• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PRESENTASI DAN ANALISA DATA

8. Batasan Definisi Sistem Klien

klien dalam komunitas (konstituensi) Keseluruhan komunitas geografis. Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatu segmen dalam komunitas (termasuk komunitas fungsional) Segmen dalam komunitas. 9. Asumsi mengenai kepentingan dari kelompok-kelompok di dalam suatu komunitas Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai perbedaan Pemufakatan kepentingan atau konflik. Konflik kepentingan yang sulit dicapai kara mufakat; kelangkaan sumber daya 10.Konsepsi mengenai populasi klien (kostituensi)

Warga masyarakat. Konsumen (penggunan jasa) ‘Korban’ 11.Konsepsi mengenai peran klien Partisipan pada proses interaksional pemecahan Konsumen atau recipien (penerima pelayanan) Employer, konstituen, anggota.

masalah.

Dari tabel di atas hanya digambarkan secara ringkas mengenai penjelasan setiap indikatornya, adapun penulis menjelaskan secara lebih terperinci dari masing-masing indikator pada setiap model adalah sebagai berikut:20

1. Kategori Tujuan Tindakan Terhadap Masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan, ada dua tujuan utama mengenai pengorganisasian masyarakat yang pertama lebih mengacu pada ‘tugas’ (task), sementara lainnya lebih berorientasi pada ‘proses’. Pada model A, masyarakat dalam hal ini dilihat sebagai ‘konsumen’ dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan, dan pemecahan masalah. Pada model B, sebaliknya, tidak ada pelibatan penerima pelayanan. Pada model C, kedua tujuan itu menjadi prioritas, si penerima layanan harus ikut terlibat dalam keseluruhan proses (penyadaran, pemberdayaan dan tindakan aktual) dan dia bersifat aktif, hal itu bertujuan untuk melakukan perubahan struktur kekuasaan (pemerintah) ke arah yang memenuhi prinsip demokrasi, kemerataan dan keadilan.

2. Asumsi Yang Terkait Dengan Struktur Masyarakat dan Kondisi Permasalahannya

Pada model A, masyarakat ini seringkali dipimpin oleh sekelompok kecil pemimpin-pemimpin konvesional dan terdiri dari populasi yang buta huruf dan ada perbedaan sangat jauh dalam keterampilan pemecahan masalah. Adanya kesenjangan itu disebabkan tertutupnya komunitas kecil oleh komunitas yang lebih luas. Pada model B, seorang perencana sosial melihat

20

komunitas atau masyarakat kecil ini terdiri dari masalah sosial yang inti seperti pengangguran, gizi buruk perumahan dan lain-lain. Pada model C, seorang praktisi pada model ini melihat komunitas sebagai (terdiri dari) hirarki dari privilage dan kekuasaan.21

3. Strategi Perubahan Dasar

Pada model A, adanya upaya penetuan dan pemecahan masalah secara mandiri serta melibatkan sebanyak mungkin warga. Pada model B, identik dengan mengumpulkan fakta yang ada dan melakukan analisa sebelum memilih tindakan yang tepat seperti apa. Tenaga perubahnya pun di luar komunitas (sebagai penerima) dan upaya pengembangannya pun tidak ada pelibatan. Pada model C, melakukan pengumpulan fakta yang melibatkan si penerima, sehingga akhirnya mampu mengenali “musuh”, lalu mengorganisir diri dan siap memberikan tekanan kepada sasaan mereka.

4. Karakteristik Taktik dan Teknik Perubahan Dasar

Pada model A, yang paling ditekankan model ini adalah kesepakatan bersama. Namun Blakely menekankan pentinya teknik deliberatif dan kooperatif, hal ini untuk mempertegas perbedaan dengan model lainnya. Pada model B, taktik dan teknik sangat berpengaruh, maka seringkali pada model ini melakukan analisa mendalam. Pada model C, lebih pada taktik konflik. 5. Peran Praktisi

Pada model A, praktisi lebih banyak berperan sebagai enabler, membantu mengidentifikasi kebutuhan dan masalah mereka sehingga mandiri dalam melakukan pemecahannya medianya melakukan mobilisasi. Pada

21

model B, peran praktisi lebih sebagi expert (pakar). Penekanannya pada cara penemuan fakta (berdasarkan penelitian), implementasi program (pewujudan) dan memiliki relasi dengan birokrasi dan tenaga profesional.

