• Tidak ada hasil yang ditemukan

BARU DAN LAMA

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 126-133)

Bagian III LIMA PULUH KE TIGA

V. BARU DAN LAMA

146 (1) Kamma

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai kam- ma baru dan lama, lenyapnya kamma, dan jalan menuju lenyapnya kamma. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan….

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma lama? Mata adalah kamma lama, dilihat sebagai dihasilkan dan dirancang oleh kehendak, seba- gai sesuatu yang dirasakan.146 Telinga adalah kamma lama … Pikiran adalah kamma lama, dilihat sebagai dihasilkan dan dirancang oleh ke- hendak, sebagai sesuatu yang dirasakan. Ini disebut kamma lama.

“Dan apakah, para bhikkhu, kamma baru? Perbuatan apa pun yang dilakukan saat ini melalui tindakan, ucapan, atau perbuatan. Ini dis- ebut kamma baru.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya kamma? Ketika seseorang mencapai kebebasan melalui lenyapnya perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran, [133] ini disebut lenyapnya kamma.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju lenyapnya kamma? Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak be- nar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar.

“Demikianlah, para bhikkhu, Aku telah mengajarkan kamma lama, Aku telah mengajarkan kamma baru, Aku telah mengajarkan lenyap- nya kamma, Aku telah mengajarkan Jalan menuju lenyapnya kamma. Apa pun yang harus dilakukan, para bhikkhu, oleh seorang guru yang penuh belas kasih demi cinta kasih kepada para siswanya, mengingink- an kesejahteraan mereka, telah Ku-lakukan untuk kalian. Ini adalah bawah pohon, para bhikkhu, ini adalah gubuk kosong. Bermeditasi- lah, para bhikkhu, jangan lengah, agar kalian tidak menyesal nanti. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.”

147 (2) Tepat untuk Mencapai Nibbāna (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna.147 Dengarkanlah….

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna? Di sini, seorang bhikkhu melihat mata sebagai tidak kekal, ia melihat bentuk-bentuk sebagai tidak kekal, ia melihat kesadaran- mata sebagai tidak kekal, ia melihat kontak-mata sebagai tidak kekal, ia melihat perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menya- kitkan juga bukan-menyenangkan, sebagai tidak kekal.

“Ia melihat telinga sebagai tidak kekal … [134] … Ia melihat pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat fenomena pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat kesadaran-pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat kontak- pikiran sebagai tidak kekal, ia melihat perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, sebagai tidak kekal.

“Ini, para bhikkhu, adalah Jalan untuk mencapai Nibbāna.”

148 (3) – 149 (4) Tepat untuk Mencapai Nibbāna (2-3)

(Sama dengan sutta sebelumnya, dengan “penderitaan” dan “bukan-diri”

menggantikan “tidak kekal.”) [135]

150 (5) Tepat untuk Mencapai Nibbāna (4)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai Jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna. Dengarkanlah….

“Bagaimana menurutmu, para bhikkhu, apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” … (sama seperti §32)

“Melihat demikian … [136] Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi untuk kondisi bagi mahluk ini.’

“Ini, para bhikkhu, adalah jalan yang tepat untuk mencapai Nibbāna.”

151 (6) Siswa

“Para bhikkhu, kehidupan suci ini dijalani tanpa siswa dan tanpa gu- ru.148 Seorang bhikkhu yang memiliki siswa dan memiliki guru ber-

yang tidak memiliki siswa dan tidak memiliki guru berdiam dengan bahagia, dalam kenyamanan.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki siswa dan memiliki guru berdiam dalam penderitaan, bukan dalam ke- nyamanan? Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu telah meli- hat suatu bentuk dengan mata, muncullah dalam dirinya kondisi buruk yang tidak bermanfaat, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak yang berhubungan dengan belenggu-belenggu.149 Kondisi tidak bermanfaat itu

berdiam di dalam dirinya. Karena kondisi-kondisi buruk yang tidak ber- manfaat itu berdiam di dalam dirinya, maka ia disebut ‘seorang yang memiliki siswa.’ Kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu menyerangnya. Kare- na kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat menyerangnya, maka ia disebut ‘seorang yang memiliki guru.’

