• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. METODOLOG

2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian perbaikan karakteristik mi adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua kali ulangan. Model faktorial RAL yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y

ijk

=

μ

i

+

β

j

+

( )αβ

ij

ijk

Dengan :

Yijk = respon yang terukur

µ = rataan umum

αi = pengaruh waktu pengukusan pada taraf ke-i

βj = pengaruh jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara waktu pengukusan pada taraf ke-i dan

jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j

έijk = galat percobaan untuk lama waktu pengukusan pada taraf ke-i

dan jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j dan ulangan ke-k

Perlakuan yang diterapkan :

A : pengukusan dengan taraf lima, tujuh, dan sembilan menit B : penambahan guar gum dengan taraf 0%, 0,3%, 0,6%, dan 1%.

3. Pengamatan

a. Analisis Kimia

Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis derajat gelatinisasi pati jagung dan analisis proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar protein kasar lemak kasarr abu. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference.

a.1 Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

Kadar air (% b.b) = c – (a – b) x 100% c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

a.2 Kadar abu (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 °C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4- 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar abu (% b.b) = c – (a – b) x 100% c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

a.3 Kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstrksi (soxhlet) yang telah berisi pelarurt (dietil eter atau heksan)

Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di adalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100°C hingg beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (% b.b) = a – b x 100% c

Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g)

c = berat sampel awal (g)

a.4 Kadar protein metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditabahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH- Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar N (%)=(ml HCl spl– ml HCl blk) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel

Kadar protein (% b.b) = % N x faktor konversi (6.25)

a.5 Kadar karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L )

Keterangan : P = kadar protein (%) KA = kadar air (%) A = abu (%)

L = kadar lemak (%)

b. Analisa Fisik

b.1 Analisa warna menggunakan metode Hunter (Hutching,1999) Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L dan derajat Hue. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Derajat Hue menunjukkan warna yang terllihat. Nilai hue dikelompokkan sebagai berikut :

o

Hue 342-18 : Red purple oHue 162-198 : Green

o

Hue 18-54 : Red oHue 306-342 : Purple

o

Hue 54-90 : Yellow red oHue 270-306 : Blue purple

o

Hue 90-126 : Yellow oHue 198-234 : Blue green

o

Hue 234-270 : Blue oHue 126-162 :Yellow green

b.2 Analisis resistensi terhadap tarikan dan persen elongasi menggunakan Rheoner

Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mi yang akan diukur resistensi terhadap tarikan dan ekstensibilitasnya. Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gF/0,25 cm), test speed 1 mm/s, jarak antar penjepit 24 mm, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (gF) dan waktu (s).

Cara perhitungan :

¾ Resistensi terhadap tarikan

Resistensi terhadap tarikan = tinggi kurva (cm) x 5 gf 0,25 cm

¾ Persen elongasi

b = lebar kurva (mm) x 1,5

c = (a2 + b2) ½, dimana a = ½ x jarak penjepit (mm) Δ L = (2 xc) – 24

% elongasi = (Δ L/ 24) x 100%

b.3 Analisis profil tekstur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2

Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai berikut: pre test speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, rupture

test distance 75%, mode measure force in compression dan force 100g.

Seuntai sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gF). Profil tekstur mi dapat dilihat dengan membandingkan kemiringan kurva yang dihasilkan. Kurva yang landai menunjukkan bahwa mi relatif kompressibel, sedangkan kurva yang curam menunjukkan bahwa mi relatif rigid.

b.4 Pengukuran kehilangan padatan akibat pemasakan (Oh et al., 1985)

Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

KPAP = 1 - berat sampel setelah dikeringkan x 100% berat awal (1- kadar air contoh)

b.5 Pengukuran dimensi

Pengukuran dimensi dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Sampel diletakkan di antara penjepit, kemudian dibaca skala yang ditunjukkan.

b. 6 Rendemen

Rendemen (%) = a – b x 100% a

Keterangan : a = bobot awal (kg) b = bobot akhir (kg)

b.7 Derajat Gelatinisasi

Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0- 100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan merebus 30 g tepung jagung dalam 100 ml air hingga menjadi bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi merupakan suspensi tepung dalam air. Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi 100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%.

Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masing- masing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan di-stirer kembali selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm.

Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9

dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B.

Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa :

Y = a + bX

dimana y merupakan absorbansi, x merupakan derajat gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta.

Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama seperti di atas. Dan derajat gelatinisasinya dihitung dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Jagung Srikandi Kuning

Jagung yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung Srikandi Kuning. Jagung ini tergolong dalam High Quallity Protein Maize (HQPM), yaitu jagung dengan kualitas protein yang tinggi. Jagung ini dipilih karena kualitas proteinnya yang tinggi dan saat ini penanaman jagung ini sedang digalakkan oleh Departemen Pertanian. Bentuk jagung Srikandi Kuning dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Biji Jagung Srikandi Kuning kering pipil

Jagung Srikandi yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jagung Srikandi Kuning kering panen yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan jagung pipil kering yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Jagung kering panen adalah jagung tua dengan kadar air yang masih tinggi yaitu sekitar 25-35%, sedangkan jagung kering pipil adalah jagung kering panen yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 14%. Penggunaan kedua jenis jagung ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kandungan gizi pada jagung Srikandi Kuning yang belum dan sudah dikeringkan. Hal ini penting diketahui karena jagung kering panen

relatif sulit ditemukan di luar musim panen, sehingga jika tidak terdapat perbedaan kandungan gizi antara keduanya, jagung kering pipil dapat digunakan untuk menggantikan jagung kering panen. Hasil pengukuran terhadap kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kandungan gizi Jagung Srikandi Kuning

Kandungan (%)(berat kering) Parameter

Jagung kering panen Jagung pipil kering

Kadar air 29,84 9,86

Kadar abu 1,45 1,61

Kadar protein kasar 11,10 10,50

Kadar lemak kasar 6,73 5,67

Kadar Karbohidrat 80,57 81,58

Hasil uji T (Lampiran 6) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kandungan gizi jagung Srikandi Kuning kering panen dan kering pipil, sehingga jagung kering pipil dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menggantikan jagung kering panen pada tahap penelitian selanjutnya. Jagung kering pipil dengan kadar protein yang lebih rendah daripada jagung kering panen masih dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Ini berdasarkan hasil penelitian pembuatan mi jagung sebelumnya yang dilakukan oleh Juniawati (2003) dengan menggunakan jagung non-HQPM varietas Arjuna sebagai bahan baku. Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui bahwa kadar protein jagung Srikandi Kuning yang digunakan adalah 10,50%, nilai ini sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai yang dicantumkan oleh Anomind yaitu 10,38%. Perlakuan pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein jagung, namun nilainya tidak berbeda nyata dengan kandungan protein pada jagung yang tidak dikeringkan.

Parameter lain yang diukur adalah dimensi biji jagung yang meliputi panjang, lebar, dan tebal biji jagung. Panjang biji yang diukur adalah jarak dari ujung tipcap ke ujung biji jagung. Sedangkan lebar yang diukur adalah

jarak terlebar pada sisi jagung. Hasil pengukuran dimensi biji jagung dapat dilihat pada tabel 10.

Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa panjang jagung Srikandi Kuning berkisar antara 10,7-11,5 mm. Sedangkan tebalnya berkisar antara 8,6- 9 mm. Lebar jagung ini berkisar antara 4,1- 4,3 mm.

Tabel 10. Hasil pengukuran terhadap dimensi jagung

Panjang (mm) Lebar (mm) Tebal (mm)

Ulangan 1 11,5 9 4,1

Ulangan 2 10,7 8,6 4,2

Ulangan 3 11,3 8,7 4,3

B. Kajian Pembuatan Tepung Jagung

Juniawati (2003) telah melakukan penelitian tentang penepungan jagung dan pembuatan mi instan jagung berbahan dasar tepung jagung. Proses penepungan yang dilakukan Juniawati (2003) masih kurang efektif karena langkah pengerjaan yang terlalu panjang, selain itu metode yang dikembangkan juga kurang aplikatif karena alat yang digunakan yaitu multi mill cukup sulit ditemukan di pasaran. Oleh karena itu, pada penelitian ini coba dikembangkan metode penepungan jagung dengan menggunakan penggiling batu. Alat ini dipilih karena relatif lebih mudah ditemukan. Penggiling batu yang digunakan merupakan penggiling kedelai yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu.

Secara garis besar proses penepungan jagung terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi.

Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman diperlukan untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga memudahkan penggilingan. Biji jagung direndam dalam air bersih dengan perbandingan 1:2 selama enam dan dua belas jam. Pada penelitian ini juga diujikan penggilingan biji jagung yang

tidak direndam. Waktu perendaman divariasikan untuk mengetahui waktu yang optimum, dimana biji jagung dapat digiling dengan hasil gilingan yang cukup halus dengan rendemen yang dihasilkan cukup besar.

