• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

EFFECTIVENESS OF EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC) FROM MINDI

LEAVES EXTRACT (Melia azedarach L.) IN REDUCING RICE DAMAGE

DUE TO Sitophilus zeamais Motsch ATTACK DURING STORAGE

Hafiz Fakhrurrozy

and Yadi Haryadi

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering

and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus,

PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 856 927 852 33, e-mail: hafiz.itp45@gmail.com

ABSTRACT

Rice is the staple food in Indonesia. It needs to be preserved with a good

post-harvest handling. Storage is one of the most important stage. At this stage

there are often changes in the quality and quantity of stored materials that are

influenced by various factors such as storage facilities and warehouse pests.

Sitophilus zeamais is a major pest during storage of food grains such rice and

maize. Insect control is mostly done by using synthetic insecticides. However, the

use of synthetic insecticides should consider their danger due to the fact that they

are poisonous to man and domestic animals. One effort to find a replacement for

synthetic insecticides are insecticides derived from plants. Mindi (Melia

azedarach L.) is a type of tree that grows in tropical and sub-tropical areas and is

known as source of plant pesticide. The objectives of this research are to

determine the effectiveness of insecticide formulations in the form of Emulsifiable

Concentrate (EC) to be applied to the storage of rice and to study the damage of

rice during storage due to Sitophilus zeamais infestation. This research consists of

two main steps, i.e. preparation stage and insecticide test stage. Parameters

observed during storage are number of insect populations (Nt), percent of the

holed seeds (%BB), percent weight loss (%KB), % frass, water content and free

fatty acid content. Mortality test showed that at concentration of 0 % causing 14

% of insect mortality. It means that in the absence of active ingredient, solvent

and emulsifier influence the development of insects. Result of the insecticide test

showed that the concentration variation of Melia azedarach L. leaves extract

significantly affect (p<0.05) the parameters of rice damage. It was concluded that

the most effective concentration of the extact to reduce rice damage is 16 %.

(2)

Hafiz Fakhrurrozy. F24080058. Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan

Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan YadiHaryadi. 2012

RINGKASAN

Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi dengan penanganan pasca panen yang baik. Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas dan kuantitas bahan simpan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan dan hama gudang. Diantara hama gudang yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah serangga. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga hama pasca panen yang penting. Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Namun, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetik ini. Oleh karena itu, untuk mencari teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik yaitu insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten karena senyawa aktifnya berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik dan mudah terurai di lingkungan. Salah satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach L.). Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu insektisida dari bahan nabati dalam bentuk yang mudah diaplikasikan yaitu emulsifiable concentrate (EC). Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) (1) mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum yang dapat menghambat serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch dalam penyimpanan beras, (2) mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan, serta (3) mempelajari tingkat kerusakan akibat serangan serangga Sitophilus zeamais Motsch yang terjadi pada beras yang telah dilindungi insektisida nabati pada berbagai konsentrasi selama penyimpanan..

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap uji coba daya insektisida. Tahap persiapan meliputi pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak bahan nabati. Pada tahap uji coba daya insektisida terdiri dari penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan aplikasi pada beras. Untuk penelitian pendahuluan hasil yang didapat yaitu volume yang disemprotkan untuk aplikasi beras sebanyak 6 ml. Kemudian konsentrasi bahan nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok yaitu 20 % dengan perbandingan bahan pembawa:bahan pengemulsi sebesar 5:1. Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %.

Pada penelitian utama, dilakukan penyemprotan EC dengan variasi konsentrasi yaitu 0%, 4%, 8%, 12% dan 16%. Selain itu, dilakukan juga penelitian tentang uji retensi EC yang bertujuan untuk mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan. Variasi konsentrasi yang disemprotkan yaitu 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Hasil penelitian menunjukkan, uji mortalitas pada konsentrasi 0 % (tidak diberi ekstrak bahan nabati) menyebabkan kematian hingga 14 % pada saat kontak dengan media beras yang telah disemprotkan dengan masa inkubasi satu hari. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari bahan pengemulsi dan bahan pembawa terhadap perkembangan S. zeamais Untuk uji coba daya insektisida, hasil uji statistik menunjukkan konsentrasi ekstrak daun mindi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap seluruh parameter kerusakan beras yaitu jumlah total populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Untuk jumlah total populasi serangga dewasa (Nt), jumlah terkecil dihasilkan oleh konsentrasi 16 % dan berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, konsentrasi tersebut berbeda nyata dengan konsentrasi lain (p<0,05). Begitu juga dengan parameter lainnya, pada konsentrasi 16 % memiliki hasil terkecil dan berbeda nyata (p<0,05).

(3)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Hal ini sesuai dengan data konsumsi bahan makanan di Indonesia, beras menjadi bahan makanan yang superior daripada bahan makanan lainnya. Data konsumsi beras masyarakat Indonesia pada tahun 2007 sebesar 90,78 kg per kapita/tahun, kemudian pada tahun 2008 konsumsi beras meningkat menjadi 93,70 kg per kapita/tahun (BPS 2010). Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi dengan penanganan pasca panen yang baik. Penanganan pasca panen tersebut dilakukan dalam rangka pengamanan, pendayagunaan, dan peningkatan kualitas hasil. Salah satu kegiatan yang penting dalam pasca panen adalah penyimpanan bahan pangan.

Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas dan kuantitas bahan simpan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan dan hama gudang. Menurut Winarno (2006) kerusakan di tingkat penyimpanan umumnya disebabkan oleh serangan hama gudang seperti serangga, tikus, dan hewan lainnya. Diantara hama gudang tersebut yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah serangga. Hal ini disebabkan serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar, dan dapat mengundang pertumbuhan kapang. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga hama pasca panen yang penting. Serangga tersebut mampu berkembang biak dengan cepat dan menimbulkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman pangan terutama menyerang beras, gabah, dan jagung (Winarno 2006). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian agar bahan pangan yang disimpan terhindar dari kerusakan.

Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Hasil survei yang dilakukan oleh Gusfi (2002) pada petani sayuran di daerah Pacet, Jawa Barat, menunjukkan bahwa ketergantungan petani terhadap insektisida sintetik masih sangat tinggi (95,5%). Penggunaan bahan sintetis ini walaupun sangat praktis dan efektif tetapi perlu adanya pertimbangan yang baik dari segi keamanannya. Hal ini penting karena insektisida sintetik dapat menimbulkan berbagai kerugian, antara lain dapat mencemari bahan pangan dan lingkungan, serta timbulnya resistensi serangga hama pasca panen terhadap beberapa insektisida sintetik tersebut. Pencemaran terhadap bahan pangan dan lingkungan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Menurut Sulistiyono (2004) diacu dalam Hilmanto (2010) potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan aktif dari insektisida sintetik antara lain mutasi gen dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh karbiral, cacat lahir dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh DDT, kanker yang disebabkan oleh asefat serta masih banyak contoh yang lainnya. Selain itu, penggunaan metil bromida (CH3Br) sebagai insektisida sintetik diperkirakan mencapai 97 % dari total metil bromida yang diproduksi. Metil bromida merupakan pestisida pilihan karena efektif dalam membunuh berbagai organisme pengganggu (broad spectrum pesticide) dan relatif murah serta mudah dalam aplikasinya. Namun, metil bromida merupakan salah satu bahan perusak ozon yang memiliki kemampuan merusak ozon 0,6 kali lebih tinggi dibandingkan senyawa klorin dari CFC (Hidayat 2009; Prijono et al.

(4)

2

bereaksi dengan molekul ozon dan memecahnya menjadi bromida monooksida dan molekul oksigen. Ikatan molekul bromida monooksida tidak lama akan putus dan bereaksi kembali dengan molekul ozon lainnya. Proses tersebut akan berlangsung begitu seterusnya sehingga lapisan ozon dapat rusak (Hidayat 2009). Adanya larangan penggunaan metil bromida memberikan inspirasi untuk bersama-sama mencari teknologi alternatif sebagai pengganti metil bromida.

Salah satu upaya untuk mencari teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik adalah insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten karena senyawa aktifnya berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik dan mudah terurai di lingkungan (Dewi 2007). Tumbuhan telah diketahui memproduksi berbagi jenis metabolit sekunder seperti flavanoid, terpenoid, alkaloid, dan lain-lain yang berguna sebagai sarana pertahanan diri dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT) (Rukmana dan Oesman 2002). Salah satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach

L.).

Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach L.) merupakan jenis pohon yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Mindi dikenal sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif daun mindi adalah senyawa golongan terpenoid, limnoid, dan flavonoid (Kumar et al. 2003). Penelitian tentang potensi mindi sebagai sumber bahan insektisida nabati telah dilakukan antara lain oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan oleh Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak heksan bahan nabati. Hasil kedua penelitian menunjukkan bahwa daun mindi memiliki kemampuan menghambat serangan Sitophilus zeamais Motsch.

Melihat potensi tanaman Mindi, perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan formulasi komponen aktifnya dalam bentuk yang umum beredar di pasaran seperti emulsifiable concentrate (EC), agar dapat langsung digunakan oleh petani di lapangan. Formula yang dihasilkan diharapkan dapat tetap efektif terhadap hama sasaran di lapangan dalam jangka waktu yang lama serta dapat diproduksi dengan teknologi dan bahan yang sederhana sehingga memberikan harga produk yang cukup terjangkau bagi para petani di Indonesia.

1.2.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

(1) Mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum terhadap penghambatan serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch pada penyimpanan beras

(2) Mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan

(5)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN

SERANGGA

Kerusakan atau kehilangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas dan kualitas produk pangan yang dapat diukur. Kehilangan kuantitas adalah kehilangan yang bersifat fisik dan dapat diukur dengan satuan berat atau volume, sedangkan kehilangan kualitas hanya dapat dinilai yaitu berupa kehilangan/penurunan nilai gizi, kemampuan berkecambah dan penurunan nilai jual (Winarno 2006). Ditinjau dari penyebabnya, kerusakan dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu kerusakan mekanis, fisik, biologis, mikrobiologis, dan kimiawi. Kerusakan mekanis disebabkan oleh benturan mekanis. Kerusakan fisik disebabkan oleh perlakuan-perlakuan fisik yang digunakan seperti penggunaan suhu yang terlalu tinggi, suhu yang terlalu rendah, penyinaran yang tidak dikehendaki dan lainnya. Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alamiah sehingga terjadi suatu proses (autolisis) yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan. Kerusakan biologis ialah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan serangga, tikus, burung dan hewan lain. Kerusakan mikrobiologis sering disertai dengan produksi racun yang membahayakan kesehatan dan untuk kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan kerusakan lain, misalnya adanya panas yang tinggi pada pemanasan minyak, mengakibatkan rusaknya beberapa asam lemak (Santausa dan Arpah 1990; Winarno 2006).

Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di daerah tropis. Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan tersebut (Winarno 2006). Berdasarkan tempat berkembangnya dari telur hingga dewasa, serangga dibagi dalam dua golongan, yaitu internal feeder dan external feeder. Internal feeder adalah serangga yang sebagian fase dalam siklus hidupnya berlangsung di dalam biji atau benda padat, sedangkan external feeder, seluruh fase dalam siklus hidupnya berlangsung di luar biji. Oleh karena itu, internal feeder menimbulkan hidden infestation (serangan tersembunyi) yaitu serangan yang terjadi tetapi tidak dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi di dalam biji atau benda padat. Kegiatan serangga di dalam biji dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta suhu secara lokal. Meningkatnya kadar air dapat mengundang serangan kapang. Kegiatan bersama serangga dan kapang dapat mengakibatkan penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisa-sisa tubuh serangga yang mati, penimbunan uric acid, akumulasi frass, dan penyimpangan warna. (Desmarchelier 1990; Birck et al. 2003). Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa, larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Dharmaputra 1994; Winarno 2006).

(6)

4

Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol (Syarief dan Halid 1993). Data kerusakan bahan pangan akibat serangan hama gudang mencapai 26 % - 29 % (Semple 1985). Selain itu, data ini dikuatkan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Askanovi (2011) mengenai preferensi serangga Sitophilus oryzae terhadap beras yaitu serangga lebih menyukai beras pecah kulit dibandingkan beras sosoh. Data populasi serangga dewasa pada media beras pecah kulit sebanyak 87,27 % dan untuk beras sosoh sebesar 32,60 %. Hal ini disebabkan karena beras pecah kulit memiliki kecukupan nutrisi untuk serangga tersebut tumbuh dan berkembang biak.

2.2.

PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG

Pengendalian serangga hama gudang pada hakekatnya adalah pengendalian populasi. Hal ini disebabkan dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pengendalian.

Menurut Shejbal dan Boislambert (1998), cara yang bisa diterapkan yaitu cara fisika, cara biologi dan cara kimia. Cara fisika dapat dilakukan antara lain dengan suhu tinggi, suhu rendah, atmosfer terkendali dan gelombang mikro. Pengendalian cara biologi dilakukan antara lain menggunakan parasit hama atau pengembangan varietas bahan pangan yang resisten terhadap serangan hama pasca panen melalui upaya pemuliaan. Selain itu, ada cara pengendalian lain yang diterapkan yaitu dengan cara eksklusi, cara sanitasi, dan cara penggunaan bahan kimia. Pengendalian dengan cara eksklusi yaitu dengan mencegah jalan masuk hama ke dalam bangunan. Dengan mencegah hama masuk ke dalam bangunan, maka kebutuhan treatment kimia dalam pengendalian hama dapat sangat dikurangi. Untuk pengendalian dengan cara sanitasi harus memperhitungkan kesesuaiannya dengan baik dan rutin. Metode ini juga harus memperhitungkan kesesuainnya dengan kegiatan lain dalam industri, misalnya proses produksi, pengemasan, dan lain-lain. Sanitasi yang baik termasuk dalam manajemen hama, karena dapat membatasi kebutuhan hama untuk hidup dan berkembang biak. Karena hama hanya membutuhkan sedikit makanan untuk bertahan hidup maka standar sanitasi yang harus diterapkan dalam industri pangan harus tinggi. Pengendalian secara kimia dimaksudkan sebagai penggunaan senyawa beracun atau pestisida untuk membunuh atau mengusir hama. Keuntungan pengendalian dengan cara kimia antara lain dapat diterapkan sebagian besar hama, bersifat pembasmian atau kuratif, dan perusahaan dapat menggunakannya kapanpun dan di manapun yang diinginkan. Sedangkan kelemahan dari metode ini antara lain kemungkinan menimbulkan hama yang resisten terhadap pestisida, adanya bahaya kesehatan bagi pengguna dan timbulnya masalah residu pestisida dalam bahan pangan, biayanya cukup tinggi dan sifat pengontrolannya tidak permanen (Winarno 2006).

