• Tidak ada hasil yang ditemukan

18 Tabel 4 Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemuls

3.3. ANALISIS DAN PENGAMATAN 1 Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)

3.3.2. Persen Biji Berlubang (%BB)

Biji yang berlubang merupakan parameter kerusakan karena biji tersebut dapat berlubang karena digunakan oleh serangga sebagai tempat berkembang biak dan sumber makanannya. Beras yang telah melalui masa simpan, di screening secara manual untuk memisahkan biji yang masih utuh dan biji yang berlubang. Biji yang berlubang dapat mudah teramati secara visual sehingga

Ekstrak bahan Nabati Bahan Pembawa Bahan Pengemulsi

20 % 66,67 % 13,33 %

25 % 62,50 % 12,50 %

30 % 58,33 % 11,67 %

35% 54,67 % 10,83 %

19

dapat mudah dipisahkan dari biji yang masih utuh. Biji yang sudah berlubang kemudian dihitung jumlahnya dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% BB = Nd/N x 100

3.3.3.

Persen Kehilangan Bobot (% KB)

Pada biji yang telah disimpan dan diinvestasi akan mengalami penurunan bobot karena selama masa simpan serangga menggunakan beras tersebut sebagai sumber makanannya dan tempat berkembang biak. Kehilangan bobot ini dapat dihitung dengan memisahkan anatara biji yang masih utuh dan biji yang sudah berlubang kemudian ditimbang masing-masing bobotnya. Setelah didapatkan data tersebut maka dapat dilanjutkan menghitung persen kehilangan bobot dengan rumus sebagai berikut :

% KB =

x 100% Keterangan : U = bobot fraksi biji utuh

D = bobot fraksi biji berlubang Nu = jumlah fraksi biji utuh Nd = jumlah fraksi biji berlubang N = jumlah biji dalam sampel (Nu + Nd)

3.3.4.

Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass)

Bubuk yang timbul ini merupakan hasil samping dari beras yang sudah mengalami kerusakan (berlubang) akibat dari kegiatan serangga memakan beras tersebut. Untuk menghitung bubuk yang timbul, masing-masing sampel beras diayak dengan saringan untuk memisahkan antara beras dan bubuk yang ada. Kemudian sampel beras awal sebelum diinvestasi ditimbang dan dibandingkan dengan berat bubuk yang timbul dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% frass = (berat fraksi bubuk)/(berat beras awal) x 100

3.3.5.

Analisis Kadar Air (AOAC 1995)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 100 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x gram) sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu di dinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram). Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

20

%

3.3.6.

Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 1995)

Sebelum dianalisis asam lemak bebasnya, masing-masing sampel diekstrak lemaknya dengan menggunakan metode Folch (Folch et al. 1957 diacu dalam Sudarmadji et al. 2008) yang dimodifikasi. Tujuan dari pengekstrakkan lemak dengan metode tersebut yaitu agar menghasilkan lipid yield recovery yang tinggi sehingga lemaknya bisa digunakan untuk analisis asam lemak bebas (Saeid 2011). Metode tersebut dapat dilihat di Lampiran 9. Sampel lemak yang telah didapat ditambahkan 15 ml etanol 95% netral sambil dipanaskan agar cepat larut lalu ditambahkan 2 tetes indikator phenolftalin. Goyang-goyang agar tercampur homogen. Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N sambil digoyang kuat sampai warna pink permanen selama 30 detik.

Kadar asam lemak bebas (%) =

Keterangan : V= Volume NaOH (ml)

N = Normalitas NaOH hasil standarisasi

M = Berat molekul contoh (sesuai dengan jenis lemak dominan contoh)

W = Berat sampel beras (g)

3.4.