Biji jagung selanjutnya digiling dengan menggunakan penggiling batu. Alat ini terdiri atas feeder, dua cakram batu, motor penggerak cakram, dan saluran pengeluaran. Cakram pada alat ini terdiri atas cakram statis dan cakram dinamis. Prinsip kerja alat ini adalah menghancurkan sampel dengan gaya gesek antara sampel dengan permukaan cakram. Sampel dimasukkan melalui feeder dan langsung masuk ke dalam celah diantara kedua cakram, di sini sampel dihaluskan. Selama penggilingan, harus dialirkan air secara kontinyu. Aliran air ini berfungsi untuk mendorong sampel sehingga tidak terjadi tumpukan sampel di satu titik. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media pelarut bagi pati yang dilepaskan selama penggilingan.

Hasil dari proses penggilingan ini kemudian disaring dengan kain batis. Penyaringan berfungsi untuk memisahkan pati dengan hancuran lembaga, tip cap, dan endosperm yang masih kasar. Bagian yang lolos saringan kemudian diendapkan untuk mendapatkan endapan tepung jagung. Pengendapan dilakukan sampai terbentuk dua lapisan yaitu lapisan endapan tepung jagung dan lapisan air yang jernih. Untuk mengetahui waktu perendaman yang optimum, dilakukan pengamatan setiap satu jam. Hasil pengamatan pada satu jam pertama menunjukkan bahwa mulai terbentuk endapan tetapi air masih keruh. Pada jam kedua, terbentuk tiga lapisan, lapisan terbawah adalah endapan pati, lalu lapisan suspensi pati, dan paling atas lapisan air jernih. Pada jam ketiga, masih terdapat tiga lapisan, tetapi lapisan air jernih semakin tebal, namun mulai tercium bau asam, yang menandakan mulai terjadinya kerusakan tepung jagung. Kerusakan tepung ini terjadi akibat fermentasi suspensi pati yang kaya nutrisi oleh khamir yang dapat berasal dari biji jagung itu atau dari udara. Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa waktu optimum pengendapan adalah dua jam. Tahap selanjutnya adalah pemisahan endapan tepung dari lapisan air sehingga diperoleh tepung jagung basah. Sebagian dari tepung basah ini kemudian dikeringkan dengan oven bersuhu 45oC hingga kadar air 10%. Pengeringan ini bertujuan untuk meningkatkan

daya simpan tepung jagung. Tepung jagung tidak dikeringkan semua agar tidak diperlukan penambahan air dari luar pada saat pembuatan adonan mi.

Dari semua tahapan proses tersebut, dilakukan pengamatan terhadap hasil penggilingan dan rendemen tepung basah yang dihasilkan berdasarkan perbedaan waktu perendaman. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengamatan terhadap hasil penggilingan biji jagung

Waktu Perendaman (jam)

Hasil Penggilingan Rendemen

(%)

0 Kasar 20,0

6 Halus 25,3

12 Halus 25,4

Berdasarkan data pada Tabel 11, diketahui bahwa tanpa perendaman pun biji jagung telah dapat digiling, namun hasil gilingannya masih kasar sehingga rendemen yang dihasilkan lebih sedikit. Perendaman selama enam jam sudah cukup untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga hasil penggilingannya halus dan rendemen yang dihasilkan lebih tinggi. Perendaman selama dua belas jam memberikan hasil yang hampir sama dengan perendaman selama enam jam dengan rendemen yang sedikit lebih tinggi. Waktu perendaman enam jam cukup optimum karena dengan waktu perendaman yang lebih singkat diperoleh hasil yang cukup baik.

Rendahnya rendemen tepung yang diperoleh disebabkan belum semua pati terendapkan, yang ditunjukkan dengan adanya lapisan kedua yang berupa suspensi pati pada saat pengendapan. Namun jika waktu pengendapan ditambah akan menyebabkan kerusakan pati. Oleh karena itu, setelah tahap pengendapan, dilakukanlah sentrifugasi terhadap lapisan suspensi pati tersebut. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama lima menit. Dengan adanya sentrifugasi, rendemen tepung jagung basah dapat ditingkatkan hingga mencapai 58%. Kesetimbangan massa pada proses penepungan jagung dapat dillihat pada Gambar 8.

Jagung srikandi Perendaman 6 jam air bersih (2x kg) kering panen (100 kg)

Penggilingan basah air bersih (kontinyu)

Penyaringan endosperm keras, perikarp, sebagian lembaga.

