• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic Policy For Sustainable Large Pelagic Fisheries Management In East Flores Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Economic Policy For Sustainable Large Pelagic Fisheries Management In East Flores Regency"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN EKONOMI DALAM PENGELOLAAN

PERIKANAN PELAGIS BESAR BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN FLORES TIMUR

PRATITA BUDI UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Ekonomi Dalam Pengelolaan Perikanan Pelagis Besar Berkelanjutan di Kabupaten Flores Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRACT

PRATITA BUDI UTAMI. Economic Policy for Sustainable Large Pelagic Fisheries Management in East Flores Regency. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and NIMMI ZULBAINARNI.

Tuna and skipjack are categorized as large pelagic fish resource which has a high economic value and exploited for food, nutrition and export. The exploitation of those fishes in East Flores Regency is increasing in the last ten years, and raised the question of sustainable fisheries management. Based on these condition, the research aims to evaluate fisheries resource management, too analyzed economic surplus, to evaluate fisheries sustainable and economic policy analysis for sustainable management of the large pelagic fisheries. Survey method was used in this research and data analysis using bioeconomic, economic surplus, multi dimensional scaling and analysis hierarchy process. Based on analyses, tuna and skipjack resource exploitation is still under maximum economic yield (MEY) level. According to the calculation of the average degradation and depreciation of tuna are 0.350 and 0.351, and skipjack 0.354 and 0.275, since of the value are 0 less than 0.5 indicate that the tuna and skipjack have not degraded and depreciated. The best large pelagic fisheries (tuna and skipjack) management is carried out under level of MEYof tuna which production rate 6,072 tons per year and the effort, as many as 42,904 trips per year, with economic rent of Rp 88.9 billions per year. The economic surplus of producer is Rp 1.5 million per ton and consumer surplus is Rp 46 million per ton. MEY level of skipjack for production rate is 4,652 tons per year, and the effort 20,256 trips per year, with economic rent Rp 38.9 billion per year. The economic surplus of producer is Rp 0.31 million per ton and consumer surplus is Rp 0.58 million per ton. Sustainability analysis showed that three of five dimensions which are ecology, technology and institutional are good condition, but two dimension which are social and economy has to be improved. Policy toward sustainable large pelagic fisheries management should consider environmental friendly technology is the first priority, follows by monitoring and evaluation, price, labor, conflict management and marketing policies.

(5)

RINGKASAN

PRATITA BUDI UTAMI. Kebijakan Ekonomi Dalam Pengelolaan Perikanan Pelagis Besar Berkelanjutan di Kabupaten Flores Timur. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NIMMI ZULBAINARNI.

Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna dan cakalang di Kabupaten Flores Timur mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Upaya pemanfaatan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan ekspor. Permasalahan yang dihadapi dengan meningkatnya upaya pemanfaatan adalah keberlanjutan sumberdaya. Sehingga diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya, yang dapat memaksimalkan fungsi sumberdaya dengan tetap menjaga keberlanjutan sumberdaya tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi surplus produksi, surplus ekonomi, laju degradasi dan depresiasi, serta mengetahui status keberlanjutan sumberdaya tersebut, sehingga dapat menghasilkan kebijakan pengelolaan perikanan yang sesuai dengan konsep keberlanjutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei, sedangkan metode analisis yang digunakan adalah analisis bioekonomi, surplus ekonomi, analisis keberlanjutan dan analisis kebijakan.

Hasil analisis bioekonomi menunjukkan bahwa upaya status pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang masih berada dibawah level MEY, sehingga upaya pemanfaatan masih dapat ditingkatkan. Secara keseluruhan upaya pemanfaatan masih dalam pemanfaatan yang seimbang. Estimasi nilai surplus produsen dan konsumen, kesejahteraan terbesar dirasakan oleh konsumen, sehingga perlu dilakukan upaya pemerataan kesejahteraan oleh pemerintah.

Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa, dari lima dimensi yang diteliti terdapat dua dimensi yang memiliki nilai indeks terendah, dengan status keberlanjutan yang kurang baik, dimensi tersebut adalah dimensi sosial dan ekonomi. Hasil analisis kebijakan menghasilkan urutan prioritas utama pada penggunaan alat tangkap ramah lingkungan kemudian monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KEBIJAKAN EKONOMI DALAM PENGELOLAAN

PERIKANAN PELAGIS BESAR BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN FLORES TIMUR

PRATITA BUDI UTAMI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Analisis Ekonomi Pengelolaan Perikanan Pelagis Besar Berkelanjutan di Kabupaten Flores Timur. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi magister sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing atas kesediaan meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, Ir. Sahat Simanjuntak, M.Sc dan Prof Akhmad Fauzi, Ph.D atas bimbingan, saran serta arahan yang telah diberikan sehingga dapat memperkaya pengetahuan penulis. Ucapan terima kasih tak terkira, juga penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Dinas Perikanan beserta seluruh staff, Bapak Hilmar (PT.Okisin) beserta staff, Ibu Yani (PT.Primo Indo), serta Kak Edho (WWF).

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sangat besar kepada Ibu Wida, Bapak Tri, dek Tiwi, dek Dyah, keluarga besar ESK, rekan-rekan di ESL, SPL, SDP, PSL, WWF, UNDIP, UGM, ITB, ITS serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala doa, bantuan, pengertian, dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh para pembaca.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 06 Agustus 1988 sebagai anak pertama pasangan Bapak Tri Widiarto dan Ibu Widayati. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA BINTARA Depok dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang pada jalur SPMB. Penulis mendapat gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2010. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan Kelompok Studi Mahasiswa Perikanan Tangkap (KSP-FPIK), Unit Kegiatan Selam (UKSA 387-UNDIP), Pelayan Sosial Anak-Anak Jalanan (SATU ATAP) serta menjadi Asisten Dosen pada beberapa mata kuliah.

(13)

DAFTAR ISI

2.3 Ekologi-Ekonomi Sebagai Landasan Teori Ekonomi ... 12

2.4 Analisis Bioekonomi Pendekatan Input ... 14

2.5 Analisis Bioekonomi Pendekatan Output ... 17

2.6 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya ... 18

2.7 Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan ... 19

2.8 Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan ... 20

2.9 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ... 22

2.10 Studi Terdahulu ... 23

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

3.1 Kerangka Teori ... 25

3.2 Kerangka Operasional Penelitian ... 25

(14)

DAFTAR ISI (lanjutan)

V ANALISIS BIOEKONOMI ... 49

5.1 Gambaran Umum dan Keadaan Perikanan Tangkap Kabupaten Flores Timur ... 49

5.2.1.10 Estimasi Nilai Surplus Produsen dan Konsumen ... 63

5.2.2 Analisis Bioekonomi Perikanan Cakalang ... 64

5.2.2.1 Produksi Dan Upaya Tangkap ... 64

5.2.1.10 Estimasi Nilai Surplus Produsen dan Konsuen ... 74

VI ANALISIS KEBERLANJUTAN ... 77

(15)

