• Tidak ada hasil yang ditemukan

ENAM PULUH RANGKAIAN PENGULANGAN

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 136-155)

Bagian III LIMA PULUH KE TIGA

LIMA PULUH KE EMPAT I HANCURNYA KENIKMATAN

II. ENAM PULUH RANGKAIAN PENGULANGAN

168 (1) Keinginan Terhadap yang Tidak Kekal (Internal)

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang tidak kekal. Dan apakah yang tidak kekal? [149] Mata adalah tidak kekal … Pikiran adalah tidak kekal; kalian harus melepaskan keinginan terhadapnya. Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terh- adap apa pun yang tidak kekal.”

169 (2) Nafsu terhadap yang Tidak Kekal (Internal)

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan nafsu terhadap ap apun yang tidak kekal. Dan apakah yang tidak kekal? Mata adalah tidak kekal …

Pikiran adalah tidak kekal; kalian harus melepaskan nafsu terhadap- nya. Para bhikkhu, kalian harus melepaskan nafsu terhadap apa pun yang tidak kekal.”

170 (3) Keinginan dan Nafsu Terhadap yang Tidak Kekal (Internal)

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang tidak kekal. Dan apakah yang tidak kekal? Mata adalah tidak kekal … Pikiran adalah tidak kekal; kalian harus melepaskan ke- inginan dan nafsu terhadapnya. Para bhikkhu, kalian harus melepas- kan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang tidak kekal.”

171 (4) – 173 (6) Keinginan terhadap Penderitaan (Internal), dan Seterusnya.

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang merupakan penderitaan…. Kalian harus melepaskan nafsu terh- adap apa pun yang merupakan penderitaan…. Kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang merupakan penderitaan. Dan apakah yang merupakan penderitaan? Mata adalah penderitaan … Pikiran adalah penderitaan; kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadapnya. [150] Para bhikkhu, kalian harus melepaskan ke- inginan dan nafsu terhadap apa pun yang merupakan penderitaan.”

174 (7) – 176 (9) Keinginan Terhadap Bukan-diri (Internal), dan Seterusnya.

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang bukan-diri…. Kalian harus melepaskan nafsu terhadap apa pun yang bukan-diri…. Kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu ter- hadap apa pun yang bukan-diri. Dan apakah yang bukan-diri? Mata adalah bukan-diri … Pikiran adalah bukan-diri; kalian harus melepas- kan keinginan terhadapnya. Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang bukan-diri.”

177 (10) – 179 (12) Keinginan Terhadap yang Tidak Kekal (Eksternal), dan Set-

erusnya

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang tidak kekal…. Kalian harus melepaskan nafsu terhadap apa pun yang tidak kekal…. Kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu ter- hadap apa pun yang tidak kekal. Dan apakah yang tidak kekal? Ben- tuk-bentuk adalah tidak kekal … Fenomena pikiran adalah tidak kekal; kalian harus melepaskan keinginan terhadapnya. Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang tidak kekal.”

180 (13) – 182 (15) Keinginan Terhadap Penderitaan (Eksternal), dan Seterus-

nya

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang merupakan penderitaan…. Kalian harus melepaskan nafsu terh- adap apa pun yang merupakan penderitaan…. Kalian harus melepas- kan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang merupakan pend- eritaan. Dan apakah yang merupakan penderitaan? Bentuk-bentuk adalah penderitaan … Fenomena pikiran adalah penderitaan; kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadapnya. Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang merupakan penderitaan.” [151]

183 (16) – 185 (18) Keinginan Terhadap yang Bukan-diri (Eksternal), dan Set-

erusnya

“Para bhikkhu, kalian harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang bukan-diri…. Kalian harus melepaskan nafsu terhadap apa pun yang bukan-diri…. Kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu ter- hadap apa pun yang bukan-diri. Dan apakah yang bukan-diri? Ben- tuk-bentuk adalah bukan-diri … Fenomena pikiran adalah bukan-diri; kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadapnya. Para bhik- khu, kalian harus melepaskan keinginan dan nafsu terhadap apa pun yang bukan-diri.”