(7)

5

baik pada manusia juga lingkungan dan hampir tidak menimbulkan residu serta untuk mencegah pemakaian yang tidak sesuai yang dapat menimbulkan kematian pengguna insektisida sintetik.

2.3.

INSEKTISIDA NABATI

Insektisida nabati dapat diartikan sebagai suatu insektisida dengan bahan aktif tunggal (single active ingredient) atau majemuk (multiple active ingredient) yang berasal dari tumbuhan (Kardinan 2011). Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai insektisida atau bahan aktifnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan. Oleh karena terbuat dari bahan alami, insektisida nabati mudah terurai di alam sehingga tidak dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya residu. Peluang pengembangan insektisida nabati di Indonesia cukup menguntungkan karena telah ada undang-undang yang mendukung pemanfaatan insektisida nabati, yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang menekankan pemanfaatan faktor pengendalian organime pengganggu tanaman yang ramah lingkungan. Penggunaan insektisida nabati juga memiliki keunggulan ditinjau dari daya saing, karena bahan bakunya tersedia secara lokal dan untuk skala industri menengah tidak memerlukan teknologi yang canggih. Selain itu, pestisida nabati tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian, tetapi telah meluas ke rumah tangga, seperti untuk mengendalikan nyamuk. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk mengendalikan hama pemukiman (Selvaraj dan Mosses 2011).

Menurut Wudianto (2008), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai insektisida yaitu bahan mineral, bahan nabati dan bahan hewani. Dari ketiga bahan alami tersebut, bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi. Hingga saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2000 jenis tanaman yang dilaporkan mempunyai sifat-sifat insektisidal. Suatu tanaman yang akan dijadikan bahan insektisida harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (a) mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c) tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (d) tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tanaman, (e) mempunyai nilai tambah, (f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani. Tanaman yang mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai insektisida (Dewi 2007). Berbeda dengan insektisida sintetis, insektisida nabati umumnya tidak dapat langsung mematikan serangga yang disemprot. Akan tetapi insektisida ini berfungsi sebagai : (1) repellent, yaitu senyawa penolak kehadiran serangga dikarenakan baunya yang menyengat dan mencegah serangga meletakkan telur serta menghentikan proses penetasan telur; (2) antifeedant, yaitu senyawa yang mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot terutama disebabkan rasanya yang pahit; (3) racun syaraf; dan (4) atractant, yaitu senyawa yang dapat memikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga (Wudianto 2008).

2.4.

SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch.

2.4.1.

Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi

(8)

6

bergantung pada tempat serangga tersebut berkembang biak. Bila hidup pada jagung ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras. Lama perkembangan serangga ini dari telur hingga dewasa pada kondisi optimum, yakni 27 0C dan kelembapan 70%, adalah 31-37 hari pada komoditas jagung (Sunjaya dan Widayanti S. 2009). Menurut Borror dan Delong (1964) diacu dalam Soekarto (1984) sistematika hama dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Sitophilus zeamais

Filum : Arthropoda

Ordo : Coleoptera

Sub ordo : Polypoda

Kelas : Rhynoophora

Famili : Curculionidae

Genus : Sitophilus

Spesies : Sitophilus zeamais

Sitophilus zeamais adalah serangga penyimpanan yang paling penting dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di dunia (Haines 1991 diacu dalam Sunjaya dan Widayanti 2009). Menurut Dobie et al., (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais

adalah coklat merah sampai coklat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik Morfologi serangga hama gudang Sitophilus zeamais Mostch., dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009)

Serangga jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk moncong atau rostrum. Dilihat dari permukaan dorsal, moncong jantan lebih besar, berbintik-bintik kasar dan kusam. Moncong serangga betina mulus, berbintik–bintik melebar dan licin. Jika moncong dilihat dari atas, pada jantan lebih pendek dan lebar, pada betina lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping moncong betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Soekarto 1984).

2.4.2.

Cara Hidup

Serangga Sitophilus zeamais M. sangat umum terdapat dalam penyimpanan dan dapat berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar. Sitophilus zeamais

(9)

7

Pulau Jawa. Pada penelitian tersebut, Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan pada beras (40 ekor) dibandingkan dengan Sitophilus oryzae (5 ekor). Sitophilus zeamais M. merupakan serangga yang sangat berbahaya, karena banyaknya produk pertanian yang diserang dan luasnya serangan (kosmopolitan). Biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum dan produk serealia merupakan tempat yang menjadi sasarannya untuk berkembang biak (Winarno 2006).

Serangga Sitophilus zeamais M.mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak dan panjangnya 0,7 mm dengan lebar 0,3 mm. Tahapan selanjutnya yaitu larva. Larva dapat berkembang dengan memakan bagian dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan padat, tidak berkaki, berwarna putih dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari (Winarno 2006).

Umumnya serangga betina mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur selama masa hidupnya dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa ke luar dari biji dengan membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata. Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki kemampuan untuk terbang (Sunjaya dan Widayanti 2009).

2.5.

BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L)

Tanaman mindi termasuk dalam famili Meliaceae, berbentuk pohon yang dapat mencapai ketinggian 30 m. Batang tanaman ini berkayu dan berbentuk bulat. Daun mindi tersusun sebagai daun majemuk, anak daun berbentuk elips, panjang 3-9 cm, lebar 15-30 mm, tepi daun bergerigi, ujung dan pangkal daunnya runcing serta berwarna hijau (Gambar 2).

Gambar 2. Daun Mindi (Melia azedarach L.)

(10)

8

bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif terhadap api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian 0 – 1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5 0C suhu maksimum 39 0C dengan curah hujan rata-rata pertahun 600 – 2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Listyanto 2010).

Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kulit batang dan kulit akar mindi diantaranya toosendanin, margoside, kaemferol, resin, tanin, n-triacontane, β-sitosterol, triterpen kulinone dan lain-lain (Hariana 2007). Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit batang mindi dan kulit akarnya dapat digunakan sebagai obat cacingan, scabies (gatal-gatal pada kulit), dan kudis (Hariana 2007).

2.6.

FORMULASI INSEKTISIDA

Formulasi merupakan proses perumusan atau penyusunan pestisida melalui beberapa metode dengan tujuan guna memperbaiki daya simpan, mempermudah penanganan, mengefektifkan dalam aplikasi, dan memberikan keamanan bagi pengguna maupun lingkungan (Ware 1978). Formulasi yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient) (Wudianto 2008).

Berdasarkan bentuk fisiknya, formulasi dapat dikelompokkan ke dalam bentuk cair dan bentuk padat. Formulasi bentuk cair dapat berupa emulsifiable concentrate (EC), suspension concentrate (SC), emulsion in water (EW), capsule suspensions (CS), dan gels (GL). Sedangkan formulasi bentuk padat yaitu wettable powder (WP), water dispersible granules (WG), dan

dusi(D) (Wudianto 2008).