6. Media Perubahan

Medianya perubahan pada model A melakukan manipulasi organisasi (relasi antar organisasi). Pada model C, lebih sebagai advokat dan aktifis. Medianya memanipulasi organisasi yang kemudian mempengaruhi proses politik.

7. Orientasi Terhadap Strutur Kekuasaan

Pada model A, strutur kekuasaan dalam hal ini adalah sudah terdapat masyarakat itu sendiri atau bagian dari masyarakat. Dalam menentukan tujuan atau kebijakan selalu atas dasar kesepakatan bersama (saling menguntungkan) artinya tidak berpihak pada satu kelompok tertentu. Pada model B, strutur kekuasaan di sini biasanya sebagai pendukung atau bos dari praktisi, maka kecenderungan hasil perencanaanya pun syarat ‘titipan’. Dalam pelaksanaanya, praktisi membutuhkan dana, infrastrutur dan fasilitas lainnya, maka keberhasilan lobi bergantung pada data yang faktual dari hasil analisa dan penelitian sebelumnya. Pada model C, kelompok klien lebih dilihat sebagai partisipan dan struktur kekuaan tidak dapat menjangkau atau menola memberikan pelayanan (dengan alasan khusus), misalnya sentimen agama. 8. Batasan definisi sistem klien dalam komunitas (konstituensi)

Pada model A, klien adalah orang atau warga yang tingga dalam suatu tempat yang bersifat lokal. Pada model B, klien dibatasi pada keseluruhan komunitas atau dapat pula suatu segmen (bagian) dalam komunitas (termasuk

komunitas fungsional), lebih cenderung tidak dibatasi oleh geografis. Pada model C, klien adalah segmen dalam komunitas atau bagian tertentu yang memiliki keterpinggiran.

9. Asumsi mengenai kepentingan kelompok-kelompok (subpart) dalam suatu komunitas

Pada model A, semua atas kepentingan, niat baik, dan kesepakatan bersama. Pada model B, orientasinya terkadang pragmatis (jangka pendek) dan hanya masalah tertentu, akhirnya “aktor”tidak memiliki peran. Pada model C, kepentingan selalu dilihat berbeda dan bertentangan, maka penyelesaiannya adalah aksi dengan tujuan mempengaruhi proses politik sehingga diharapkan terjadi pemerataan.

10.Konsepsi mengenai populasi klien

Pada model A, klien dipandang sebagai warga sederajat, yang memiliki kekuatan potensi terpendam yang perlu diperhatikan. Setiap warga adalah sumber daya aset. Pada model B, klien cenderung pasif, dia hanya menerima layanan. Pada model C, klien adalah ‘korban’, pemerintah atau penguasa dalam hal ini yang paling bertanggung jawab, maka hubungan antara pengorganisasian jenis ini dengan penguasa selalu kontra.

11.Konsepsi mengenai peran klien

Pada model A, klien berpartisipasi aktif. Pada model B, klien sebagai penerima. Pada model C, klien bersama praktisi berstatus ‘bawahan’ (yang tertindas), praktisi sebagai pelayan masyarakat.

B. Pemberdayaan Masyarakat

Adapun Edi Suharto dalam bukunya Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, mengatakan:

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Pemberdayaan menunjuk pada kempuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atas kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.22

Dalam bukunya yang lain Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri, Edi Suharto mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah proses maupun hasil yaitu, serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditunjukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga, atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi hidupnya.23

Sementara menurut Ginanjar Kartasasmita pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "peoplecentered, participatory, empowering, and sustainable" seperti dikatakan oleh Robert Chamber (1995).24

22

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, hal.57 23

Edi Suharto, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 144

24

Arsip Pidato Kebudayaan Ginanjar Kartasasmita (Menteri Negera Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapenans) yang Disamapaikan Pada Peringatan Hari Ke-28 Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki Jakarta, 19 November 1996

C. Kesadaran Lingkungan 1. Pengertian Kesadaran

Kesadaran merupakan asal kata dari sadar, menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata sadar berarti (1) insaf; merasa; tahu dan mengerti. (2) ingat kembali (pingsan), (tidur). Kesadaran memiliki arti (1) keinsafan; keadaan mengerti. (2) hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.25