186 (19) Masa Lalu sebagai Tidak kekal (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran masa lalu adalah tidak kekal. Melihat demikian, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap mata … terhadap pikiran. Mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan, maka [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebas.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

187 (20) Masa Depan sebagai Tidak kekal (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran masa depan adalah tidak kekal. Meli- hat demikian, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap mata … terhadap pikiran. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

188 (21) Masa Sekarang sebagai Tidak kekal (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran masa sekarang adalah tidak kekal. Meli- hat demikian, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap mata … terhadap pikiran. Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’” [152]

189 (22) – 191 (24) Masa Lalu, dan Seterusnya sebagai Penderitaan (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran masa lalu … masa depan … masa seka- rang adalah penderitaan. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

192 (25) – 194 (27) Masa Lalu, dan Seterusnya sebagai Bukan-diri (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran masa lalu … masa depan … masa seka- rang adalah bukan-diri. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

195 (28) – 197 (30) Masa Lalu, dan Seterusnya sebagai Tidak kekal (Ekster-

nal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran masa lalu … masa depan … masa sekarang adalah tidak kekal. Melihat demikian … Ia me- mahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

198 (31) – 200 (33) Masa Lalu, dan Seterusnya sebagai Penderitaan (Ekster-

nal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran masa lalu … masa depan … masa sekarang adalah penderitaan. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’”

201 (34) – 203 (36) Masa Lalu, dan Seterusnya sebagai Bukan-diri (Eksternal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran masa lalu … masa depan … masa sekarang adalah bukan-diri. Melihat demikian … Ia me- mahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

204 (37) Apa yang Tidak kekal di Masa Lalu (Internal)

“Para bhikkhu, mata … [153] … pikiran di masa lalu adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan pen- deritaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat seba- gaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milik- ku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

205 (38) Apa yang Tidak kekal di Masa Depan (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran di masa depan adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderi- taan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaima- na adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

206 (39) Apa yang Tidak kekal di Masa Sekarang (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran di masa sekarang adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan pen- deritaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat seba- gaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milik- ku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’” [154]

207 (40) – 209 (42) Apa yang merupakan Penderitaan di Masa Lalu, dan seter-

usnya (Internal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan ada- lah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

210 (43) – 212 (45) Apa yang Bukan-diri di Masa Lalu, dan Seterusnya (Inter-

nal)

“Para bhikkhu, mata … pikiran di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat seba- gaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan mi- likku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia mema- hami: ‘… tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’”

213 (46) – 215 (48) Apa yang Merupakan Tidak kekal di Masa Lalu, dan Seter-

usnya (Eksternal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang adalah tidak kekal. Apa yang merupa- kan tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’” [155]

216 (49) – 218 (51) Apa yang Merupakan Penderitaan di Masa Lalu, dan Seter-

usnya (Eksternal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang adalah penderitaan. Apa yang meru- pakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus di- lihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

219 (52) – 221 (54) Apa yang Bukan-diri di Masa Lalu, dan Seterusnya (Ekster-

nal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk … fenomena pikiran di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang adalah bukan-diri. Apa yang bukan- diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar se- bagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Melihat de- mikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

222 (55) Landasan-landasan sebagai Tidak kekal (Internal)

“Para bhikkhu, mata adalah tidak kekal … pikiran adalah tidak kekal. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’”

223 (56) Landasan-landasan sebagai Penderitaan (Internal)

“Para bhikkhu, mata adalah penderitaan … pikiran adalah penderi- taan. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’” [156]

224 (57) Landasan-landasan sebagai Bukan-diri (Internal)

“Para bhikkhu, mata adalah bukan-diri … pikiran adalah bukan-di- ri. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

225 (58) Landasan-landasan sebagai Tidak kekal (Eksternal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk adalah tidak kekal … fenomena pikiran adalah tidak kekal. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

226 (59) Landasan-landasan sebagai Penderitaan (Eksternal)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk adalah penderitaan … fenomena pikiran adalah penderitaan. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

227 (60) Landasan-landasan sebagai Bukan-diri (External)

“Para bhikkhu, bentuk-bentuk adalah bukan-diri … fenomena pikiran adalah bukan-diri. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

[157]

III. SAMUDRA

228 (1) Samudra Raya (1)

“Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih berkata ‘samudra, samudra.’ Tetapi itu bukan samudra dalam Disiplin Para Mulia; itu hanya air yang sangat banyak, air yang sangat luas.

