• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Faktor Utama Penyebab

Dalam dokumen d adp 039732 chapter3 (Halaman 114-121)

G. Potret Anak dari Keluarga Miskin yang Belum Tersentuh Kebijakan Inilah potret dari sebagian anak yang pada saat dilakukan penelitian

2. Beberapa Faktor Utama Penyebab

Apa yang dialami oleh banyak anak dari keluarga miskin seperti yang diangkat dalam beberapa kasus di atas sesungguhnya hanyalah merupakan representasi saja dari sekian banyak kasus yang sama, atau setidaknya cenderung sama, yang umumnya banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin yang lainnya.

Persisnya, dari 270 anak yang tinggal di 270 Desa / Kelurahan yang sengaja diwawancarai dan diobservasi dalam penelitian ini, dan setelah dilakukan klasifikasi atau kategorisasi, maka setidaknya ada empat faktor dominan yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik dropout di tengah jalan, maupun tidak melanjutkan sekolah.

Dari hasil penelitian pula terungkap bahwa masing-masing faktor tersebut tidak selamanya hadir secara terpisah dari faktor yang lainnya, melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua

faktor yang lainnya. Pengklasifikasian di sini dibuat sekadar untuk memudahkan analisis sekaligus menjelaskan faktor dominan paling berpengaruh yang selama ini muncul menjadi penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus sekolah.

Pertama, dan yang paling utama, adalah menyangkut faktor ekonomi keluarga, sebutlah beban berat ekonomi keluarga. Inilah pula faktor yang pada akhirnya banyak mempengaruhi lahirnya faktor penyebab lain, sebutlah seperti menyangkut faktor kesadaran atau motivasi, baik motivasi anak maupun orang tuanya, bahkan motivasi kedua belah pihaknya.

Fakta di atas sesuai dengan hasil sebuah penlitian terkini yang dilakukan El findri dan Davy (2006), dalam Devy Hendri (Kompas, 30 Juli 2007) yang menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak dari keluarga miskin adalah karena jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama.

Masalah pokoknya muncul ketika tuntutan biaya yang dibutuhkan untuk menyekolahkan anaknya harus menyedot tuntutan biaya untuk memenuhi keseharian hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan sangat primer karena menyangkut pemenuhan perut atau makan sehari-hari mereka. Kecenderungan tersebut diperparah oleh besarnya beban hidup yang harus ditanggung oleh keluarga miskin lantaran besarnya jumlah anak yang dimiliki mereka.

Hasil penelitian ini juga mengungkapkan, semakin miskin sebuah keluarga, maka akan semakin besar keinginan untuk memiliki banyak anak. Hal ini juga sesuai dengan tesis yang dikembangkan para ahli demografi – sosiologi yang menegaskan bahwa besarnya anak bagi keluarga miskin adalah investasi.

Itu sebabnya, semakin miskin sepasang keluarga, maka akan semakin banyak kemungkinan anak yang mereka miliki. Buat mereka, anak adalah mesin produksi yang diharapkan bisa membantu meringankan beban ekonomi kelauraga.

Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa masalah beban berat ekonomi di sini bukan menyangkut besarnya biaya yang harus dipenuhi anak untuk membayar iuran sekolah yang memang sudah dibebaskan pemerintah, melainkan menyangkut biaya untuk keperluan seperti seragam, baju olah raga, biaya transportasi, bahkan biaya jajan anak, adalah beberapa komponen lain yang mesti diperhitungkan dalam pembiayaan pendidikan.

Jelasnya, beban biaya tidak langsung, atau indirect cost, itulah yang menjadi masalah berat yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin dalam mengakses layanan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Bahkan bagi mereka yang sangat miskin, anak justeru ditarik dari sekolah dengan maksud hanya untuk membantu meringankan beban hidup keluarga, bahkan anak dibiarkan bermain keluyuran. Di situlah pula arti pentingnya mempertimbangkan apa yang dalam konsep ekonomi pendidikan disebut dengan opportunity foregone (kesempatan yang hilang) yang mesti dipertimbangkan dalam membicarakan pembiayaan pendidikan, lebih-lebih bagi anak dari keluarga miskin.

Kedua, adalah faktor kesadaran, baik menyangkut kesadaran orang tua maupun kesadaran anaknya sendiri, bahkan menyangkut kesadaran kedua- duanya, yakni kesadaran anak dan orang tuanya. Persisnya, dari banyak kasus anak tidak bersekolah yang diteliti, sebagian diataranya terjadi karena berkait dengan persoalan miskinnya kesadaran atau awarnesses mereka. Kondisi ini

diperkuat oleh tingkat pendidikan orang tua mereka yang secara rata-rata memang tidak lebih dari tamatan SD, bahkan banyak yang tidak tamat SD.

Namun perlu dicatat bahwa faktor kesadaran di sini tidaklah berdiri sendiri atau lepas dari faktor lainnya yang memang merupakan karakter khas dari keluarga miskin. Jelasnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan menjadi berkurang lantaran memang terdesak oleh tuntutan hidup yang dihadapi mereka. Karena begitu beratnya beban hidup yang harus ditanggung mereka, misalnya, motivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi berkurang.