Menurut Ware (1978) lebih dari 75 % pestisida diaplikasikan sebagai cairan semprot dan sebagian besar diaplikasikan sebagai emulsi air yang dibuat dari emulsifiable concentrate (EC). Bentuk pestisida ini berupa cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairannya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC (Wudianto 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarto dan Nurindah (2009), efektivitas formulasi EC lebih tinggi dibanding formulasi SBM dan WP. Dalam bentuk formulasi EC, untuk membunuh 50% larva H. armigera dibutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formulasi SBM dan WP.

(11)

9

2.7.

EMULSI

Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur (biasanya minyak dan air). Pada sistem emulsi, salah satu cairan terdispersi pada cairan yang lain membentuk droplet kecil yang bulat. Diameter droplet tersebut bervariasi antara ~0,1 µm – 50 µm. (Coupland dan McClements 1996; McClements 1999). Fase yang berbentuk droplet disebut fase diskontinyu atau fase internal dan fase yang di sekeliling butiran dikenal sebagai fase kontinyu atau fase eksternal.

Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan dispersi minyak dan air. Suatu sistem yang mengandung droplet minyak yang terdispersi dalam air dikenal sebagai emulsi oil-in-water (O/W), sedangkan sistem yang mengandung droplet air yang terdispersi dalam minyak dikenal sebagai emulsi water-in-oil (W/O) (McClements 1999; Belitz dan Grosch 1999). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam-minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas yang rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara sistimatis, ilustrasi dari jenis O/W dan W/O dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994).

Emulsi biasanya dibuat dengan cara pengadukan mekanik (Arbuckle 1977). Sedangkan emulsi yang mantap, memerlukan bahan ketiga yang mampu membuat sebuah selaput (film) di sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut (Winarno 1997). Sifat-sifat yang harus terpenuhi dalam pembentukan emulsi adalah kestabilan larutan (biasanya dengan air atau pelarut terpilih), viskositas, warna, dan stabilitas. Sedangkan sifat-sifat emulsi akan tergantung kepada sifat fase kontinyu, rasio fase eksternal dan fase internal, ukuran partikel emulsi, hubungan dari fase kontinyu dengan partikel dan sifat fase diskontinyu. hasil emulsi akan ditentukan oleh tipe emulsi dan jumlah emulsi, rasio bahan-bahan dan urutan penambahan bahan-nahan serta pengadukan (Griffin 1979).

2.8.

SURFAKTAN

(12)

10

gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar (biasa disebut ekor) (Porter 1994).

Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya

oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)). Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Porter 1994).

2.8.1.

Jenis-jenis Surfaktan

Menurut Porter (1994), jenis-jenis surfaktan dapat dibagi menjadi empat berdasarkan ada tidaknya muatan ion pada rantai panjang bagian hidrofobiknya, yaitu :

1. Surfaktan anionik

Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan yang paling besar jumlahnya. Sifat-sifat dari surfaktan anionik yaitu tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik, sensitif terhadap air sadah atau hard water dengan derajat sensitifitas. Surfaktan anionik umumnya merupakan garam natrium yang akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktannya bermuatan negatif. Contoh surfaktan anionik antara lain :

-Karboksilat RCOO-

-Sulfonat RSO3

-

Sulfat RO-SO3

-

Fosfat ROPO(OH)2O 2. Surfaktan kationik

Surfaktan kationik umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina. Jenis surfaktan ini mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain dan mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik. Contoh surfaktan kationik antara lain :

-

Diamina Hidroklorida

-

Poliamina Hidroklorida

-

Dodesil Dimetilamina Hidroklorida

-

Imidazolin Hidroklorida

-

Alkil imidazolin ethilenediamina Imidazolin 3. Surfaktan non-ionik

Jenis surfaktan ini merupakan jenis surfaktan kedua terbesar. Jenis ini kompatibel dengan semua jenis surfaktan. Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit. Contoh surfaktan non-ionik antara lain :

-

Alkohol etoksilat

-

Mono alkanolamida etoksilat

-

Fatty amine etoksilat

-

Fatty acid etoksilat

-

Etillen oksida / propilen oksida copolymers

-

Alkil fenol etoksilat

4. Surfaktan ampoterik (Zwiter ion)

(13)

11

-

Laurildimetil betain

-

Cocoamidopropil betain

-

Oleil bis (hidroksietil) betain

-

Karboksi glisinat

-

Alkilampodiasetat

-

Aminoalkanoat

2.9.

EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF

2.9.1.

Jenis-jenis Metode Ekstraksi

2.9.1.1.

Penyulingan (distilasi)

Secara umum distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Sedangkan secara khusus distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen dari suatu campuran yang berupa larutan cair-cair dimana karakteristik dari campuran tersebut adalah mampu campur dan mudah menguap, selain itu komponen-komponen tersebut mempunyai perbedaan tekanan uap dan hasil dari pemisahannya menjadi komponen-komponennya atau kelompok-kelompok komponen (Sax dan Lewis 1998). Pemisahan komponen-komponen melalui proses penyulingan ini didasarkan pada perbedaan titik didihnya. Pada umumnya ada empat jenis distilasi yaitu distilasi sederhana, distilasi fraksionisasi, distilasi uap, dan distilasi vakum (Harborne 1987; Guenther 2006).

2.9.1.2.

Pengepresan (Pressing)

Pressing merupakan salah satu proses pemisahan dua atau lebih cairan dengan memberi tekanan terhadap bahan baku (Sax dan Lewis 1998). Tekanan yang diberikan biasanya berasal dari alat pressing sendiri, contohnya Expeller Pressing. Ekstraksi komponen aktif atau minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnyadilakukan terhadap bahan berupa biji-bijian, buah atau kulit luar (khusus famili citrus) (Guenther 2006). Ekstraksi untuk bahan selain minyak atsiri juga dapat dilakukan dengan cara pressing pada tekanan tinggi. Pengepresan mekanis adalah suatu cara pengambilan minyak atau lemak dengan menggunakan tekanan atau di press, terutama puntuk bahan-bahan yang berasal dari biji-bijian denga kadar minyak tinggi (30-70%) (Soerawidjaja dan Tatang 2005).

2.9.1.3.

Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent extraction)

(14)

12

2.9.1.4.

Ekstraksi dengan Soxhlet

Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor) (Sax dan Lewis 1998). Soxhlet digunakan untuk mengekstrak senyawa yang kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut dan pengotor-pengotornya tidak larut dalam pelarut tersebut. Sampel yang digunakan dan yang dipisahkan dengan metode ini berbentuk padatan. Ekstraksi soxhlet ini juga dapat disebut dengan ekstraksi padat-cair (Harborne 1987). Padatan yang diekstrak terlebih dahulu ditumbuh kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam ekstraktor soxhlet, sedangkan pelarut organik dimasukkan ke dalam labu alas bulat kemudian seperangkat ekstraktor soxhlet dirangkai dengan kondensor (Sax dan Lewis 1998).

2.9.1.5. Absorpsi oleh Lemak Padat (Enfleurasi)

Proses ini merupakan penyulingan minyak alamiah paling kuno karena menggunakan lemak hewan sebagai penjerab minyak. lemak memiliki daya absorpsi yang tinggi sehingga jika dicampur dengan bunga melati, lemak akan mengabsorpsi minyak yang dihasilkan oleh bunga melati (Guenther 2006). Selain itu, pemrosesan minyak atsiri dengan lemak akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak daripada dengan proses ekstraksi menguap (Harborne 1987; Sax dan Lewis 1998).

