• Tidak ada hasil yang ditemukan

x = K (1- � ) ... (4.6)

Persamaan (2.6) akan menghasilkan estimasi estimasi produksi lestari, bila disubtitusikan dengan persamaan h = qxE. Persamaan produksi lestari, sebagai berikut:

h = qKE (1- � ) ... (4.7)

Secara ringkas, Zulbainarni (2012) merangkum formulasi berbagai model surplus produksi kedalam Tabel 6, berikut ini.

Tabel 6. Formulasi model Fox, CYP, WH dan Schnute pada perhitungan surplus produksi Model Rumus Fox Ln dimana: a = Ln ( ) dan b = W-H dimana: a = r dan b =

Tabel 6. Formulasi model Fox, CYP, WH dan Schnute pada perhitungan surplus produksi (lanjutan)

Model Rumus Schnute dimana: a = r; b = dan c = q CYP Ln dimana: a = ; b = dan c = Sumber: Zulbainarni (2012)

4.4.2 Analisis Surplus Produksi Pendekatan Output

Analisis ini merupakan analisis produksi model Copes yang menggunakan harga, sehingga merubah kurva supply konvensional, menjadi backward bending supply, sehingga surplus ekonomi dapat diestimasi. Fokus pada signifikansi konsumen dan produsen surplus, pada level pemanfaatan sosial yang optimal. Perubahan konsumen surplus, menurut Fauzi dan Suzy (2005), dapat dihitung berdasarkan formula berikut dibawah ini. Namun dapat pula menggunakan luasan rumus segitiga.

∆�� = | - | ... (4.8)

Dimana Ha adalah produksi pada kondisi aktual, Hp adalah produksi akibat

depresiasi. Sedangkan perubahan pada surplus produksi dapat dihitung, dengan persamaan:

∆�� = poho -

2 + −4 + 2

0 ... (4.9)

po merupakan harga pada periode awal, ho adalah sustainable yield pada periode

Sumber: Copes (1972) dalam Fauzi (2004)

Gambar 8. Grafik kurva backward bending supply dengan kurva demand

4.4.3 Estimasi Degradasi Sumberdaya

Analisis degradasi merupakan analisis yang menggabungkan antara keadaan biologi lingkungan dengan sosial masyarakat. Kerangka analisis degradasi menggunakan hasil perhitungan produksi lestari. Jika dalam fungsi matematik, Fauzi dan Suzy (2005), memuliskan persamaan seperti dibawah ini:

h at = qKE � − �

... (4.10)

dimana:

h at = produksi aktual pada periode t q = catchability coeffisien

K = carrying capacity r = pertumbuhan alami E = input

Maka dengan perhitungan produksi lestari tersebut, laju degradasi perikanan tangkap, berdasarkan Anna (2003), menjadi:

∅ D= 1

1+

... (4.11)

4.4.4 Estimasi Depresiasi Sumberdaya

Fauzi dan Suzy (2005), mengemukakan bahwa analisis depresisasi merupakan analisis untuk memonetisasi perubahan sumberdaya perikanan

tangkap, yaitu dengan tahapan umum data moneter, seperti unit price dan unit cost. Depresiasi sumberdaya ikan dihutung dengan persamaan berikut:

t - �t – 1 = [phstcEt] – [phst-1cEt-1] = (pc) [(hst - hst-1) + (Et– Et-1) ... (4.12) atau; ∅ R= 1 1+ ... (4.13) 4.4.5 Analisis Keberlanjutan

Alder et al (2000), menjelaskan langkah pertama yang dilakukan dalam analisis keberlanjutan adalah mencari atribut perikanan yang akan digunakan serta mengklasifikasikan ke dalam masing-masing dimensi. Atribut, sumber acuan, serta pengertian atribut yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

- Dimensi Ekologi

1. Status eksploitasi, FAO (1999): Perbandingan potensi dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya.

2. Range collaps, FAO (1999): Penurunan jumlah ikan tangkapan berdasarkan lokasi penangkapan.

3. Ukuran ikan yang tertangkap, FAO (1999): Perubahan ukuran rata-rata ikan hasil tangkapan, dalam jangka waktu 5 tahun.

- Dimensi Ekonomi

1. Harga, FAO (1999): Harga produk yang didaratkan, satuan dalam Kg. 2. Keuntungan, Alder et al (2000): Tinggi keuntungan yang diperoleh.

