• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Masyarakat Terhadap Banjir Pasang Air Laut

Bab IV Deskripsi Wilayah Pesisir Pekalongan

B. Persepsi Masyarakat Terhadap Banjir Pasang Air Laut

Persepsi masyarakat baik terhadap banjir pasang air laut, terhadap bagaimana banjir pasang air laut terjadi; terhadap berapa tinggi genangan dan durasinya; dan terhadap dampak banjir pasang air laut; merupakan hal-hal yang menjadi dasar masyarakat, dalam menilai risiko kejadian banjir pasang air laut terhadap kehidupan mereka. Dalam hal ini, masyarakat menganggap banjir pasang air laut yang terjadi sebagai sebuah fenomena alam yang biasa terjadi.

Menurut pengetahuan mereka, mengenai banjir pasang air laut merupakan hasil interaksi dari gelombang dan angin. Mereka memahami bahwa banjir pasang air laut akan semakin besar, ketika gelombang pada saat air laut pasang didorong

oleh angin yang besar pula. Akibatnya air laut yang menuju daratan semakin besar, dan genangannya menjadi semakin tinggi. Walaupun waktu dan tinggi dari genangan pasang air laut tidak dapat diketahui secara pasti oleh masyarakat, namun terdapat sebagian warga yang memanfaatkan data dari pelabuhan, untuk mengetahui prediksi ketinggian pasang air laut untuk antisipasi terhadap banjir. Meskipun demikian ada juga yang mengetahui tingginya pasang air laut dari perhitungan penanggalan jawa, karena selain merasa mudah dipahami, mereka tidak perlu mencari informasi ke pelabuhan.

Mereka tidak lagi merasakan banjir pasang air laut sebagai salah satu bentuk ancaman, tetapi mereka lebih menggangap hal tersebut sebagai sebuah keterbatasan yang mereka hadapi sehari-hari. Walaupun masyarakat menganggap banjir pasang air laut sebagai hal yang wajar dan menjadi bagian dari proses alam yang terjadi akibat pasang air laut, namun masyarakat merasakan perubahan dari ketinggian genangan. Di area permukiman dan tambak, masyarakat menyatakan, bahwa banjir pasang air laut mengalami peningkatan ketinggian secara nyata mulai tahun 2000-an, Masyarakat mulai merasakan genangan banjir semakin tinggi dan meluas masuk ke dalam rumah dengan durasi rata-rata 3-4 hari setiap bulannya. Sedangkan di area pertanian, masyarakat menyatakan bahwa banjir pasang air laut mulai menggenangi sawah setelah tahun 1990-an. Genangan parah yang terjadi di sawah dimulai sejak 4-5 tahun terakhir, atau sekitar tahun 2005-an. Masyarakat merasakan puncak banjir terjadi tahun 2009 s.d awal tahun 2010. Di area permukiman durasi genangan mencapai hampir 6 bulan. Sedangkan di area pertanian, sampai penelitian ini dilakukan masih tergenang dan sebagian telah berubah menjadi genangan air asin.

Sebagai ilustrasi peningkatan banjir pasang air laut, di Kelurahan Panjang Baru sebuah rumah di kampung Pandanarum dengan pondasi 40 cm dari ketinggian jalan pada tahun 2001, telah tergenang mencapai ketinggian 40 cm sama pada tahun 2011. Hal ini menggambarkan bahwa ketinggian puncak banjir pasang air laut dalam rentang waktu 10 tahun terakhir, telah meningkat hampir 40 cm.

Peningkatan banjir pasang air laut diduga masyarakat terjadi akibat dari air laut yang semakin menjorok ke daratan, air laut yang semakin tinggi, dan daratan yang semakin rendah. Pada tahun 1980-an, masyarakat melihat laut

dari tanggul batu yang dibangun di sepanjang pantai Kelurahan Panjang Baru, saat ini sepanjang jarak tersebut telah tergenang oleh air pasang air laut (Gambar 5.1.).

Kejadian banjir pasang air laut sebagian besar terjadi melalui saluran-saluran air atau saluran drainase yang bermuara ke laut. Khusus di Kelurahan Panjang Baru, kejadian ekstrim banjir pasang air laut di permukiman dan tambak yang berjarak cukup dekat dengan garis pantai, pada tahun 2009 s.d 2010 diperparah dengan adanya tanggul pantai yang jebol, yaitu barat bangunan crematorium yang ada di bagian barat pantai Kelurahan Panjang Baru. Banjir pasang air laut masuk ke daratan melalui bagian pantai yang tidak bertanggul, masuk ke daratan, dan genangan menyebar melalui saluran air.

