• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan rumusan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Landasan strategi diperlukan dalam penyusunan kebijakan tersebut, oleh sebab itu, rangkaian analisis telah dilakukan sebelumnya akan dibahas secara ringkas, guna mengetahui pola alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan. Melalui analisis bioekonomi, diketahui bahwa secara keseluruhan pemanfaatan sumberdaya pelagis besar di lokasi penelitian masih dapat ditingkatkan. Hal ini terlihat pada Tabel 13 dan Tabel 21, dimana nilai MEY (6.072,7 ton) dan MSY (6.072,9 ton) perikanan tuna lebih tinggi dari nilai aktual (1.431,6 ton). Hal yang sama juga terjadi pada perikanan cakalang, dimana nilai aktual (1.235,6 ton) tersebut berada dibawah nilai MEY (4.652,6 ton) dan MSY (4.655,8 ton) cakalang. Dengan rata-rata estimasi laju degradasai dan depresiasi sebesar 0,3525 dan 0,3043. Sedangkan hasil estimasi pada model Copes, diperoleh bahwa tingkat harga komoditi yang digunakan dalam penelitian sangat rendah. Hal ini akan berkaitan erat dengan rendahnya nilai surplus produsen yang dihasilkan. Secara keseluruhan, penelitian ini belum dapat menyimpulkan secara pasti tentang status pemanfaatan yang terjadi pada lokasi penelitian. Hal ini disebabkan pendataan yang dilakukan hanya menggunakan satu lokasi fishing base.

Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa, masing-masing dimensi menunjukan hasil indeks yang berbeda-beda, sehingga setiap atribut yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap status keberlanjutan pada masing-masing dimensi, diharapkan lebih menjadi kajian utama dalam upaya pemanfaatan sumberdaya. Sedangkan, berdasarkan analisis kebijakan diperoleh urutan alternatif kebijakan, tiga alternatif utama adalah:

1. Penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. 2. Pemantauan dan evaluasi kebijakan sebelumnya.

3. Kestabilan harga dan kwalitas produk.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rekomendasi pengelolaan perikanan pelagis besar yang dapat diimplementasikan adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan rezim MEY atau MSY pada pengelolaan sumberdaya

Pemilihan rezim pengelolaan berkaitan erat dengan pengelolaan pemanfaatan perikanan kedepan. Bila dibandingkan, perbedaan kedua rezim tersebut memang tidak terlalu signifikan, tetapi dalam rezim MEY optimasi ekonomi dapat lebih dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat merekomendasikan agar pemilihan rezim pemanfaatan berdasarkan pada rezim pengelolaan MEY. Pemilihan rezim MSY dilakukan bilamana tujuan utama pengelolaan bukan hanya kepada rente yang dihasilkan, namun bertujuan kepada fungsi sosial, misalnya sebagai penyerap tenaga kerja. Tabel berikut merupakan perbandingan estimasi penerimaan berdasarkan kedua rezim tersebut.

Tabel 31. Perbandingan rezim MEY dan MSY pada perikanan tuna

No. Parameter Kelebihan

MSY MEY

1. Penambahan produksi 4.641 ton 4.641 ton 2. Penambahan trip ± 6.406 trip ± 6.132 trip 3. Penambahan armada ± 26 unit/tahun ± 25 unit/tahun 4. Penyerapan tenaga kerja ± 30 orang/tahun ± 30 orang/tahun 5. Rente ekonomi Rp. 64.978.660.040,- Rp. 65.103.058.709,-

Tabel 32. Perbandingan rezim MEY dan MSY pada perikanan cakalang

No. Parameter Kelebihan

MSY MEY

1. Penambahan produksi 3.420 ton 3.417 ton 2. Penambahan trip ± 6.143 trip ± 5.591 trip 3. Penambahan armada ± 25 unit/tahun ± 23 unit/tahun 4. Penyerapan tenaga kerja ± 250 orang/tahun ± 230 orang/tahun 5. Rente ekonomi Rp. 21.901.500.000,- Rp. 22.542.300.000,-

Pendekatan model output Copes yang terjadi adalah berlebihnya jumlah upaya tangkap. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini

adalah dengan sistem padat modal. Sehingga modal yang dimiliki sesuai dengan pos angaran dengan fungsi yang lebih terarah. Bila pengelolaan modal tersebut sudah tepat guna, diharapkan jumlah upaya tangkap menurun, dan disertai dengan peningkatan kwalitas hasil tangkapan. Dari peningkatan kwalitas tersebut, diharapkan harga komoditi pun menjadi lebih baik. Sehingga, surplus ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan pun lebih terdistribusi merata.