“Mata, para bhikkhu, adalah samudra bagi seseorang; arusnya ada- lah bentuk-bentuk.161 Seseorang yang menahan arus bentuk-bentuk

dikatakan telah menyeberangi samudra mata dengan ombak, pusaran, ikan hiu, dan siluman-silumannya.162 Menyeberang, melampaui, sang

brahmana berdiri di tanah yang tinggi.

“Telinga, para bhikkhu, adalah samudra bagi seseorang…. pikiran adalah samudra bagi seseorang; arusnya adalah fenomena-fenomena pikiran. Seseorang yang menahan arus fenomena-fenomena pikiran dikatakan telah menyeberangi samudra pikiran dengan ombak, pusa- ran, ikan hiu, dan siluman-silumannya. Menyeberang, melampaui, sang brahmana berdiri di tanah yang tinggi.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Ia yang telah menyeberangi samudra ini yang sangat sulit dise- berangi,

Dengan bahaya hiu-hiu, siluman-siluman, ombak-ombak, Sang Guru-Pengetahuan yang telah menjalani kehidupan suci, Mencapai akhir dunia, disebut seorang yang telah meyeberang.”

229 (2) Samudra Raya (2)

“Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih berkata ‘samudra, samudra.’ [158] Tetapi itu bukan samudra dalam Disiplin Para Mulia; itu hanya air yang sangat banyak, air yang sangat luas.

“Ada, para bhikkhu, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini disebut samudra dalam Disiplin Para Mulia. Di sini dunia ini ber- sama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, sebagian besar tenggelam,163 menjadi seperti gulungan benang kusut, seperti

gumpalan benang, seperti buluh tanaman air yang kusut, dan tidak mampu melewati alam sengsara, kehidupan yang buruk, alam rendah, saṃsāra.

“Suara-suara yang terdengar oleh telinga … fenomena-fenome- na yang dikenali oleh pikiran, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Di sini dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para peta- pa dan brahmana, para deva dan manusia, sebagian besar tenggelam, menjadi seperti gulungan benang kusut, seperti gumpalan benang, seperti buluh tanaman air yang kusut, dan tidak mampu melewati alam sengsara, kehidupan yang buruk, alam rendah, saṃsāra.164

“Seseorang yang telah menghapuskan nafsu dan kebencian Bersama dengan [noda] kebodohan,

Telah menyeberangi samudra yang sangat sulit diseberangi Dengan bahaya hiu-hiu, siluman-siluman, ombak.

“Sang Pelepas-ikatan, yang meninggalkan-kematian, tanpa perole- han,

Telah meninggalkan penderitaan165 karena tidak ada lagi penjel- maan baru.

Setelah meninggal dunia, ia tidak dapat diketahui, Aku katakan: Ia telah membingungkan Raja Kematian.”

230 (3) Perumpamaan Nelayan

“Para bhikkhu, misalkan seorang nelayan melemparkan sebuah mata kail dengan umpan ke dalam danau yang dalam, [159] dan seekor ikan yang mencari makan menelannya. Ikan yang menelan mata kail si ne- layan akan mengalami kemalangan dan bencana, dan si nelayan da- pat melakukan apa pun yang ia sukai. Demikian pula, para bhikkhu, ada enam mata kail di dunia ini yang memberikan kemalangan bagi makhluk-makhluk, untuk membantai166 makhluk-makhluk hidup.

