• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan

URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

2.3 Utang Luar Negeri (Foreign Debt)

2.3.3 Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan

Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju ekspor. Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran pos lain. Secara tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-spos yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ( Faisal H.Basri, 2002:254).

Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun untuk perbaikan sektor perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 75 milyar ( Mulyani, 2001, dalam Eddy Suandi Hamid, 2001:154).

Walaupun perekonomian nasional terus menanggung beban pembayaran bunga dan cicilan utang masa lalu itu, pada saat yang sama pemerintah juga terus membuat utang-utang baru. Pemerintah terus meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi defisit anggaran belanjanya (APBN). Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk membiayai pengeluaran pembangunan, bahkan pernah digunakan untuk menutupi defisit pengeluaran rutinnya.

Pemerintah telah pula mengikatkan diri dengan IMF untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan meminjam secara bertahap senilai US$ 43 milliar, disamping terus meminjam dari CGI dengan angka berkisar US$ 5 milyar per tahun. Sektor swasta yang sebelumnya secara tidak terkontrol utang luar negerinya, dan sangat terpuruk akibat krisis tersebut, telah pula mulai lagi “mendapat kepercayaan” dari luar negeri, dan kembali memuat komitmen dengan mitra bisnisnya di luar.

Masuknya arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang sudah dibuat sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN-nya, melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut untuk dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah terlanjur dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan kata lain, di tengah krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia semakin terjerat dalam jebakan utang (debt trap). Hal ini bisa menimbulkan persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi mengalami krisis kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta asing tersebut, manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan membayar jangka panjang.

Jika Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan dapat menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran utang tersebut akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada masa yang lalu, maka sejarah akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi manajemen utang luar negeri pemerintah maupun

swasta pada masa lalu sangat potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali kewajiban utangnya.

Pembangunan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk Domestik Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D. Salvatore dan E.T. Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat produksi riil (pendapatan per kapita) tersebut merupakan tujuan utama yang perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan sumber-sumber produksi untuk itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang.

Namun demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda kebanyakan negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, seperti: penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya.

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber produksi untuk ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana pembiyaan untuk pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1) sumber dana modal dari dalam

negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri. Sumber modal dari dalam negeri adalah berupa tabungan yang diciptakan dan dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi sekarang, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber modal dari luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing.

Untuk memperkirakan berapa besarnya kebutuhan modal atau dana yang diperlukan guna meningkatkan target pertumbuhan ekonomi tertentu, maka penyusunan rencana pembangunan sering kali mendasarkannya pada konsep Harrold-Domar tentang incremental capital output ratio atau ICOR. Dalam hubungan ini dipakai rumus k = s/g, di mana k = ICOR, s = saving ratio (S/Y) dan g = target pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y). Dan rumus dasar ini dapat diubah menjadi g = s/k. Untuk memperoleh laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita adalah d = s/k-r. Dengan menggunakan rumus ini dapat ditentukan atau diperkirakan secara makro berapa besarnya kebutuhan tabungan (saving) dan modal yang perlu diakumulasi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu baik secara nasional total maupun secara rata-rata per kapita.

Karena bantuan luar negri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi (concessional) berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar (bunga komersial), maka pada umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar negeri. Jadi bantuan luar negeri itu mengandung unsur hibah (grant element), di mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak mengikat adalah sebesar harga nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman adalah selisih nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa unsur hiba suatu bantuan akan semakin besar bilamana tingkat bunga

bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang waktu ataupun jangka waktu pelunasannya kembali lebih lama (Kamaluddin, 1998).