DAFTAR TABEL

1. Tabel jumlah alat tangkap dan jumlah produksi di NTT

tahun 2008-2010 ... 3

2. Tabel klasifikasi alat tangkap di Indonesia berdasarkan Statistik Perikanan Indonesia ... 9

3. Tabel cara pengoperasian alat tangkap pole and line dan hand line ... 12

4. Tabel data primer ... 32

5. Tabel data sekunder ... 32

6. Formulasi model Fox, CYP, WH dan Schnute pada surplus produksi ... 35

7. Tabel kriteria penilaian atribut ... 40

8. Tabel klasifikasi hasil nilai indeks keberlanjutan ... 43

9. Tabel matriks pairwise comparision ... 44

10. Produksi dan upaya tangkap sumberdaya perikanan tuna ... 51

11. Perbandingan hasil parameter biologi pada perikanan tuna ... 52

12. Konversi biaya riil dan harga riil perikanan tuna ... 54

13. Optimasi statik pada beberapa rezim pengelolaan perikanan ... 56

14. Estimasi optimasi dinamik perikanan tuna ... 57

15. Estimasi optimasi statik pada dua rezim pengelolaan perikanan ... 59

16. Hasil estimasi produksi lestari perikanan tuna ... 62

17. Estimasi laju degradasi dan depresiasi perikanan tuna ... 63

18. Tabel hasil produksi, upaya tangkap dan nilai CPUE perikanan cakalang ... 64

19. Hasil parameter biologi pada keempat model input perikanan cakalang ... 66

20. Tabel IHK tahun 2010, hasil harga dan biaya riil perikanan cakalang ... 66

21. Estimasi optimasi statik pada beberapa rezim pengelolaan perikanan ... 68

22. Estimasi optimasi dinamik perikanan cakalang ... 70

23. Estimasi optimasi statik pada dua rezim pengelolaan perikanan ... 71

24. Hasil estimasi produksi lestari perikanan cakalang ... 73

(16)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

26. Hasil scoring atribut pada dimensi ekologi ... 77

27. Hasil scoring atribut pada dimensi ekonomi ... 79

28. Hasil scoring atribut pada dimensi sosial ... 81

29. Hasil scoring atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan ... 83

30. Hasil scoring atribut pada dimensi teknologi ... 85

31. Perbandingan rezim MEY dan MSY pada perikanan tuna ... 92

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar sistem ekstraksi sumberdaya dari empty world

menuju full world ... 13

2. Grafik distribusi surplus ekonomi ... 14

3. Grafik pengaruh tangkapan terhadap stok ... 16

4. Grafik tingkat optimum pemanfaatan sumberdaya ... 18

5. Rancangan diagram alir operasional penelitian ... 28

6. Kerangka penelitian ... 30

7. Peta lokasi penelitian ... 31

8. Grafik kurva backward bending supply dengan kurva demand ... 37

9. Kurva keseimbangan demand supply perikanan tuna ... 54

10. Kurva keseimbangan demand supply pada tingkat discount rate yang berbeda ... 58

11. Kurva keseimbangan demand supply perikanan cakalang ... 67

12. Kurva keseimbangan demand supply pada tingkat discount rate yang berbeda ... 69

13. Hasil ordinasi dimensi ekologi ... 78

14. Hasil analisis leverage dimensi ekologi ... 78

15. Hasil ordinasi dimensi ekonomi ... 80

16. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi ... 80

17. Hasil ordinasi dimensi sosial ... 82

18. Hasil analisis leverage dimensi sosial ... 82

19. Hasil ordinasi dimensi hukum dan kelembagaan ... 84

20. Hasil analisis leverage dimensi hukum dan kelembagaan ... 84

21. Hasil ordinasi dimensi teknologi ... 86

22. Hasil analisis leverage dimensi teknologi ... 86

23. Diagram layang-layang sustainability analysis untuk pelagis besar ... 83

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis bioekonomi perikanan tuna ... 105

2. Analisis bioekonomi perikanan cakalang ... 115

(19)

GLOSARY

AHP : Analitical Hierarchy Process

BAPPEDA : Badan Perencana dan Pembangunan Daerah

BPS : Balai Pusat Statistik

BBPPI : Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan

CPUE : Catch per Unit Effort CS : Consumer Surplus

CYP : Clarke Yoshimoto Pooley

DKP : Dinas Kelautan Perikanan

FAO : Food and Agriculture Organization

Flotim : Flores Timur

GT : Gross Tonnage

GS : Gordon-Schaefer

IHK : Indeks Harga Konsumen

KKP : Kementrian Kelautan dan Perikanan

MDS : Multi Dimensional Scaling

MEY : Maximum Economic Yield

MSY : Maxsimum Sustainable Yield

NTT : Nusa Tenggara Timur

OA : Open Access

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

PKSPL-IPB : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Institut Pertanian Bogor

PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan

PS : Producer Surplus

Rapfish : Rapid Appraisal for Fisheries

RMS : Root Mean Square

RSQ : Squared Correlation

SO : Sole Owner

W-H : Hilborn dan Walters

(20)
(21)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah perairan Indonesia memiliki aset sumberdaya yang sangat melimpah. Kusumastanto (2003), menuliskan bahwa terdapat tujuh sektor dalam kegiatan pemanfaatan kelautan, yaitu sektor perikanan (baik payau maupun perikanan laut), pertambangan, industri maritim, transportasi laut, pariwisata, bangunan kelautan serta jasa kelautan lainya. Kegiatan pemanfaatan sektor perikanan merupakan kegiatan yang mendominasi dalam pemanfaatan wilayah perairan Indonesia, karena sebagian besar masyarakat yang berada pada wilayah pesisir melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan dalam angka 2011, potensi sumberdaya perairan Indonesia mencapai 6,52 juta Ton per tahun (KKP, 2011), yang terdiri atas perikanan pelagis, demersal, karang, serta beberapa jenis crustacea dan mollusca. Nilai upaya pemanfaatan mencapai 5,06 juta Ton, ditahun yang sama. Sementara pada tingkat Provinsi, Provinsi NTT khususnya dalam sektor perairan, memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. NTT dalam angka tahun 2010, menunjukan usaha penangkapan memiliki hasil produksi 463.637,07 Ton, dengan dominasi hasil tangkapan berupa ikan kakap merah, ikan kerapu, tuna sirip kuning, ikan selar, ikan cakalang, ikan tongkol, ikan tenggiri dan ikan tembang (BPS, 2012).

(22)

pemanfaatan, wilayah perairan ini juga menjadi perhatian konsumen internasional, hal ini dibuktikan dengan pembangunan PPI Amagarapati di Kabupaten Flores Timur yang merupakan bantuan Jepang pada tahun 2009. Hal ini menunjukan bahwa, sumberdaya perikanan pada wilayah ini sangat berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dalam dan luar negeri, yang pada akhirnya akan bermakna ganda, yaitu peningkatan pendapatan daerah dan tekanan eksploitasi yang semakin besar. Adanya permintaan yang cukup tinggi serta tekanan terhadap ekologi yang semakin kuat, hal tersebut yang menjadi alasan utama, mengapa penelitian ini dilakukan. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, baik dari aspek ekologi-ekonomi, maupun kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh The World Commision on Environmental and Development (WCED) pada tahun 1987, yang memuat tentang definisi pembangunan berkelanjutan. Yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Susilo, 2003). Oleh karena itu dalam pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan, aplikasi suatu manajement sumberdaya mampu mengoptimalkan upaya pemanfaatan dengan mempertimbangkan berbagai sistem terkait.

Kajian bioekonomi memadukan perubahan biologi perikanan dengan nilai ekonomi, menghasilkan suatu output yang dapat digunakan sebagai indikator dalam melakukan upaya pemanfaatan. Sementara dalam konsep pengelolaan berkelanjutan, merupakan suatu pengelolaan multi sektor yang juga harus mempertimbangkan sektor lainnya ketika melakukan upaya pada suatu sektor tertentu dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan sumberdaya tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

(23)

semakin ditingkatkan. Permasalahan akan timbul manakala pengelolaan usaha pemanfaatan tidak berjalan seiring dengan pengelolaan sumberdaya yang baik. Sebuah pengelolaan yang baik memasukan unsur biologi, ekonomi dan sosial dalam dasar pengelolaannya, sebagai refleksi pemanfaatan yang berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan.

Tabel 1. Jumlah alat tangkap dan jumlah produksi di NTT, tahun 2008-2010

Tahun Jumlah Alat Tangkap Pancing

(Unit) Sumber: BPS Provinsi NTT tahun 2011

Tabel diatas merupakan tabel jumlah alat tangkap pancing dan produksi ikan cakalang dan tuna pada 21 Kabupaten yang ada di Provinsi NTT berdasarkan NTT Dalam Angka 2011, berdasarkan statistik perikanan tersebut, produksi pada wilayah perairan NTT terus mengalami peningkatan. Upaya pemanfaatan ini memerlukan sebuah frame pengelolaan sumberdaya yang bersifat berkelanjutan, serta mampu mensejahterakan masyarakat secara adil.