Pengendapan

Dekantasi air dan komponen larut air

Sentrifugasi air dan komponen larut air

Tepung Jagung Basah Bobot = 58 Kg (kadar air 50%)

Pengeringan air (25,72 Kg)

Tepung Jagung Kering Bobot = 32,22 Kg ( kadar air 10%)

Gambar 8. Diagram kesetimbangan massa proses penepungan jagung

C. Karakterisasi Tepung Jagung

Hasil penggilingan basah jagung biasanya disebut sebagai pati. Namun hasil yang diperoleh dari penggilingan basah pada penelitian ini disebut tepung jagung karena penampakan dan kandungan gizinya yang lebih menyerupai penampakan dan kandungan gizi tepung jagung pada umumnya. Hal ini terjadi karena pemisahan komponen pati dan non pati hanya dilakukan dengan penyaringan, sehingga masih terdapat komponen non pati dalam produk akhir.

Tabel 12. Kandungan gizi berbagai tepung jagung dan pati jagung .

Tepung jagung Parameter (%)

(berat kering) Kering Basah Pati jagung*

Tepung jagung** (metode Juniawati

(2003))

Kadar air 10 50 10,21 10,9

Kadar abu 0,72 0,72 0,05 0,4

Kadar protein kasar 7,06 7,06 0,56 5,8

Kadar lemak 6,56 6,56 0,68 0,9

Kadar karbohidrat 85,48 85,46 88,5 82,0 Sumber : *) PT. Suba Indah Tbk (2004)

**) Juniawati (2003)

Gambar 9. Tepung jagung kering

Kandungan abu, protein kasar, dan lemak kasar pada tepung jagung lebih rendah dibandingkan pada jagung. Sedangkan kandungan karbohidrat tepung jagung lebih tinggi dari pada kandungan karbohidrat pada jagung. Penurunan kandungan beberapa zat gizi disebabkan adanya kehilangan sebagian komponen jagung seperti endosperm keras, lembaga, dan perikarp yang masih kasar pada tahap penyaringan dan adanya komponen larut air yang terbuang pada saat dekantasi dan sentrifugasi. Perhitungan kandungan karbohidrat dilakukan by difference, sehingga penurunan zat gizi lain akan meningkatkan kadar karbohidrat dalam sampel.

Tepung jagung kering yang dihasilkan memiliki derajat Hue 101,1 yang berarti tepung ini memiliki warna kuning. Warna kuning tepung jagung berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Tingkat kecerahan tepung jagung ditunjukkan dengan nilai L. Semakin tinggi nilai L yang terukur semakin pucat warna aktual yang terlihat. Nilai L tepung jagung yang diukur adalah 90,91. Ini berarti tepung jagung ini memiliki warna yang sangat pucat.

D. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi basah jagung terbagi dua yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah tepung jagung basah dan tepung jagung kering. Bahan tambahan yang digunakan adalah garam, baking powder, dan minyak sawit.

Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Budiyah, 2004). Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga adonan tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2004). Konsentrasi garam yang ditambahkan adalah 0,6% dari total adonan. Baking powder merupakan Na2CO3:K2CO3

(2:1) mix. Baking powder dapat memperhalus tekstur mi yang dihasilkan. Konsentrasi baking powder yang ditambahkan adalah 0,2% dari total adonan.

Proses pembuatan mi basah jagung terdiri atas tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pressing, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Pengukusan diperlukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini terjadi karena 60% protein endosperm jagung terdiri atas zein, sedangkan pada terigu protein endospermnya terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni.

Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pencampuran tepung basah jagung dengan garam dan baking powder. Campuran ini kemudian

dikukus selama lima menit. Pengukusan menyebabkan pati dalam tepung basah mengalami gelatinisasi. Proses gelatinisasi diawali dengan pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Setelah pengukusan, ditambahkan tepung jagung kering ke dalam campuran ini lalu diuleni. Pengukusan menyebabkan dapat terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan.

Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran. Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara roll pengepres dengan ketebalan tertentu hingga diperoleh ketebalan yang diinginkan yaitu 2 mm. Lembaran ini kemudian dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi yang terbentuk tidak mudah patah, jumlah pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai pengikat. Pati yang sudah dipregelatinisasi dapat berfungsi sebagai pengikat karena gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya (Krugar dan Murray, 1979).

Untuk mengetahui pengaruh rasio antara pati yang terpregelatinisasi dan tidak terhadap kemudahan pembuatan dan tekstur mi dilakukan percobaan pembuatan mi dengan berbagai perbandingan antara pati yang terpregelatinisasi dan tidak. Perbandingan yang diujikan adalah 50:50, 55:45,

Dokumen terkait