• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif

4.3 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia

Pada dasarnya dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tanbungan dalam negeri yang rendah sehingga tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai, sehingga jalan alternative lainnya ialah dengan menarik dana atau pinjaman luar negeri.

Utang luar negeri (foreign debt) mulai berkembang di Indonesia sejak pemerintahan Indonesia menganut sistem devisa bebas. Sejak bulan agustus 1971, sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia. Pemerintah tidak lagi membatasi modal yang akan dibawa masuk atau ke luar negeri.

Tabel 4.3

Utang Luar Negeri ( foreign debt) Indonesia ( US $ Juta )

Tahun Pemerintah Swasta Total

1988 7015 210.6 7225.6 1989 6056 247.8 6303.8 1990 4312 209.8 6408.8 1991 5939 7536 13475 1992 6094 7398 13692 1993 6087 10245 16332 1994 5508 15232 20740 1995 5016 15604 20620 1996 5369 15288 20657 1997 7368 17647 25015 1998 12767 11428 24195 1999 7615 6860 14475 2000 4750 4660 9409 2001 2878 8137 11014 2002 3714 5991 9705 2003 3796 8337 12132 2004 3221 12316 15537 2005 5251 16222 21473 2006 5510 23257 28767 2007 5427 27833 33260 2008 9022 37080 46102

Sumber : Bank Indonesia ( di olah )

Dalam bentuk grafik dapat digambarkan sebagai beriut :

Gambar 4.2 Grafik Utang Luar Negeri Indonesia

Utang luar negeri ( foreign debt ) pada dasarnya memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga merupakan salah satu penyebab utama keterpurukan ekonomi Indonesia. Ini disebabkan karena semakin besarntya beban utang luar negeri Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta asing harus yang ditanggung. Tanpa adanya keringanan utang ( debt relief ), terutama berupa penghapusan sebagian beban utang luar negeri, Indonesia diramalkan akan menjerumus ke dalam krisis yang lebih besar. 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000 100000

Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang luar negeri Indonesia meskipun terkadang naik secara perlahan. Namun demikian tren penurunan tersebut akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1997 yaitu sebesar 25015 juta US dolar, hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Tetapi pada tahun 1999 terjadi penurunan sedikit lalu meningkat pada tahun berikutnya pada posisi utang pemerintah. Pada tahun 1997 utang pemerintah adalah 7368 kemudian meningkat 73,3% pada tahun 2008 yaitu sebesar 12767. Tahun 1998 terjadi kenaikan yang sangat drastic pada posisi utang pemerintah, hal ini disebabkan karena adanya upaya pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah dan perekonomian, sebab cadangan devisa Indonesia pada saat itu sangat tidak cukup untuk menopang perekonomian dan menstanilkan nilai rupiah apalagi untuk berjaga-jaga adanya kemungkinan dampak krisis yang lebih hebat. Penurunan dan perkembangan yang cukup stabil kembali terjadi setelah tahun 2002 seiring pemulihan perekonomian Indonesia.

Kemudian mulai tahun 1999 hingga 2004 utang pemerintah mengalami penurunan yaitu 4750 juta US dolar pada tahun 1999, tahun 2000 4750 juta US dolar, tahun 2001 2878 juta US dolar, 3714 juta US dolar pada tahun 2002, 3796 juta US dolar pada tahun 2003 dan 3221 juta US dolar pada tahun 2004. Sedangkan utang luar negeri swasta mengalami gelombak naik turun selama periode itu bahkan yang paling mengejutkan adalah jumlah utang luar negeri swasta pada tahun 2004 yang meningkat drastic pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 12316 juta US dolar meningkat sebesar 47,7% dari tahun sebelumnya. Maka tidak heran jumlah utang luar negeri pada tahun 2004 juga meningkat drastic yaitu sebesar 15537 juta US dolar. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 yaitu pada masa awal pemerintahan reformasi terjadi lonjakan harga minyak yang sangat signifikan. Hal ini berdampak negative pada pengusaha-pengusaha yang

mengandalkan BBM dalam usahanya. Pihak swasta harus menerima kenyataan naiknya harga BBM menuntut mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk produksi barang dan jasanya, sehingga untuk menutupi itu pihak swasta melakukan penarikan pinjaman utang luar negeri agar proses produksi tetap berjalan, meski tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar akibat kenaikan tersebut.