Berdasarkan hal tersebut, topik penelitian ini adalah fokus pada perhitungan sumberdaya pelagis besar (perikanan tuna dan cakalang) pada wilayah perairan Flores Timur, dengan menggunakan surplus produksi dan surplus produsen dan konsumen yang berkelanjutan, sehingga akan menciptakan suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya. Serta mengestimasi nilai degradasi dan depresiasi sebagai salah satu penunjang dalam pengelolaan berkelanjutan tersebut. Permasalahan yang akan dikaji adalah berikut:

1) Bagaimana menciptakan suatu pemanfaatan perikanan pelagis besar (ikan tuna sirip kuning dan ikan cakalang) yang berkelanjutan, berdasarkan hasil surplus produksi, laju degradasi serta laju depresiasi pada wilayah perairan Flores Timur.

2) Bagaimana mengestimasi kesejahteraan masyarakat (khususnya masyarakat nelayan), berdasarkan pada surplus ekonomi kegiatan pemanfaatan tersebut. 3) Bagaimana mengetahui status keberlanjutan pemanfaatan perikanan pelagis

(24)

4) Bagaimana merumuskan kebijakan pengelolaan perikanan pelagis besar dengan konsep sustainable welfare optimization.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab paparan dalam perumusan masalah, yaitu:

1) Mengkaji pengelolaan sumberdaya ikan tuna dan cakalang.

2) Mengevaluasi tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen, melalui surplus ekonomi.

3) Mengestimasi status keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dengan pendekatan Multi Dimensional Scaling.

4) Menganalisis serta memformulasikan kebijakan pengelolaan perikanan pelagis besar yang berkelanjutan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

(25)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.

2. Sebagai salah satu sumber informasi bagi para stakeholder, dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan pelagis besar kawasan tersebut dalam menciptakan distribusi kesejahteraan yang merata, baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang dengan tetap memperhatikan kondisi ekologi lingkungan sumberdaya tersebut.

(26)
(27)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

Potensi sumberdaya perikanan (baik penangkapan laut maupun budidaya) di NTT termasuk dalam potensi yang sangat layak untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil perikanan pada kedua jenis pemanfaatan tersebut, meskipun jumlah hasil budidaya tidak lebih besar dari jumlah perikanan laut. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, perikanan tangkap adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas.

Wilayah penangkapan yang menjadi akses para nelayan di wilayah NTT adalah Laut Timor, Laut Flores, Laut Sawu hingga Samudera Hindia selatan, serta perairan-perairan lainnya yang berada diantara gugusan pulau-pulau. Tingkat konsumsi masyarakat NTT terhadap hasil perikanan dalam data BPS NTT 2011, menunjukan konsumsi yang cukup besar bila dibandingkan dengan wilayah lainnya, dengan nilai 8gram perhari perkapita. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat NTT, prioritas utama dari hasil produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen luar NTT hingga luar negeri. Nilai ekspor NTT ditahun 2010, untuk komoditas ikan, crustacea dan molusca mencapai US$ 82.264. Hal ini juga ditunjukan dengan meningkatnya nilai PDRB NTT menurut lapangan usaha sektor perikanan, yang terus meningkat sejak tahun 2008, yaitu sebesar 950,2 milyar pada tahun 2008, 1.062,4 milyar pada tahun 2009 dan 1.199,1 milyar ditahun 2010, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% untuk setiap tahunnya (BPS NTT, 2011)

Jumlah rumah tangga nelayan pada tahun 2010 mencapai 41.685, dengan total alat tangkap sebanyak 13.437 pada tahun yang sama. Upaya penangkapan pada wilayah ini menggunakan berbagai jenis pancing (pole and line dan pancing tonda), sedangkan untuk alat tangkap lainnya misalnya seperti, payang, pukat, jaring insang serta bagan tancap. Dominasi alat tangkap berdasarkan data tahun 2010, adalah gill net, pancing dan payang (BPS NTT, 2011).

(28)

gerombolan (schooling) dalam aktivitasnya dan melakukan migrasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perikanan pelagis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pelagis kecil dan pelagis besar. Ciri pelagis besar adalah ikan dengan ukuran 100-250cm (pada ukuran dewasa), merupakan jenis perenang cepat dan termasuk tipe peruaya, misalnya ikan tuna, cakalang, tongkol dan tenggiri. Pelagis besar bersifat epipelagis dan oseanis, walaupun ada sebagian kecil yang berada di perairan pantai. Penyebaran ikan jenis ini secara vertikan sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklin (struktur lapisan masa air yang terbentuk akibat perbedaan suhu), sedangkan penyebaran secara horizontal dipengaruhi oleh faktor suhu, ketersediaan makanan dan parameter oseanografi lainnya (Simbolon, 2011).

Ikan tuna yang akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah Thunnus albacares atau yellowfin tuna atau madidihang atau tuna sirip kuning sebagai nama lokal. Berasal dari famili Scombridae, memiliki badan besar, gemuk dan kuat, dengan sumber kekuatannya terletak pada pertemuan ekor dan badan. Jenis ikan ini dianggap sebagai proyektil laut terbaik, dari semua jenis tuna. Ikan tuna memiliki linea lateralis yang berombak, sirip punggung kedua dan dubur melengkung panjang ke arah ekor yang ramping dan runcing menyerupai sabit. Memiliki sirip berwarna kuning keemasan yang cerah, dan pinggirnya berwarna hitam dengan ujung yang tajam, sedangkan tubuh bagian atas berwarna keperak-perakan Tampubolon (1983) dalam (Simbolon, 2011).

(29)

mulai dari cephalopoda, crustacea dan ikan-ikan kecil sebagai makanan utama (Simbolon, 2011).

2.2 Deskripsi Alat Tangkap Ikan Pelagis Besar

Klasifikasi jenis alat penangkapan ikan yang terdapat di Indonesia berdasarkan BBPPI Semarang tersaji pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Tabel klasifikasi alat tangkap di Indonesia berdasarkan Statistik Perikanan Indonesia

Group Kategori Statistik

Nama Indonesia Nama Indonesia Nama Inggris

(30)

Tabel 2. Tabel klasifikasi alat tangkap di Indonesia berdasarkan Statistik Perikanan Indonesia

Group Kategori Statistik

Nama Indonesia Nama Indonesia Nama Inggris

8. Perangkap

*) Alat penangkapan ikan ini termasuk katagori trawl, yang memperoleh izin pengoperasian, sehingga tercatat dalam statistik perikanan Indonesia

Sumber: BBPPI Semarang (2005)

Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian adalah jenis pancing, yaitu pole and line dan hand line. Menurut Sudirman dan Achmar (2004), alat tangkap tersebut masuk dalam klasifikasi line fishing, semua alat tangkap tersebut dalam teknik penangkapannya menggunakan pancing. Umumnya pada mata pancing dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi sebagai atraktan. Bila dibandingkan dengan alat penangkap ikan lainnya, alat tangkap ini pada prinsipnya tidak mengalami banyak kemajuan. Tetapi dalam teknisnya, banyak mengalami kemajuan. Misalnya, benang yang digunakan dibuat sedemikian rupa agar tidak tampak didalam air.

Ayodhyoa (1981) dalam Sudirman dan Achmar (2004), menuliskan beberapa kelebihan dan kelemahan menggunakan alat penangkapan ini. Kelebihan alat tangkap ini adalah:

(31)

2. Organisasi usaha cukup kecil, sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan, baik dari segi modal maupun sumberdaya manusia.

3. Syarat-syarat fishing ground relatif sedikit dan dapat dengan bebas memilih. 4. Pengaruh cuaca, suasana laut dan sebagainya, relatif kecil.

5. Ikan-ikan yang tertangkap seekor demi seekor, sehingga kesegarannya dapat terjamin.

Sedangkan kelemahannya, adalah:

1. Alat tangkap pancing bila dibandingkan dengan jaring, maka untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak jumlahnya dalam waktu singkat, tidak mungkin dilakukan.