“Lebih jauh lagi, ketika seorang bhikkhu telah mendengar suatu suara dengan telinga … mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran … [137] maka ia disebut ‘seorang yang memiliki guru.’

“Demikianlah bahwa seorang bhikkhu yang memiliki siswa dan memiliki guru berdiam dalam penderitaan, bukan dalam kenyaman- an.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak memiliki siswa dan tidak memiliki guru berdiam dengan bahagia, da- lam kenyamanan? Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu te- lah melihat suatu bentuk dengan mata, tidak muncul dalam dirinya kondisi buruk yang tidak bermanfaat, ingatan-ingatan dan kehendak- kehendak yang berhubungan dengan belenggu-belenggu. Kondisi tidak

bermanfaat itu tidak berdiam di dalam dirinya. Karena kondisi-kondisi bu- ruk yang tidak bermanfaat itu tidak berdiam di dalam dirinya, maka ia disebut ‘seorang yang tidak memiliki siswa.’ Kondisi-kondisi tidak

bermanfaat itu tidak menyerangnya. Karena kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaaat tidak menyerangnya, maka ia disebut ‘seorang yang tidak memiliki guru.’

“Lebih jauh lagi, ketika seorang bhikkhu telah mendengar suatu suara dengan telinga … mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran … maka ia disebut ‘seorang yang tidak memiliki guru.’

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa seorang bhikkhu yang tidak memiliki siswa dan tidak memiliki guru berdiam dengan bahagia, da- lam kenyamanan.

“Para bhikkhu, kehidupan suci ini dijalani tanpa siswa dan tanpa guru. [138] Seorang bhikkhu yang memiliki siswa dan memiliki guru berdiam dalam penderitaan, bukan dalam kenyamanan. Seorang bhik- khu yang tidak memiliki siswa dan tidak memiliki guru berdiam den- gan bahagia, dalam kenyamanan.”

152 (7) Untuk Tujuan apakah Kehidupan Suci?

“Para bhikkhu, jika para pengembara dari sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Untuk tujuan apakah, Sahabat-sahabat, kehidupan suci di- jalani dibawah Petapa Gotama?’ – ditanya demikian, kalian harus men- jawab para petapa itu sebagai berikut: ‘Adalah, Sahabat-sahabat, untuk memahami sepenuhnya penderitaan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.’ Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara itu bertanya kepada kalian: ‘Apakah, Sahabat-sahabat, penderitaan yang harus dipahami sepenuhnya yang karenanya kehidupan suci di- jalani di bawah Petapa Gotama? – ditanya demikian kalian harus men- jawab sebagai berikut:

“‘Mata, Sahabat-sahabat, adalah penderitaan: adalah untuk me- mahami sepenuhnya ini, maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagava. Bentuk-bentuk adalah penderitaan: adalah untuk memahami sepenuhnya ini, maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagava. Kesadaran-mata adalah penderitaan … Kontak-mata adalah penderi- taan … Perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-me- nyakitkan juga bukan-menyenangkan – itu juga adalah penderitaan: adalah untuk memahami sepenuhnya ini, maka kehidupan suci di- jalani di bawah Sang Bhagava. Telinga adalah penderitaan … Pikiran adalah penderitaan … Perasaan apa pun yang muncul dengan kontak- pikiran sebagai kondisi … itu juga adalah penderitaan: adalah untuk memahami sepenuhnya ini, maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagava. Ini, Sahabat-sahabat, penderitaan adalah yang harus di- pahami sepenuhnya yang karenanya kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.’

“Ditanya demikian, para bhikkhu, kalian harus menjawab para pengembara dari sekte lain itu dengan cara demikian.”

153 (8) Adakah Metode?