Faktor jarak jauh antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah, ketiga, adalah merupakan masalah berat tersendiri yang selama ini menjadi penyebab sebagian anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus sekolah. Dari banyak kasus anak tidak sekolah yang diteliti, sebagiannya mengeluh karena masalah biaya transportasi. Dalam konteks itu, efektivitas semua kebijakan yang diimplementasikan pemerintah selama ini jelas-jelas belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin, dan karenanya layak dipertanyakan.

Bahkan karena sangat jauh dan langkanya sarana transportasi, ada diantara mereka yang setiap harinya harus mengeluarkan biaya transport saja tidak kurang dari Rp. 50.000,-, sebuah angka yang jauh lebih besar dibanding besarnya iuran yang dibebaskan pemerintah. Itulah pula faktor yang selama ini belum banyak dijawab dalam implementasi kebiajakan Wajar Dikdas. Seperti pernah ditegaskan pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Nanang Fatah (Kompas, 20 Desember 2006), salah satu kesulitan masyarakat

dalam mengakses pendidikan berkait dengan persoalan transportasi karena selama ini pemerintah tidak memperhitungkan jarak jangkauan calon siswa dengan sekolah.

Bahkan jauhnya jarak yang terpaksa sering harus ditempuh anak dari keluarga miskin – karena ketiadaan infrastruktur jalan serta sarana transfortasi – adalah contoh dari bentuk pengorbanan yang tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan. Meminjam istilahnya Thomas Yanes (1985), Non – monetary cost, itulah faktor lain yang selama ini tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan

Itulah pula faktor ketiga yang selama ini jadi penyebab lain anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Masalah ini tak jarang diperburuk oleh beratnya beban kehidupan ekonomi keluarga mereka, disamping aspek kesadaran atau motivasi mereka terhadap pendidikan yang memang rendah. Di sini, efektivitas layanan pendidikan yang dilakukan pemerintah saat ini juga layak dipertanyakan karena belum mampu menjawab kondisi riel kehidupan anak dari keluarga miskin.

Seperti diungkapkan oleh Drs. Dadang, Kepala SMP Sukaresmi 1 yang menjadi sekolah Induk SMP Terbuka yang mengatakan : bahwa ”hanya sekitar 70 persen dari murid-muridnya yang rtin mengikuti kegiatan belajar”. Alasannya, tegasnya pula, ”anak-anak yang selruhnya berasal dari keluarga miskin itu sering bolos karena memang diajak orang tuanya, kalau bukan karena memang motivasi anaknya sendiri yang rendah, yang menjadi penyebab anak sering tidak hadir mengikuti proses pembelajaran”.

Hal itu didukung pula oleh tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979) yang menegaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat miskin yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Parahnya, demikian pernah terlontar dari beberapa tokoh masyarakat di Cianjur selatan, bahwa tidak jarang anak yang sedang sekolah ditingkat SMP terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah hanya karena ada iming-iming mau diajak bekerja keluar negeri (umumnya jadi pembantu rumah tangga) oleh oknum dari penyalur tenaga kerja yang selama ini menjadi masalah pelik tersendiri bagi pemerintah dalam upaya untuk mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdasnya, bahkan menjadi masalah pelik dan kompleks tersendiri dalam menaggulangi masalah ”trafficking” yang tak jarang muncul di kabupaten Cianjur.

Keempat, adalah menyangkut faktor psikologis seperti perasaan rendah diri atau minder, baik karena status sosialnya yang memang miskin maupun karena faktor kelainan atau cacat fisik yang dimilikinya, termasuk didalamnya faktor psikologis karena memang anaknya yang karena berbagai hal malas bersekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silverstein dan Krate, dikutip Saratri Wilonoyudho (Kompas, 16 Mei 2005) yang mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang umumnya tinggal di daerah kumuh atau tertinggal / terisolasi menyebebkan mereka memiliki sifat kurang percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri rendah (low self esteem).

Hasil penelitian itu juga sesuai dengan pendapatnya Oscar Lewis (1961) yang banyak melihat kemiskinan lebih dari aspek budaya – budaya kemiskinan (culture of poverty) – yang menegaskan bahwa dilihat dari perilaku

kesehariannya, budaya miskin itu tampak dari tanda-trandanya seperti merasa tidak berharga, tidak berdaya, rendah diri dan ketergantungan.

Salah satu wujud kongkritnya, sebagian diantara mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah hanya karena tidak mampu membeli sepatu atau baju seragam seperti halnya yang bisa dilakuan oleh anak-anak yang lainnya. Sebagian diantaranya tidak mau melanjutkan sekolah lantaran merasa umurnya sudah berada di atas umur anak yang lainnya kalau bukan karena malu karena cacat tubuh yang dimilikinya. Bahkan sebagian dintaranya terpaksa meninggalkan bangku sekolah hanya karena merasa tertekan berkait dengan berbagai tindakan kekerasan yang tak jarang diterima anak, terutama dalam bentuk kekerasan mental yang terkadang harus dihadapi dilingkungan sekolahnya. Di sini, kondisi lingkungan internal sekolah turut memperparah penderitaan anak dari keluarga miskin. Itulah faktor kelima yang dari hasil penelitian ini terangkat sebagai penyebab lain kenapa anak dari keluarga miskin tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya.

BAB V

Dalam dokumen d adp 039732 chapter3 (Halaman 114-121)