Misalnya dengan melalui penetapan harga dasar komoditas. Jika hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan maka, pemberlakuan sistem satu pintu dapat dipilih sebagai alternatif lainnya. Artinya nelayan melakukan bongkar hanya pada PPI, kemudian tugas PPI untuk mendistribusi hasil tangkapan berdasarkan sistem lelang. Secara tidak langsung hal tersebut dapat melindungi dari rendahnya harga komoditas, namum konsekuensi yang ditimbulkan adalah produsen dituntut agar menyajikan ikan hasil tangkapan dengan kualitas yang baik. Oleh sebab itu, petugas penyuluh perikanan diharap berperan aktif dalam pengembangan-pengembangan teknologi penangkapan, penanganan pasca panangkapan, agar komoditas dapat bernilai tinggi.

2. Pemilihan nilai discount rate yang tepat

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai discount rate terbaik berada pada nilai <3%, namun penyesuaian besaran nilai discount rate ini mengkondisikan dengan kebijakan ekonomi makro yang berlaku. Meskipun demikian, berdasarkan hasil perhitungan diatas, para stakeholder dapat mengetahui pola hubungan antara perubahan discount rate, dengan produksi, rente, dan jumlah upaya tangkap. Sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan pengelolaan selanjutnya.

3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penyerapan tenaga kerja pendukung

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan tidak hanya pada aparatur yang terlibat, namun stakeholder keseluruhan, termasuk masyarakat nelayan. Peningkatan kualitas masyarakat nelayan merupakan hal yang paling utama, karena nelayan adalah stakeholder yang bersentuhan langsung dengan ekologi. Peningkatan kualitas ini diharapkan dapat memberikan edukasi seluruh

elemen agar turut serta menciptakan upaya pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan. Namun upaya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan, harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan, tidak terlepas dari faktor tenaga kerja terdidik dan terlatih. Sehingga penyerapan tenaga kerja tersebut diharapkan mendorong pertumbuhan pengelolaan perikanan.

4. Pengelolaan sistem ekologi, ekonomi dan manajemen yang terintegrasi

Pengelolaan perikanan pelagis besar berkelanjutan, tidak dapat tercipta bila antar sistem tersebut tidak bersinergi, sehingga pengelolaan terpadu pada ketiga sistem tersebut penting untuk dilakukan. Berikut ini merupakan beberapa rangkuman alternatif pengelolaan perikanan pelagis besar berkelanjutan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu:

- Mereduksi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang bersifat desdruktif. - Mengadakan sosialisasi ukuran ikan layak tangkap.

- Menciptakan iklim usaha secara padat modal.

- Menciptakan pendapatan lainnya sebagai alternatif tambahan.

- Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya aksi upaya pemanfaatan berkelanjutan.

5. Evaluasi kebijakan sebelumnya

Evaluasi tersebut merupakan salah satu hasil perhitungan AHP, dimana berkaitan erat dengan kecemburuan sosial yang ada pada masyarakat nelayan dalam upaya mendapatkan bantuan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pembagian bantuan dinilai kurang adil, karena hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat mengakses bantuan terebut. Kemudian, sasaran pengadaan bantuan kurang tepat, karena terjadi beberapa contoh pengadaan armada tangkap yang didapatkan oleh masyarakat dengan profesi sebagai petani, sehingga pada akhirnya armada tersebut disewakan kepada nelayan. Namun, evaluasi yang dilakukan tidak semata membatasi pada distribusi pengadaan bantuan perikanan, tetapi evaluasi secara keseluruhan. Termasuk evaluasi terhadap atribut-atribut yang memiliki nilai sensitivitas yang tinggi pada masing-masing dimensi.

VIII SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait