• Tidak ada hasil yang ditemukan

api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian 0 – 1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5 0C suhu maksimum 39 0C dengan curah hujan rata-rata pertahun 600 – 2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Listyanto 2010).

Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kulit batang dan kulit akar mindi diantaranya toosendanin, margoside, kaemferol, resin, tanin, n-triacontane, β-sitosterol, triterpen kulinone dan lain-lain (Hariana 2007). Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit batang mindi dan kulit akarnya dapat digunakan sebagai obat cacingan, scabies (gatal-gatal pada kulit), dan kudis (Hariana 2007).

2.6.

FORMULASI INSEKTISIDA

Formulasi merupakan proses perumusan atau penyusunan pestisida melalui beberapa metode dengan tujuan guna memperbaiki daya simpan, mempermudah penanganan, mengefektifkan dalam aplikasi, dan memberikan keamanan bagi pengguna maupun lingkungan (Ware 1978). Formulasi yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient) (Wudianto 2008).

Berdasarkan bentuk fisiknya, formulasi dapat dikelompokkan ke dalam bentuk cair dan bentuk padat. Formulasi bentuk cair dapat berupa emulsifiable concentrate (EC), suspension concentrate (SC), emulsion in water (EW), capsule suspensions (CS), dan gels (GL). Sedangkan formulasi bentuk padat yaitu wettable powder (WP), water dispersible granules (WG), dan

dusi(D) (Wudianto 2008).

Menurut Ware (1978) lebih dari 75 % pestisida diaplikasikan sebagai cairan semprot dan sebagian besar diaplikasikan sebagai emulsi air yang dibuat dari emulsifiable concentrate (EC). Bentuk pestisida ini berupa cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairannya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC (Wudianto 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarto dan Nurindah (2009), efektivitas formulasi EC lebih tinggi dibanding formulasi SBM dan WP. Dalam bentuk formulasi EC, untuk membunuh 50% larva H. armigera dibutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formulasi SBM dan WP.

Keuntungan dari formulasi EC ini yaitu mudah untuk ditangani, ditransportasi, disimpan, tidak menggumpal, tidak merusak noozles, dan residunya sedikit pada permukaan yang diberi perlakuan. Sedangkan untuk kelemahannya yaitu konsentrasi yang tinggi membuatnya mudah overdosis, ada kemungkinan menyebabkan fitotoksik, mudah diserap oleh kulit manusia atau hewan, dapat menyebabkan korosif, dan mudah terbakar (Wudianto 2008).

9

2.7.

EMULSI

Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur (biasanya minyak dan air). Pada sistem emulsi, salah satu cairan terdispersi pada cairan yang lain membentuk droplet kecil yang bulat. Diameter droplet tersebut bervariasi antara ~0,1 µm – 50 µm. (Coupland dan McClements 1996; McClements 1999). Fase yang berbentuk droplet disebut fase diskontinyu atau fase internal dan fase yang di sekeliling butiran dikenal sebagai fase kontinyu atau fase eksternal.

Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan dispersi minyak dan air. Suatu sistem yang mengandung droplet minyak yang terdispersi dalam air dikenal sebagai emulsi oil-in-water (O/W), sedangkan sistem yang mengandung droplet air yang terdispersi dalam minyak dikenal sebagai emulsi water-in-oil (W/O) (McClements 1999; Belitz dan Grosch 1999). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam-minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas yang rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara sistimatis, ilustrasi dari jenis O/W dan W/O dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994).

Emulsi biasanya dibuat dengan cara pengadukan mekanik (Arbuckle 1977). Sedangkan emulsi yang mantap, memerlukan bahan ketiga yang mampu membuat sebuah selaput (film) di sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut (Winarno 1997). Sifat-sifat yang harus terpenuhi dalam pembentukan emulsi adalah kestabilan larutan (biasanya dengan air atau pelarut terpilih), viskositas, warna, dan stabilitas. Sedangkan sifat-sifat emulsi akan tergantung kepada sifat fase kontinyu, rasio fase eksternal dan fase internal, ukuran partikel emulsi, hubungan dari fase kontinyu dengan partikel dan sifat fase diskontinyu. hasil emulsi akan ditentukan oleh tipe emulsi dan jumlah emulsi, rasio bahan-bahan dan urutan penambahan bahan-nahan serta pengadukan (Griffin 1979).

2.8.

SURFAKTAN

Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan senyawa ampifilik, yaitu senyawa yang molekul- molekulnya mempunyai dua gugus yang berbeda interaksinya dengan air. Gugus hidrofilik yang memiliki ketertarikan kuat dengan air berada pada ujung polar (biasa disebut kepala), sedangkan

10

gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar (biasa disebut ekor) (Porter 1994).

Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya

oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)). Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Porter 1994).

2.8.1.

Jenis-jenis Surfaktan

Menurut Porter (1994), jenis-jenis surfaktan dapat dibagi menjadi empat berdasarkan ada tidaknya muatan ion pada rantai panjang bagian hidrofobiknya, yaitu :

1. Surfaktan anionik

Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan yang paling besar jumlahnya. Sifat-sifat dari surfaktan anionik yaitu tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik, sensitif terhadap air sadah atau hard water dengan derajat sensitifitas. Surfaktan anionik umumnya merupakan garam natrium yang akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktannya bermuatan negatif. Contoh surfaktan anionik antara lain :

- Karboksilat RCOO- - Sulfonat RSO3

-

Sulfat RO-SO3

-

Fosfat ROPO(OH)2O 2. Surfaktan kationik

Surfaktan kationik umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina. Jenis surfaktan ini mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain dan mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik. Contoh surfaktan kationik antara lain :

-

Diamina Hidroklorida

-

Poliamina Hidroklorida

-

Dodesil Dimetilamina Hidroklorida

-

Imidazolin Hidroklorida

-

Alkil imidazolin ethilenediamina Imidazolin 3. Surfaktan non-ionik

Jenis surfaktan ini merupakan jenis surfaktan kedua terbesar. Jenis ini kompatibel dengan semua jenis surfaktan. Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit. Contoh surfaktan non-ionik antara lain :

-

Alkohol etoksilat

-

Mono alkanolamida etoksilat

-

Fatty amine etoksilat

-

Fatty acid etoksilat

-

Etillen oksida / propilen oksida copolymers

-

Alkil fenol etoksilat

4. Surfaktan ampoterik (Zwiter ion)

Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya. Contoh dari zwiter ion antara lain :

11

Dokumen terkait