Sumber: Foto B. Renwarin 2014
Gambar 5.7
Tumpukan Kelapa Sawit di Jalan Trans Irian (Papua)
Kedua gambar di atas memperlihatkan tumpukan kelapa sawit yang diletakkan di tepi Jalan Trans Irian (Papua) yang dipetik buruh tani yang bekerja pada pengontrak kebun kelapa sawit atau pembeli
17Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten KeeromTahun 2010-2015, Arso: Pemerintah Kabupaten KeeromTahun 2011.
kebun kelapa sawit dari penduduk Workwana. Tumpukan di Gambar 5.7 sebelah kiri, lebih banyak, hasil petikan atau egrek selama beberapa hari. Sedangkan Gambar 5.7 sebelah kanan, jumlah kelapa sawit lebih sedikit karena kenyataannya produksi buah sawit dari waktu ke waktu terus berkurang. Dari pengalaman buruh tani yang ditemui di jalan, diketahui bahwa diperlukan beberapa hari lamanya untuk mengumpulkan buah kelapa sawit seperti terlihat pada gambar di atas, yang ditumpuk saja di pinggir jalan untuk kemudian diangkut dengan truk ke pabrik pengolahan kelapa sawit di Arso 7 (tujuh). Fenomena gambar ini menunjukkan bahwa setelah 30 tahun kelapa sawit ditanam dan berproduksi, dari waktu ke waktu hasilnya terus berkurang sementara peremajaan yang ditunggu-tunggu masyatakat tidak pernah terjadi.
Seperti dijelaskan oleh Sunarko (2014, 165-166), produksi kelapa sawit dari waktu ke waktu yang terus berkurang dipengaruhi oleh usia tanam. Dikatakannya, ketika kelapa sawit masih berusia 3 sampai 4 tahun,bisa diperoleh kelapa sawit sebanyak 6,2 ton/ha sampai 12 ton/ha, berasal dari rata-rata 17,4 sampai 17,9 buah TBS per pohon. Akan tetapi ketika kelapa sawit mencapai usia 23 sampai 25 tahun,TBS yang dihasilkan makin berkurang, rata-rata jumlah TBS hanya mencapai 3,8 sampai 3,7 per pohon. Catatan Sunarko kurang lebih sama dengan pengalaman petani kelapa sawit di Kampung Workwana dan Arsokota.Dikatakan oleh Benny Montulalu, dari PIR 2, ketika masa-masa awal panen, kelapa sawit dipanen petani 2 kali sebulan, dengan hasil 6 sampai 7 ton per lahan, bahkan bisa mencapai 9 ton berkat pemberian pupuk. Tapi sekarang 1 lahan hanya menghasilkan 30 sampai 40 TBS, dan 1 TBS hanya 16 kg.
Selain itu Pak Damasussalah, seorang warga pemilik lahan kelapa sawit di wilayah Workwana pada salah satu kesempatan mengisahkan pengalamannya mengelola kelapa sawit. Dikatakan oleh Damasus, ketika sampai di perusahaan, kelapa sawit kami masih juga harus mengantri satu sampai dua hari, bahkan pernah sampai satu minggu lamanya. Padahal kami sudah mengeluarkan uang untuk mengegrek dan uang pikul. Petani sedikit sekali untung karena untuk
memanen harus mengeluarkan modal terlebih dahulu. Uang harga kelapa sawit akan dibayar pada akhir bulan, bukan pada setiap kali pengiriman. Kondisi seperti ini membuat orang Papua pemilik lahan kelapa sawit di Workwana tidak mampu mengelola lahannya, sehingga banyak lahan milik masyarakat setempat disewakan dengan harga yang cukup murah kepada masyarakat pendatang atau petani yang mampu mengolah lahan tersebut. Sebagai contoh masyarakat yang berada di Pir IV dan Kampung Wembi, Arso, mengalami kerugian yang besar karena jarak kebun kelapa sawit dari lokasi perusahaan sangat jauh sehingga ongkos transport menjadi hampir dua kali lipat.