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap sederhana dengan 3 kali ulangan untuk setiap tingkat konsentrasi bahan nabati. Model matematika rancangan acak lengkap sederhana adalah:

Yij =  + Ai + ij

dimana

Yij = nilai pengamatan

 = nilai rata-rata umum

Ai = pengaruh taraf perlakuan ke-i

ij = galat percobaan

21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

PENELITIAN PENDAHULUAN

Tanaman mindi dipilih untuk dijadikan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) ini karena adanya komponen aktif yang terkandung dalam bahan tersebut yang berpotensi sebagai insektisida yaitu senyawa golongan azadirachtin, flavonoid, polifenol, saponin dan alkaloid (Astuti et al. 2006). Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengkaji daya insektisida dari daun mindi, salah satunya oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak daun mindi dapat berfungsi efektif sebagai insektisida dalam menghambat perkembangan serangga Sitophilus zeamais M. pada media oligidik. Selain itu, kerabat dekat dari tanaman ini yaitu mimba, sudah terlebih dahulu dibentuk dalam EC. Berdasarkan hal tersebut, maka bahan nabati mindi memiliki potensi untuk dikembangkan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) agar mudah dalam pengaplikasiannya dan dapat memperkaya bahan nabati yang dapat dibentuk dalam bentuk EC.

Beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Cisadane karena dari laporan Susetyorini (1985), beras ini memiliki tingkat kekerasan yang rendah sehingga sangat peka terhadap serangan Sitophiulus zeamais. Tingkat kekerasan beras mempengaruhi peletakan telur oleh Sitophilus zeamais. Hal ini disebabkan sebelum menyusup, Sitophilus zeamais betina akan membuat lubang dengan mencungkil permukaan biji dengan menggunakan rostrum-nya dan meletakkan telurnya pada lubang tersebut. Oleh karena itu, beras varietas ini dipilih agar dapat melihat bahwa ekstrak bahan nabatilah yang mencegah peneluran serangga dan bukan tingkat kekerasan beras yang digunakan sebagai media. Pada penelitian ini tidak mengamati mortalitas paretal atau turunan dari Sitophilus zeamais karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek insektisida nabati atau daya hambat dari bahan nabati terhadap perkembangan S. zeamais dan bukan terhadap mortalitasnya serta adanya dugaan dugaan bahwa bahan nabati yang diuji hanya mempunyai daya hambat berupa daya tolak (repellent) dan atau daya mengurangi selera makan (anti feedant) saja sehingga tidak akan memberikan efek kematian secara langsung. Hal ini didukung oleh pendapat Wudianto (2008) yang menyatakan bahwa bahan nabati yang memiliki daya hambat umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya pencegah makan (antifeedant).

Proses pembuatan ekstrak dari daun mindi dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada temperatur ruangan. Metode maserasi dipilih karena metode ini murah dan mudah dilakukan (Husnah 2009), selain itu umumnya metode ini digunakan untuk pembuatan insektisida nabati dalam bentuk EC. Pelarut yang digunakan yaitu heksana yang memiliki karakteristik sangat tidak polar, volatil, dan mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan (Scheflan dan Mossses 1983). Menurut Asih et al. (2010) salah satu komponen yang dapat terekstrak dengan pelarut heksana adalah senyawa golongan triterpenoid yaitu senyawa yang terdapat pada daun mindi dan berfungsi sebagai insektisida. Senyawa dalam daun mindi yag tergolong dalam golongan triterpenoid yang dapat berfungsi sebagai insektisida yaitu meliacarpin (C35H44O16) (Ghany et al. 2012). Selain itu, metode ini juga dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun mimba dan Sonyaratri (2006) yang mengkaji daya insektisida pada daun mindi dan mimba. Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah kedua ekstrak daun yang di ekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut heksana dapat bekerja efektif untuk menghambat perkembangan dari

22

serangga hama gudang. Oleh karena itu, metode maserasi dengan pelarut heksana dipilih dalam penelitian ini dan diharapkan hasilnya sesuai dengan penelitian terdahulu.