Kejadian banjir di Perumahan Panjang Indah, yang berjarak ± 1 km dari garis pantai memiliki genangan tinggi saat banjir seperti pada Gambar 5.2. Hal ini disebabkan oleh saluran drainase yang tidak berfungsi dengan baik, dan adanya alih fungsi guna lahan di sekitar perumahan. Pembangunan STAIN

dan perumahan milik Sampoerna (Ciputra) di areal persawahan dengan proses urug, menyebabkan hilangnya beberapa saluran drainase yang merupakan jalur air untuk keluar dari perumahan (Gambar 5.3.). Selain itu, dengan diurugnya lahan di sekitar perumahan Panjang Indah menyebabkan areal perumahan ini lebih rendah dari wilayah yang lain sehingga air mengalir dan berkumpul di Perumahan Panjang Indah.

Berdasarkan wawancara dan observasi lapangan, serta data dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kelurahan Degayu (2011) kejadian banjir pasang air laut yang terjadi di ketiga kelurahan memiliki dampak sebagai berikut.

(1.) Di areal permukiman

a. Kerusakan rumah seperti tembok, pintu, dan jendela b. Kerusakan perabot rumah tangga dan alat transportasi c. Kerusakan jalan lingkungan

d. Timbulnya genangan yang cukup lama di jalan lingkungan dan saluran drainase

e. Kotoran yang menyebar pada rumah-rumah yang tidak memiliki sanitasi

f. Timbulnya penyakit gatal-gatal, kaki gajah, dan diare akibat lingkungan yang kumuh

(2.) Di areal tambak

Kerugian para petani tambak akibat gagal panen karena lepasnya ikan bandeng atau udang ketika banjir pasang air laut datang dan ketinggian air mencapai batas pematang tambak. Berdasarkan wawancara, kerugian dapat mencapai 50% s.d 90 % dari 10.000 bibit yang ditebar tiap 5 bulan sekali

(3.) Di areal sawah

Berdasarkan wawancara, banjir pasang air laut yang merendam 60% sawah, telah mengakibatkan luas lahan produktif telah menurun 25% atau sekitar 36 ha dari semula 161 ha menjadi 125 ha dari tahun 2008 s.d 2011.

Berbagai dampak tersebut diilustrasikan pada Gambar 5.4. sampai dengan Gambar 5.9.

Berdasarkan kejadian banjir pasang air laut dan persepsi masyarakat terhadap kesadaran tersebut, terdapat dua pendapat mengenai banjir pasang air laut, yaitu banjir pasang air laut sebagai gangguan, dan banjir pasang air laut sebagai bencana. Secara umum pendapat bahwa banjir pasang air laut sebagai gangguan dikemukakan oleh warga yang berada di Kelurahan Panjang baru dan Krapyak Lor. Namun, pendapat lain dikemukan oleh warga di Kelurahan Degayu yang berpendapat banjir pasang air laut sebagai bencana.

Pendapat yang mengemukakan banjir pasang air laut sebagai gangguan dilatar belakangi oleh beberapa alasan berikut:

1. Masyarakat bermukim dekat dengan pantai dan telah lama mengetahui adanya genangan akibat pasang air laut yang terjadi di pantai.

2. Masyarakat telah lama mengalami banjir pasang air laut yang menggenangi area permukiman hingga masuk ke dalam rumah.

3. Pengalaman yang cukup lama dalam menghadapi banjir pasang air laut telah membuat hal tersebut sebagai hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat.

4. Masyarakat hanya merasa terganggu ketika banjir pasang air laut mencapai ketinggian tertentu dan masuk ke dalam rumah atau tambak sehingga menghambat aktivitas masyarakat. Artinya, bahwa banjir pasang air laut pada masyarakat penghuni dekat pantai telah beradaptasi, sehingga tantangan Lingkungan yang sebenarnya menjadi kendala kehidupan, mereka anggap sebagai hal yang wajar dan harus disesuaikan dengan kehidupannya. Hal itu sebagai akibat mereka terpaksa tinggal di daerah itu karena tidak ada pilihan lain.

Pendapat lain yang menyatakan banjir pasang air laut sebagai bencana disebabkan oleh dampak dari kejadian ekstrim banjir pasang air laut yang menggenangi lahan sawah dan menyebabkan sawah menjadi tidak produktif. Padahal Kelurahan Degayu merupakan salah satu penghasil padi yang cukup besar di Kota Pekalongan sebelum banjir menggenangi area sawah. Dampak permanen yang terjadi di lahan sawah tersebut telah menyebabkan perubahan kondisi ekonomi masyarakat kelurahan. Artinya bahwa, aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi terganggu mengakibatkan banjir pasang air laut dipersepsikan sebagai bencana yang merugikan.

Dokumen terkait