Selain itu informasi juga diperoleh dari Bapak Yosep Wabiager sebagai Ondoafi Workwana, menjadi salah satu karyawan perusahaan kelapa sawit. Beberapa kali penulis mencoba bertemu dengannya namun tidak pernah menjumpainya di rumah. Informasi tentang Bapak Yosep ini diperoleh melalui catatan wartawan Jubi terkait dengan pengalamannya tentang kelapa sawit. Catatan tersebut menjelaskan, menurut Bapak Yosep, ia merasa dirugikan dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit di kampungnya. Karena ada masalah dengan biaya transportasi, biaya egrek dan biaya pikul, semua ongkos tersebut menjadi beban yang sangat berat. Ia sendiri tidak mampu mengolah lahannya, dan akhirnya menyewakan lahannya dengan harga Rp 2.000.000/tahun kepada orang pendatang. Namun baginya ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga harus melakukan usaha lain. Menurutnya, “mau tidak mau kami harus tokok sagu, berburu, dan berkebun di lahan kami yang tersisa ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Kalau kami hanya mengharapkan hasil kelapa sawit kami tidak dapat apa-apa”. Selain itu dikatakan juga sampai saat ini perusahaan dan pemerintah tidak memperhatikan masyarakat asli daerah ini. Air di sini keruh, kalau mau digunakan harus disaring untuk dipakai masak atau mandi. Demikian juga perumahan masyarakat.Hingga saat ini masyarakat masih tinggal di gubuk, rumah papan di kampung ini yang dibangun oleh Dinas Sosial Provinsi Papua tetapi karena sudah lama maka sekarang atapnya sudah bocor dan papan juga sudah berjamur. Pemda Keerom sendiri dengan pihak perusahaan kelapa sawit ini belum
membangun rumah warga masyarakat di kampung Workwana sampai saat ini.
Namun dari waktu ke waktu keluhan Bapak Yosep di atas mulai diperhatikan pemerintah kampung melalui dana PNPM Mandiri Respek beberapa tahun terakhir, sebagaimana dijelaskan oleh Moses Fatagur, Sekretaris Kampung Workwana. Kisah-kisah yang disampaikan penduduk di daerah ini dan hasil rekaman wartawan Jurnal Suara Perempuan, wartawan Jubi dan SKP Jayapura serta berbagai penelitian, memberikan gambaran bahwa apa yang dibuat di atas kertas, dipikirkan para pejabat pemerintah senyatanya amat berbeda dengan realitas pengalaman masyarakat.
Para informan mengatakan orang Workwana sudah sejak tahun 2000 tidak lagi memanen kelapa sawit sendiri karena sejak saat itu kebun dikontrakkan kepada orang lain. Diharapkan oleh masyarakat bahwa berhadapan dengan urusan tanah dan kontrak hendaknya diatur dengan baik tetapi pemerintah daerah dan perusahaan tidak menanggapi dengan baik. Selain itu perusahaan juga seharusnya membina petani tapi setelah adanya tuntutan-tuntutan masyarakat, perusahaan nampaknya lepas tangan dan hanya menunggu hasil panen dibawa ke pabrik. Dengan begitu peremajaan tanaman pun tidak dilakukan karena masalah tanah dalam kontrak belum diselesaikan dan diharapkan diatur ulang. Menurut Bapak Lukas Yonggom, warga Kampung Workwana, sekarang ini masyarakat tidak pegang uang lagi dari hasil kebun kelapa sawit. Hal serupa juga diungkapkan Pak Fins Mosunggwa.Pada awal-awal masa panen kelapa sawit masih setinggi 2 sampai 3 m, masyarakat mendodos sendiri kelapa sawitnya. Tetapi ketika kelapa mulai lebih tinggi mencapai 5 sampai 6 m, kelapa sawit harus diegrek dan usaha ini memerlukan banyak tenaga sehingga menimbulkan rasa sakit di dada, bahkan seluruh badan menjadi sakit dan membuat masyarakat menjadi trauma. Saudara Fins menyatakan kalau secara fisik masyarakat tidak sehat, kurang gizi, keadaan tersebut sangat berpengaruh pada seseorang. Dikatakannya, bagaimana warga bisa bekerja keras kalau kesehatannya kurang baik. Oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh ialah
menyerahkan panen kelapa sawit kepada orang lain khususnya warga transmigrasi atau warga lainnya dari kota Abepura dan hal ini sudah terjadi sekitar 20 tahun lebih. Ada lahan yang dikontrakan untuk 10-15 tahun, bahkan ada yang kepemilikannya sudah berpindah ke pihak lain. Dikatakan oleh Pak Fins kelihatannya masyarakat belum siap mengolah lahan kelapa sawit. Dengan kontrak lahan selama 1 (satu) atau 2 (dua) tahun, pemilik mendapat Rp 1.000.000, sampai Rp 2.000.000,-, padahal sesungguhnya yang mengontrak lebih beruntung karena dikerjakan sendiri, yang pada umumnya adalah masyarakat pendatang. Sekarang warga pendatang yang mengontrak lahan kelapa sawit mempunyai hidup yang lebih baik, mempunyai rumah batu atau permanen, motor roda dua, dan sebagainya. Dahulu memang diatur