3. Pendapatan selain sektor perikanan, FAO (1999): Keterkaitannya dengan pekerjaan lainnya.

4. Kepemilikan, FAO (1999): Terkait dengan modal, sehingga status keuntungan dapat terlihat.

5. Pasar, FAO (1999): Tujuan hasil produksi.

6. Subsidi, FAO (1999): Pengaruh subsidi terhadap keberlangsungan upaya pemanfaatan sumberdaya.

7. Penyerapan tenaga kerja, Nababan et al (2008): Jumlah penyerapan tenaga kerja menggunakan pendekatan ukuran kapal, jenis alat tangkap, maupun waktu penangkapan. Sehingga, dapat mengestimasikan penyerapan tenaga kerja dengan melihat ketiga faktor pendekatan tersebut.

- Dimensi Sosial

1. Socialization of fishing, FAO (1999): Pola nelayan dalam melalukan upaya pemanfaatan, entah berkelompok, individu, maupun berdasarkan keluarga. 2. Pengetahuan akan kesadaran lingkungan, FAO (1999): Tingkat kepedulian

terhadap lingkungan perairan.

3. Tingkat pendidikan, FAO (1999): Tingkat pendidikan yang akan dibandingkan dengan rata-rata populasi.

4. Status konflik, FAO (1999): Tingkat terjadinya konflik sosial masyarakat perikanan.

5. Pengaruh nelayan terhadap suatu regulasi, FAO (1999): Pengaruh nelayan dalam penyusunan maupun evalusi suatu kebijakan yang akan atau telah ditetapkan.

6. Pendapatan perikanan, FAO (1999): Jumlah pendapatan dari sektor perikanan terhadap jumlah pendapatan keseluruhan dari pendapatan keluarga.

7. Partisipasi anggota keluarga, FAO (1999): Keterlibatan anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga perikanan.

8. Aturan sosial budaya, Hartono et al (2005): Aturan yang berlaku dalam masyarakat nelayan yang akan berdampak positif maupun negatif, terhadap keberlanjutan pengelolaan kegiatan pemanfaatan sumberdaya.

- Dimensi Teknologi 1. Lama trip, modifikasi.

2. Fasilitas pendaratan, FAO (1999): Ketersediaan tempat pendataran ikan. 3. Pre-sale processing or value added, FAO (1999): Kegiatan pemprosesan

sebelum dipasarkan, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi produk. 4. Alat tangkap, FAO (1999): Klasifikasi alat tangkap berdasarkan bergerak

5. Selektifitas alat tangkap, FAO (1999): Tingkat kepekaan alat tangkap dalam menselektif target tangkapan.

6. Dampak penggunaan alat tangkap, FAO (1999): Dampak yang tidak diinginkan dalam penggunaan suatu alat tangkap.

7. Ukuran armada perikanan, FAO (1999): Merupakan rata-rata armada perikanan yang beroperasi pada wilayah tersebut.

8. Kemampuan tangkap, FAO (1999): Merupakan kemajuan teknologi yang ada pada alat tangkap maupun armada perikanan dalam 5 tahun terakhir, terkait dengan penambahan kemampuan alat tangkap maupun armada dalam mengahasilkan tangkapan.

9. Penggunaan alat bantu penangkapan, modifikasi: Tersedianya alat bantu penangkapan seperti FADS (fish agregation device), fish finder,GPS dalam upaya penangkapan.

- Dimensi Hukum dan Kelembangaan

1. Illegal fishing, FAO (1999): Penangkapan maupun transshipments yang ilegal.

2. Ketersediaan peraturan formal, Susilo (2003).

3. Ketersediaan personel penegak hukum, Susilo (2003). 4. Intensitas eksploitasi yang melanggar hukum, Susilo (2003). 5. Kepatuhan nelayan terhadap peraturan, Suyasa (2007).

