya banjir pasang air laut, petani tambak selalu mengalami kerugian, karena ikan di tambak berpindah ke tempat-tempat genangan lain di luar tambak atau bahkan ke tambak milik orang lain saat banjir pasang air laut terjadi. Menurut salah satu informan kerugian yang dialami dapat mencapai 90% dari hasil yang seharusnya diperoleh setiap kali

Dokumen terkait