• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KERANGKA TEORITIS

2.1 Tinjauan Teori

2.1.3.2. Bank Lending Channel

Beberapa ahli berargumentasi bahwa banyak peminjam tergantung pada perbankan sebagai sumber pembiayaannya, sedangkan sumber pembiayaan tergantung dari kebijakan moneter yang berlaku. Bagi nasabah peminjam, pinjaman bank sangat penting karena kadang mereka diasumsikan hanya memiliki sedikit bahkan tidak ada alternatif sumber pembiayaan sama sekali.

Jalur pinjaman bank merupakan salah satu jalur pada jalur kredit transmisi kebijakan moneter. Pada jalur ini, perubahan dari kemampuan dan kemauan pihak bank untuk menyalurkan pembiayaan mempengaruhi kemampuan para peminjamnya dalam membiayai pengeluaran atau pembelanjaanya. Jalur pinjaman bank selain memfokuskan pada penyaluran dana bank, juga memberikan pandangan bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian. Jika terjadi ekspansi moneter maka kemampuan bank untuk menyalurkan pembiayaan meningkat. Peningkatan tersebut mempengaruhi kemampuan para peminjamnya untuk menambah pengeluaran (Hubbard, 2005).

Menurut jalur pinjaman bank, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui penurunan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank meningkat sehingga dana yang dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami peningkatan. Skema jalur pinjaman bank adalah sebagai berikut:

Monetary Policy Bank Deposits Bank Loans Investment GDP

Dari literatur lain menyatakan bahwa:

M Credit Supply Source of Financing Investment Y

dapat menjadi jalur mekanisme transmisi yang efektif. Prakondisi tersebut adalah: 1. Kredit dan surat-surat berharga bukan merupakan substitusi yang sempurna.

Kondisi ini lebih mungkin terjadi bila nasabah peminjam tidak memiliki akses ke pasar modal.

2. Bank Sentral harus dapat mempengaruhi penawaran kredit atau pembiayaan secara langsung. Hal ini tergantung pada: Keberadaan lembaga intermediasi non-bank, kemampuan bank bereaksi atas kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM), kemampuan bank menghimpun dana di luar sumber dana yang terkena kewajiban GWM, serta peraturan maksimum kredit yang diberikan. Bila hal tersebut dapat direduksi maka jalur pinjaman semakin efektif berjalan.

Gambar 6 dan 7, menunjukkan dampak kebijakan moneter ekspansif terhadap pasar uang dan makroekonomi.

Sumber: Hubbard (2005)

Jika digambarkan pengaruh kebijakan moneter pada jalur pinjaman dengan menggunakan kurva keseimbangan pasar uang dan kurva keseimbangan umum, maka kebijakan moneter yang ekspansif akhirnya meningkatkan output pada jangka pendek, dan berdampak ke tingkat suku bunga yang ambigo, artinya tidak dapat ditentukan naik atau turun dari tingkat bunga awal (Hubbard, 2005).

Sumber: Hubbard, 2005.

Gambar 7. Dampak Kebijakan Moneter Ekspansif Terhadap Makroekonomi

Keterangan Gambar 6 adalah: (1) ketika bank sentral menaikkan penawaran uang, maka kurva MS0 bergerak ke MS1, tanda anak panah pertama, kemudian (2) tingkat bunga open market turun dari r0 ke r1, tanda anak panah kedua, selanjutnya pengaruhnya terhadap makroekonomi pada Gambar 7, (3) dari keseimbangan E0, agregat permintaan naik karena terjadi peningkatan belanja nasabah peminjam, selanjutnya keseimbangan terjadi di E1, membawa dampak peningkatan permintaan uang, dari MD0 ke MD1 di pasar uang pada Gambar 6, dan (4) keseimbangan baru pasar uang terjadi perubahan suku bunga, tanda anak

panah keempat, dengan kenaikan tergantung dari tingkat kepekaan kenaikan bunga.

Interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pelaku ekonomi dapat dijelaskan menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah interaksi antara bank sentral dengan perbankan di pasar uang domestik. Interaksi ini terjadi karena satu sisi bank sentral melakukan operasi moneter sesuai sasaran operasional yang dicapai, berupa uang pimer atau suku bunga jangka pendek, sementara di sisi lain, bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan likuiditasnya. Interaksi ini mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang dan dana yang dialokasikan bank-bank dalam bentuk instrumen likuiditas dan dalam pemberian kredit.

Tahapan berikutnya adalah transmisi dari perbankan ke sektor riil melalui pemberian kredit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal bank seperti tercermin pada permodalannya atau Capital

Adequacy Ratio (CAR), jumlah pembiayaan bermasalah atau Non Performing Loans (NPLs) dan Loan to Deposit Ratio (LDR), maupun faktor eksternal seperti

suku bunga dan persepsi bank terhadap prospek usaha debitur. Perkembangan kredit perbankan selanjutnya mempengaruhi sektor riil, seperti konsumsi, investasi, dan produksi, akhirnya pada harga-harga barang dan jasa (Pohan, 2008).

2.1.4. Teori Kebijakan Moneter Syariah

Tidak hanya pada sistem ekonomi konvensional, dalam sistem ekonomi Islam uang memiliki peran penting. Namun yang membedakan adalah perspektif terhadap peran dan fungsi uang. Sistem konvensional memandang uang tidak sekedar alat bantu transaksi ekonomi, bahkan menjadi objek transaksi ekonomi itu

sendiri, sementara sistem ekonomi Islam membatasi fungsi uang sebagai alat bantu transaksi produktif barang dan jasa (Sakti, 2007).

Diskusi tentang pola dan penerapan manajeman moneter tidak terlepas dari pemikiran mempertemukan permintaan uang dan penawaran uang pada tingkat yang ideal. Menurut Karim (2002), pemikiran ekonomi Islam saat ini terdapat tiga mahzab yang menerangkan konsep permintaan dan penawaran uang. Masing-masing mahzab memiliki perbedaaan asumsi yang melatarbelakangi pemikiran. Mahzab tersebut adalah mahzab iqtishaduna, dipelopori antara lain oleh Kadim Sadr dan Baqir Al-Hasani, mahzab mainstream, dipelopori antara lain oleh M. Umer Chapra dan M.A. Mannan, serta mahzab alternatif-kritis, dipelopori antara lain oleh Timur Kuran, Jomo, dan M.A. Choudury.

Dari sisi permintaan uang, walaupun memiliki persamaan pandangan dalam hal motif memegang uang yaitu transaksi dan berjaga-jaga, terjadi perbedaan terhadap faktor yang mempengaruhi permintaan uang dari ketiga mahzab di atas. Menurut mahzab iqtishaduna, permintaan uang adalah fungsi dari rasio harga tangguh terhadap harga uang, menurut mahzab mainstream, permintaan uang dipengaruhi oleh pajak terhadap dana yang dianggurkan (dues to

iddle fund) dan tingkat pendapatan, sedangkan menurut mahzab alternatif,

dipengaruhi oleh keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil, yaitu sosio-ekonomi, kebijakan pemerintah, dan informasi objektif masyarakat kondisi riil perekonomian.

Dari sisi penawaran uang, menurut mahzab iqtishaduna, pemerintah tidak mampu mempengaruhi jumlah uang yang beredar, tinggi rendahnya permintaan uang tergantung pada perdagangan barang dengan luar negeri, menurut mahzab

pemegang monopoli penerbitan uang yang sah, negara melakukan kontrol terhadap kepemilikan semua bentuk uang, baik logam, kertas atau kredit, sedangkan menurut mahzab alternatif, keberadaan uang pada dasarnya terintegrasi dalam sistem sosial ekonomi yang berlaku, dengan jumlah uang beredar lebih ditentukan oleh actual spending demand dalam transaksi barang dan jasa, serta telah dihapuskannya suku bunga dengan expected rate of profit.