Pada tahun 2008 terjadi kenaikan yang masih dapat di toleransi baik di sisi utang pemerintah dan utang swasta, yaitu masing-masing meningkat sebesar 66,2% dan 33,22% dengan jumlah utang luar negeri secara keseluruhan meningkat sebesar 46102 juta US dolar. Kenaikan pada tahun 2008 diakibatkan karena gejolak krisis global yang melanda seluruh negara di dunia. Indonesia juga terkena dampak krisis global yang berawal dari kebangkrutan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis perumahan GP Morgan yang membawa pengaruh terhadap perekonomian Indonesia, untuk itu pihak swasta dan pemerintah mengambil tindakan untuk menarik utang luar negeri untuk menstabilkan nilai rupiah yang ikut melemah pada tahun 2008.

Indonesia sebagai salah satu negara pengutang terbesar, masalah utang, baik peranannya dalam pembangunan, implikasi dan kemauan melakukan pembayaran bunga dan cicilan utang merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mengamati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan berkurang untuk setidak-tidaknya sepuluh tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia telah mencapai tahap yang demikian kompleks sehinga sulit untuk diupayakan pemecahan dalam waktu yang defenitif.

Periode 1997 sampai 2001 misalnya, rasio pembayaran utang ( debt service ratio ) Indonesia sudah mencapai angka di atas 40 persen. Karena itu cara-cara konvensional, yaitu

“gali lubang tutup lubang “ dalam mengatasi masalah utang luar negeri seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah hanya akan memperburk dan memperpanjang krisis ini. Sebenarnya, penjadwalan kembali utang ( debt rescheduling) lewat moratorium pun hanya akan menunda proses kebangkrutan dan bukan solusi jangka menengah apalagi jangka panjang atas masalah pembiayaan ekonomi Indonesia.

Tabel 4.4 Beban Utang Luar Negeri Indonesia ( % )

Indikator 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

DSR 44.5 57.9 56.8 44.8 41.4 33.1 33.8

Posisi utang Luar

Negeri/PDB 62.2 146.3 103.3 84.3 87.1 71.6 67.2 Sumber : Bank Indonesia, Laporan tahunan Bank Indonesia, berbagai penerbitan

Nisbah DSR, nisbah total utang terhadap ekspor dan total utang terhadap PDB pada tahun 2000 menunjukkan angka yang relative membaik dari tahun sebelumnya, yakni 103,3 persen di tahun 1999 menjadi 84,3 persen di tahun 2000. Namun demikian angkanya masih relative tinggi dan cukup berbahaya, karena telah jauh melebihi angka 10% - 20%. Angka nisbah tersebut mencerminkan letergantungan perekonomian Indonesia yang tinggi terhadap utang luar negeri.

Ratio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai criteria untuk mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50 persen menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri Indonesia sudah membebani lebih dari 50 persen pendapatan nasional. Beberapa penelitian bahkan menyatakan, kontribusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi akan menjadi negatif apabila ratio utang terhadap PDB telah melampaui 50 persen. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila negara-negara sedang berkembang banyak yang member standar rasio utang terhadap PDB di atas 60 persen sebagai lampu kuning. Pemerintah Indonesia juga

memiliki motivasi dan komitmen yang kuat untuk membawa rasio utang terhadap PDB di bawah 50 persen di taun 2006, mengingat institusi-institusi Indonesia sebagai negara berkembang belum kuat negara maju.

Jumlah utang luar negeri Indonesia yang besar pada akhirnya harus dibandingkan dengan asst-asset kekayaan yang ada di Indonesia. Selain asset BUMN, pemerintah masih memiliki kekayaan yang sangat besar dalam bentuk sumber daya alam yang belum di eksploitasi dengan baik. Dalam hal ini ketergantungan neraca pembayaran maupun APBN pada hasil sumber daya alam masih sangat tinggi sehingga seharusnya dapat mengurangi beban utang luar negeri Indonesia yang masih sangat besar.