2.9.1.6. Ekstraksi dengan Teknik Emulsi Membran Cair

Membran cair emulsi (Emulsion Liquid Membrane, ELM) merupakan salah satu jenis membran cair yang sudah banyak digunakan untuk pemisahan di laboratorium maupun industri (Sax dan Lewis 1998). ELM telah berhasil digunakan untuk memisahkan fenol dan senyawa turunannya, yaitu nitrofenol dengan efisiensi lebih dari 98 % (Soerawidjaja dan Tatang 2005). Membran cair merupakan suatu fase cair yang bersifat pemisah semi permeabel yang berada diantara dua fase cair yang sejenis. Membran cair emulsi terdiri dari fase eksternal (mengandung senyawa yang dipisahkan), fase internal (fase penerima spesies yang dipisahkan) dan membran, dimana membran itu sendiri mengandung surfaktan sebagi penstabil emulsi dan carrier sebagai zat pembawa (Sax dan Lewis 1998).

2.9.1.7.

Metode Ekstraksi dengan Maserasi

(15)

13

Maserasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Ferdiansyah 2006).

2.9.2.

Jenis Pelarut

Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Guenther 2006). Menurut Heath dan Reinessius (1987), yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah daya melarutkan komponen yang diinginkan, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Untuk titik didih dari berbagi macam pelarut dan komponen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2. Di antara pelarut-pelarut tersebut yang paling sering digunakan adalah air, etanol, etil asetat, petroleum eter, kloroform, dan heksana.

Tabel 2. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya

Jenis pelarut Titik didih (0C)

Air 100

Etanol 78,4

Etil asetat 77

Petroleum eter 70

Kloroform 61,7

Heksana 71

Asam askorbat > 190 Flavanoid > 160 Karotenoid > 580

Alkaloid >100

Steroid > 135

Sumber : Anonim (2009); Scheflan dan Morris (1983); Weissenberg, (2001)

2.9.2.1. Air (aquades)

(16)

14

2.9.2.2. Etanol 70 %

Etanol biasa disebut etil alkohol, hidroksietan atau alkohol diproduksi melalui fermentasi gula, karbohidrat dan pati, biasa digunakan sebagai pelarut, antiseptik, obat penenang, industri parfum dan obat-obatan. Etanol merupakan pelarut organik (Lewis 1993 diacu dalam Ferdiansyah 2006). Sifat-sifat etanol dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat-sifat etanol

Nama lain : Etanol, hidroksi ethan, metil karbinol, ansol Rumus bangun : C2H5OH

Sifat : Mudah menguap berbau khas, tidak beresidu Berat molekul (BM) : 46,7

Titik leleh : - 117, 3 – 112 % Titik didih : 78,4 0C

Berat jenis : 0,789 g/ml

Kelarutan : Dalam air, eter, kloroform, dan metil alkohol

Sumber : Scheflan dan Morris (1983)

Etanol merupakan senyawa alkohol dengan formula C

2H5OH yang berbentuk cair, tidak berwarna, larut dalam air, eter, kloroform dan aseton. Dihasilkan dari peragian kanji, hidrolisis bromoetana dengan kalium hidroksida (Basri 1996). Adanya gugus hidroksil (OH) pada alkohol memberikan sifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Kurniawan 2006). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Digunakan etanol bukan metanol karena antioksidan yang hendak diekstrak diharapkan dapat diaplikasikan pada produk makanan, minuman dan obat-obatan sehingga aman untuk dikonsumsi sedangkan metanol bersifat toksik (Voight 1994). Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa pelarut etanol lebih baik dari pada air, metanol maupun pelarut lain dalam mengekstraksi senyawa antioksidan maupun antibakteri (Hirasawa 1999).

2.9.2.3. Etil Asetat

(17)

15

2.9.2.4. Kloroform

Kloroform (triklorometana) merupakan salah satu senyawa haloform yang mempunyai rumus kimia CHCl3; zat cair mudah menguap, sukar terbakar (tetapi uapnya mudah terbakar), tidak larut dalam air tetapi larut dalm alkohol dan eter; uapnya bersifat membius dan bila terkena udara dan cahaya dapat membentuk gas fosgen yang beracun. Kloroform digunakan untuk pembuatan senyawa fluorokarbon, sebagai pelarut (cat), dan sebagai anastetik. Kelarutan dalam air pada suhu 25 oC (Ham 2006).

2.9.2.5. Petroleum Eter

Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon berupa cairan jernih, mudah menguap, mudah terbakar. Diperoleh dari pengolahan minyak bumi, dan digunakan sebagai pelarut di laboratorium (Ham 2006). Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon (bukan eter sebenarnya) yang atsiri dan mudah terbakar, tidak berwarna, terutama terdiri dari pentana dan heksana. Bahan ini mendidih dalam rentang 30-70 oC dan digunakan sebagai pelarut. Petrolum eter mempunyai densitas sebesar 0,625 sampai 0,660 g/ml (Daintith 1994).

2.9.2.6. Heksana

Nama lain dari Heksana (Hexane) adalah kaproil hidrida, metil n-butil metan dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul heksana adalah 86,2 dengan titik leleh -94,3 sampai -95,3 °C. Titik ddih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 sampai 71°C . Densitas heksana pada suhu 20 oC sebesar 0,6603 g/ml (Scheflan dan Morris 1983).

(18)

16

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras varietas Cisadane dan daun mindi, serta bahan-bahan kimia seperti air suling/aquades, n-heksana p.a., metanol p.a., metanol teknis, kloroform p.a., alkyl benzene sulfonat (ABS), NaOH 0,1 N, etanol 95%, dan phenolftalin. Sampel beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras pecah kulit (BPK). Sampel tersebut diperoleh dengan memasukkan gabah ke dalam mesin pemecah kulit (rice huller) untuk memecah sekam dari gabahnya. Daun mindi sebagai bahan utama penelitian diperoleh dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) Bogor. Serangga uji yang digunakan adalah Sitophilus zeamais Motschulsky yang diperoleh dari BIOTROP, Bogor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin pemecah kulit (rice huller), gelas plastik, kain blacu, karet gelang, penghancur (blender), buret, desikator, timbangan analitik, oven, ayakan 60 mesh, corong buchner, pompa rotary, rotary evaporator, shaker, sonikator,

heater, kertas saring, gelas piala, erlenmeyer, corong gelas, sudip, gelas ukur, dan pipet tetes.

3.2.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini meliputi tahap persiapan, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap persiapan terdiri dari pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak bahan nabati. Penelitian pendahuluan terdiri dari penentuan volume insektisida nabati yang disemprotkan dan pembuatan konsentrasi formula larutan stok emulsifiable concetrate (EC). Penelitian utama terdiri dari uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dan aplikasi pada beras.

3.2.1.

Tahap Persiapan

3.2.1.1.

Pembiakan Serangga S. zeamais (stock culture)

Serangga S. zeamais diperoleh dari BIOTROP yang sudah dewasa. Serangga kemudian ditempatkan dalam wadah yang telah diberi jagung fumigasi sebagai makanan dan tempat berkembang biak. Jagung fumigasi ini dapat diperoleh dengan cara pipilan jagung dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 500C dalam waktu 1 jam. Tujuan dari pengovenan ini yaitu untuk mematikan serangga yang hidup yang mungkin ada pada media jagung pipil. Jagung ini harus diganti dengan yang baru setiap dua minggu agar serangga dapat berkembang biak dengan baik. Serangga ini dijadikan sebagai stock culture untuk penelitian tanpa harus meminta lagi dari BIOTROP.