2. Memerlukan umpan, sehingga ada tidaknya umpan akan berpengaruh terhadap jumlah penangkapan yang dapat dilakukan.

3. Keahlian perseorangan sangat menonjol, pada tempat, waktu dan syarat-syarat lainnya sama, hasil tangkapan yang diperoleh belum tentu sama dengan orang lainnya.

4. Pancing terhadap ikan adalah pasif, dengan demikian tertangkapnya ikan tersebut sangat ditentukan oleh ketertarikan ikan untuk memakan umpan.

Pole and line atau ‘huhate’ merupakan pancing yang digunakan khusus

menangkap ikan cakalang, tuna dan tongkol yang berada pada permukaan perairan. Pancing ini terdiri dari joran, tali pancing dan umpan. Dioperasikan secara bersama diatas kapal dan umpan hidup yang digunakan untuk merangsang kebiasaan menyambar mangsa pada ikan. Mata pancing yang digunakan tidak menggunakan kait dan pada bagian atas diberi timah berlapis nikel agar mengkilap dan menarik perhatian ikan sasaran. Alat bantu yang digunakan dapat berupa alat spray untuk memopa air untuk dikeluarkan disekitar kapal, agar membuat biar pada permukaan air, setelah itu baru pelepasan umpan hidup, (Sudirman dan Achmar, 2004).

(32)

diperairan lainnya. Ukuran pancing dan besarnya tali disesuaikan dengan besarnya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Jika hand line digunakan untuk menangkap tuna tentu ukurannya lebih besar. Biasanya menggunakan tali monofilamen dengan diameter 1,5 hingga 2,5mm, dengan ukuran pancing 5 hingga 1, dengan timah sebagai pemberat. Cara pengoperasian pole and line dan hand line, tersaji pada tabel berikut.

Tabel 3. Tabel cara pengoperasian alat tangkap pole and line dan hand line

Pole and Line Hand line

- Kapal harus berada di sisi kanan atau kiri depan

gerombolan ikan.

Sementara pemancing berada pada sisi haluan

kapal.

- Umpan hidup dilempar keluar, dengan diiringi

penyemprotan air.

- Kemudian pemancing, secepat mungkin

melakukan penangkapan.

- Ikan yang sudah tertangkap akan terlepas

sendiri ketika diangkat naik ke geladak.

- Setting diawali dengan menurunkan pancing ke dalam air.

- Immersing dilakukan sesuai dengan waktu yang sudah diperkirakan. Setelah terasa

hentakan pada tali pancing, maka tali

tersebut mulai untuk ditarik.

- Hauling dimulai ketika tali pancing mulai ditarik, hingga tubuh ikan dapat didaratkan

keatas geladak kapal.

Sumber: Sudirman dan Achmar (2004) dan Subani dan Barus (1988)

2.3 Ekologi-Ekonomi Sebagai Landasan Teori Ekonomi

Field (2000), menyatakan ide awal dalam perhitungan sumberdaya karena terjadinya deplesi dan depresiasi sumberdaya alam di Amerika. Akibat ekstraksi sumberdaya alam sebagai natural capital yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berlebihan. Natural resource accounting ini, fokus pada estimasi sumbangan nilai sumberdaya alam terhadap perekonomian dan mengestimasi total value dari stok yang dimiliki sumberdaya. Hal ini termasuk kedalam ruang lingkup teori ekologi-ekonomi, yang merupakan sebuah pengembangan teori dengan mengkombinasikan peran ekologi untuk memproduksi output sebagai dasar pengelolaan yang menghasilkan aktifitas ekonomi.

(33)

Sementara, optimale scale dalam upaya pemanfaatan bukan merupakan sesuatu yang ganjil dalam standar ekonomi. Dalam menghitung marginal banefit dengan marginal cost, merupakan konsep dasar mikroekonomi. Dasar perkembangan ekologi ekonomi, seperti yang telah dijelaskan oleh Field, secara visualisasi dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Hal ini merupakan gambaran tentang pertumbuhan yang bersifat empty world bergerak menuju konteks full world, dimana kesejahteraan yang ditimbulkan oleh peningkatan servis ekonomi akan meningkatkan penurunan pada kesejahteraan ekologi.

Sumber: Daly (1996)

Gambar 1. Sistem ekstraksi sumberdaya dari empty world menuju full world

Nilai ekonomi dalam paradigma neoklasik ini, dapat dihitung dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan, yang menggunakan konsep dasar surplus ekonomi, yaitu dengan menjumlahkan surplus produsen dan surplus konsumen, Freeman (2003) dalam Adrianto (2006). Hal tersebut menjadi suatu pendekatan dalam pengukuran kesejahteraan.

Menurut Fauzi (2004) dalam Nababan (2006), salah satu hal yang paling mendasar dan menjadi perhatian utama dari setiap pengembangan model sumberdaya alam adalah dampak kesejahteraan yang akan ditimbulkan dari ekstraksi dan depresi sumberdaya alam itu sendiri. Konsep pengukuran dengan menggunakan surplus ekonomi merupakan pengukuran moneter dari suatu utilitas masyarakat dan profit perusahaan yang biasanya digunakan sebagai estimasi dari nilai social welfare.

(34)

memperoleh barang yang diinginkan. Sementara surplus produsen terjadi ketika, jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Sumber: Marshall (1980)

Gambar 2. Grafik distribusi surplus ekonomi

2.4 Analisis Bioekonomi Pendekatan Input

Aziz (1989) dalam Randika (2008), menuliskan bahwa surpus produksi adalah salah satu model yang digunakan dalam pengkajian stok ikan, yaitu dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Pertambahan biomas suatu stok ikan dalam waktu tertentu adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomas yang diproduksi ini diharapkan dapat mengganti biomas yang hilang akibat penangkapan maupun faktor alamai lainnya.

Syarat yang harus terpenuhi dalam menganalisis model surplus produksi menurut Gulland (1983) dan Spare (1989) dalam Tinungki (2005), adalah:

1) Ketersediaan ikan pada tiap periode tertentu, tidak mempengaruhi daya tangkap relatif.

2) Distribusi ikan menyebar merata.

3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya, memiliki kemampuan tangkap yang seragam.

Hilborn dan Walters (1992) dalam Tinungki (2005) menyebutkan stuktur umum model surplus produksi tergantung pada empat besaran, yaitu:

(35)

3) Upaya tangkap pada waktu tertentu. 4) Laju pertambahan natural yang konstan.

Konsep awal pada surplus produksi adalah fungsi pertumbuhan populasi biomas tersebut. Fauzi (2004) merumuskan secara matematik fungsi pertumbuhan (density dependent growth) tersebut, kedalam persamaan berikut:

X t+1x t = F(xt) ... (2.1)

��

� = F (x) ... (2.2)

Penurunan fungsi menghasilkan sebuah fungsi pertumbuhan yang bersifat kontiyu. Dalam model density dependent growth dalam bidang perikanan, mempergunakan model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Model ini menggunakan (K) carrying capacity, (r) laju pertimbuhan intrinsik untuk masuk kedalam fungsi. Sehingga maksimisasi nilai K, merupakan titik MSY (Fauzi, 2004).