2. Pengertian Lingkungan

Arti kata lingkungan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah (1) daerah (kawasan) yang termasuk di dalamnya; (2) golongan; kalangan: (3) semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan.26

Ada keterkaitan antara kesadaran lingkungan dengan perilakunya, sadar akan lingkungan mencakup semua pada taraf/tahapa (persepsi, sikap, dan aksi), sementara perilaku sudah “action”/mengamalkan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Byer (1996) mendefinisikan behaviore sebagai semua keputusan, praktek dan tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Lebih lanjut mengenai perilaku terhadap lingkungan, Byers mengatakan bahwa perilaku yang memiliki dampak positif terhadap alam dapat digolongkan perilaku peduli lingkungan.27

Dari beberapa keterkaitan antar definisi di atas, penulis mendefinisikan kesadaran lingkungan sebagai keseluruhan upaya sadar baik pada tingkat persepsi, sikap dan tingkah laku yang memiliki dampak positif bagi lingkungan. Pada tahapan perilaku, sadar akan lingkungan pada seseorang

25

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1240 26

Ibid., h.865 27

Takashi Inoguschi, Edward Newman dan Glen, Kota Dan Lingkungan, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 131

biasanya terkait dengan sebab-akibat atau sejarah kehidupannya (dampak negatif dan positif secara langsung) atau dengan kata lain kesadarannya pada tingkat persepsi berubah menjadi sikap dan diteruskan pada aksi (perilaku).

D. Modal Sosial

Ada banyak sumber yang memberikan pengertian mengenai modal sosial, di bawah ini hanya dua pengertian yang menurut penulis cukup mewakili yaitu, sebagai berikut:

Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individu atau institusional. Secara individual, interaksi terjad manakala relasi intim antara individu terjalin satu sama lain sehingga terbentuk ikatan emosional. Setiap masyarakat memiliki sumberdaya tertentu yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah bersama.28

Sementara dalam sumber lain disebutkan bahwa Francis Fukuyama mendefiniskan modal sosial sebagai nilai atau norma yang diakui bersama oleh anggota suatu kelompok atau masyarakat, yang memungkinkan terjadinya kesepahaman dan kerja sama di antara mereka.29

Modal sosial menurut penulis adalah kepercayaan warga masyarakat dari hasil interaksi yang terus menerus. Kepercayaan tidak serta merta timbul, tetapi ada beberapa pemicu atau faktor pendukung, misalnya, “aktor interaksi” atau faktor ketokohan.

28

Merry Silalahi, Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Rt 02 Rw 07 Kelurahan Benua Melayu Laut, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat), (Bogor: Tesis Program Jurusan Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 2009), h. 27

29

Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, CSR Untuk Penguatan Kohesi Sosial, (Jakarta: Indonesia Business Links, 2008), h. 5

32

GAMBARAN UMUM KAMPUNG BANJARSARI CILANDAK BARAT JAKARTA SELATAN

A. Profil Harini Bambang Wahono 1. Aktifitas dan Prestasi

Namanya Harini Bambang Wahono, saat ini ia tinggal di Jl. Banjarsari XIV No. 4 A Kel. Cilandak Barat Kec. Jakarta Selatan, wanita kelahiran Solo 25 November 1931 (77 tahun) ini memiliki beragam aktivitas sosial kemasyarakatan, mulai dari praktisi lingkungan, Ketua Kelompok Tani Perkotaan Dahlia, PKK Pokja IV, mentor pada pelatihan pengelolaan sampah terpadu, relawan kesehatan WHO, pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak di sekitar lingkungan dan lain-lain.

Latar belakang pendidikan sekolah rakyat pada zaman penjajahan Jepang merupakan pelajaran berharga bagi perkembangan kepribadian Harini yang pada akhirnya berpengaruh sangat penting untuk kemajuan Kampung Banjarsari kedepan. Mencintai secara sungguh-sungguh terhadap tanah air merupakan pesan yang selalu diingat Harini. Melindungi dan memelihara lingkungan atau memberikan perlakuan posistif apapun terhadap lingkungan adalah harga mati. Maka baginya, bepikir dan bertindak harus selalu beriringan di setiap usaha. Selain itu, pendidikan dari ayahnya juga memberi pengaruh yang cukup besar pada kepribadiannya, dua pesan yang selalu ia terima dari ayahnya adalah kesabaran dan harus selalu berproses.