3.2.1.2.

Pembuatan Ekstrak Bahan Nabati

Pada pembuatan ekstrak, daun mindi dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 60 o

(19)

17

heksana, kemudian diletakkan dalam alat shaker dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian setelah selesai, filtrat tersebut disaring dengan kertas saring dengan menggunakan peyaring vakum. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 55 0C (Samiwahyufiranalah 1998), sehingga diperoleh pekatan yang menyerupai minyak. Pekatan menyerupai minyak inilah yang digunakan sebagai ekstrak. Pembuatan ekstrak bahan nabati ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006) terhadap daun mindi dan daun mimba, serta penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun mimba. Ekstrak daun mindi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Ekstrak Daun Mindi

3.2.2.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama menentukan banyaknya volume cairan yang disemprotkan pada beras dan tahap kedua yaitu tahapan untuk mendapatkan konsentrasi formulasi dari bahan nabati dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC). Untuk tahap pertama, cara yang dilakukan yaitu dengan menyemprotkan cairan emulsi pada sampel beras yang ditempatkan pada gelas plastik dengan bobot 100 gram. Variasi volume yang disemprotkan adalah 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, 10 ml, dan 12 ml dan dilihat secara visual persebaran dari cairan tersebut pada beras.

(20)

18

Tabel 4. Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi

3.2.3.

Penelitian Utama

3.2.3.1.

Uji Retensi Formula Emulsifiable Concentrate (EC)

Uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dilakukan untuk mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan. Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu wadah plastik. Variasi konsentrasi yang disemprotkan adalah 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Sampel didiamkan dalam suhu ruang selama waktu yang ditentukan yaitu 1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari, dan 9 hari. Setelah waktu ujinya tiba, sebanyak 100 ekor S.zeamais diinfestasikan ke dalam beras tersebut dan pada hari berikutnya dihitung berapa banyak yang mati.

3.2.3.2.

Aplikasi pada Beras

Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu gelas plastik. Ektrak bahan nabati yang sudah berbentuk emulsifiable concentrate disemprotkan ke dalam wadah tersebut dengan variasi konsentrasi 0%, 4%, 8%, 12% dan 16%. Sebanyak 25 ekor serangga S. zeamais dewasa diinfestasikan ke dalam sampel beras. Selanjutnya sampel diinkubasi pada suhu dan kelembaban ruang selama 5 minggu. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk menghitung populasi S. zeamais

Motsch. Pengujian untuk setiap konsentrasi dilakukan sebanyak tiga ulangan.

3.3.

ANALISIS DAN PENGAMATAN

3.3.1.

Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)

Jumlah total populasi serangga dari masing-masing ulangan untuk tiap konsentrasi dihitung dengan cara mengayak beras yang telah disimpan untuk memudahkan menghitung serangga.

3.3.2.

Persen Biji Berlubang (%BB)

Biji yang berlubang merupakan parameter kerusakan karena biji tersebut dapat berlubang karena digunakan oleh serangga sebagai tempat berkembang biak dan sumber makanannya. Beras yang telah melalui masa simpan, di screening secara manual untuk memisahkan biji yang masih utuh dan biji yang berlubang. Biji yang berlubang dapat mudah teramati secara visual sehingga

Ekstrak bahan Nabati Bahan Pembawa Bahan Pengemulsi

20 % 66,67 % 13,33 %

25 % 62,50 % 12,50 %

30 % 58,33 % 11,67 %

35% 54,67 % 10,83 %

(21)

19

dapat mudah dipisahkan dari biji yang masih utuh. Biji yang sudah berlubang kemudian dihitung jumlahnya dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% BB = Nd/N x 100

3.3.3.

Persen Kehilangan Bobot (% KB)

Pada biji yang telah disimpan dan diinvestasi akan mengalami penurunan bobot karena selama masa simpan serangga menggunakan beras tersebut sebagai sumber makanannya dan tempat berkembang biak. Kehilangan bobot ini dapat dihitung dengan memisahkan anatara biji yang masih utuh dan biji yang sudah berlubang kemudian ditimbang masing-masing bobotnya. Setelah didapatkan data tersebut maka dapat dilanjutkan menghitung persen kehilangan bobot dengan rumus sebagai berikut :

% KB =

x 100%

Keterangan : U = bobot fraksi biji utuh D = bobot fraksi biji berlubang Nu = jumlah fraksi biji utuh Nd = jumlah fraksi biji berlubang N = jumlah biji dalam sampel (Nu + Nd)

3.3.4.

Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass)

Bubuk yang timbul ini merupakan hasil samping dari beras yang sudah mengalami kerusakan (berlubang) akibat dari kegiatan serangga memakan beras tersebut. Untuk menghitung bubuk yang timbul, masing-masing sampel beras diayak dengan saringan untuk memisahkan antara beras dan bubuk yang ada. Kemudian sampel beras awal sebelum diinvestasi ditimbang dan dibandingkan dengan berat bubuk yang timbul dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% frass = (berat fraksi bubuk)/(berat beras awal) x 100

3.3.5.

Analisis Kadar Air (AOAC 1995)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 100 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x gram) sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu di dinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram). Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

(22)

20

%

3.3.6.

Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 1995)

Sebelum dianalisis asam lemak bebasnya, masing-masing sampel diekstrak lemaknya dengan menggunakan metode Folch (Folch et al. 1957 diacu dalam Sudarmadji et al. 2008) yang dimodifikasi. Tujuan dari pengekstrakkan lemak dengan metode tersebut yaitu agar menghasilkan lipid yield recovery yang tinggi sehingga lemaknya bisa digunakan untuk analisis asam lemak bebas (Saeid 2011). Metode tersebut dapat dilihat di Lampiran 9. Sampel lemak yang telah didapat ditambahkan 15 ml etanol 95% netral sambil dipanaskan agar cepat larut lalu ditambahkan 2 tetes indikator phenolftalin. Goyang-goyang agar tercampur homogen. Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N sambil digoyang kuat sampai warna pink permanen selama 30 detik.

Kadar asam lemak bebas (%) =

Keterangan : V= Volume NaOH (ml)

N = Normalitas NaOH hasil standarisasi

M = Berat molekul contoh (sesuai dengan jenis lemak dominan contoh)

W = Berat sampel beras (g)

3.4.

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap sederhana dengan 3 kali ulangan untuk setiap tingkat konsentrasi bahan nabati. Model matematika rancangan acak lengkap sederhana adalah:

Yij =  + Ai + ij

dimana

Yij = nilai pengamatan

 = nilai rata-rata umum

Ai = pengaruh taraf perlakuan ke-i

(23)

21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

PENELITIAN PENDAHULUAN

Tanaman mindi dipilih untuk dijadikan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) ini karena adanya komponen aktif yang terkandung dalam bahan tersebut yang berpotensi sebagai insektisida yaitu senyawa golongan azadirachtin, flavonoid, polifenol, saponin dan alkaloid (Astuti et al. 2006). Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengkaji daya insektisida dari daun mindi, salah satunya oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak daun mindi dapat berfungsi efektif sebagai insektisida dalam menghambat perkembangan serangga Sitophilus zeamais M. pada media oligidik. Selain itu, kerabat dekat dari tanaman ini yaitu mimba, sudah terlebih dahulu dibentuk dalam EC. Berdasarkan hal tersebut, maka bahan nabati mindi memiliki potensi untuk dikembangkan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) agar mudah dalam pengaplikasiannya dan dapat memperkaya bahan nabati yang dapat dibentuk dalam bentuk EC.

Beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Cisadane karena dari laporan Susetyorini (1985), beras ini memiliki tingkat kekerasan yang rendah sehingga sangat peka terhadap serangan Sitophiulus zeamais. Tingkat kekerasan beras mempengaruhi peletakan telur oleh Sitophilus zeamais. Hal ini disebabkan sebelum menyusup, Sitophilus zeamais betina akan membuat lubang dengan mencungkil permukaan biji dengan menggunakan rostrum-nya dan meletakkan telurnya pada lubang tersebut. Oleh karena itu, beras varietas ini dipilih agar dapat melihat bahwa ekstrak bahan nabatilah yang mencegah peneluran serangga dan bukan tingkat kekerasan beras yang digunakan sebagai media. Pada penelitian ini tidak mengamati mortalitas paretal atau turunan dari Sitophilus zeamais karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek insektisida nabati atau daya hambat dari bahan nabati terhadap perkembangan S. zeamais dan bukan terhadap mortalitasnya serta adanya dugaan dugaan bahwa bahan nabati yang diuji hanya mempunyai daya hambat berupa daya tolak (repellent) dan atau daya mengurangi selera makan (anti feedant) saja sehingga tidak akan memberikan efek kematian secara langsung. Hal ini didukung oleh pendapat Wudianto (2008) yang menyatakan bahwa bahan nabati yang memiliki daya hambat umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya pencegah makan (antifeedant).

(24)

22

serangga hama gudang. Oleh karena itu, metode maserasi dengan pelarut heksana dipilih dalam penelitian ini dan diharapkan hasilnya sesuai dengan penelitian terdahulu.

Pada penelitian pendahuluan, volume yang efektif untuk disemprotkan adalah 6 ml. Pada volume ini, beras yang disemprot dalam wadah gelas plastik tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Apabila volumenya di atas itu maka akan lebih banyak cairan emulsi dibandingkan beras yang ada sehingga akan menyebabkan beras tersebut menjadi basah dan akan lebih mudah mengalami kerusakan karena terserang kapang. Apabila volumenya di bawah 6 ml, cairan emulsi yang disemprotkan tidak merata sehingga dapat menyebabkan tidak efektifnya ekstrak bahan nabati.

Untuk pembuatan emulsifiable concentrate. (EC), bahan-bahan yang diperlukan yaitu ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi (Wudianto 2008). Bahan pembawa yang digunakan adalah metanol. Metanol dipilih karena sifatnya yang polar dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air serta mudah ditemukan dan harganya ekonomis (Lestari et al.

2011). Bahan pengemulsi yang digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat (ABS). Sifat-sifat dari Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) antara lain adalah titik didihnya 327,61 0C, titik lelehnya 2,78 0C, densitasnya 855,065 Kg/m3,dan memiliki wujud yang cair (Kirk dan Othmer 1981). Pemilihan metanol dan alkyl benzene sulfonat dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiningsih (2003) tentang pembuatan emulsifiable concentrate (EC) dari biji dan bungkil mimba. Pada penelitian tersebut, bahan pengemulsi yang efektif untuk pembuatan EC adalah alkyl benzene sulfonat karena stabil selama pengamatan dibandingkan dengan pengemulsi lain seperti latron. Selain itu, penentuan konsentrasi bahan pembawa dan pengemulsi ini juga didasarkan pada penelitian Dwiningsih (2003). Konsentrasi yang efektif untuk bahan pembawa adalah 70 % dan untuk bahan pengemulsi adalah 10-15%. Perbandingan metanol dan alkyl benzene sulfonat yang ditambahkan adalah sebesar 5:1 (Prijono 2011). Untuk konsentrasi bahan nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok adalah 20 %. Penampakan dari larutan stok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Konsentrasi Larutan Stok 20%

(25)

23

konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan menurunnya konsentrasi bahan pengemulsi ini, maka akan menurunkan kestabilan dari emulsi yang terbentuk. Bahan pengemulsi atau emulsifier ini berfungsi sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan antar muka minyak-air dan membentuk lapisan antar muka yang viscous sehingga mencegah terjadinya pembentukan emulsi yang tidak sempurna (terbentuknya droplet berukuran besar). Terbentuknya droplet-droplet besar dan sifatnya irreversibel adalah sistem emulsi yang tidak dapat terbentuk kembali menjadi sistem emulsi seperti yang dijelaskan Issacs dan Chow (1992). Gambar dari formulasi EC yang tidak stabil dapat dilihat pada Lampiran 11.

Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %. Konsentrasi terendah (4 %) pada variasi konsentrasi yang disemprotkan didasarkan pada penelitian tentang kajian insektisida daun mindi yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006). Konsentrasi tersebut sangat efektif untuk menghambat perkembangan serangga pada media oligidik. Variasi konsentrasi seterusnya merupakan kelipatannya agar konsentrasi yang diterapkan seragam. Konsentrasi tersebut diperoleh dari larutan stok dengan prinsip pengenceran. Volume yang disemprotkan sebanyak 6 ml didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk penampakan dari larutan emulsi dengan konsentrasi 4 % yang siap disemprotkan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Larutan Emulsi Konsentrasi 4 %

4.2.

PENELITIAN UTAMA

Pengamatan yang dilakukan pada media beras setelah disimpan selama 5 minggu meliputi jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Pada penelitian ini digunakan kontrol absolut yaitu media beras tanpa penambahan ekstrak, bahan pembawa ataupun bahan pengemulsi.

4.2.1.

Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)

(26)

24

0

5 10 15

0 2 4 6 8 10

Ju m la h S e ra ngg a y a ng Ma ti ( % ) Hari 0 8 16

Uji Retensi Formulasi EC

Tabel 5. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap jumlah serangga dewasa S. zeamais pada media beras selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Dari Tabel 5 terlihat bahwa adanya variasi konsentrasi berpengaruh nyata pada jumlah populasi serangga dewasa pada taraf 0,05 (Lampiran 1b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah populasi serangga dewasa pada berbagai variasi konsentrasi (Lampiran 1c) menunjukkan bahwa jumlah populasi terendah yaitu pada konsentrasi 0 % dan 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol, konsentrasi 4 %, 8 %, dan 12 %. Namun, jumlah populasi terendah ditunjukkan oleh konsentrasi 0 % yang tidak memiliki ekstrak daun mindi. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh selain dari ekstrak bahan nabati yaitu dari bahan pembawa dan bahan pengemulsi. Pernyataan ini didukung dengan adanya uji retensi yang dilakukan terhadap EC dengan konsentrasi 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 % seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik uji retensi dari emulsifiable concentrate (ec) dengan konsentrasi 0 %, 8 %, dan 16 % dalam waktu 9 hari.