Pada penelitian pendahuluan, volume yang efektif untuk disemprotkan adalah 6 ml. Pada volume ini, beras yang disemprot dalam wadah gelas plastik tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Apabila volumenya di atas itu maka akan lebih banyak cairan emulsi dibandingkan beras yang ada sehingga akan menyebabkan beras tersebut menjadi basah dan akan lebih mudah mengalami kerusakan karena terserang kapang. Apabila volumenya di bawah 6 ml, cairan emulsi yang disemprotkan tidak merata sehingga dapat menyebabkan tidak efektifnya ekstrak bahan nabati.

Untuk pembuatan emulsifiable concentrate. (EC), bahan-bahan yang diperlukan yaitu ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi (Wudianto 2008). Bahan pembawa yang digunakan adalah metanol. Metanol dipilih karena sifatnya yang polar dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air serta mudah ditemukan dan harganya ekonomis (Lestari et al.

2011). Bahan pengemulsi yang digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat (ABS). Sifat-sifat dari Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) antara lain adalah titik didihnya 327,61 0C, titik lelehnya 2,78 0C, densitasnya 855,065 Kg/m3,dan memiliki wujud yang cair (Kirk dan Othmer 1981). Pemilihan metanol dan alkyl benzene sulfonat dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiningsih (2003) tentang pembuatan emulsifiable concentrate (EC) dari biji dan bungkil mimba. Pada penelitian tersebut, bahan pengemulsi yang efektif untuk pembuatan EC adalah alkyl benzene sulfonat karena stabil selama pengamatan dibandingkan dengan pengemulsi lain seperti latron. Selain itu, penentuan konsentrasi bahan pembawa dan pengemulsi ini juga didasarkan pada penelitian Dwiningsih (2003). Konsentrasi yang efektif untuk bahan pembawa adalah 70 % dan untuk bahan pengemulsi adalah 10-15%. Perbandingan metanol dan alkyl benzene sulfonat yang ditambahkan adalah sebesar 5:1 (Prijono 2011). Untuk konsentrasi bahan nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok adalah 20 %. Penampakan dari larutan stok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Konsentrasi Larutan Stok 20%

Konsentrasi 20 % tersebut didapatkan dari uji beberapa variasi konsentrasi yang ditambahkan yaitu 20 %, 25 %, 30 %, 35 % dan 40%. Konsentrasi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prijono (2011) bahwa untuk penambahan ekstrak bahan nabati pada EC tidak boleh lebih dari 20 % karena akan menyebabkan emulsi yang terbentuk tidak stabil. Untuk konsentrasi di atas 20% akan terjadi pemisahan antara ekstrak dengan bahan pembawa dan bahan pengemulsi. Hal itu dapat terjadi diduga karena semakin meningkatnya konsentrasi bahan nabati maka konsentrasi bahan pengemulsi yang ditambahkan semakin menurun. Perbandingan

23

konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan menurunnya konsentrasi bahan pengemulsi ini, maka akan menurunkan kestabilan dari emulsi yang terbentuk. Bahan pengemulsi atau emulsifier ini berfungsi sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan antar muka minyak-air dan membentuk lapisan antar muka yang viscous sehingga mencegah terjadinya pembentukan emulsi yang tidak sempurna (terbentuknya droplet berukuran besar). Terbentuknya droplet-droplet besar dan sifatnya irreversibel adalah sistem emulsi yang tidak dapat terbentuk kembali menjadi sistem emulsi seperti yang dijelaskan Issacs dan Chow (1992). Gambar dari formulasi EC yang tidak stabil dapat dilihat pada Lampiran 11.

Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %. Konsentrasi terendah (4 %) pada variasi konsentrasi yang disemprotkan didasarkan pada penelitian tentang kajian insektisida daun mindi yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006). Konsentrasi tersebut sangat efektif untuk menghambat perkembangan serangga pada media oligidik. Variasi konsentrasi seterusnya merupakan kelipatannya agar konsentrasi yang diterapkan seragam. Konsentrasi tersebut diperoleh dari larutan stok dengan prinsip pengenceran. Volume yang disemprotkan sebanyak 6 ml didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk penampakan dari larutan emulsi dengan konsentrasi 4 % yang siap disemprotkan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Larutan Emulsi Konsentrasi 4 %

4.2.