Dari keseluruhan aktivitasnya, ia mendapatkan tanggung jawab yang penting dan selalu memiliki peran sentral. Ia pun sering diundang untuk berbicara di berbagai seminar dan pelatihan mengenai penghijauan dan pengelolaan sampah. Salah satu pengalaman menariknya adalah ketika diberi kesempatan untuk memberikan pesan di hadapan 15 pemimpin negara, maka sejak saat itu ia menjadi pembicara berlisensi nasional dan internasional.

Keberhasilan mengorganisasikan dan membangun kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya membuahkan hasil, dimana pada tahun 2001 kampung Banjarsari mendapat penghargaan Juara Penghijauan dan Konservasi Alam dari perlombaan yang diselenggarakan pemerintah. Penghargaan juara ini juga menjadi bukti kesungguhan dari studi bandingnya ke Philipina dan Thailand setahun sebelumnya. Masih pada tahun 2001, wanita 77 tahun ini mendapat penghargaan KALPATARU dari pemerintah atas perannya terhadap perlindungan lingkungan. Pengabdian dan kegigihan terhadap penghijauan lingkungan dan upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat mendorong masyarakat lain untuk mengikuti jejaknya. Atas jasanya ini, pada tahun 2003 ia mendapat penghargaan sebagai Perempuan Pilihan Metro TV. Selanjutnya, pada tahun 2004 Bank Permata memberikan penghargaan sebagai Insan Permata. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 2005 pemerintah DKI Jakarta memberikan penghargaan atas pengabdian PKK selama 30 tahun.

Memiliki segudang prestasi di usia senja terbilang sangat langka, apalagi usahanya ini berjasa pada khasanah keilmuan, ia telah memberikan

inspirasi bagi semua orang, terutama generasi muda yang masih memiliki banyak waktu.

2. Kepribadian dan Motivasi Terhadap Lingkungan Hidup

Sejarah masa kecilnya menjadi dorongan dalam menekuni kepedulian terhadap lingkungan saat ini, yaitu suasana kenyamanan, teduh dan pepohonan hijau yang rindang di Pasar Legi, Solo. Ia pun menceritakan bagaimana pemerintahan kolonial belanda yang sangat tegas agar sampah diselesaikan di sumbernya dan melakukan penghijauan. Akan tetapi, keprihatinan muncul di benaknya, sekarang permasalahan lingkungan di Indonesia, terutama sampah, telah menjadi isu nasional, bahkan beberapa tahun lalu Bandung sampai pada posisi darurat sampah. Kejadian itu menurutnya sungguh miris di tengah kekaguman dunia internasional terhadap Indonesia mengenai aset udaranya yang bersih.1

Kesungguhan dan keinginan kuat Harini bermula dari pesan yang disampaikan oleh suaminya sebelum meninggal, suaminya berpesan “cintailah tanah air dan berjuanglah dengan hati”,2 dari pesan inilah ia meneruskan kecintaan terhadap tanah airnya (selama ini hanya mengendap dalam perasaannya) untuk beranjak bergerak, bersikap dan beraksi.

Selain itu, sikap dan perilaku peduli lingkungan Harini terbina dari sejak kecil oleh ayahnya, yang seorang mantri tani pada zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pembinaannya adalah dengan memberikan tangggung jawab yang sama pada masing-masing anaknya untuk menanam dan memelihara pohon buah-buahan sampai mendapatkan hasil.

1

Arsip Aplikasi STPP, Manajemen Bidang Lingkungan Hidup, (Maret 2009), h. 5 2

Seperti halnya tokoh-tokoh lain, hambatan dan tantangan pun segera datang mengujinya. Menurutnya, “siapa pun, dengan tujuan ingin memberikan kesadaran kepada masyarakat dan itu positif, maka harus menemui banyak tantangan, itu harus! tidak boleh tidak! Karena disitulah saya belajar”.3 Dalam perjalananya, tantangan itu pun tidak hanya datang dari tetangganya saja, tapi orang-orang di sekelilingnya pun sering sekali membuat wanita 77 tahun ini putus asa.