“Adakah metode penjelasan, para bhikkhu, yang olehnya seorang bhik- khu – terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, ter- lepas dari tradisi oral, terlepas dari logika, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya150 – [139] dapat menyatakan

pengetahuan akhir sebagai: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mend- engarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkan dan perhatikanlah, para bhikkhu, Aku akan men- jelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Ada metode penjelasan yang oleh seorang bhikkhu – terlepas dari keyakinan … terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenung- kannya – dapat menyatakan pengetahuan akhir sebagai: ‘Kelahiran te- lah dihancurkan … tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’ Dan apakah metode penjelasan ini? Di sini, para bhikkhu, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, jika ada nafsu, kebencian, atau kebodohan se- cara internal, ia memahami: ‘Ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara internal’; atau jika tidak ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara internal, ia memahami: ‘Tidak ada nafsu, kebencian, atau ke- bodohan secara internal.’151 Karena demikian, apakah hal-hal ini dipa-

hami melalui keyakinan, atau melalui preferensi pribadi, atau melalui tradisi oral, atau melalui logika, atau melalui penerimaan pandangan setelah merenungkannya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bukankah hal-hal ini dipahami dengan cara melihatnya dengan kebijaksanaan?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Ini, para bhikkhu, adalah metode penjelasan yang olehnya seorang bhikkhu dapat menyatakan pengetahuan akhir sebagai: ‘Kelahiran te- lah dihancurkan …tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’

“Lebih jauh lagi, para bhikkhu, setelah mendengarkan suara den- gan telinga … [140] … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, jika ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara internal, seorang memahami: ‘Ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara in- ternal’; atau jika tidak ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara internal, ia memahami: ‘Tidak ada nafsu, kebencian, atau kebodohan secara internal.’ Karena demikian, apakah hal-hal ini dipahami mela- lui keyakinan, atau melalui preferensi pribadi, atau melalui tradisi oral, atau melalui logika, atau melalui penerimaan pandangan setelah merenungkannya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bukankah hal-hal ini dipahami dengan cara melihatnya dengan kebijaksanaan?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Ini, para bhikkhu, adalah metode penjelasan yang olehnya seorang bhikkhu terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, ter- lepas dari tradisi oral, terlepas dari logika, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya – dapat menyatakan pengeta- huan akhir sebagai: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci te- lah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini’”

154 (9) Dilengkapi dengan Indria-indria

Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā … dan berkata kepada Be- liau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘dilengkapi dengan indria-indria, dileng- kapi dengan indria-indria.’152 Bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang

yang dilengkapi dengan indria-indria itu?”

“Jika, bhikkhu, sewaktu seseorang berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya indria mata, ia mengalami kejijikan terhadap indria mata; jika, sewaktu ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya indria telinga, ia mengalami kejijikan terhadap indria telinga; … jika, sewaktu seseorang berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya in- dria pikiran, ia mengalami kejijikan terhadap indria pikiran, kemu- dian, dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … ketika bosan, maka [batinnya] terbebaskan. Muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah di-

jalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.” [141]

155 (10) Pembabar Dhamma

Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā … dan berkata kepada Be- liau: ‘Yang Mulia, dikatakan ‘pembabar Dhamma, pembabar Dhamma.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, seorang pembabar Dhamma itu?153

“Para bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma untuk tujuan kejijikan terhadap mata, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia dis- ebut seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap mata, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai Dhamma. Jika, melalui kejijikan terhadap mata, melalui peluruhan dan lenyapnya, seseorang terbebaskan melalui ketidakmelekatan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai Nibbāna dalam kehidu- pan ini.

“Para bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma untuk tujuan kejijikan terhadap telinga … untuk tujuan kejijikan terhadap pikiran, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap pikiran, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai Dhamma. Jika, melalui kejijikan terhadap pikiran, melalui peluruhan dan lenyapnya, sese- orang terbebaskan melalui ketidakmelekatan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini.”

[142]

Bagian IV

LIMA PULUH KE EMPAT

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 126-133)

Dokumen terkait