Langkah selanjutnya adalah pemberian nilai. Susilo (2003), menerangkan dengan berdasarkan pengamatan lapangan maupun sekunder, maka setiap atribut diberikan peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai hasil scoring masuk sebagai input Rapfish yang tersedia sebagai tools add-in pada Ms. Excel. Kriteria skor dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Tabel kriteria penilaian atribut

Skor Baik Buruk Keterangan

Dimensi Ekologi

Status eksploitasi 0; 1; 2; 0 3 Dibawah (0); full (1);

3 cukup berat (2); over eksploitasi (3)

Range collapse 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); sedikit (1); lebar dan cepat (2)

Tabel 7. Tabel kriteria penilaian atribut (lanjutan 1)

Skor Baik Buruk Keterangan

Ukuran ikan yang tertangkap 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0);

ya, perubahan secara perlahan (1); ya, perubahan sangat cepat (2)

Dimensi Ekonomi

Harga 0; 1; 2; 4 0 >Rp 5000 (0); Rp 5000-Rp 15.000 (2);

3; 4 Rp 15.000-Rp 50.000(3)

>Rp 50.000 (4)

Keuntungan 0; 1; 2; 0 4 Keuntungan yang tinggi (0);

3; 4 keuntungan marginal (1);

break event (2); kerugian (3);

kerugian yang sangat besar (4)

Pendapatan selain 0; 1; 2; 0 3 Tidak tetap (0); part time (1);

sektor perikanan 3 musiman (2); full time (3)

Kepemilikan 0; 1; 2 0 2 Lokal (0); campuran (1);

luar daerah (2)

Pasar 0; 1; 2 0 2 Lokal/nasional (0);

nasional/regional (1) internasional (2)

Subsidi 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); beberapa (1);

sangat besar (2)

Penyerapan tenaga kerja 0; 1; 2 2 0 Rendah (0); sedang (1); tinggi (2)

Dimensi Sosial

Socialization of fishing 0; 1; 2 2 0 Individual (0); keluarga (1); komunitas (2)

Pengetahuan akan kesadaran 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) lingkungan

Tingkat pendidikan 0; 1; 2 2 0 Rendah (0); sedang (1); tinggi (2)

Status konflik 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); ada (1); banyak (2)

Pengaruh nelayan terhadap 0; 1; 2 2 0 Hampir tidak ada (0); ada (1)

suatu regulasi sangat banyak (2)

Pendapatan perikanan 0; 1; 2 2 0 <50% (0); 50-80% (1); >80% (2)

Partisipasi anggota keluarga 0; 1 1 0 Ya (0); tidak ada (1)

Tabel 7. Tabel kriteria penilaian atribut (lanjutan 2)

Skor Baik Buruk Keterangan

Aturan sosial budaya 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0);

ada, berdampak negatif (1) ada, berdampak positif (2)

Dimensi Teknologi

Lama trip 0; 1; 2 0 2 Kurang dari satu hari (0); 1-2 hari (1);

>2 hari (2)

Fasilitas pendaratan 0; 1; 2 0 2 Tersebar (0); kadang terpusat (1);

terpusat (2)

Pre-sale processing/value added 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); sedang (1); banyak (2)

Alat tangkap 0; 1 0 1 Pasif (0); aktif (1)

Selektifitas alat tangkap 0; 1; 2 2 0 Rendah (0); sedang (1); tinggi (2)

Dampak penggunaan alat tangkap 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2)

Ukuran armada perikanan 0; 1; 2 0 2 <8m (0); 8-17m (1); >17m (2)

Kemampuan tangkap 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); beberapa (1);

ada, dan sangat cepat (2)

Penggunaan alat bantu 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); ada, tidak digunakan (1);

penangkapan ada, dipergunakan (2)

Dimensi Hukum dan

Kelembagaan

Illegal fishing 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) Ketersediaan peraturan formal 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); cukup (1); banyak (2)

Ketersediaan personel 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); jarang atau sedikit (2);

penegak hukum banyak atau sering dilokasi (3)