agar truk-truk dibayar oleh kebun inti atau perusahaan dan petani plasma terima bersih.Tetapi sekarang petani plasma menanggung semua ongkos, yakni membayar tenaga buruh dan mobil truk, bisa mencapai Rp 500.000,-lebih. Dengan cara demikian lalu berapa yang diterima petani dalam situasi sekarang ini, yang mana harga kelapa sawit naik turun. Keadaan ini menyebabkan pendapatan ekonomi masyarakat kecil sekali atau kurang sehingga berpengaruh pada hidup sehari-hari. Dikatakannya, kondisi hidup yang terbatas tersebut dapat dilihat dari kondisi rumah, yang pada umumnya amat sederhana bahkan masih ada yang menempati rumah papan bantuan Dinas Sosial tahun 1983 yang nyaris roboh, dengan perabot rumah tangga seadanya dan sebagainya. Menurut Fins salah satu tokoh muda di Workwana, sebenarnya kalau masyarakat bisa panen sendiri, pendapatan petani cukup dan bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan pendapatan yang terbatas seperti sekarang ini membuat banyak anak tidak bersekolah, hanya satu atau dua anak saja yang sampai ke perguruan tinggi. Dengan kata lain menurut Fins, kondisi keluarga yang serba terbatas tidak memotivasi anak untuk mengikuti pendidikan atau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi kelapa sawit sekarang ini tidak mendukung dan tidak memberi harapan bagi masyarakat, demikian dikeluhkan Pak Fins. Dampak dari keadaan seperti ini menunjukkan sekarang hampir semua warga masyarakat Kampung Workwana merasakan hidup sulit. Anak-anak muda tidak
bisa pegang jubi (tombak) dan menokok sagu. Sistem pencarian nafkah seperti itu telah hilang dari kehidupan penduduk setempat yang sebenarnya dipelajari turun-temurun. Masyarakat sekarang tergantung dari uang kelapa sawit padahal uang kelapa sawit sama sekali tidak menjanjikan bagi kehidupan saat ini dan di masa depan.
Pengalaman yang mirip dengan warga di Workwana dialami juga oleh Bapak Yan Was dari PIR III Kampung Bagia jalur D Timur RT 05. Disampaikannya, PIR 3 dibuka tahun 1989. Ia mempunyai 2 hektare lahan dan membayarnya dengan cara mengambil kredit sebesar Rp 7.000.000,- per orang dan uang tersebut dibayar kembali oleh setiap petani. Yan Was mengatakan dahulu masyarakat dimukimkan dengan mendapat rumah papan, berukuran 6 m x 6 m dan hasil dari lahan kelapa sawit, ¾-nya untuk perusahaan. Rakyat sebagai petani tidak menikmati hasil kelapa sawit karena tidak punya modal usaha, tidak punya kendaraan. Mobil angkutan truk disewa Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,-. Menurut Bapak Yan Was,sekitar satu tahun tidak panen lagi karena jembatan menuju lahannya sedang rusak dan belum diperbaiki. Dikaatakan oleh Bapak Yan Was, 1 ton sawit harus dibayar sekitar Rp 700.000,- padahal belum dihitung ongkos membayar buruh, di mana orang yang mengegrek kelapa sawit dibayar Rp 2.000,- per tandan. Yang memikul TBS harganya lain lagi, bila dekat dengan jalan raya, pemikul dibayar Rp 1.500,- per tandan; bila agak jauh dari jalan raya dibayar Rp 2.000 per tandan dan bila lebih jauh lagi dari jalan raya dibayar Rp 3.000,- per tandan. Pembayaran tersebut belum termasuk ongkos makan, minum dan rokok buruh, karena semuanya menjadi tanggung jawab pemilik lahan atau orang yang mengontrak lahan. Dari pengalamannya, pembayaran kepada buruh dilakukan setelah PTPN II membayar hasil timbangan, hasil bersih buah kelapa sawit dan ini tergantung dari berat ringan atau besar kecilnya buah kelapa sawit serta harga yang ditentukan, mengingat harga kelapa sawit sekarang tidak stabil. Menurut Bapak Yan biaya makin tinggi, pohon sawit makin sedikit buahnya dan pada waktu membersihkan lahan dilakukan setiap 3 bulan sekali. Biasanya yang bekerja 3 sampai 5 orang dan mereka dibayar per orang Rp 1.000.000. Semuannya tanggungan petani yang punya lahan. Buruh
yang dipakai di sini biasanya diambil dari masyarakat asli setempat. Sejumlah responden dari Workwana mengatakan, setelah berhenti memanen kelapa sawit, lapangan kerja masyarakat hilang, tidak bisa ke hutan untuk mencari makan, berburu binatang dan lain-lain. Kalau mau sesuatu mereka berhutang barang dan tidak bisa membayar. Kalau sayur yang dijual tidak laku di pasar, dibuang di jalan. Keadaan ini menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya sekarang hidup dalam keadaan tidak sejahtera. Dengan kata lain orang Workwana sedang hidup dalam keadaan parah. Akibatnya muncul pikiran-pikiranctidak sehat, terjadi perilaku seks bebas, dan tindakan-tindakan orang muda yang tidak terpuji.