Berdasarkan pendapat yang terdapat dalam masing-masing mahzab, penelitian ini mengetengahkan mahzab alternatif sebagai untuk mewakili teori kebijakan moneter syariah. Dalam mahzab tersebut menyebutkan bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah representasi volume transaksi yang ada dalam sektor riil. Nilai uang tidak harus selalu bertambah seiring dengan pertambahan waktu, tetapi pertambahan nilai tergantung pada usaha yang dilakukan.

Permintaan uang adalah representasi dari keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil. Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil, semakin meningkat permintaan uang. Permintaan uang dipengaruhi oleh besarnya pembagian keuntungan (profit sharing) atau tingkat keuntungan yang diharapkan (expected rate of profit). Tinggi rendah tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan representasi pertumbuhan aktual ekonomi. Sebagai manifestasi aktual kapasitas transaksi riil, permintaan uang adalah penjumlahan total permintaan uang individu dan lembaga keuangan.

Secara matematis M.A. Choudhury memformulasikan permintaan uang sebagai berikut:

Keterangan:

Md = Permintaan uang rb = Rasio profit sharing y = Pendapatan riil p = Inflasi

S = Total pengeluaran nasional X = Peubah sosio-ekonomi Y = Kebijakan pemerintah

= Induced-knowledge, pengetahuan masyarakat

Sedangkan dari sisi penawaran, jumlah uang beredar merupakan derivasi kondisi riil perekonomian, bukan merupakan fungsi dari suku bunga, dengan rumusan matematis sebagai berikut:

Ms = f (π , y, p, S, R, X, Y) [ ]

Keterangan:

Ms = Penawaran uang

π = Rasio profit sharing atau expected rate of return y = Pendapatan nasional riil

p = Inflasi

S = Total pengeluaran nasional X = Peubah sosio-ekonomi Y = Kebijakan pemerintah

R = Reserve requirement bank-bank umum

= Induced-knowledge, kualitas pengetahuan masyarakat

Terintegrasinya uang dalam sistem yang kompleks menjadikan uang tidak independen. Dalam teori endegenous uang, instrumen yang digunakan untuk mempertemukan fungsi permintaan dan penawaran adalah peubah yang mampu merefleksikan kondisi riil sebuah perekonomian. Peubah tersebut adalah tingkat keuntungan rata-rata semua investasi mudharabah dan musyarakah.

bahwa bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu mengendalikan volume uang beredar. Jumlah uang beredar lebih dipengaruhi oleh rata-rata keuntungan aktual sektor riil. Dengan terjaga keseimbangan antara pertumbuhan sektor riil dengan sektor moneter, nilai intrinsik uang juga dapat terjaga. Jika terjadi permintaan uang untuk spekulasi, pelaku ekonomi segera menyeimbangkan kembali pada posisi semula. Semakin besar

Induced-knowledge, ilusi uang semakin cepat diketahui.

Sumber: Karim, 2002.

Gambar 8. Hubungan Penawaran dan Permintaan Uang, serta Expected

Rate of Profit

Gambar 8 menunjukkan keseimbangan antara permintaan, penawaran uang dan expected rate of profit atau bagi hasil dalam sistem keuangan Islam. Pergerakan kurva permintaan untuk sistem keuangan mudharabah atau

musyarakah dipengaruhi oleh tinggi rendahnya ekspektasi terhadap tingkat

keuntungan. M1 adalah banyaknya uang yang ditawarkan untuk memenuhi transaksi. Misalkan terjadi perubahan teknologi dalam proyek mudharabah, maka

akan terjadi penarikan dana di luar proyek mudharabah sehingga kapasitas stock uang bertambah menjadi M2. Titik ekuilibrium akan bergeser dari E1 ke E2. Pergeseran tersebut merupakan fungsi dari yang menunjukkan objektifitas pengetahuan masyarakat terhadap perubahan teknologi.