Intensitas eksploitasi yang 0; 1; 2 0 2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) melanggar hukum

Kepatuhan nelayan 0; 1; 2 2 0 Tidak patuh (0);

terhadap peraturan kadang-kadang patuh (1); patuh (2)

MDS merupakan analisis ordinasi untuk memudahkan visualisasi posisi keberlanjutan. Hasil MDS adalah dengan menggunakan dua titik acuan (titik baik dan titik buruk), sehingga kita dapat melihat nilai keberlanjutan dari suatu atribut. Nilai tersebut terproyeksikan pada suatu bidang datar horizontal yang diberi nilai skor 0% pada titik buruk dan 100%, pada titik baik. Skala indeks memiliki selang 0-100, secara sederhana nilai indeks >50 telah sustainable, sedangkan untuk nilai indeks <50, maka pengelolaan belum bersifat sustainable (Susilo, 2003).

Sehingga dalam interpletasi hasil atribut, dilakukan pengklasifikasian nilai indeks keberlanjutan, dengan klasifikasi seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 8. Tabel klasifikasi hasil nilai indeks keberlanjutan Nilai Indeks Status Keberlanjutan

0-25 Buruk

26-50 Kurang

51-75 Cukup

76-100 Baik

Tahap selanjutnya adalah mengetahui tingkat sensitivitas pengaruh suatu atribut terhadap keberlanjutan. Abdullah (2011), menuliskan bahwa dalam analisis sensitivitas, nilai RMS (kuadrat nilai tengah) yang akan menentukan ordinasi dari status keberlanjutan. Artinya, semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya satu atribut tertentu, maka semakin besar pula peranan atribut dalam penentuan nilai indeks keberlanjutan pada skala 0-100, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam status keberlanjutan perikanan tangkap.

Kavanagh dan Pitcher (2004) dalam Abdullah (2011), menuliskan bahwa pembangkit bilangan acak dalam analisis ini berdasarkan pada sebaran normal galat, angka skor dengan nilai tengah 0 dan simpangan baku (� ) terseleksi, berselang kepercayaan 95% dalam proporsi 20% dari selang skor setiap atribut (skor baik dan skor buruk). Sebaran normal (tabel Z) memiliki nilai 3,92 untuk selang kepercayaan 95%. Sehingga perhitungan simpangan baku, menjadi:

=

0,2

(

′ ′− ′ ′

3,92

)

... (4.14)

4.4.6 Analisis Kebijakan

Budiharsono (2007), merinci tahapan yang akan dilakukan untuk mencari nilai keberlanjutan dimensi secara keseluruhan adalah sebagai berikut. Pertama merupakan pengisian hasil nilai yang berasal dari koesioner dalam penentuan bobot. Setelah keseluruhan responden menentukan bobot, maka bobot tersebut diakumulasikan, sehingga mendapatkan nilai bobot gabungan. Nilai bobot gabungan inilah yang akan dikalikan dengan nilai indeks keberlanjutan dari

masing-masing dimensi. Nilai perkalian tersebut merupakan hasil akhir status keberlanjutan suatu pengelolan. Nilai indeks status keberlanjutan dapat diklasifikasikan menjadi:

- Buruk, jika nilai indeks <50,

- Baik, jika nilai indeks berkisar antara 50-75, dan - Sangat baik, jika nilai indeks >75.

Pemilihan kriteria pembobotan harus sesuai dengan fokus sasaran yang akan dicapai. Kriteria tersebut dibentuk ke dalam matriks dengan berbanding berpasangan, seperti tabel dibawah ini. Perhitungan selanjutnya adalah dengan mengubah bilangan matriks tersebut kedalam desimal. Kemudian matriks desimal dikuadratkan dan dilakukan normalisasi, yaitu perkalian antara hasil matriks pangkat dengan penjumlahan baris pada matriks (Marimin dan Nurul, 2010).

Tabel 9. Tabel matriks pairwise comparision

X Y Z

X 1

Y 1

Z 1

Penggabungan pendapat responden (dalam hal ini adalah pakar yang sesuai dengan bidang yang akan diteliti) secara manual, adalah dengan menggunakan rata-rata geometrik.