PENELITIAN UTAMA

Pengamatan yang dilakukan pada media beras setelah disimpan selama 5 minggu meliputi jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Pada penelitian ini digunakan kontrol absolut yaitu media beras tanpa penambahan ekstrak, bahan pembawa ataupun bahan pengemulsi.

4.2.1.

Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)

Nilai jumlah total populasi serangga (Nt) menunjukkan pengaruh penambahan berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi dalam EC terhadap tingkat perkembangan S. zeamais, dengan populasi awal 25 ekor untuk tiap perlakuan. Hasil pengamatan terhadap jumlah total populasi seranga dewasa dapat dilihat pada Tabel 5.

24

0 5 10 15 0 2 4 6 8 10 Ju m la h S e ra ngg a y a ng Ma ti ( % ) Hari 0 8 16

Uji Retensi Formulasi EC

Tabel 5. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap jumlah serangga dewasa S. zeamais pada media beras selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Dari Tabel 5 terlihat bahwa adanya variasi konsentrasi berpengaruh nyata pada jumlah populasi serangga dewasa pada taraf 0,05 (Lampiran 1b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah populasi serangga dewasa pada berbagai variasi konsentrasi (Lampiran 1c) menunjukkan bahwa jumlah populasi terendah yaitu pada konsentrasi 0 % dan 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol, konsentrasi 4 %, 8 %, dan 12 %. Namun, jumlah populasi terendah ditunjukkan oleh konsentrasi 0 % yang tidak memiliki ekstrak daun mindi. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh selain dari ekstrak bahan nabati yaitu dari bahan pembawa dan bahan pengemulsi. Pernyataan ini didukung dengan adanya uji retensi yang dilakukan terhadap EC dengan konsentrasi 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 % seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik uji retensi dari emulsifiable concentrate (ec) dengan konsentrasi 0 %, 8 %, dan 16 % dalam waktu 9 hari.

Pada Gambar 7 terlihat pada konsentrasi 0 % setelah disemprotkan dan didiamkan selama satu hari, serangga S. zeamais yang mati adalah sebanyak 14 % dari yang diinfestasikan pada awalnya sebanyak 100 ekor. Pada konsentrasi 8 % dan 16 % yang diberikan perlakuan ekstrak daun mindi tidak menyebabkan kematian pada serangga hingga hari terakhir. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik dari bahan pengemulsi yang digunakan (alkyl benzene sulfonat) memiliki sifat yang mudah terbakar dan beracun (Kirk dan Othmer 1981). Adanya campuran bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) dapat memberikan dampak kematian pada serangga yang baru diinfestasikan dan akibatnya berpengaruh pada menurunnya jumlah

Konsentrasi (%) Jumlah populasi serangga dewasa (ekor)

Kontrol 1799,67 c 0 341,33 a 4 734,67 b 8 825,33 b 12 734,67 b 16 422,00 a

25

populasi serangga dewasa turunannya (F1) dan parameter kerusakan lainnya. Dari percobaan ini terlihat adanya interaksi antara alkyl benzene sulfonat dengan bahan aktif mindi. Sifat mudah terbakar dan beracun dari senyawa tersebut nampaknya dapat diredam oleh bahan aktif dalam ekstrak mindi. Oleh karena pengaruh yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah ekstrak daun mindi, maka konsentrasi 0 % tidak dijadikan sebagai perbandingan dengan konsentrasi lain yang diberikan pengaruh ekstrak daun mindi (konsentrasi 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %).