... (2.3) dimana:

 = ukuran kelimpahan biomasa ikan

 = daya dukung alam (carrying capacity) r = laju pertumbuhan biomasa ikan

F() = fungsi pertumbuhan biomas ikan ��

� = laju pertumbuhan biomas

Dengan masuknya unsur produksi (h) dalam MSY, maka persamaan diatas menjadi:

h sebagai produksi, merupakan fungsi dari q (koefisien tangkap), x sebagai stok ikan dan E sebagai effort penangkapan. Fungsi h dapat diasumsikan menjadi dua bagian, yang pertama adalah tanpa memasukan unsur diminishing return, yang

(36)

kedua adalah dengan memasukan fungsi diminishing return. Jika fungsi tersebut memasukan fungsi diminishing return, artinya fungsi E (effort) menggunakan elastisitas, yang artinya bahwa kenaikan suatu unit upaya penangkapan akan menurunkan unit produksi, senilai dengan kecepatan yang disebabkan oleh kenaikan upaya penangkapan. secara matematik, dituliskan sebagai berikut:

h = qx� ... (2.5)

Sumber Fauzi (2004)

Gambar 3. Grafik pengaruh tangkapan terhadap stok

Pada kondisi seimbang, dimana ��

� = 0, maka persamaan menjadi:

qxE = rx (1−�

�) ... (2.6)

dan kondisi stok, akan menjadi:

x = K (1- � ) ... (2.7)

Persamaan tersebut akan menghasilkan estimasi estimasi produksi lestari, bila disubtitusikan dengan persamaan h = qxE. Persamaan produksi lestari, sebagai berikut:

h = qKE (1- � ) ... (2.8)

(37)

(CPUEt) dan upaya tangkap (effort) dapat berupa hubungan linear maupun eksponensial. Model surplus produksi terdiri dari dua model dasar yaitu model Schaefer (hubungan linear) dan model Gompertz yang dikembangkan oleh Fox dengan bentuk hubungan eksponensial.

2.5 Analisis Bioekonomi Pendekatan Output

Model GS, merupakan model bioekonomi yang berdasarkan pada faktor input, sedangkan untuk mengetahui pengelolaan yang lebih optimal maka pendekatan faktor output. Copes (1972) dalam Fauzi (2004), mengembangkan model GS dengan menambahkan harga per unit output, sesuai dengan kurva permintaan. Model tersebut menggunakan analisis surplus konsumen, surplus produsen serta rente ekonomi, sehingga menghasilkan welfare optimization.

Perbedaan mendasar antara model GS dengan Copes adalah, mendasarkan output daripada input, memungkinkan menggunakan kurva permintaan yang elastis, memungkinkan dilakukannya analisis surplus ekonomi dan rente pemerintah, memungkinkan analisis stuktur ekonomi yang tidak sempurna (misalnya seperti, monopoli, monopsoni, dan kepemilikan oleh pemerintah) (Fauzi, 2010).

Cunningham et. al. (1985) dalam Purwanto (1988) menjelaskan bahwa, jika harga hasil tangkapan (output) berubah karena perubahan jumlah ikan yang dipasarkan, maka analisis akan sulit dilakukan bila modelnya dinyatakan sebagai fungsi penangkapan. Sebagian besar analisis mikro-ekonomi yang berkaitan dengan produksi, meletakkan biaya per unit output sebagai dasar. Anderson (1973) dalam Purwanto (1988) menjelaskan bahwa, model Copes merupakan analisis biaya yang berhubungan dengan output (hasil tangkapan), tetapi bukan sebagai fungsi output, sebagai mana pengertian umum karena sebenarnya biaya adalah fungsi dari upaya penangkapan.

(38)

maupun Copes, keduanya tidak memasukan resources capital kedalam aspek tersebut.

Sumber Cunningham (1985) dalam Purwanto (1988)

Gambar 4. Grafik tingkat optimum pemanfaatan sumberdaya

Grafik diatas merupakan grafik tingkat optimum pada sebuah upaya pemanfaatan wilayah perairan terbuka, dimana PeTFPo, merupakan tambahan surplus konsumen. PeTPx merupakan keuntungan nelayan. THF merupakan biaya sosial penangkapan yang berlebih dan Qm merupakan tingkat hasil maksimum lestari.

2.6 Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya

(39)

merupakan hasil fungsi sigmoid antara jumlah tangkapan aktual dengan tangkapan lestari, berdasarkan interaksi antara input dan stok.

Depresiasi merupakan pengukuran terhadap perubahan nilai moneter pada suatu sumberdaya. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi atau degradasi yang dirupiahkan dan merupakan nilai riil dari sumberdaya tersebut, sehingga indikator seperti perubahan harga, karena inflasi, indeks harga konsumen dan lain sebagainya, perlu mendapatkan perhatian (Fauzi dan Suzy, 2005).

Anna (2003) menjelaskan landasan utama model depresiasi sumberdaya alam adalah teori pertumbuhan, dimana sumberdaya alam diperlukan sebagai kapital yang terkumulasi dan mengalami apresiasi dan depresi. Selain dari segi teori pertumbuhan, analisis mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan kwalitas lingkungan juga merupakan salah satu aspek pendekatannya, dan dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:

t - �t – 1 = (pc) [(hst - hst-1) + (Et– Et-1) ... (2.9)

2.7 Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan

FAO (2001), menjelaskan bahwa konsep berkelanjutan adalah suatu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi serta kelembagaan, dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Prinsip keberlanjutan menurut komisi Brundtland dalam Fauzi (2004) adalah suatu pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Terdapat dua hal yang terdapat dalam konsep tersebut, yang pertama adalah menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya terhadap pola pembangunan dan konsumsi, yang kedua adalah menyangkut perhatian pada welfare generasi mendatang.

(40)

tersebut mampu memelihara stabilitas sumberdaya, yang menghindari kegiatan eksploitasi. Sedangkan keberlanjutan sosial merupakan suatu sistem yang mampu mencapai kesejahteraan.

Charles (2001), berpendapat bahwa perikanan berkelanjutan merupakan suatu konsep hubungan perikanan sebagai sebuah sistem, dimana terdapat hubungan keterkaitan antara ekologi, biofisik, ekonomi, sosial serta budaya. Sistem perikanan tersebut dibagi menjadi tiga subsistem besar yang berpengaruh terhadap kelangsungan perikanan, pertama adalah alam sebagai subsistem, yang merupakan suatu ekosistem sumberdaya perikanan. Subsistem ini menjelaskan keterkaitan antara sumberdaya ikan, habitat, dampak perubahan kondisi lingkungan perairan dan lain sebagainya. Kedua adalah manusia sebagai subsistem, dalam subsistem ini terdapat beberapa faktor yang turut serta mempengaruhi, misalnya perkembangan teknologi dalam upaya penangkapan ikan, penanganan atau pengolahan hasil tangkapan serta budaya masyarakat nelayan. Subsistem terakhir adalah manageman, proses yang terdapat dalam subsistem ini adalah perencanaan suatu kebijakan dalam pengelolaan sistem perikanan, yang akan menghasilkan kebijakan berdasarkan perkembangan ilmu pengatahuan, pembangunan perikanan baik dalam bentuk ekologi, pasar dan lain lain.

2.8 Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan

Perikanan berkelanjutan merupakan konsep pengelolaan perikanan yang melibatkan berbagai sektor, sehingga untuk mengetahui seberapa besar sektor-sektor tersebut saling berkaitan, memerlukan suatu metode. Salah satu metode dalam menilai suatu keberlanjutan adalah dengan menggunakan Rapfish. Pietcher (1999) dalam Anna (2003), menjelaskan bahwa Rapfish merupakan suatu alternatif pendekatan sederhana yang berguna untuk mengevaluasi status keberlanjutan suatu sistem perikanan. Rapfish ini merupakan suatu teknik multidiciplinary rapid appraisal dalam evaluasi comparative sustainability dari perikanan, berdasarkan sejumlah atribut yang mudah untuk diskorsing.

(41)

untuk mengetahui statusnya pada suatu periode waktu tertentu. Hasil status tersebut, digunakan untuk pengambilan keputusan maupun kebijakan dalam rangka mempertahankan atau mengembangkan status tersebut secara objektif.

Rapfish merupakan teknik ordinasi (menempatkan suatu pada urutan yang terukur) dengan menggunakan MDS, MDS merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam Rapfish adalah dimensi keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan hukum kelembagaan. Pada setiap dimensi memiliki atribut yang terkait dengan keberlanjutan, sebagaimana yang di syaratkan dalam FAO-Code of Conduct. Pemilihan MDS dilakukan atas dasar pemilihan model terbaik yang dilakukan oleh Pitcher dan Preikshot pada tahun 2001, karena metode lainnya (seperti factor analysis dan multi attribute utility theory (MAUT)) tidak dapat menghasilkan hasil yang stabil(Anna, 2003).