“Ada, para bhikkhu, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu menikmatinya, menyambutnya, dan terus- menerus menggenggamnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang menelan mata kail Māra. Ia telah menemui kemalangan dan bencana, dan Yang Jahat dapat melakukan apa pun yang ia sukai.

“Ada, para bhikkhu, suara-suara yang terdengar oleh telinga … fenomena-fenomena pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang disukai … menggoda. Jika seorang bhikkhu menikmatinya … Yang Jahat dapat melakukan apa pun yang ia sukai.”

231 (4) Pohon Bergetah-susu

“Para bhikkhu, sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dapat dike- nali oleh mata, jika dalam diri bhikkhu atau bhikkhunī manapun [160] nafsu masih ada dan belum ditinggalkan, jika kebencian masih ada dan belum ditinggalkan, jika khayalan masih ada dan belum ditinggalkan; maka bahkan bentuk-bentuk kecil yang masuk ke dalam jangkauan mata akan menguasai pikiran, apa lagi bentuk-bentuk yang menonjol. Karena alasan apakah? Karena nafsu masih ada dan belum ditinggal- kan, kebencian masih ada dan belum ditinggalkan, khayalan masih ada

dan belum ditinggalkan. Hal yang sama berlaku sehubungan dengan suara-suara yang dapat dikenali oleh telinga … fenomena-fenomena pikiran yang dapat dikenali oleh pikiran.

“Misalkan, para bhikkhu, jika ada pohon bergetah-susu167 - pohon assattha atau banyan atau pilakkha atau udumbara – segar, muda, lem- but. Jika seseorang mematahkannya di sana-sini dengan kapak tajam, akankah getahnya keluar?”

“Tentu, Yang Mulia.” “Karena alasan apakah?” “Karena ada ge- tah.”

“Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata … bahkan bentuk-bentuk kecil yang masuk ke dalam jangkauan mata akan menguasai pikiran, apa lagi ben- tuk-bentuk yang menonjol. Karena alasan apakah? Karena nafsu masih ada dan belum ditinggalkan, kebencian masih [161] ada dan belum dit- inggalkan, khayalan masih ada dan belum ditinggalkan. Hal yang sama berlaku sehubungan dengan suara-suara yang dapat dikenali oleh tel- inga … fenomena-fenomena pikiran yang dapat dikenali oleh pikiran.

“Para bhikkhu, sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata, jika dalam diri bhikkhu atau bhikkhunī manapun nafsu tidak ada dan telah ditinggalkan, jika kebencian tidak ada dan te- lah ditinggalkan, jika khayalan tidak ada dan telah ditinggalkan, maka bahkan bentuk-bentuk kecil yang masuk ke dalam jangkauan mata tidak akan menguasai pikiran, apa lagi bentuk-bentuk yang menonjol. Karena alasan apakah? Karena nafsu tidak ada dan telah ditinggalkan, kebencian tidak ada dan telah ditinggalkan, khayalan tidak ada dan telah ditinggalkan. Hal yang sama berlaku sehubungan dengan suara- suara yang dapat dikenali oleh telinga … fenomena-fenomena pikiran yang dapat dikenali oleh pikiran.

“Misalkan, para bhikkhu, jika ada pohon bergetah-susu – pohon as- sattha atau banyan atau pilakkha atau udumbara – kering, lapuk, tua. Jika seseorang mematahkannya di sana-sini dengan kapak tajam, akankah getahnya keluar?” [162]

“Tidak, Yang Mulia.” “Karena alasan apakah?” “Karena tidak ada getah.”

“Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata … bahkan bentuk-bentuk kecil yang

masuk ke dalam jangkauan mata tidak akan menguasai pikiran, apa lagi bentuk-bentuk yang menonjol. Karena alasan apakah? Karena nafsu tidak ada dan telah ditinggalkan, kebencian tidak ada dan te- lah ditinggalkan, khayalan tidak ada dan telah ditinggalkan. Hal yang sama berlaku sehubungan dengan suara-suara yang dapat dikenali oleh telinga … fenomena-fenomena pikiran yang dapat dikenali oleh pikiran.”

