• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dikatakan oleh sejumlah penduduk Kampung Workwana, uang pengembangan kebun kelapa sawit PTPN II diambil dari bank untuk membuka kebun kelapa sawit di Arsokota dan Workwana melalui sistem kredit. Kredit perusahaan ini kemudian dibebankan kepada petani. Pengembalian uang kredit ke bank dilakukan dengan

cara perusahaan memotong ongkos kredit tersebut dari petani ketika pembayaran hasil panen. Hal ini dirasakan secara ekonomi menjadi beban bagi petani termasuk penduduk asli yang mempunyai hak ulayat. Kredit yang diambil perusahaan dipakai untuk berbagai keperluan seperti, biaya penebangan hutan, sewa alat berat, membeli

chainsaw, sewa truk, beli pupuk dan beli peralatan perkebunan. Selain

beban ekonomi, masyarakat Workwana juga merasakan dan mengalami usaha kelapa sawit di tempat ini membuat mereka menjadi korban politik masa lalu. Dikatakan demikian oleh masyarakat karena daerah Keerom sebagai daerah perbatasan ketika itu menjadi daerah operasi militer dan warga masyarakat selalu dicurigai, disiksa bahkan dibunuh dalam operasi militer tersebut, sebagaimana ditulis oleh Budiardjo & Liong (1988). Menurut ungkapan penduduk setempat, karena alasan politik daerah perbatasan, hutan-hutan kami di wilayah ini dibabat, pohon-pohon ditebang agar tidak menjadi tempat persembunyian kelompok OPM dan dengan demikian hubungan masyarakat kampung dengan OPM diputus.

Selanjutnya, dikisahkan oleh beberapa warga kampung sambil mengenang masa lalu, tahun 1981 sampai 1983, ketika lahan-lahan kelapa sawit secara besar-besaran dibuka di sekitar Arsokota dan Workwana, kontrak ditandatangani oleh orang-orang tua, tokoh masyarakat adat pada malam hari di depan laras senjata. Tindakan itu dilakukan karena usaha-usaha untuk mendekati masyarakat sebelumnya sebanyak dua kali ditolak tokoh-tokoh adat. Dalam pendekatan yang dilakukan pihak perusahaan, perusahaan menjanjikan akan melakukan acara makan bersama di Jayapura dengan sejumlah pihak. Pada tahap ketiga, pihak perusahaan bekerja sama dengan pihak keamanan masuk ke rumah-rumah warga di seluruh wilayah Arso, termasuk Workwana dengan surat dari perusahaan untuk ditandatangani dan dijanjikan akan diberi beras dan mie instan kepada warga di rumah-rumah. Dikatakannya, “jadi orang tua-orang tua kami pada tahun-tahun itu melepas tanah besar ini di depan laras senjata, sehingga kemudian terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran”. Pengambilan tanah ini tanpa ada ganti rugi, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk pemerintah menyebut tanah ini tanah pemerintah.

Karena itu, sekarang dituntut agar tanah perkebunan ini harus dikembalikan ke adat. Tuntutan pengembalian tanah adat milik warga setempat masih terjadi hingga saat ini di daerah Arso.

Selanjutnya, berkaitan dengan permasalahan beban-beban masyarakat terkait pengembangan kelapa sawit di wilayah Arso, dikatakan juga oleh salah satu tokoh masyarakat di Kampung Workwana bahwa ada oknum pegawai PTPN II yang bermain dengan uang potongan petani dari kredit petani. Uang tersebut diberikan kepada koperasi-koperasi unit desa (KUD) di daerah Arso untuk dikembangkan. Menurut informan tersebut ada 20 KUD di wilayah Arso dan Workwana. Oleh karena itu menurut masyarakat di tempat ini, mereka dibebani dan dirugikan dua kali, yaitu secara ekonomi mereka kehilangan aset dan modal untuk hidup dan secara politik mereka menerima stigma sebagai bagian dari OPM (Ansaka, dkk, 2009)15.

Pengalaman serupa yang membuat masyarakat merasa dibebani oleh perusahaan secara ekonomi diceriterakan juga oleh Bapak Yan Was dari PIR III. Ia menuturkan bahwa sebagai petani kelapa sawit, kami harus membayar kredit yang dibebankan sebesar Rp 7.500.000,- per KK. Beban kredit ini merupakan masalah bagi kami petani orang asli. Nilai kredit tersebut dipotong setiap kali panen,sebesar 30% dari pendapatan kotor harga panen petani. Berdasarkan pengakuannya petani kelapa sawit di PIR, tahun 1998 hanya memperoleh uang sekitar Rp 300.000,- setiap kali panen, setelah pembayaran berbagai macam utang termasuk kredit oleh perusahaan. Pembayaran kredit disetor oleh perusahaan PTPN II ke Bank Exim pada waktu itu (sekarang Bank Mandiri). Berkaitan dengan urusan kredit, ada petani yang sudah melunasi kreditnya dan ada yang belum. Pada umumnya tidak semua petani bersedia melunasi kreditnya, khususnya petani pribumi dengan alasan bahwa tanah ini adalah milik mereka, mengapa mesti melunasi