Langkah yang dilakukan dalam pendekatan Rapfish adalah, skoring terhadap atribut sesuai dengan ketentuan, kemudian metode MDS sebagai metode penentuan ordinasi baik maupun buruk, analisis Leverage atau analisis sensitivitas serta analisis Monte Carlo. Abdullah (2003), menuliskan bahwa analisis Leverage untuk melihat atribut apa yang paling berpengaruh signifikan terhadap nilai indeks keberlanjutan. Pengaruh dari setiap reduksi atribut diperhitungkan melalui akar kuadrat nilai tengah (RMS) ordinasi status keberlanjutan perikanan, dengan persaamaan:

RMS = 1

� �=1

(

− �

)

2 ... (2.10)

dimana:

Xred = hasil ordinasi reduksi atribut Xflip = hasil ordinasi tanpa reduksi atribut

N = jumlah perikanan

(42)

keberlanjutan pada skala 0-100, atau dengan kata lain, atribut tersebut semakin sensitif terhadap status keberlanjutan perikanan tangkap yang diuji.

Faktor ketidakpastian dalam pendekatan Rapfish menjadi salah satu pengujian selanjutnya. Hal ini dilakukan dalam tahap mengantisipasi kesalahan-kesalahan yang timbul dalam pengolahan data. Metode Monte Carlo, sebagai metode pengujian terhadap stabilitas MDS. Susilo (2003), menjelaskan analisis tersebut merupakan suatu metode statistika simulasi untuk mengevaluasi pengaruh galat acak pada proses, untuk menduga suatu nilai statistik tertentu.

Hasil output Rapfish merupakan nilai dari masing-masing dimensi dalam upaya keberlanjutan. Tetapi untuk menilai dimensi tersebut dalam satu kesatuan yang utuh dalam pengelolaan keberlanjutan, diperlukan sebuah pembobotan ulang, sehingga dapat menentukan status keberlanjutan secara keseluruhan. Budiharsono (2007), menyebutkan dalam menentukan status pengelolaan secara keseluruhan adalah dengan menentukan bobot setiap dimensi yang menggunakan proses hierarki analitik.

2.9 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan peyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstuktur, strategik dan dinamis menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif akan dibandingkan dengan variabel lainnya. AHP menggunakan nilai bobot, pemberian nilai bobot dilakukan secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), kemudian akan diubah menjadi suatu bilangan yang dapat mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif (Marimin dan Nurul, 2010).

(43)

terakhir adalah mencari nilai konsistensi dari hasil bobot tersebut. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau <10%. Jika melebihi 10%, maka penilaian masih acak sehingga perlu diulang kembali (Marimin dan Nurul, 2010).

2.10 Studi Terdahulu

Beberapa studi penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah: Mainardi (2010), maximum sustainable yield and non-linear paths to steady-state equlibrium. Penelitian yang membangun konsep dari bioekonomi tradisional dengan menambahkan marginal return yang tidak konstan, perubahan target tangkapan serta perubahan stokastik. Memaparkan tentang hubungan surplus produksi dengan jenis hasil tangkapan, usaha, dengan jumlah stok yang non-linear. Misalnya dampak perubahan jenis hasil tangkapan, akan meningkatkan marginal return dalam upaya penangkapan.

Syamsuddin (2008), analisis pengembangan perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) berkelanjutan di Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kajian ini untuk mengukur tingkat teknologi penangkapan cakalang berdasarkan keramahan lingkungan, dengan membandingkan 4 alat tangkap yang digunakan (yaitu, pole and line, mini purse seine, pancing ulur dan rawai) serta optimasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Dari hasil penelitian tersebut, persentase alat tangkap berkelanjutan menunjukan bahwa pancing tonda sebesar 84,09%, pole and line sebesar 79,55%, rawai sebesar 70,45% dan mini purse seine sebasar 63,64%, karena keseluruhan bernilai lebih dari 60% maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan alat tangkap tersebut pada kondisi ramah lingkungan. Sedangkan pada hasil analisis bioekonomi, nilai pendugaan stok pada kondisi MEY sebesar 4.685,75 Ton, nilai produksi sebesar 2.165 Ton, jumlah trip sebanyak 3.273 dan dengan keuntungan sebesar Rp. 59.296.062.768.

(44)

tersebut. hasil penelitian menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan produksi dan surplus ekonomi terhadap sumberdaya ikan karang hidup.

Suzy (2003), model embedded dinamik ekonomi interaksi perikanan-pencemaran. Mengulas tentang estimasi dampak degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan akibat pencemaran secara dinamik. Depresiasi sumberdaya terjadi akibat aktivitas produksi dan non produksi. Kerugian ekonomi atau hilangnya rente potensial yang dihitung melalui nilai depresiasi cukup signifikan. Sehingga nilai analisis Rapfish menunjukan skala yang cukup rendah dalam nilai ekonomi.

Coppola dan Sean (1998), a surplus production model with a nonlinear catch-effort relationship. Penelitian ini mengembangkan konsep tradisional surplus produksi dengan membangun konsep bioekonomi non-linear dalam jangka pendek, yang berdasarkan fungsi produksi Spillman. Serta menggunkanan model logistik dan pertumbuhan dengan analisis CYP. Hasil penelitian ini (dengan menggunakan CYP sebagai ekspektasi) menghasilkan nilai R2 yang lebih besar dari model tradisional. Kemudian dalam penelitian tersebut juga mematahkan asumsi bahwa peningkatan effort secara terus menerus akan menghasilkan jumlah tangkapan yang tak terbatas.

(45)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teori

Beberapa landasan teori yang menjadi kerangka dalam penelitian ini adalah metode surplus produksi pendekatan input dan output, serta metode dalam penilaian keberlanjutan sumberdaya perikanan, sehingga ketiga metode tersebut dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Metode surplus produksi adalah salah satu metode penduga stok ikan, penduga jumlah harvest optimal dan lain sebagainya. Metode ini digunakan dalam perhitungan MSY dan upaya penangkapan optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan persatuan upaya (CPUE).

Bioekonomi model Copes merupakan perkembangan model Gordon-Scheafer ditahun 1972 oleh Copes, yang mencoba menghilangkan kelemahan asumsi model GS dengan memasukan unsur harga per unit output, sehingga memiliki keterkaitan dengan kurva permintaan. Model Copes lebih memaknai sumberdaya perikanan dengan menggunkanan pendekatan surplus ekonomi dan rente sumberdaya. Metode penilaian keberlanjutan perikanan menggunakan analisis MDS, dengan pendekatan Rapfish yang akan menghasilkan nilai indeks keberlanjutan. Hasil nilai indeks tersebut akan diuji untuk mengetahui seberapa tingkat sensitivitas serta nilai galat yang dihasilkan (dengan menggunakan analisis Levegare dan Monte Carlo). Sementara pengambilan kebijakan dilakukan dengan menggunakan analisis proses hierarki, dan menggunakan expert choice 11 sebagai tools.

3.2 Kerangka Operasional Penelitian

(46)

menggunakan data sekunder yang berasal dari dinas terkait. Data yang diperlukan dalam mengolah model surplus produksi diantaranya, data jumlah hasil tangkapan, jumlah usaha penangkapan, biaya per trip, PDRB, IHK, jumlah penduduk dan lain sebagainya. Data yang diperoleh di olah dengan menggunakan dua pendekatan bioekonomi, yaitu pendekatan input dan pendekatan output.

Pendekatan input menggunakan model Fox, W-H, Schnute serta CYP. Hasil yang diharapkan dari pengolahan beberapa model tersebut, adalah estimasi nilai potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan, sehingga tercipta upaya pemanfaatan yang mengutamakan efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatian kondisi lingkungan sumberdaya tersebut. Pendekatan output, menggunakan output price sebagai salah satu variabelnya dan dengan menggunakan analisis surplus konsumen, surplus produsen serta rente sumberdaya. Asumsi yang digunakan adalah harga per unit output yang akan mengikuti kurva permintaan dan memiliki slope negatif, sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen dapat diketahui. Hasil yang didapatkan adalah persentase nilai estimasi optimisasi kesejahteraan.