232 (5) Koṭṭhita

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, malam harinya, Yang Mulia Mahākoṭṭhita keluar dari keterasingannya dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta, dan ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Bagaimanakah, Sahabat Sāriputta, apakah mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk atau apakah bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata? Apakah telinga adalah belenggu bagi suara-suara atau apakah suara-suara adalah belenggu bagi telinga? … [163] Apakah pikiran ada- lah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran atau apakah fenomena- fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran?”

“Sahabat Koṭṭhita, mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk, juga bentuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata; melainkan keingi- nan dan nafsu yang muncul dengan bergantung pada keduanya: itulah belenggu di sana. Telinga bukanlah belenggu bagi suara-suara, juga suara-suara bukanlah belenggu bagi telinga; melainkan keinginan dan nafsu yang muncul dengan bergantung pada keduanya: itulah be- lenggu di sana…. Pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran, juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran; melainkan keinginan dan nafsu yang muncul dengan bergan- tung pada keduanya: itulah belenggu di sana.

“Misalkan, Sahabat, seekor sapi hitam dan seekor sapi putih diikat bersama oleh satu kekang atau gandar. Dapatkah seseorang mengata- kan dengan benar jika ia mengatakan: ‘Sapi hitam itu adalah belenggu bagi sapi putih; sapi putih adalah belenggu bagi sapi hitam’?”

sapi putih bukanlah belenggu bagi sapi hitam; melainkan kekang atau gandar yang mengikat keduanya: itulah belenggu di sana.”

“Demikian pula, Sahabat, mata bukanlah belenggu bagi bentuk- bentuk … juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran; melainkan keinginan dan nafsu yang muncul dengan bergan- tung pada keduanya: itulah belenggu di sana.”

“Jika, Sahabat, mata adalah belenggu bagi bentuk-bentuk, atau jika bentuk-bentuk adalah belenggu bagi mata; maka kehidupan suci ini tidak dapat terlihat untuk hancurnya penderitaan secara total.168 Tetapi karena mata bukanlah belenggu bagi bentuk-bentuk, juga ben- tuk-bentuk bukanlah belenggu bagi mata [164] – melainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya adalah belenggu di sana – maka kehidupan suci ini terlihat untuk han- curnya penderitaan secara total.

“Jika, Sahabat, telinga adalah belenggu bagi suara-suara, atau jika suara-suara adalah belenggu bagi telinga … Jika pikiran adalah beleng- gu bagi fenomena-fenomena pikiran, atau jika fenomena-fenomena pikiran adalah belenggu bagi pikiran; maka kehidupan suci ini tidak dapat terlihat untuk hancurnya penderitaan secara total. Tetapi kar- ena pikiran bukanlah belenggu bagi fenomena-fenomena pikiran, juga fenomena-fenomena pikiran bukanlah belenggu bagi pikiran – me- lainkan keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya adalah belenggu di sana – maka kehidupan suci ini ter- lihat untuk hancurnya penderitaan secara total.

“Demikianlah, Sahabat, harus dipahami bahwa: Terdapat mata da- lam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā melihat suatu bentuk dengan mata, namun tidak ada keinginan dan nafsu dalam diri Sang Bhagavā; Sang Bhagavā terbebaskan dengan baik dalam batin. Terdapat telinga dalam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā mendengar suara dengan tel- inga … Terdapat hidung dalam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā men- cium aroma dengan hidung … Terdapat lidah dalam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā melahap rasa kecapan dengan lidah … Terdapat badan dalam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā merasakan objek sentuhan dengan badan … Terdapat pikiran dalam diri Sang Bhagavā, Sang Bhagavā mengenali [165] fenomena pikiran dengan pikiran, namun tidak ada keinginan dan nafsu dalam diri Sang Bhagavā; Sang Bhagavā terbebaskan dengan baik dalam batin.

“Demikianlah, Sahabat, dapat dipahami bagaimana mata bukanlah

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 136-155)

Dokumen terkait