Ekstrak nabati yang dicampurkan pada media beras, sebagian besar akan melapisi permukaan beras dan diduga sebagian kecil akan masuk ke dalam bulir beras dan berada pada lapisan pericarp. Adanya ekstrak nabati di bagian permukaan beras dapat menimbulkan bau atau aroma yang dapat mengusir serangga. Dengan adanya bau ini maka serangga akan meninggalkan beras dan tidak mau meletakkan telur di dalam butir beras karena serangga tidak bertelur di sembarang tempat, namun hanya tempat-tempat yang nantinya sesuai untuk makanan keturunannya. Hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu jumlah populasi serangga yang dihasilkan menurun dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak bahan nabati yang ditambahkan.

4.2.2.

Persen Biji Berlubang (% BB)

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kerusakan beras atau biji-bijian yang disimpan yaitu persen biji berlubang. Serangan serangga menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang gejalanya dapat terlihat secara visual seperti adanya lubang gerek, lubang keluar (exit holes), garukan pada butir beras serta timbulnya gumpalan, bubuk dan adanya kotoran (Pranata 1982). Persen biji berlubang ini memiliki kaitan yang sangat kuat dengan jumlah populasi serangga. Semakin banyak jumlah populasi serangga maka persen biji berlubang yang dihasilkan semakin banyak. Hasil pengamatan terhadap persen biji berlubang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase biji berlubang pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Konsentrasi (%) Persen biji berlubang (%)

Kontrol 77,19 d 0 18,69 a 4 54,59 c 8 47,00 c 12 35,20 b 16 22,52 a

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa konsentrasi ekstrak nabati dalam formula berpengaruh nyata terhadap persen biji berlubang pada taraf 0,05 (Lampiran 2b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen biji berlubang pada variasi konsentrasi (Lampiran 2c) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mindi yang diberikan maka persen biji berlubang yang dihasilkan semakin menurun. Selain itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi dapat menurunkan persen biji berlubang secara nyata (p<0,05) dari sampel

26

kontrol yang tidak diberi perlakuan sama sekali. Pada konsentrasi 16 %, persen biji berlubang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi lainnya. Sementara itu, Persen biji berlubang pada konsentrasi 4% dan 8% hasilnya tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini dapat terjadi karena insektisida nabati memiliki daya repellent dan antifeedant. Daya hambat atau repellent ini terjadi karena serangga sebelum memakan bahan makanannya akan melakukan proses pengenalan dan orientasi terhadap calon makanannya (Atkins 1980). Namun, pada media beras yang diberi perlakuan ekstrak daun mindi memiliki bau atau aroma yang tidak disukai oleh serangga karena ekstrak mindi tersebut melapisi permukaan dari media beras dan ada sebagian yang masuk ke dalam lapisan perikarp beras.

Persen biji berlubang terendah dihasilkan pada sampel yang diberi perlakuan konsentrasi bahan aktif 0 %. Hal ini sudah dijelaskan penyebabnya pada penjelasan jumlah total populasi serangga. Persen biji berlubang dipengaruhi oleh kekerasan endosperma, kandungan protein, amilosa, lemak, ukuran granula, kerapatan kulit, dan kadar air. Biji beras yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, kadar air yang tinggi dan tidak keras, akan mendukung pertumbuhan Sitophilus zeamais. Selain itu, hal yang dapat mempengaruhi tingginya biji berlubang adalah adanya infestasi telur lebih dari satu dalam satu biji (Campbel 2001).

4.2.3.

Persen Kehilangan Bobot (% KB)

Persen kehilangan bobot merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan beras, walaupun tidak menunjukkan tingkat kehilangan secara spesifik karena adanya hidden infestasion. Persen kehilangan bobot ini terjadi karena kegiatan serangga yang memakan beras untuk bertahan hidup dan berkembang biak sehingga bobot beras semakin berkurang dengan semakin banyaknya serangga yang berkembang biak (jumlah total populasi serangga). Hasil pengamatan terhadap persen kehilangan bobot dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase kehilangan bobot pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Pada Tabel 7 terlihat peningkatan konsentrasi ekstrak daun mindi dapat menurunkan persentase kehilangan bobot selama penyimpanan. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen kehilangan bobot pada taraf 0,05 (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen kehilangan bobot pada variasi konsentrasi (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa persen kehilangan bobot terbesar terjadi pada konsentrasi 8 %, tetapi hasil ini tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi 4 %. Persen kehilangan bobot