Langkah kedua dalam penelitian ini adalah mencoba menyusun suatu upaya pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Analisi yang digunakan adalah analisis MDS, analisis Monte Carlo dan analisis Leverage. Analisis MDS menghasilkan indeks dari masing-masing aspek atau komponen yang diuji dan nilai tersebut dibagi menjadi beberapa kategori, sesuai dengan tingkat baik buruknya. Analisis Leverage dilakukan agar dapat dengan mudah mengetahui parameter apa saja yang sangat mempengaruhi sebuah pengelolaan berkelanjutan. Sementara analisis Monte Carlo, dilakukan untuk menguji stabilitas analisis MDS. Data yang diperlukan dalam tahap ini adalah data primer yang berasal dari kuesioner, yang berisi nilai pembobotan status keberlanjutan terhadap beberapa dimensi yang diuji dengan menggunakan beberapa atribut.

(47)
(48)

Metode

2. Klasifikasi nilai indeks status keberlanjutan

Analisis Keberlanjutan 1. Kriteria penilaian atribut

2. Klasifikasi hasil nilai indeks keberlanjutan

3. Sensitivitas pengaruh suatu atribut terhadap keberlanjutan 1. Mengestimasi nilai surplus

produksi, nilai degradasi dan nilai depresiasi.

(49)

3.3 Kerangka Penelitian

Wilayah perairan NTT memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap yang terbilang cukup besar. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab pemerintah daerah NTT terus mengupayakan peningkatan hasil produksi tangkapan. Harapan yang ingin dicapai dengan peningkatan hasil tangkapan adalah kesejahteraan nelayan, peningkatan PDRB, pemenuhan permintaan konsumen dan lain sebagainya.

(50)

Analisis Bioekonomi

Gambar 6. Kerangka penelitian

Effort, Harvest Jumlah Alat Tangkap

Jumlah Armada Harga

Analisis Surplus Produksi

Pendekatan Input (Schaefer, FOX, W-H,

Schnute, CYP)

Pendekatan Output (Copes)

Jika Nilai Aktual > Lestari, kemungkinan terjadi

Degradasi

Depresiasi Degradasi Produksi

Lestari

Rente

Ekonomi Analisis Perikanan Berkelanjutan

Pendekatan Rapfish - Analisis Leverage - Analisis Monte Carlo

Analisis Kebijakan Proses Hierarki Analitik

Pengelolaan SD Perikanan Berkelanjutan Sumberdaya Perikanan

(51)

IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei. Sevilla et al (1993), menyebutkan bahwa metode survei merupakan suatu metode yang dilakukan untuk mengumpulkan data yang jumlahnya relatif terbatas dari sejumlah kasus yang relatif besar. Metode ini menekankan pada penentuan informasi tentang variabel daripada informasi tentang individu. Berfungsi untuk mengukur gejala-gejala yang ada, tanpa menyelidiki sebab gejala-gejala-gejala-gejala tersebut ada. Tujuan pokok dari metode ini adalah sebagai pemecah masalah daripada untuk menguji suatu hipotesis. Metode survei-sample merupakan metode dengan asumsi keterwakilan pada sebagian kecil dari suatu populasi.

Penelitian ini dilakukan di Larantuka, Flores Timur. Pertimbangan dalam pemilihan Larantuka sebagai lokasi penelitian adalah karena lokasi tersebut merupakan pusat pendaratan cakalang dan tuna terbesar untuk wilayah Provinsi NTT. Hal ini ditandai dengan banyaknya industri perikanan baik skala lokal maupun internasional yang terdapat pada lokasi tersebut. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Maret sampai April 2014. Gambar berikut merupakan peta wilayah penelitian.

(52)

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang bersifat time series (dalam waktu 10 tahun), digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel, mencari nilai prediktif serta menguji teori dalam kurun waktu tertentu. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data harga output produksi, data keperluan amprak, serta data pendapat para pakar, data primer tersebut dikumpulkan melalui pengisian kuesioner dan hasil wawancara. Data upaya penangkapan, menggunakan data sekunder yang diambil dari dinas terkait. Data sekunder bersumber pada data arsip yang bersifat time series, yang berasal dari instansi-instansi terkait. Data yang digunakan adalah data 10 tahun, terhitung sejak tahun 2003 hingga tahun 2012. Misalnya data hasil tangkapan, jumlah alat tangkap, jumlah armada penangkapan. Pemaparan lebih jelas, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

1. Hasil tangkapan Ton Dinas Perikanan

2. Upaya penangkapan Upaya

penangkapan

Dinas Perikanan

3. Jumlah alat tangkap Unit Dinas Perikanan

(53)

sampling, merupakan salah satu penarikan sample secara tidak acak. Pada penelitian ini, nelayan yang menjadi responden adalah kelompok nelayan yang menggunakan pole and line dan huhate, sebagai alat tangkap dan mendaratkan ikan di Larantuka dengan hasil tangkapan ikan jenis pelagis besar yaitu tuna dan cakalang. Tuna dan cakalang merupakan jenis spesies yang dipilih sebagai komoditi dalam penelitian, karena merupakan komoditas unggulan. Penentuan banyaknya jumlah sample yang akan diambil, penelitian ini mengasumsikan pengambilan jumlah sample Gay (1976) dalam Sevilla et al (1993). Gay menyebutkan tentang beberapa ukuran minimum dalam sample pupolasi, yaitu sebesar 10% dari populasi, pada penelitian deskriptif, dan atau 20% dari populasi, jika ukuran populasi sangat kecil.

Pada tahun penelitian, dengan berdasarkan pada hasil wawancara dengan petugas syahbandar dan kepala penanggung jawab nelayan plasma, diketahui bahwa jumlah armada yang aktif beroperasi hanya berkisar 23 unit (pole and line, ukuran 6GT) sedangkan pada armada body tidak diketahui, sehingga jumlah sampel yang diambil pada armada pole and line sebanyak 21 unit dan pada perahu body sebanyak 8 unit. Responden untuk analisis keberlanjutan dan analisis kebijakan merupakan responden yang segaja dipilih karena memiliki kapasitas kepakaran dalam konteks penelitian ini, yaitu menggunakan 5 orang sebagai responden pada analisis keberlanjutan dan analisis kebijakan jumlah responden sebanyak 8 orang yang dianggap mewakili keseluruhan stakeholder (yaitu akademisi, dinas, BAPPEDA, WWF, dan swasta).

4.4 Metode Analisis Data

(54)

bioekonomi model konvensional dengan memasukan unsur output price sebagai salah satu variabelnya, kemudian diolah dengan menggunakan pendekatan surplus produsen, surplus konsumen dan rente sumberdaya. Sedangkan metode degradasi dan deplesiasi, merupakan metode yang penggunaannya sebagai parameter dalam indikasi pengelolaan suatu sumberdaya. Sementara analisis keberlanjutan perikanan, menggunakan pendekatan Rapid Appraisal for Fisheries, analisis yang digunakan adalah analisis MDS, Leverage dan analisis Monte Carlo. Analisis kebijakan dengan menggunakan metode AHP, sedangkan pengolahan data menggunakan Ms. Excel, maple 14 maupun tools pengolahan statistik lainnya. Ketiga analisis tersebut akan menghasilkan nilai keberlanjutan perekonomian perikanan dengan melihat dari berbagai sektor, sehingga pengembangan selanjutnya adalah mencoba merumuskan kebijakan yang tepat, sesuai dengan hasil kriteria tersebut untuk mengciptakan pengelolaan perikanan tangkap pelagis yang berkelanjutan.