Sumber: Karim, 2002.

Gambar 9. Pengaruh Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Sektor Riil

Gambar 9 menunjukkan pengaruh kebijakan moneter ekspansif terhadap sektor riil menurut pandangan ekonomi Islam. Dengan mengadopsi kurva

Aggregate Demand (AD) dan Aggregate Supply (AS) seperti yang dilakukan oleh

ekonom konvensional, maka jika terjadi kebijakan moneter uang ekspansif oleh otoritas moneter dapat digambarkan beserta dampaknya terhadap sektor riil.

Gambar 9 menunjukkan bahwa ketika terjadi kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar, maka masyarakat merespon dengan meningkatkan agregat demand. Karena diasumsikan bank sentral tidak mampu mengendalikan uang beredar sepenuhnya, maka Ms0 bergeser menjadi Ms1 dengan Md diasumsikan tetap, akhirnya titik keseimbangan berada pada angka 2, dengan expected rate of profit berkurang sebesar π01. Peningkatan agregat demand mengakibatkan harga-harga naik sehingga pendapatan riil tidak berubah bahkan dapat turun. Meningkatnya inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar akan menurunkan daya beli mata uang terhadap barang dan jasa, artinya peningkatan uang beredar mengakibatkan imbalance antara sektor moneter dengan sektor riil (Karim, 2002).

Strategi dasar manajemen moneter menurut mahzab alternatif adalah: 1. Ms mengikuti besaran Md, atau keseimbangan Ms = Md selalu terjaga.

2. Penentuan besarnya Ms yang merupakan refleksi dari Md ditentukan melalui

shuratic process yang melibatkan para pelaku ekonomi di sektor riil.

3. Shuratic process (proses musyawarah) akan efektif bila masyarakat

mempunyai pengetahuan yang merata (induced knowledge).

Keputusan atau kebijakan moneter yang yang dituangkan dalam instrumen moneter harus sejalan dengan kebijakan-kebijakan di sektor riil. Pergeseran dan pergerakan permintaan agregat dan penawaran agregat membuat pergeseran dan pergerakan permintaan uang yang ditindaklanjuti oleh kebijakan moneter yang diimplementasikan dengan instrumen-instrumen moneter, sehingga penawaran

uang juga akan bergeser atau bergerak. Harmonisasi antara sektor riil dan sektor moneter, digambarkan akan menghasilkan kurva jangka panjang permintaan dan penawaran uang yang berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan pendapatan nasional.

2.1.5. Aplikasi Instrumen Kebijakan Moneter Syariah di Indonesia

Sebagai otoritas moneter, pengembangan ekonomi dan perbankan Islam adalah merupakan amanat dari UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan memungkinkan cara-cara pengendalian moneter oleh Bank Indonesia dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. Sehubungan hal tersebut Bank Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya untuk mendorong perkembangan ekonomi dan perbankan Islam.

Bank Indonesia telah menetapkan strategi pengembangan ekonomi dan perbankan Islam yang dirumuskan dalam cetak biru (blue print). Visinya, mewujudkan sistem perbankan syariah yang sehat, kuat dan istiqamah terhadap prinsip syariah dalam kerangka keadilan, kemaslahatan dan keseimbangan, guna mencapai masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual (falah).

Terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan informasi mengenai giro wajib minimum (statutory reserve

requirements). Bank Indonesia juga mengeluarkan ketentuan pasar uang antar

bank berdasarkan prinsip syariah untuk penempatan dan pemenuhan kebutuhan likuditas jangka pendek, dan menciptakan sertifikat wadiah Bank Indonesia (SWBI) sebagai instrumen moneter untuk menyerap kelebihan dana perbankan syariah.

Dokumen terkait