Konsentrasi (%) Persen kehilangan bobot (%)

Kontrol 36,88 d 0 7,53 a 4 22,11 c 8 24,05 c 12 18,40 b 16 6,16 a

27

terkecil yaitu sebesar 6,16 % terdapat pada konsentrasi 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi yang lain termasuk konsentrasi 0 %. Dengan adanya penambahan ekstrak bahan nabati, dapat menurunkan persen kehilangan bobot secara nyata (p<0,05) yang dibandingkan dengan kontrol.

4.2.4.

Persen Fraksi Bubuk Yang Timbul (% Frass)

Frass adalah bubuk hasil sisa-sisa makanan serangga dengan berbagai fraksi lain yang dapat diukur dengan menimbangnya dengan neraca. Bubuk atau tepung yang timbul berada diantara butir-butir beras yang masih utuh dan secara fisik beras menjadi keropos karena serangan serangga. Makin banyak biji berlubang maka makin banyak frass-nya. Persen fraksi bubuk ini merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui kerusakan beras akibat infestasi dan serangan serangga. Hasil pengamatan terhadap % frass dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persen frass pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen frass pada taraf 0,05 (Lampiran 4b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen frass

pada variasi konsentrasi (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mindi yang diberikan maka persen frass yang dihasilkan semakin menurun kecuali untuk data konsentrasi 0 % yang memiliki hasil terkecil dan penyebabnya sudah dijelaskan sebelumya pada pembahasan jumlah populasi serangga dewasa. Dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi. Apabila dibandingkan dengan kontrol, hasilnya berbeda nyata (p<0,05) dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi.

4.2.5.

Kadar Air

Pengukuran kadar air dimaksudkan untuk melihat perubahan setelah infestasi dan akibat perkembangan serangga setelah 5 minggu penyimpanan. Kadar air beras sebelum infestasi sebesar 14,03 %. Hasil pengamatan kadar air beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 9.

Konsentrasi (%) Persen frass

Kontrol 7,69 c 0 1,41 a 4 5,33 b 8 5,02 b 12 4,96 b 16 4,29 b

28

Tabel 9. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap kadar air pada media beras

yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05)

Dari Tabel 9 dapat dilihat kadar air yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air sebelum penyimpanan (14,03 %) (Lampiran 5a). Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap kadar air pada taraf 0,05 (Lampiran 5c). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air pada variasi konsentrasi (Lampiran 5d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) untuk semua sampel. Hal ini dapat terjadi karena serangga dapat mengakibatkan meningkatnya kadar air bahan yang disimpan dan juga dapat meningkatkan suhu secara lokal yang dapat mengakibatkan kerusakan. Meningkatnya kadar air bahan setelah infestasi disebabkan adanya proses respirasi oleh serangga, metabolisme dari biji-bijian yang disimpan, serta migrasi air air dari lingkungan (Hall 1970). Suhu dan kadar air bahan adalah dua faktor fisik yang sangat berpengaruh terhadap kerusakan biji-bijian selama penyimpanan (Dharmaputra 1994).

4.2.6.

Asam Lemak Bebas

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat kerusakan beras yaitu asam lemak bebas. Menurut Juliano (1995) lemak di beras akan mengalami penurunan setelah 6 bulan disimpan dan asam lemaknya akan mengami peningkatan. Kadar asam lemak bebas awal pada beras sebesar 1,94 % (Lampiran 7a). Proses oksidasi dari lemak ini akan menghasilkan senyawa keton dan aldehid yang mengakibatkan kerusakan selama penyimpanan. Hasil pengamatan asam lemak bebas beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10.

Dokumen terkait