15Ansaka mencatat pernyataan pelaku-pelaku sejarah yang berhubungan dengan pembukaan lahan sawit. Salah seorang pelaku sejarah dari Workwana menyatakan, saat itu kami tidakbisa melawan keinginan pemerintah, kami disuruh hanya tanda tangan surat pelepasan tanah, ditodong dengan senjata sehingga kami beradadalam keadaan penuh tekanan.

kredit yang bukan berasal dari inisiatif mereka sendiri tetapi perusahaan menjadikan urusan kebun kelapa sawit sebagai utang masyarakat melalui sistem kredit. Pembayaran kredit yang tidak lunas mengakibatkan ada petani yang belum memperoleh sertifikat tanah. Sertifikat bisa diberikan kepada petani bila kredit di bank telah lunas (Rosariyanto, dkk., 2008). Berikut ini dapat dilihat sebuah catatan data pemotongan kredit masyarakat petani yang pernah dibayar petani di bank sejak tahun 1983/1984 sampai 1989/1990.

Tabel 5.6

Jumlah Pemotongan Kredit

Tahun tanam Potongan/KK (Rp) Jumlah KK Jumlah kredit (Rp) 1983/1984 2.837.718,1 1984/1985 2.922.660,8 1985/1986 2.823.764,7 1986/1987 2.968.675,4 1987/1988 1.756.756,4 1989/1990 1.295.636,2 250 200 300 50 175 250 709.429.528 584.532.155 847.129.415 148.433.700 275.810.752 323.909.046

Sumber: Diolah dari Rosariyanto dkk (2008)

Menurut informan yang juga sebagai tokoh adat setempat, beban kredit yang harus dibayar sebagai petani kelapa sawit dirasa tidak adil oleh masyarakat. Masyarakat adat memang mendapat 2 (dua) hektare lahan sama dengan petani kelapa sawit yang bukan penduduk asli Workwana dan Arso sehingga harus membayar kredit sama dengan petani lain. Menurut tokoh masyarakat Workwana dan Arso tersebut, seharusnya ada perlakuan yang berbeda sebagai pemilik hak ulayat dan yang bukan pemilik hak ulayat. Sistem ini dilihat sebagai bentuk perlakuan yang tidak adil oleh negara dan perusahaan negara terhadap masyarakat.

Tekanan terhadap masyarakat tidak hanya sampai di situ. Salah seorang warga dari Workwana menuturkan, tahun 1994 terjadi suatu

peristiwa yang cukup mengejutkan dan tidak diharapkan. Pada suatu hari 3 orang oknum tentara datang di kampung dan bertemu dengan mahasiswa dari suatu perguruan tinggi swasta di Abepura yang ketika itu berpraktek sebagai buruh harian lepas (BHL) di kebun kelapa sawit. Hal ini terjadi karena para mahasiswa tersebut nampaknya sempat mengungkapkan keprihatinan mereka melihat beberapa kejadian di sekitar perkebunan kelapa sawit yaitu adanya penebangan hutan besar- besaran di daerah ini secara terus-menerus dan masyarakat yang bekerja sepanjang hari di perkebunan kelapa sawit tidak dibayar sepenuhnya. Ketiga oknum tentara bertemu para mahasiswa tersebut dan mengancam meraka, karena ketiga oknum tentara tersebut saat itu bertugas sebagai pengamanan di PTPN II Arso. Setelah kejadian tersebut, para mahasiswa itu melapor ke pimpinan perguruan tinggi dan kemudian masalah tersebut diteruskan ke pimpinan satuan yang lebih tinggi di Abepura Jayapura. Akhirnya ketiga oknum tentara tersebut ditegur keras oleh komandan satuannya. Hal ini menunjukkan beberapa hal yaitu, perusahaan-perusahaan baik swasta maupun pemerintah di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga saat ini selalu memperalat aparat keamanan untuk kepentingan usahanya. Di samping itu masyarakat selalu menjadi orang kalah, tak berdaya berhadapan dengan korporasi besar yang diperkuat oleh aparat keamanan negara sehingga pasrah diperlakukan tidak adil, penuh kekerasan ketika mereka berbicara mengenai hak-hak sebagai pekerja atau sebagai buruh.

Dokumen terkait