Tantangan itu bisa tergambar dalam ceritanya sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat itu di rumahnya, yang mungil itu, kedatangan tamu besar dari pejabat tinggi negara, atas dasar kekaguman kepada tindak-tanduk Harini mengorganisasi masyarakat dalam rangka memberikan penyadaran terhadap perlindungan lingkungan, hari itu dirinya mendapat pujian tinggi. Harini pun merasakan uforia keberhasilan. Sejak saat itu, tamu-tamu dari kalangan pejabat sering melakukan kunjungan ke rumahnya. Harini melihat peristiwa ini pentinng untuk mebangun jaringan lebih luas kedepan. Tapi yang terjadi justru malah di luar dugaannya, kader-kader, teman berserta warga sekitar terjebak pada kecemburuan sosial berat, selama tiga bulan Harini tidak mendapatkan simpati. Maka peristiwa ini merupakan pelajaran berharga.

Saat ini, Harini tinggal bersama cucu-cucunya, dan ia pun menularkan kecintaannya terhadap lingkungan kepada mereka. Hasilnya, mereka menjadi kader muda terdepan di waktu ia sudah tidak sanggup memenuhi undangan pelatihan atau mengajar. Harini telah memiliki kader yang loyal (didasari atas

3

kesadaaran) terhadap aktivitasnya, bahkan mereka pun sudah mampu melakukan kaderisasi ke luar.

Kini, setelah hampir seperempat abad tinggal di Kampung Banjarsari ini, murid-murid sekolah dasar, aktivis PKK, kepala desa, aktivis lingkungan, mahasiswa, profesor, hingga menteri pernah menyinggahi rumah sederhananya. Sepetak ruangan rumahnya yang sederhana menjadi tempat pelatihan pengolahan sampah terpadu, penghijauan pekarangan rumah, pelatihan bahasa Inggris bagi anak-anak sekitarnya dan lain sebagainya.

Kepribadian Harini yang ramah, toleran, kuat dan berkarakter tidak lepas dari pengalaman dalam menghadapi tantangan yang telah silih berganti menerpanya. Sampai saat ini, ia selalu berpesan kepada generasi muda untuk memulai sesuatunya dari hati, persoalan teknis (metode atau cara) mengenai apa yang baik menurutnya itu akan mengikuti, asalkan ada keinginan untuk terus belajar. Keinginan terus belajar dari seorang pemimpin atau leader jelas sangat dibutuhkan, maka untuk hal ini tidak ada tawar-menawar. Sosok suami dan pesan sejarah hidupnya baik masa kecil maupun sekarang memberikan kekuatan melampaui harapannya sendiri. Dalam bersikap, ia selalu memberi penghargaan kepada orang lain, perhatiannya tulus dan haus kritik.

Dalam keseharian selama ini, warga masyarakat Banjarsari lebih akrab memanggil “ibu Bambang:” kepada Harini, sementara anak-anak kecil lebih akrab memanggilnya “eyang”. Bagi Harini sendiri sebetulnya lebih nyaman dipanggil ibu Bambang, menurutnya panggilan itu terkesan sederhana dan lebih akrab. Tapi Harini tidak merasa nyaman ketika ada orang yang

memanggilnya “embah”, karena panggilan itu biasaya diasosiasikan kepada perempuan senja yang tidak produktif.

3. Tiga Tokoh Utama

Kesadaran masyarakat mengenai lingkungan tidak serta merta terjadi, ada beberapa faktor yang membentuknya, salah satunya adalah inisiatif lokal. Akan tetapi, ada keunikan lain dari inisiatif lokal di Kampung Banjarsari ini yaitu motor penggerak awal dan sentralnya para kaum perempuan (ibu-ibu rumah tangga). Dari hasil identifikasi awal ada tiga tokoh utama yaitu, Harini Bambang Wahono, Ibu Agustin Riyanto dan Ibu Nina Sidle.

