• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di Suaka Rhino Sumatera

Caplak merupakan ektoparasit yang penting dalam kedokteran hewan. Semua caplak merupakan parasit pada vertebrata darat setidaknya pada satu tahap dalam siklus hidupnya. Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus yang

menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia (Noble & Noble 1982, Jongejan & Uilenberg 2004, Kim et al. 2006).

Menurut Cheng (1964), efek yang ditimbulkan akibat gigitan caplak secara umum bisa dikategorikan menjadi lima, yaitu: (a) Anemia. Faktor penyebabnya masih belum jelas, walaupun banyak dugaan gejala klinis ini disebabkan oleh parasit darah yang ditularkan oleh caplak; (b) Paralisis. Kejadian paralisis biasanya terjadi setelah caplak betina menghisap darah, penyebabnya merupakan neurotoxin. Walaupun tidak semua jenis caplak betina bisa mengeluarkan neurotoxin. Pemulihannya bisa dilakukan dengan dilepaskannya caplak dari tubuh induk semang. Beberapa jenis caplak yang diketahui menyebabkan paralisis diantaranya adalah: Ixodes holocylus menyebabkan paralisis pada anjing dan manusia (Australia), Dermacentor andersoni dan

Dermacentor variabilis menyebabkan paralisis pada manusia, sapi, domba, dan bison (di Amerika dan Inggris), Ixodes pilosus (Afrika Selatan dan Eropa),

Amblyoma americanum menyebabkan paralisis pada berbagai mamalia (Amerika); (c) Kerusakan Mekanis. Gigitan caplak menyebabkan kerusakan akut pada integumen induk semang dan jaringan di bawahnya. Selanjutnya, bekas gigitan tersebut dapat menyebabkan infeksi bakteri dan fungi, serta sebagai jalan masuk bagi larva insekta (pada kejadian miasis); (d) Toksin dan Venom. Gigitan dari beberapa jenis Ixodidae seperti Dermacentor occidentalis,

Dermacentor variabilis, dan Ixodes ricinus, dapat menyebabkan gangguan sistemik aklibat sekresi yang dikeluarkan caplak setelah melakukan gigitan. Pada Argasidae, Ornithodorus moubata di Afrika menyebabkan pembengkakan akut dan iritasi. Asal toksin belum diketahui, walaupun Ixodes ricinus diketahui mengeluarkan antikoagulan sewaktu menghisap darah untuk mencegah pembekuan darah di tempat gigitan serta koagulasi darah di traktus alimentarius caplak tersebut. Diduga kebanyakan caplak mengeluarkan sekreta serupa dimana terkandung pula toksin di dalamnya; (e) Vektor Mikroorganisme. Caplak merupakan vektor untuk protozoa, bakteri, rickettsia, dan spirochaeta.

Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: (a) caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; (b) kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti anti- hemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh

darah; (c) cara makan caplak yang lambat dan bertahap (gradual) dapat berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; (d) caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; (e) memiliki variasi inang yang luas; (f) sedikit musuh alamnya; (g) caplak dapat menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) dan transtadial (dari larva ke nimfe ke caplak dewasa); (h) caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil (Woolley 1988, Sonenshine 1991, Labuda & Nuttal 2004, Valenzuela 2004).

Untuk genus Haemaphysalis telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Uchida et al. (1995) menemukan antigen gen sekuen Rickettsia rickettsii pada jenis Haemaphysalis longicornis. Parola et al. (2003) melaporkan jenis Haemaphysalis hystris yang ditemukan pada babi hutan di Vietnam menjadi vektor Ehrlichiasp. strain Ebm52 yang mirip

Ehrlichia chaffee, jenis ini juga merupakan satu diantara penyakit zoonosis yang penting. Dilaporkan juga bahwa tiga kejadian ehrlichiosis pada manusia sejak tahun 1991 dari jenis ini (Dumler et al. 2001). Sementara itu Kim et al. (2006) menemukan bahwa Haemaphysalis sp. berperan sebagai vektor Anaplasma phagocytophilum, Anaplasma platys, Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii,

Ehrlichia canis, dan Rickettsia rickettsii dengan menggunakan PCR. Thekisoe et al. (2007) menemukan Trypanosomasp. dengan PCR yang diisolasi dari kelenjar air liur Haemaphysalis hystricis yang diambil di Osumi Peninsula, Jepang. Khan

et al. (2004) melaporkan kematian lima badak sumatera yang ada di Sumatran Rhino Conservation Center di Sungai Dusun, Malaysia, pada Oktober sampai dengan November 2003 disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Hal tersebut didasarkan pada temuan parasit tersebut melalui ulas darah pada dua badak. Dengan demikian resiko badak sumatera di SRS untuk terinfeksi Trypanosoma sp. dengan adanya H. hystricis yang merupakan vektor alami dari Trypanosoma sp. harus diwaspadai agar tidak terulang kasus yang sama.

Untuk genus Amblyomma telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Yano et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor

Rickettsia japonica penyebab Japanese spotted fever. Cao et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Cina Selatan berperan sebagai vektor Ehrlichiachaffensis dengan menggunakan PCR yang dicocokkan dengan DNA sequencing. Parola et al. (2003) melaporkan bahwa jenis

Amblyomma javanense yang dikoleksi dari Myanmar berperan sebagai vektor

Anaplasma sp. strain AnAj360. Swai et al. (2006) melaporkan bahwa jenis

Amblyomma variegatum berperan sebagai vektor Theileria parva pada ternak sapi di Tanga, Tanzania. Fournier et al. (2006) melaporkan bahwa jenis

Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia tamurae sp.nov.

Gambar 19 Siklus Hidup Babesia bigemina (Farmer 1980)

Menurut Saraswati (2005) jenis parasit darah (Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp.) yang ada pada badak sumatera di SRS diakibatkan oleh adanya caplak sebagai vektor mekaniknya (Gambar 19), yaitu Amblyomma sp., Haemaphysalis sp., dan Boophilus sp. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Stokes-Greene (2006) di SRS, dimana ditemukan insidensi parasitemia berbagai protozoa darah pada badak sumatera di SRS yaitu:

Anaplasma marginale (≥ 27 % tiap individu); Anaplasma centrale (≥ 10 % tiap individu); serta Theileria sp. (≥ 15 % tiap individu). Menurut Homer et al. (2000) semua jenis Babesia sp., yang merupakan protozoa darah, ditransmisikan oleh caplak Ixodidae ke inang vertebratanya, sehingga jenis-jenis caplak yang ditemukan di SRS diduga berperan sebagai vektor protozoa darah. Namun demikian pemeriksaan spesifik pada caplak untuk tick-borne pathogens

menggunakan pemeriksaan molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) yang biasanya digunakan untuk mengetahui anti-antibodi dari agen yang dibawa oleh caplak.

Dokumen terkait