Pada Gambar 7 terlihat pada konsentrasi 0 % setelah disemprotkan dan didiamkan selama satu hari, serangga S. zeamais yang mati adalah sebanyak 14 % dari yang diinfestasikan pada awalnya sebanyak 100 ekor. Pada konsentrasi 8 % dan 16 % yang diberikan perlakuan ekstrak daun mindi tidak menyebabkan kematian pada serangga hingga hari terakhir. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik dari bahan pengemulsi yang digunakan (alkyl benzene sulfonat) memiliki sifat yang mudah terbakar dan beracun (Kirk dan Othmer 1981). Adanya campuran bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) dapat memberikan dampak kematian pada serangga yang baru diinfestasikan dan akibatnya berpengaruh pada menurunnya jumlah

Konsentrasi (%) Jumlah populasi serangga dewasa (ekor)

Kontrol 1799,67 c

0 341,33 a

4 734,67 b

8 825,33 b

12 734,67 b

(27)

25

populasi serangga dewasa turunannya (F1) dan parameter kerusakan lainnya. Dari percobaan ini terlihat adanya interaksi antara alkyl benzene sulfonat dengan bahan aktif mindi. Sifat mudah terbakar dan beracun dari senyawa tersebut nampaknya dapat diredam oleh bahan aktif dalam ekstrak mindi. Oleh karena pengaruh yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah ekstrak daun mindi, maka konsentrasi 0 % tidak dijadikan sebagai perbandingan dengan konsentrasi lain yang diberikan pengaruh ekstrak daun mindi (konsentrasi 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %).

Ekstrak nabati yang dicampurkan pada media beras, sebagian besar akan melapisi permukaan beras dan diduga sebagian kecil akan masuk ke dalam bulir beras dan berada pada lapisan pericarp. Adanya ekstrak nabati di bagian permukaan beras dapat menimbulkan bau atau aroma yang dapat mengusir serangga. Dengan adanya bau ini maka serangga akan meninggalkan beras dan tidak mau meletakkan telur di dalam butir beras karena serangga tidak bertelur di sembarang tempat, namun hanya tempat-tempat yang nantinya sesuai untuk makanan keturunannya. Hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu jumlah populasi serangga yang dihasilkan menurun dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak bahan nabati yang ditambahkan.

4.2.2.

Persen Biji Berlubang (% BB)

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kerusakan beras atau biji-bijian yang disimpan yaitu persen biji berlubang. Serangan serangga menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang gejalanya dapat terlihat secara visual seperti adanya lubang gerek, lubang keluar (exit holes), garukan pada butir beras serta timbulnya gumpalan, bubuk dan adanya kotoran (Pranata 1982). Persen biji berlubang ini memiliki kaitan yang sangat kuat dengan jumlah populasi serangga. Semakin banyak jumlah populasi serangga maka persen biji berlubang yang dihasilkan semakin banyak. Hasil pengamatan terhadap persen biji berlubang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase biji berlubang pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Konsentrasi (%) Persen biji berlubang (%)

Kontrol 77,19 d

0 18,69 a

4 54,59 c

8 47,00 c

12 35,20 b

16 22,52 a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

(28)

26

kontrol yang tidak diberi perlakuan sama sekali. Pada konsentrasi 16 %, persen biji berlubang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi lainnya. Sementara itu, Persen biji berlubang pada konsentrasi 4% dan 8% hasilnya tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini dapat terjadi karena insektisida nabati memiliki daya repellent dan antifeedant. Daya hambat atau repellent ini terjadi karena serangga sebelum memakan bahan makanannya akan melakukan proses pengenalan dan orientasi terhadap calon makanannya (Atkins 1980). Namun, pada media beras yang diberi perlakuan ekstrak daun mindi memiliki bau atau aroma yang tidak disukai oleh serangga karena ekstrak mindi tersebut melapisi permukaan dari media beras dan ada sebagian yang masuk ke dalam lapisan perikarp beras.

Persen biji berlubang terendah dihasilkan pada sampel yang diberi perlakuan konsentrasi bahan aktif 0 %. Hal ini sudah dijelaskan penyebabnya pada penjelasan jumlah total populasi serangga. Persen biji berlubang dipengaruhi oleh kekerasan endosperma, kandungan protein, amilosa, lemak, ukuran granula, kerapatan kulit, dan kadar air. Biji beras yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, kadar air yang tinggi dan tidak keras, akan mendukung pertumbuhan Sitophilus zeamais. Selain itu, hal yang dapat mempengaruhi tingginya biji berlubang adalah adanya infestasi telur lebih dari satu dalam satu biji (Campbel 2001).

4.2.3.

Persen Kehilangan Bobot (% KB)

Persen kehilangan bobot merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan beras, walaupun tidak menunjukkan tingkat kehilangan secara spesifik karena adanya hidden infestasion. Persen kehilangan bobot ini terjadi karena kegiatan serangga yang memakan beras untuk bertahan hidup dan berkembang biak sehingga bobot beras semakin berkurang dengan semakin banyaknya serangga yang berkembang biak (jumlah total populasi serangga). Hasil pengamatan terhadap persen kehilangan bobot dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase kehilangan bobot pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Pada Tabel 7 terlihat peningkatan konsentrasi ekstrak daun mindi dapat menurunkan persentase kehilangan bobot selama penyimpanan. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen kehilangan bobot pada taraf 0,05 (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen kehilangan bobot pada variasi konsentrasi (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa persen kehilangan bobot terbesar terjadi pada konsentrasi 8 %, tetapi hasil ini tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi 4 %. Persen kehilangan bobot

Konsentrasi (%) Persen kehilangan bobot (%)

Kontrol 36,88 d

0 7,53 a

4 22,11 c

8 24,05 c

12 18,40 b

(29)

27

terkecil yaitu sebesar 6,16 % terdapat pada konsentrasi 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi yang lain termasuk konsentrasi 0 %. Dengan adanya penambahan ekstrak bahan nabati, dapat menurunkan persen kehilangan bobot secara nyata (p<0,05) yang dibandingkan dengan kontrol.

4.2.4.

Persen Fraks

Gambar

Gambar 2. Daun Mindi (Melia azedarach L.)
Tabel 2. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya
Tabel 4. Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi
Tabel 5. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap jumlah serangga dewasa S
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini menganalisis pandangan penulis Deborah Rodriguez terhadap Afghanistan dalam karyanya The Kabul Beauty School.. Buku ini merupakan sebuah memoar atau autobiografi

Perancangan adalah suatu tahapan yang memiliki tujuan untuk mendesign sistem baru yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapin perusahaan yang diperoleh

Berdasarkan hasil penelitian, penulis dapat memberikan saran kepada investor atau calon investor yang hendak melakukan investasi di pasar modal, hendaknya perlu

Oleh karena itu, dalam teori permintaan yang terutama dianalisis adalah hubungan antara jumlah permintaan suatu barang dengan harga barang tersebut.Dalam analisis

Agung Podomoro Land Tbk., dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap volume perdagangan dan return saham (yang ditunjukkan dengan abnormal return untuk menguji

Nama Komputer Server/IP : isi dengan nama komputer atau IP komputer server, misalnya : bangtejos-pc atau 192.168.1.1 atau apabila komputer yang dipakai untuk

Asia Afrika No.114 Bandung, mengundang penyedia untuk mengikuti pelelangan umum dengan pasca kualifikasi melalui LPSE Kementerian Keuangan sebagai berikut :.

Kepada Perusahaan yang dinyatakan sebagai pemenang, diharapkan menghubungi Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Advokasi dan KI E, Satuan Kerja Direktorat Advokasi dan