=

=1

... (4.15)

dimana:

= rata-rata geometrik n = jumlah responden

� = penilaian oleh responden ke-i

� = perkalian

Penilaian para responden menjadi satu nilai dalam bentuk matriks.

Matriks pakar ke-i =

11 12 13

21 22 23

matriks pakar ke n =

11 12 13

21 22 23

31 23 33

Kerangka gabungan matriks ke n =

11 12 13

21 22 23

31 23 33

Hasil gabungan matriks tersebut akan dikalikan dengan hasil nilai indeks keberlanjutan per dimensi, dan akan menghasilkan nilai indeks keberlanjutan keseluruhan.

4.5 Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1) Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

2) Perikanan open access adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan.

3) Perikanan berkelanjutan adalah aktivitas perikanan yang dapat dilakukan tanpa mengurangi kemampuan ikan untuk mempertahankan populasinya dalam jumlah yang cukup dan tidak merusak spesies lain dalam ekosistem 4) Ikan pelagis adalah kelompok Ikan yang berada pada lapisan permukaan dan

lapisan tengah.

5) Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidaya atau dipelihara dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkannya.

6) Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

7) Lokasi penelitian dilakukan pada perairan Kabupaten Flores Timur dan sekitarnya, dengan asumsi tempat pendaratan ikan berlokasi di Kecamatan

Larantuka. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan biaya penelitian dan pusat pendaratan perikanan terbesar di Pulau Flores ada di Kecamatan Larantuka. 8) Obyek dalam penelitian ini merupakan nelayan pancing (khususnya nelayan

yang menggunakan alat tangkap pole and line dan hand line), yang berada pada wilayah lokasi penelitian.

9) Ikan jenis pelagis besar yang diteliti adalah, ikan tuna sirip kuning dan ikan cakalang, hal ini berdasarkan hasil tangkapan dominan pada kedua alat tangkap tersebut.

10) Ukuran armada tangkap pada perahu body¸ diasumsikan memiliki GT dibawah 5 gross tonage. Sedangkan armada pole and line diasumsikan sebesar 6 GT, hal ini disebabkan pengoperasian armada tangkap ukuran 6 GT lebih banyak digunakan.

11) Dalam analisis data, analisis surplus produksi dengan menggunakan model Fox, CYP, Schnute maupun W-H, akan dipilih salah satu model terbaik yang akan digunakan dalam penelitian ini. Kriteria model terbaik tersebut, berdasarkan nilai harvest yang tidak boleh melebihi jumlah stock ikan, pertimbangan nilai r, harvest optimal yang balance dan rasional, serta analisis statistik diantaranya, nilai R2, t hitung, maupun nilai Sig F.

12) Penggunaan bioekonomi model Copes adalah untuk mengetahui hubungan dampak harga produk terhadap laju upaya tangkap, sehingga menghasilkan titik keseimbangan optimal. Titik keseimbangan tersebut digunakan dalam menghitung estimasi nilai surplus yang diterima oleh produsen dan konsumen.

13) Pada lokasi penelitian terdapat suatu bentuk kelembagaan inti-plasma antara perusahaan sebagai inti, dan nelayan sebagai plasma, sebagai salah satu wujud kemitraan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya. Dalam penelitian ini pihak produsen diasumsikan merupakan pihak plasma, sedangkan pihak konsumen merupakan pihak inti.

14) Keberlanjutan sumberdaya merupakan suatu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya dan perubahan orientasi teknologi serta kelembagaan, dengan berbagai cara, dengan tujuan pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang.

15) Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.

16) Pengisian kuesioner pada analisis keberlanjutan, dilakukan dengan cara berdiskusi dalam menentukan hasil scoring pada masing-masing atribut. 17) Metode keberlanjutan sumberdaya dan kebijakan diolah dengan

V ANALISIS BIOEKONOMI

5.1 Gambaran Umum dan Keadaan Perikanan Tangkap Kab. Flotim

Dokumen terkait