Dari ketiga tokoh itu, Harini merupakan perintis dan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap sejarah terbentuknya kesadaran masyarakat Kampung Banjarsari. Hal ini tebukti dari inisiatif awal yang dibangunnya pada tahun 1970-an, saat itu Harini

Kepribadian yang lugas, tegas, integritas tinggi, pantang menyerah, dan mudah bergaul memberikan nilai lebih dalam proses penyadaran masyarakat. Pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya sangat luas dan berperan pada berbagai lapisan masyarakat.

Sementara dua tokoh lainnya memiliki fungsi dan tanggung jawab lebih khusus, Ibu Agustin misalnya, ia lebih berperan terhadap tugas edukasi dan pemberian model, karena keahlian yang dimilikinya lebih kepada hal-hal teknis seperti pemanfaatan dan pengelolaan sampah. Lalu, Ibu Nina Sidle lebih fokus pada penyadaran lingkungan untuk masyarakat menengah atas, karena secara ekonomi dan pergaulan posisi tawarnya lebih tinggi.4

4

Dari hasil wawancara dengan salah satu anggota masyarakat RW 08 Banjarsari, mamandang Harini sebagai sosok yang terbuka, terus belajar dengan kegagalan yang ada dan sabar.5

B. Gambaran Umum Kampung Banjarsari Cilandak Barat Jakarta Selatan 1. Sejarah Berdirinya RW 08 Banjarsari

Nama kampung Banjarsari diambil dari nama salah satu kampung di Jawa Tengah. Pemberian nama ini pun tidak terlepas dari peran tokoh masyarakat (ketua RW pertama) yang pada saat itu berasal dari Banjarsari Solo, Jawa Tengah.

Dari sejarahnya, kampung Banjarsari pada awalnya merupakan hamparan kebun karet. Namun, seiring desakan, arus migrasi dan urbanisasi dari berbagai wilayah ke Jakarta semakin besar, menjadikan daerah ini sedikit demi sedikit beralih fungsi menjadi daerah permukiman.

Wilayah RW 08 Banjarsari merupakan hasil pemekaran dari wilayah RW 05 Cilandak Barat pada tahun 1970. Pemekaran ini dikarenakan semakin meningkatnya jumlah warga. Masih pada tahun ini, jumlah penduduk RW 08 relatif masih kurang, yakni hanya 590 jiwa. Ketika itu, RW 08 Banjarsari masih masuk ke dalam wilayah Kelurahan Cilandak, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tetapi dengan alasan yang sama, yaitu meningkatnya jumlah penduduk. Saat ini Banjarsari masuk ke dalam wilayah Kelurahan Cilandak Barat Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.6

5

Faturahman, Wawancara Pribadi, (Jakarta 1 Agustus 2010) 6

Kuswara, SAP, Wawancara Pribadi dan Arsip Kelurahan Cilandak Barat (Jakarta 30 Agustus 2010)

2. Letak dan Kondisi Geografis Kelurahan Cilandak Barat

Secara administratif, Kelurahan Cilandak Barat termasuk kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan. Daerah ini terbagi ke dalam 13 rukun warga 148 Rukun Tetangga (RT) dan 8.118 Kepala Keluarga (KK).7 Secara keseluruhan, luas wilayah kelurahan adalah 608.000 ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cilandak Timur; sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Gandaria Selatan/Kelurahan Cipete Selatan; sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pondok Labu dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pondok Pinang.8

Dilihat dari kondisi geografisnya, wilayah Kelurahan Cilandak Barat termasuk daerah dataran rendah dan memiliki kontur tanah yang relatif bergelombang. Dari beberapa kasus yang ada, terutama yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan, misalnya banjir, tanah longsor, kekeringan dan sebagainya, daerah ini terbilang aman. Kemudian, di wilayah ini terdapat dua sungai mengalir dari wilayah Depok menuju Bogor.9

3. Kondisi Demografis Kelurahan Cilandak Barat

Pada aspek ini dan berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk Kelurahan Cilandak Barat tahun 2009 sebanyak 59.686 jiwa dengan kepadatan 97 jiwa/ha. Sementara pada tahun 2008 jumlah penduduk 59.535 jiwa. Dari data di atas penduduk Kelurahan Cilandak Barat mengalami peningkatan 0.32

7

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direkorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan: Buku Panduan Kelurahan Cilandak Barat Buku Panduan Kelurahan Cilandak

Dokumen terkait