• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Definisi Mi Basah

Dewan Standarisasi Nasional (1992) mendefenisikan mi basah sebagai produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah merupakan mi dengan kadar air maksimal 35% (b/b).

Tabel 7. Syarat mutu mi basah*)

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna Normal Normal Normal 2 Air % (b/b) 20-35

3 Abu (berdasarkan berat kering)

% (b/b) Maks. 3 4 Protein ((N x 6,26)

berdasarkan berat kering)

% (b/b) Min. 3 5 Bahan tambahan makanan

5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna

5.3 Formalin

Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan

peraturan Menkes No. 722/Men.Kes/per/IX/88

Tidak boleh ada *) SNI 01-2987-1992

Mi basah dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan proses pembuatannya yaitu mi basah mentah dan mi basah matang. Pada proses pembuatan mi basah matang terdapat tambahan proses yaitu pematangan mi dengan cara pengukusan atau perebusan dan pelumuran dengan minyak sawit sehingga kadar airnya dapat meningkat hingga 52%. Pada proses pembuatan mi basah mentah tidak diperlukan tahapan tersebut.

Bahan yang digunakan untuk membuat mi basah terbagi atas dua bagian yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Terdapat dua jenis bahan baku utama yang sering digunkan untuk membuat mi basah yaitu terigu dan pati aren. Mi basah dengan bahan baku pati aren dikenal masyarakat sebagai mi ”geleser” (Badrudin, 1994). Bahan tambahan yang biasa digunakan adalah garam, air abu, telur, bahan pengembang, zat pewarna, dan minyak goreng.

Menurut Astawan (2004), fungsi dari tepung terigu dalam pembuatan mi adalah sebagai bahan pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, pelarut garam, dan pembentukan sifat kenyal gluten (Winarno dan Rahayu, 1994). Fungsi garam adalah memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Air abu berfungsi untuk mempercepat pembentukan gluten, meningkatkan sifat kenyal. Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan. Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbu-bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu. Di dalam pembuatan mi kadang-kadang ditambahkan CMC (Carboxyl Metil Cellulose) sebagai bahan pengembang dan bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan.

2. Proses Pembuatan Mi Basah

Proses pembuatan mi basah terdiri atas beberapa tahapan yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Tahapan pembuatan mi basah dapat dilihat pada Gambar 4.

Pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedanngkan jika lebih dari 38% adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Waktu pengadukan terbaik adalah 15-25 menit (Badrudin, 1994). Suhu adonan yang terbaik adalah 25-40oC.

Terigu Pencampuran bahan Pengadukan Pembentukan lembaran Pemotongan Pengukusan / perebusan

Pemberian minyak goreng

Mi basah Matang

Gambar 4. Diagram alir pembuatan mi basah secara umum

Tahap selanjutnya adalah pembentukan lembaran. Tujuan proses ini adalah untuk menghaluskan serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga dihasilkan mi yang elastis, kenyal, dan halus.

Lembaran mi yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm. Untaian mi yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mi basah matang. Mi basah matang dapat juga diperoleh dengan menganti pengukusan dengan perebusan. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh sehingga terbentuk lapisan tipis pada permukaan mi yang memberikan kelembutan

pada mi, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mi.

Tahap akhir pembuatan mi basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran dengan minyak sawit dilakukan agar untaian mi tidak lengket satu sama lain serta untuk memperbaiki penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005).

F. MI JAGUNG

Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Mi jagung belum banyak diperdagangkan, namun penelitian mengenai mi ini telah banyak dilakukan. Jenis mi jagung yang banyak dikembangkan adalah mi instan dengan pertimbangan jenis mi ini memiliki daya simpan yang lebih tinggi.

Proses pembuatan mi jagung hampir sama dengan mi terigu. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan terdiri dari pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endosperm dalam jagung 60% terdiri atas zein (Vasal, 2001). Pada gandum, protein total endospermnya terdiri dari gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutelin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat membentuk massa yang elastis-cohesive bila ditambah air dan diuleni.

Pada protein gandum, walaupun gluten merupakan senyawa yang tidak larut air karena satu asam aminonya merupakan residu yang kepolarannya netral, tetapi cukup hidrofilik untuk bersatu dengan pati mengabsorpsi air dalam adonan. Tendensi yang kuat dari glutamin residu yang memiliki ikatan hidrogen memberikan kontribusi yang besar terhadap viskoelastik properti dari gluten. Gluten juga memiliki jumlah sisi rantai nonpolar yang relatif banyak. Keadaan ini memberikan efek ketidaklarutan gluten dalam air dan memberikan sifat kohesif dengan menggunakan ikatan hidrofobik (Bushuk dan Wrigley, 1971).

Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung dengan air 1:1 (Juniawati, 2003). Lama waktu pengukusan tergantung pada jumlah adonan yang dimasak ( Juniawati, 2003).

Mi yang telah dicetak tidak dapat langsung dikeringkan karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua. Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga sulit dicetak (Juniawati, 2003).

Proses pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003).

Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003).

Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan Syed Zakiuddin (Anonimc, 2005). Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut :

1. Jagung dibuat menjadi grit

3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung 4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh 5. Tepung ditambah garam dan air

6. Campuran dikukus untuk membentuk tekstur tepung

7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan yang homogen

8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk untaian mi

9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan (Anonimc, 2005)

Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite, dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian di ekstrusi. Mi hasil ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit.

Perendaman dalam larutan sulfur dioksida diketahui dapat menyebabkan matrix protein mengalami pembengkakan gradual dan akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Anonimc, 2005). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan produk. Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit, cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, Elastic recovery 12.1-12.5%, dan kandungan amilosa 30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan belum memenuhi standar waktu pemasakan mi instan yang hanya 4 menit (Anonimc, 2005).

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdari atas bahan baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung kering panen dan jagung pipil kering dari jenis Srikandi Kuning-1 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah garam, baking powder, dan guar gum. Bahan kimia yang digunakan adalah HCl 0,5 N, KOH 0,2 N, iodin, akuades, heksana, H2SO4 pekat, HgO, larutan NaOH-Na2SO3, larutan asam borat jenuh, larutan

HCl 0,02 N, larutan iodium, dan indikator (campuran 2 bagian Metil Merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian Metilen biru dalam 0,2% alkohol).

Alat-alat yang digunakan pada proses pembuatan mi basah jagung adalah penggiling batu (stone mills), saringan, ember, neraca, mesin mi, steamer, dan oven. Alat-alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia mi basah jagung adalah Rheoner, Chromameter, Texture Analyser, jangka sorong, sentrifuse, stirer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, magnetic stirer, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjedahl, oven, cawan aluminium, spektrofotometer, blender, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.

Dokumen terkait