4.4.1 Analisis Surplus Produksi Pendekatan Input

Analisis surplus produksi merupakan suatu pendekatan dalam mengkaji pendugaan stok dari aspek biologi dan dilakukan dalam rangka mencari nilai optimum dari suatu usaha pemanfaatan. Analisis ini menggunakan konsep pertumbuhan logistik serta kurva produksi lestari. Fauzi (2004), menerangkan konsep tersebut secara matematik. Dengan persamaan berikut:

��

� = F (x) ... (4.1)

Fungsi tersebut bersifat kontinyu dan density dependent, yang artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Kemudian salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Secara fungsi, dituliskan sebagai berikut:

��

� = rx (1− �

(55)

r adalah laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth model) dan K merupakan carring capacity atau daya dukung lingkungan. Kemudian fungsi tersebut akan ditambahkan dengan fungsi produksi. Sehingga akan memasukkan variabel hasil tangkapan kedalam persamaan (4.2).

��

� = rx (1− �

�) –h ... (4.3)

��

� = rx (1− �

�) – qxE ... (4.4)

h sebagai nilai produksi, q sebagai koefisien tangkap, x adalah stok ikan, dan E merupakan upaya (effort). Bila persamaan (4.4) diubah kedalam x, maka:

qxE = rx (1− �

�) ... (4.5)

x = K (1- � ) ... (4.6)

Persamaan (2.6) akan menghasilkan estimasi estimasi produksi lestari, bila disubtitusikan dengan persamaan h = qxE. Persamaan produksi lestari, sebagai berikut:

h = qKE (1- � ) ... (4.7)

Secara ringkas, Zulbainarni (2012) merangkum formulasi berbagai model surplus produksi kedalam Tabel 6, berikut ini.

Tabel 6. Formulasi model Fox, CYP, WH dan Schnute pada perhitungan surplus produksi

Model Rumus

Fox Ln

dimana:

a = Ln ( ) dan b =

W-H

dimana:

(56)

Tabel 6. Formulasi model Fox, CYP, WH dan Schnute pada perhitungan surplus produksi (lanjutan)

Model Rumus

Schnute

dimana:

a = r; b = dan c = q

CYP Ln

dimana:

a = ; b = dan c =

Sumber: Zulbainarni (2012)

4.4.2 Analisis Surplus Produksi Pendekatan Output

Analisis ini merupakan analisis produksi model Copes yang menggunakan harga, sehingga merubah kurva supply konvensional, menjadi backward bending supply, sehingga surplus ekonomi dapat diestimasi. Fokus pada signifikansi konsumen dan produsen surplus, pada level pemanfaatan sosial yang optimal. Perubahan konsumen surplus, menurut Fauzi dan Suzy (2005), dapat dihitung berdasarkan formula berikut dibawah ini. Namun dapat pula menggunakan luasan rumus segitiga.

∆�� = | - | ... (4.8)

Dimana Ha adalah produksi pada kondisi aktual, Hp adalah produksi akibat

depresiasi. Sedangkan perubahan pada surplus produksi dapat dihitung, dengan persamaan:

∆�� = poho -

2 + −4 + 2

0 ... (4.9)

po merupakan harga pada periode awal, ho adalah sustainable yield pada periode

(57)

Sumber: Copes (1972) dalam Fauzi (2004)

Gambar 8. Grafik kurva backward bending supply dengan kurva demand

4.4.3 Estimasi Degradasi Sumberdaya

Analisis degradasi merupakan analisis yang menggabungkan antara keadaan biologi lingkungan dengan sosial masyarakat. Kerangka analisis degradasi menggunakan hasil perhitungan produksi lestari. Jika dalam fungsi matematik, Fauzi dan Suzy (2005), memuliskan persamaan seperti dibawah ini:

h at = qKE � − �

... (4.10)

dimana:

h at = produksi aktual pada periode t q = catchability coeffisien

K = carrying capacity r = pertumbuhan alami E = input

Maka dengan perhitungan produksi lestari tersebut, laju degradasi perikanan tangkap, berdasarkan Anna (2003), menjadi:

∅ D= 1

1+

... (4.11)

4.4.4 Estimasi Depresiasi Sumberdaya

(58)

tangkap, yaitu dengan tahapan umum data moneter, seperti unit price dan unit cost. Depresiasi sumberdaya ikan dihutung dengan persamaan berikut:

t - �t – 1 = [phstcEt] – [phst-1cEt-1]

= (pc) [(hst - hst-1) + (Et– Et-1) ... (4.12)

atau;

∅ R= 1

1+

... (4.13)

4.4.5 Analisis Keberlanjutan

Alder et al (2000), menjelaskan langkah pertama yang dilakukan dalam analisis keberlanjutan adalah mencari atribut perikanan yang akan digunakan serta mengklasifikasikan ke dalam masing-masing dimensi. Atribut, sumber acuan, serta pengertian atribut yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

- Dimensi Ekologi

1. Status eksploitasi, FAO (1999): Perbandingan potensi dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya.

2. Range collaps, FAO (1999): Penurunan jumlah ikan tangkapan berdasarkan lokasi penangkapan.

3. Ukuran ikan yang tertangkap, FAO (1999): Perubahan ukuran rata-rata ikan hasil tangkapan, dalam jangka waktu 5 tahun.

- Dimensi Ekonomi

1. Harga, FAO (1999): Harga produk yang didaratkan, satuan dalam Kg. 2. Keuntungan, Alder et al (2000): Tinggi keuntungan yang diperoleh.

3. Pendapatan selain sektor perikanan, FAO (1999): Keterkaitannya dengan pekerjaan lainnya.

4. Kepemilikan, FAO (1999): Terkait dengan modal, sehingga status keuntungan dapat terlihat.

5. Pasar, FAO (1999): Tujuan hasil produksi.

(59)

7. Penyerapan tenaga kerja, Nababan et al (2008): Jumlah penyerapan tenaga kerja menggunakan pendekatan ukuran kapal, jenis alat tangkap, maupun waktu penangkapan. Sehingga, dapat mengestimasikan penyerapan tenaga kerja dengan melihat ketiga faktor pendekatan tersebut.

- Dimensi Sosial

1. Socialization of fishing, FAO (1999): Pola nelayan dalam melalukan upaya pemanfaatan, entah berkelompok, individu, maupun berdasarkan keluarga. 2. Pengetahuan akan kesadaran lingkungan, FAO (1999): Tingkat kepedulian

terhadap lingkungan perairan.

3. Tingkat pendidikan, FAO (1999): Tingkat pendidikan yang akan dibandingkan dengan rata-rata populasi.

4. Status konflik, FAO (1999): Tingkat terjadinya konflik sosial masyarakat perikanan.

5. Pengaruh nelayan terhadap suatu regulasi, FAO (1999): Pengaruh nelayan dalam penyusunan maupun evalusi suatu kebijakan yang akan atau telah ditetapkan.

6. Pendapatan perikanan, FAO (1999): Jumlah pendapatan dari sektor perikanan terhadap jumlah pendapatan keseluruhan dari pendapatan keluarga.

7. Partisipasi anggota keluarga, FAO (1999): Keterlibatan anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga perikanan.

8. Aturan sosial budaya, Hartono et al (2005): Aturan yang berlaku dalam masyarakat nelayan yang akan berdampak positif maupun negatif, terhadap keberlanjutan pengelolaan kegiatan pemanfaatan sumberdaya.

- Dimensi Teknologi 1. Lama trip, modifikasi.

2. Fasilitas pendaratan, FAO (1999): Ketersediaan tempat pendataran ikan. 3. Pre-sale processing or value added, FAO (1999): Kegiatan pemprosesan

sebelum dipasarkan, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi produk. 4. Alat tangkap, FAO (1999): Klasifikasi alat tangkap berdasarkan bergerak

Gambar

Tabel 2. Tabel klasifikasi alat tangkap di Indonesia berdasarkan Statistik
Tabel 3.  Tabel cara pengoperasian alat tangkap pole and line dan hand line
Gambar 3. Grafik pengaruh tangkapan terhadap stok
Gambar 4. Grafik tingkat optimum pemanfaatan sumberdaya
+7

Referensi

Dokumen terkait