• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Beberapa Alternatif Pengendalian

Pengendalian caplak didasarkan pada jenis dan siklus hidupnya. Jenis caplak (berumah satu, dua, atau tiga) harus diketahui dengan pasti untuk menentukan metode dan waktu pengendalian. Ada beberapa cara pengendalian caplak, yaitu pengendalian alami, mekanik, biologi (biokontrol), kimia, penggunaan inang resisten, pengendalian terpadu, serta anti-tick vaccine (vaksin anti caplak) (Williams et al. 1985, Willadsen & Jongejan 1999, Hadi & Soviana 2000, Willadsen 2004).

Pengendalian alami bisa dilakukan dengan rotasi kandang terhadap badak- badak yang ada di SRS. Rotasi kandang yang biasa dilakukan di SRS setiap 2–3 bulan sekali. Rotasi tempat sangat efektif untuk mencegah meluasnya infestasi caplak keras berinang satu (Hall 1985). Cara rotasi ini biasa dilakukan pada ternak gembala (ranch), dimana larva caplak yang menetas di setiap padang penggembalaan akan mati dalam waktu paling lama 16 minggu karena tidak menemukan inang, sampai ternak tersebut kembali digembalakan di padang penggembalaan tersebut. Selain itu cuaca yang panas dan kelembaban yang rendah akan mempercepat kematian larva (Seddon 1967).

Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan membakar rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfeksi (Williams et al. 1985). Menurut Hall (1985) pembakaran rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfestasi caplak efektif mengurangi populasi caplak dalam jumlah besar, terutama larva yang menunggu inang mereka di ujung rumput atau tumbuhan lainnya. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan di SRS karena kondisi kandang lepas (paddock) badak yang merupakan hutan yang cukup rapat sehingga bisa mengakibatkan kerusakan yang besar jika menggunakan metode pembakaran tersebut. Pengendalian mekanik yang sudah dilakukan di SRS adalah dengan melakukan pemotongan rumput di area kandang lepas (paddock) SRS. Dengan pemotongan rumput ini efek yang ditimbulkan diharapkan sama yaitu pengurangan populasi caplak. Selain itu, pengeringan padang penggembalaan (drained pasture) pernah dilakukan di Afrika dan Jepang untuk mengendalikan populasi caplak Rhipicephalus appendiculatus dan Haemaphysalis longicornis

(Youdewei & Service 1983).

Pengendalian biologi (biokontrol) terutama bertujuan mengendalikan populasi caplak seminimal mungkin agar tidak menimbulkan masalah dengan melibatkan beberapa agen biokontrol caplak yaitu patogen, parasitoid, dan

predator alami caplak (Williams et al. 1985, Mwangi et al. 1991, Samish & Rehacek 1999, Kaaya 2003). Caplak secara alami memiliki beberapa musuh alami, tapi hanya sedikit yang telah diteliti sebagai tick biocontrol agents (BCAs). Dengan kondisi SRS yang berupa hutan alami, sangat dimungkinkan terdapat predator atau pemangsa alaminya walaupun tanpa perlakuan khusus dengan menyebarkannya di dalam area kandang SRS. Metode ini lebih sulit dan hasilnya lebih lambat terlihat dibandingkan penggunaan zat kimia (insektisida) karena umumnya musuh alami yang bersifat tidak spesifik terhadap suatu jenis ektoparasit, akan optimal jika merupakan bagian dari suatu pengendalian terpadu (Hadi & Soviana 2000).

Pengendalian caplak secara kimia merupakan cara paling banyak digunakan sampai saat ini. Bahan kimia yang digunakan disebut akarisida. Penggunaan arsenik sebagai akarisida merupakan yang tertua sejak awal ditemukannya sekitar 40 tahun sebelum Perang Dunia II, sampai banyak terjadi resistensi caplak. Setelah itu penggunaan akarisida organik sintetik lebih banyak dipilih sebagai alternatif. Penggunaan akarisida harus memperhatikan keuntungan, batasan pemakaian, dan potensi kerugian dengan setiap metode aplikasi dan variasi produk akarisida (George et al. 2004). Penggunaan akarisida pada satwaliar seperti badak sumatera akan lebih sulit jika dibandingkan pada ternak, seperti misalnya metode dipping dan spraying pada ternak akan sulit diterapkan pada badak (Candra 2007, komunikasi pribadi). Menurut Hadi dan Soviana (2000) penggunaan insektisida yang tidak bijaksana dalam upaya pengendalian serangga hama dapat menimbulkan berbagai akibat yaitu: (a)

pesticide resistance, munculnya populasi serangga target yang menjadi resisten, sehingga perlu insektisida dalam jumlah yang lebih tinggi; (b) pest resurgence, populasi serangga hama yang baru yang lebih ganas; (c) secondary pest outbreak, peningkatan populasi serangga non target hingga mencapai tingkat yang merugikan; (d) residualdueproblems, penumpukan residu insektisida pada tanaman, tanah, air atau udara yang menimbulkan masalah baru pada hewan; (e) hazzard to nontarget species, senyawa kimia insektisida dapat mengganggu proses penyerbukan, satwaliar, dan segala bentuk kehidupan alami; (f) legal problems, kontaminasi atau pencemaran insektisida dapat menimbulkan reaksi hukum. Masalah hazzard to nontarget menjadi pertimbangan utama bagi manajemen SRS mengingat kondisi area perkandangan yang memang didesain dengan konsep semi-insitu harus mempertahankan segala bentuk kehidupan

alami (pertimbangan ekologis), disamping bahaya secara langsung terhadap badak dengan adanya residu (residual due problems) pada tanaman yang juga merupakan sumber pakan bagi badak di SRS. Biasanya di SRS hanya digunakan SWAT untuk repellen ektoparasit secara umum, walaupun tidak secara khusus untuk mencegah infestasi caplak di tubuh badak namun cukup berhasil mengurangi jumlahnya (Candra 2007, komunikasi pribadi).

Pengembangan anti-tick vaccines merupakan sebuah terobosan terbaru, walaupun masih banyak perlu dilakukan penelitian. Menurut Willadsen (2004) vaksinasi dengan menggunakan protein antigen caplak tertentu terbukti dapat menginduksi pembentukan imunitas yang signifikan terhadap infestasi caplak. Pembuatan vaksin caplak dilakukan dengan membuat anti-antigen dari patogen yang terdapat pada kelenjar saliva dan saluran usus caplak. Sampai saat ini, vaksin caplak hanya dapat bekerja untuk mencegah infestasi nimfa dan caplak dewasa pada inang, tetapi tidak pada larva caplak (Jongejan & Uilenberg 2004). Penggunaan vaksin caplak biasanya masih harus dikombinasikan dengan akarisida.

Strategi pengendalian terpadu merupakan cara pengendalian dengan memadukan berbagai metode pengendalian yang ada. Strategi ini dilakukan dengan mengetahui resistensi yang terjadi pada caplak serta patogen yang ditularkan, dinamika populasi caplak, analisis biaya terhadap penggunaan akarisida, serta ketersediaan vaksin terhadap tick-borne diseases (penyakit yang ditularkan oleh caplak). Data akurat mengenai ekologi caplak (distribusi geografis, seasonal activity, dan inang definitif caplak) dan prevalensi dari tick- borne diseases dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam tindakan pengendaliannya (Willadsen & Jongejan 1999). Pengendalian terpadu yang bisa dilakukan di SRS saat ini masih terbatas pada kombinasi metode pengendalian alami (rotasi kandang) dan mekanik (pemotongan rumput di area paddock).

Dokumen terkait